
Kampung Kesawan adalah salah satu wajah Medan tempo dulu. Ada banyak bangunan tua sebagai sejarah pembauran multi etnis kota ini. Salah satunya adalah Masjid Bengkok, sebuah masjid berbentuk rumah Cina yang dibangun oleh seorang Taipan Cina pula. Masjid ini menjadi saksi dan simbol pembauran antara warga Tionghoa dan kalangan Melayu Medan.
Jalan Ahmad Yani di Medan, Sumatera Utara, selalu ramai. Orang menyebutnya Jalan Kesawan, karena pada abad 19, hampir seluruh area ini milik Datuk Mohammad Ali, yang dipanggil Datuk Kesawan. Inilah salah satu pusat niaga di jantung Medan dengan sejumlah bangunan kuno.
Salah satu bangunan yang mencolok mirip klentèng, tempat ibadah umat Khonghucu. Atapnya melengkung dan terdapat empat tiang setebal setengah meter yang menopang seluruh bangunan. Di bagian atas tiang terdapat patung buah jeruk dan anggur, salah satu ciri khas arsitektur Cina.
Inilah Masjid Lama atau Masjid Gang Bengkok. Pengurus masjid Silmi Tanjung menuturkan sejarahnya.
Silmi Tanjung: Masjid ini memang bentuknya seperti kelenteng, ada etnis Cinanya, terutama bagian atas. Terus ini juga bentuk stupa, ini seperti candi-candi. Sekilas, ini disebut orang sebagai kelenteng. Sehingga masjid ini memberikan kesan bahwa masjid ini bukan cuma orang Islam, tapi juga etnis Cina atau Tionghoa. Tapi yang jelas ini adalah masjid, bukan kelenteng.
Kenapa dinamakan Bengkok, karena dulu di depan masjid ini adalah sebuah gang, belum jalan. Nah, gang ini memang bengkok bentuknya, makanya dinamakanlah masjid Gang Bengkok. Tapi karena kendaraan semakin ramai, maka dibuat jalan, nah inilah bengkoknya. Tapi masjid ini juga disebut sebagai masjid lama. Karena ini memang berdiri sejak dulu, ketika Sultan Deli, yaitu Sultan Makmun Al Rasyid naik tahta.
Corak bangunan masjid ini juga menyimpan jejak Melayu. Di plafon masjid terdapat umbai-umbai yaitu hiasan yang disebut 'lebah bergantung'. Ukiran ini dibuat dari kayu, berbentuk semacam tirai berwarna kuning, warna khas Melayu.
Jejak Khas Melayu dan Persia
Silmi Tanjung: Inilah liat tiangnya, ini ada buah buah, nah ini seperti rumah etnis Tionghoa. Nah di atasnya juga ada lebah bergantung, ini memberikan kesan Melayu. Karena di sini kan banyak orang Melayu juga. Ada juga nuansa Islam Persia, itu gapuranya.
Tak pelak lagi, Masjid Bengkok memadukan gaya Cina dan Melayu, sebagai simbol kerukunan sejak abad 19. Kerukunan itu terus terjaga seiring waktu. Misalnya pada era Reformasi 1998. Saat itu Medan terasa mencekam karena kalangan Tionghoa mau diserang. Tapi warga Melayulah yang mengungsikan kalangan Tionghoa ke Kesawan, berlindung di Masjid Bengkok.
Silmi Tanjung: Saya ingat pada kerusuhan Mei 1998. Waktu itu isu pembantaian etnis Cina. Tapi kita langsung evakuasi orang Cina sekitar sini. Mereka kita masukan ke dalam masjid. Dan di sini pun tidak terjadi apa apa. Mereka aman kita yang jaga. Jadi masjid ini memang melambangkan perdamaian kita.
Tidak ada yang tahu benar kapan masjid ini dibangun. Diperkirakan sekitar tahun 1900an. Menurut cerita masyarakat setempat, peletakan batu pertama masjid dilakukan oleh Sultan Makmun Al Rasyid, sultan Medan yang kala itu bernama Kesultanan Deli. Tanah tempat masjid berdiri adalah hibah dari Datuk Mohammad Ali, alias Datuk Kesawan.
Silmi Tanjung: Datuk Mohamad Ali adalah orang yang mewakafkan tanah ini. Dia disebut juga Datuk Kesawan. Nah, setelah ini diwakafkan, barulah masjid ini dibangun. Karenanya tidak heran, daerah ini disebut kampung Kesawan, karena yang punya dulu Datuk Mohamad Ali Kesawan.
