Mau Sehat dan Awet Muda? Puasa Saja

Di luar fungsinya sebagai metode yang disediakan Allah untuk mendekati-Nya, puasa punya fungsi amat penting untuk kebugaran fisik. Bahkan puasa juga bisa bikin awet muda.

Puasa dilakukan para nabi, rasul, orang-orang shalih, dan para cendekia di berbagai penjuru dunia. Nabi Isa rajin berpuasa, kadang sampai 40 hari lamanya. Sehari puasa sehari berbuka dilakukan Nabi Dawud.

Bahkan dalam masyarakat di luar Islam pun puasa jadi kebiasaan dengan berbagai metodenya. Penganut Budha juga melakukan puasa jenis tertentu. Penduduk asli Amerika Utara dan Meksiko juga punya puasa mereka sendiri; juga orang-orang di pedalaman Amazon, Afrika, dan negara-negara Asia. Puasa jugalah suku Inca di Peru, orang Asiria dan Babilonia.

Tak mau ketinggalan, hewan pun berpuasa. Saat sakit, secara instingtif, hewan akan berpuasa demi kesembuhannya. Puasa merupakan terapi ampuh bagi si hewan untuk melawan radang.

Pythagoras, ahli matematika Yunani di abad ke-6 sebelum Masehi, selain berpuasa secara teratur untuk menjaga kesehatan mental dan fisiknya, juga mewajibkan para “santri”-nya untuk berpuasa selama 40 hari sebelum menerima pelajaran darinya.
Kalau dikaitkan dengan urusan penyakit yang ngetren di Indonesia, seperti jantung koroner, puasa bahkan bisa menjadi urgen. H.E. Kusdinar Achmad, Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, mencatat, tahun '70-an jantung koroner menduduki ranking ke-11 penyebab kematian di Indonesa, tahun '80-an ia menjadi peringkat ke-3, dan tahun '90-an jadi ranking pertama.

“Kalau kita telusuri,” papar Kusdinar, “penyakit jantung koroner itu faktor risikonya kan kegemukan. Kegemukan itu dikaitkan dengan penyakit degeneratif banyak cabangnya—jantung koroner, kanker, diabetes, hipertensi. Jadi, kalau kita mau tangkal empat-lima macam penyakit degeneratif itu, tangkallah kegemukan. Puasa aja. Tak usah yang canggih-canggih. Ajarkan saja puasa sejak anak-anak.”
Puasa = sehat

Ditilik dari sisi fisiologis, secara ringkas puasa adalah seperti yang dijelaskan Kusdinar Achmad, “Puasa itu mengurangi atau menghentikan sementara proses-proses fisiologis atau metabolisme di dalam tubuh kita, khususnya di saluran pencernaan.”
Terdengar singkat dan sederhana. Namun, penghentian proses metabolisme itu membawa empat rangkaian proses yang berdampak besar pada kesehatan. Menurut Kusdinar, kalau kita puasa, berarti kita, pertama, membatasi jumlah makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. Kedua, dengan demikian, kita telah menurunkan intensitas kerja sistem pencernaan kita.

Nah, berikutnya, atau yang ketiga, dengan turunnya intensitas kerja itu, turun pulalah kemungkinan adanya racun di dalam tubuh, baik endotoksin (racun dari dalam tubuh sendiri) maupun eksotoksin (racun dari luar tubuh). Berkurangnya bahan yang harus dicerna juga akan membuat tubuh kita tidak memaksakan diri untuk mengeluarkan hormon dan enzim pencernaan secara besar-besaran.

Jadi, kalau kita tidak puasa, bayangkan sebaliknya. Yang jelas, semua makanan yang masuk ke dalam tubuh harus dicerna. Jadi, mau tak mau, kita akan memaksa organ pencernaan kita bekerja lebih keras. “Pankreas bekerja keras mengeluarkan enzim-enzim untuk pencernaan karbohirat, protein maupun vitamin dan mineral,” urai Kusdinar. “Intinya, begitu banyak makanan masuk, banyak yang harus dicerna. Karena banyak yang harus dicerna, harus banyak zat yang membantu proses pencernaan itu. Maka ada ketidakseimbangan di enzim yang dibuat pankreas atau adrenal yang bisa menyebabkan sakit atau kelainan.”

Dengan kata lain, membiarkan diri tidak puasa sama artinya dengan menunggu datangnya penyakit.

Bikin loyo dan kurang gizi?

Ternyata tidak. Rasa loyo yang kerap kita alami di awal puasa lebih karena kita tidak terbiasa dengan ritual yang menyehatkan ini, bukan karena tubuh kita kurang gizi atau energi.

Soal asam lemak esensial, misalnya, yaitu asam lemak yang harus kita konsumsi dari luar karena tubuh kita tidak memproduksinya sendiri, kita juga tidak perlu khawatir.
“Asam lemak esensial yang kita makan sehari-hari akan disimpan di dalam tubuh, sehingga cadangan di dalam tubuh cukup besar.” Anggota Perhimpunan Dokter Gizi Medik ini lantas menambahkan, “Kebutuhan asam lemak itu cuma 2-8 gram per hari sementara cadangan di dalam tubuh orang dewasa bisa sampai 500 gram. Jadi, cukup untuk sekian ratus hari.” Dengan kata lain, puasa tak akan menimbulkan masalah gizi.