Tanahnya milik Datuk Kesawan, sedangkan batu pertama diletakkan oleh Sultan Makmun Al Rasyid, tapi keduanya tidak membiayai pembangunan masjid. Semuanya dibiayai oleh seorang taipan Cina, bernama Tjong A Fie. Konon, masjid ini dibangun sebagai penghormatan warga Tionghoa kepada warga Melayu.
Silmi Tanjung: Memang kalau di Medan ini, masjid lama Gang Bengkok pasti identik oleh sosok Tjong A Fie. Orang tua saya juga bercerita tentang sosok Tjong A Fie, yang dikenal sebagai seorang Tionghoa dermawan. Termasuk pembangunan masjid ini uang Tjong A Fie sendiri.
Setelah masjid selesai, Tjong A Fie menyerahkannya kepada Sultan Makmun Al Rasyid. Sultan menunjuk seorang ulama bernama Syech Mohammad Yacup untuk mengurus dan memelihara masjid seluas 2200 meter persegi ini.
Kini, tanggung jawab pemeliharaan masjid dipegang oleh generasi ketiga Syekh, yaitu Sazli Nasution, yang sekaligus menjabat Wakil Nazir atau pengurus masjid bidang dakwah. Kata Sazli, masjid ini terus mempertahankan maknanya, sebagai simbol persatuan umat Muslim dengan warga Tionghoa di Kesawan. Buktinya, warga Tionghoa tak segan-segan merawat masjid ini.
Sazli Nasution: Etnis Tionghoa senang sekali merawat masjid ini. Mereka sering menyumbang keramik, cat, dan lain lain untuk perawatan. Pokoknya, mereka untuk ke masjid ini, peduli sekali.
Nama Tjong A Fie kini melegenda, sebagai wujud semangat pembauran pelbagai kelompok masyarakat Medan. Siapa sebenarnya Tjong A Fie?
Hubungan Dengan Sultan Deli
Dari upah itu Tjong beli lahan untuk perkebunan. Lama kelamaan usaha Tjong A Fie membawanya menjadi konglomerat Cina sukses di Labuhan Deli. Ini membuat Tjong A Fie dekat dengan Sultan Deli, juga pemerintah Kolonial Belanda. Meski bukan tentara, Pemerintah Belanda menganugerahinya pangkat Letnan, jabatan bergengsi orang Cina di Tanah Deli. Tak lama kemudian, Tjong A Fie ditunjuk sebagai pemimpin warga Tionghoa.
Fahrizal Fahnami: Tjong A Fie diberi pangkat mayor. Nah, sebutan mayor ini adalah semacam pemimpin komunitas. Dan sebelum mayor, dia berpangkat letnan. Tapi dia bukan seorang tentara. Ini adalah sebuah jabatan yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda agar komunitas Cina punya seorang pemimpin. Dan Tjong A Fielah yang ditunjuk sebagai pemimpin.
Medan kala itu seakan-akan jadi milik Tjong A Fie. Dia dikenal dekat dengan setiap strata, dari bangsawan hingga rakyat jelata.
Februari 1921, Tjong A Fie meninggal pada usia 61 tahun. Ribuan pelayat datang dari segala penjuru Medan, memberi penghormatan terakhir bagi si taipan dermawan.
Fahrizal Fahnami: Waktu Tjong A Fie meninggal, banyak orang yang memberikan simpati dan penghormatan. Mereka berasal dari Penang, Malaysia, karyawan perkebunan baik yang di Brayan atau di Labuhan Deli, dan masyarakat komunitas dari berbagai suku. Mereka memadati kawasan Kesawan Medan untuk memberikan penghormatan terakhir.
Yang bisa dilakukan sekarang adalah melestarikan peninggalan sejarah Tjong A Fie, lewat lembaga Tjong A Fie Memorial Institute. Cucu Tjong A Fie, Fon Prawira mengharapkan ada penerus kedermawanan Tjong A Fie.
Fon Prawira: Kita harapkan nanti ada kader yang ingin menyumbang pemikiran terhadap masyarakat. Makanya saya dirikan Tjong A Fie memorial. Tentu kita berharap bantuan. Karena uang ini nanti berguna bagi ribuan anak manusia, terutama yang kurang mampu. Seperti yang pernah dilakukan oleh Tjong A Fie. (ln/mj/www.suara-islam.com)
No comments:
Post a Comment