(Sekadar pengingat, buat umat Islam, puasa Ramadhan justru jadi sumber kekuatan. Sejarah mencatat, perjuangan fisik umat Islam gemilang pada bulan ini. Kemenangan dalam Perang Badar, takluknya Mekkah di 8 H, Perang Tabuk pada 9 H, penyebaran Islam ke Yaman oleh Ali bin Abi Thalib dan Khalid bin Walid pada 10 H, dan seterusnya sampai kemenangan tentara Shalahuddin al-Ayyubi yang mahsyur itu pada 584 H. Belum lagi berderet peristiwa sejarah lainnya yang terbentang hingga kini. Jangan lupa, Proklamasi Kemerdekaan RI juga terjadi pada bulan Ramadhan.)

Setiap kita makan, kita memerlukan paling tidak 15% energi kita. Itu namanya specific dynamic action atau thermogenesis effect. Jadi kalau kita makan, kita perlu 15% energi untuk mengunyah, metabolisme, dan sebagainya. Artinya, kalau kita tidak makan, tidak ada energi yang keluar untuk itu.

Menurut Kusdinar, untuk survive, manusia memerlukan energi besar (60-70%) untuk bassa metabolic—denyut jantung, bernapas, gerak peristaltik, dan sebagainya. Bahkan, kita perlu energi untuk menjaga tonus otot kita sehingga pada saat kita tidur, otot kita tidak kendor laksana daging di pasar. Sisanya baru untuk aktivitas fisik. Jadi, aktivitas fisik (berjalan, bekerja) itu sedikit sebetulnya.

“Gampangnya, dalam satu hari aktivitas fisik kita itu berapa menit atau berapa jam sih? Yang tidak pernah berhenti adalah denyut jantung—24 jam itu 24 kali 60 menit kali 60 detik kali sekian puluh kali denyut... bernapas juga.”

Awet muda

Baiklah, yang belum terjelaskan adalah hubungan antara puasa dengan awet muda.
Menurut Kusdinar, yang disebut awet muda pada dasarnya adalah proses penuaan dini yang dihambat. Di antara beberapa teori penuaan (aging process), salah satu yang paling terkenal sejak tahun 1950-an adalah teori radikal bebas. “Teori radikal bebas itu begini,” terang Kusdinar, “Kalau di dalam tubuh kita banyak radikal bebas, maka radikal bebas itu secara seluler (arahnya ke sel-sel tubuh) itu akan merusak dinding sel. Perusakan dinding sel itu akan mempercepat penuaan.”

Nah, puasa melindungi dinding sel. “Dinding sel itu bisa dipertahankan karena radikal bebasnya tidak ada atau dikurangi (karena puasa). Maka (orang) awet muda,” terang ayah delapan anak ini seraya menyebut sebuah penelitian yang mengungkap bahwa pada orang yang berpuasa, MDA (melondealdehid), salah satu komponen yang sifatnya radikal bebas, ternyata berkurang hingga 90%. Bersama dengan itu, di sisi lain, puasa meningkatkan pembentukan antioksidan hingga 15%. “Jadi, di satu sisi radikal bebas itu dipangkas, di sisi lain, musuh radikal bebas (antioksidan) ditingkatkan.”
Jadi, kita tak perlu heran lagi kenapa rajin puasa bikin awet muda.

Dr. Paul Chappuis Bragg, penulis buku laris The Miracles of Fasting, menyatakan 99 persen penyakit yang kita sandang disebabkan oleh ketidakbecusan kita mengonsumsi makanan. Bragg tak cuma omong. Ia membuktikan diri tetap bugar sampai renta berkat puasa. Ia “berhasil” meninggal dunia bukan lantaran penyakit, melainkan karena kecelakaan sewaktu si kakek 90 tahunan itu berselancar di Hawaii. Wallahualam.
Hanya memang, kita harus tetap menjaga proporsi konsumsi makanan kita. Pedoman umumnya, dalam satu hari, proporsi makanan kita hendaknya karbohidrat 50-60%, protein 10-15%, dan lemak jangan lebih dari 30%. Variasi juga tidak boleh dilupakan. Misalnya, karbohidrat jangan diambil dari nasi saja, ambil juga dari gandum, jagung, roti. Protein juga tidak harus dari susu, kan bisa dari kedelai dan kacang-kacangan. Demikian juga lemak, toh ada lemak hewani dan lemak nabati.

Nah, proporsi konsumsi makanan sehari-hari itu harus tetap kita bawa selama puasa. “Yang paling bagus, kalau berbuka itu seperti dicontohkan Rasulullah, tiga biji kurma dan minum sekadarnya. Sesudah Isya, baru makan yang full-nya. Sahur kita akhirkan dengan proporsi tetap dipakai. Cuma, lebih baik karbohidratnya jangan terlalu banyak, karena karbohidrat itu akan menimbulkan kantuk,” saran Kusdinar. Jadi, kita harus mengatur agar pada saat sahur, proporsi protein kita lebih tinggi meski proporsi totalnya sepanjang waktu berbuka itu tetap (ingat, protein 10-15% dan karbohidrat 50-60%).

Satu lagi, pada waktu buka puasa jangan langsung terus minum air dingin, karena dingin menghambat proses pencernaan. “Proses pencernaan akan berlangsung kalau suhu makanan itu sesuai dengan suhu tubuh, katakanlah 36-37°C. Yang dingin-dingin tidak akan spontan dicerna, ditampung dulu oleh lambung sampai suhunya cukup.”
Jadi, kolak hangat, please.

Sunday, 30 November 2008 (Agus Budiman)
http://www.ummi-online.com//index.php?option=com_content&task=view&id=398&Itemid=1

No comments:

Post a Comment