Mengutamakan Memberi Bantuan

Imam Bukhari dan Muslim meriwa-yatkan bahwa suatu ketika ada seseorang datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Sesungguhnya saya sangat lapar!” Lalu, beliau membawa orang tersebut ke salah satu istrinya, dan istrinya berkata: “Demi Dzat yang mengutus tuan dengan kebenaran, saya tidak mempunyai sesuatu apapun kecuali air.”

Kemudian beliau membawa orang tersebut ke istrinya yang lain, dan istrinya itu pun berkata seperti apa yang dikatakan oleh istri pertama tadi. Hal ini dilakukan beliau pada semua istrinya, namun semuanya menjawab: “Tidak, demi Dzat yang mengutus tuan dengan kebenaran, saya tidak mempunyai sesuatu apa pun kecuali air.”

Setelah itu, beliau bersabda kepada para sahabatnya: “Siapa yang sanggup menjamu tamu pada malam ini ?” Ada salah seorang sahabat dari kalangan Anshar berkata: “Saya, wahai Rasulullah !” Kemu-dian orang itu pergi bersama sahabat tadi. Sesampainya di rumah, sahabat itu berkata kepada istrinya: ”Muliakanlah tamu Rasulullah!” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa sahabat tadi bertanya kepada istrinya: “Apakah kamu mempu-nyai makanan ?” Istrinya menjawab: ”Tidak, kecuali makanan untuk anak-anak.”

Sahabat itu berkata: ”Hiburlah mereka dengan sesuatu, dan bila mereka ingin makan maka tidurkanlah mereka. Bila tamu kita nanti masuk maka padam-kanlah lampu itu dan perlihatkanlah bahwa seakan-akan kita ikut makan.” Kemudian mereka duduk bersama dan tamu itu makan tetapi sahabat beserta istrinya bermalam dalam keadaan lapar. Pada pagi harinya, mereka bertemu dengan Nabi SAW, seraya Rasulullah SAW bersabda: “Allah telah kagum pada perbuatan kalian di dalam menjamu tamu semalam.”

Peristiwa di atas menggambarkan perilaku Rasulullah SAW (pada saat itu sebagai kepala negara) yang berupaya sekuat tenaga untuk memberikan bantuan kepada orang yang lapar. Tidak hanya sebatas ini, Nabi SAW meme-rintahkan kepada umatnya untuk mengutamakan memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan.

Didikan Rasulullah SAW ini tampak jelas pada diri sahabat tadi, dia lebih mengutamakan orang lain yang lebih lapar dan lebih membutuhkan daripada dirinya. Padahal, keadaan ekonomi sahabat nabi tersebut sangat minim. Luar biasa, dalam keadaan sama-sama miskin saja begini, dapat dibayangkan bagai-mana andaikan status ekonomi dia menengah apalagi kaya raya.

Bahkan di dalam Alquran dising-gung betapa sahabat-sahabat Anshar mengutamakan kawan-kawannya dari kalangan muhajirin walaupun merekapun berada dalam kesusahan. Karakter seperti ini bukan hanya melekat pada satu-dua orang saja melainkan tertanam dalam diri para sahabat Nabi SAW.

Dalam menggambarkan hal ini Rasulullah SAW menyatakan: “Sesungguh-nya orang-orang Asy'ary bila persediaan mereka dalam peperangan hampir habis atau makanan bagi keluarga mereka di Madinah itu tinggal sedikit maka mereka mengumpulkan sisa-sisa yang ada pada mereka pada satu kain kemudian mereka membagi-baginya dengan sama rata pada satu bejana. Mereka adalah termasuk golonganku dan aku termasuk golongan mereka” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kadangkala, ada orang yang bila memberikan sebagian hartanya kepada orang lain yang betul-betul membutuh-kannya merasa seakan dirinya takut kekurangan tanpa menyadari bahwa di dalam hartanya itu terdapat hak si miskin, seperti kata Nabi. Sikap demikian ditentang oleh Rasulullah SAW. Beliau menegaskan hal ini: “Makanan dua orang itu cukup bagi tiga orang, dan makanan tiga orang itu cukup bagi empat orang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim dari Jabir ra disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Makanan seorang itu cukup bagi dua orang, makanan dua orang itu cukup bagi empat orang, dan makanan empat orang itu cukup bagi delapan orang.”

Dalam kacamata logika manusia, boleh jadi barang-barang kebutuhan pokok yang diberikan kepada orang lain dianggap mengurangi jatah bagi pemenuhan kebutuhannya. Namun, pandangan Rasulullah SAW tidaklah demikian. Dalam menanggapi ungkapan beberapa sahabat yang menyatakan bahwa mereka makan tetapi tidak merasa kenyang, beliau mengungkapkan: “Mung-kin kalian makan sendiri-sendiri.” Sahabat menjawab: “Benar!” Beliau bersabda: “Maka berkumpullah kamu kalau makan, dan sebutlah nama Allah Ta'ala niscaya kamu sekalian mendapatkan barakah di dalam makananmu itu.” (HR. Abu Daud). Tampaklah, harta yang dimakan sendiri tanpa mempedulikan orang lain yang sangat membutuhkannya boleh jadi tidak berkah. Na'udzubillahi min dzalik.

Kini, sudahkah sikap indah tadi kita miliki sebagai umat Muhammad SAW? Tengoklah, pengemis makin menjamur, tuna wisma kian bertambah, pada sisi lain penggusuran pun tidak berhenti. Seba-gian orang hidup berlebihan, sementara banyak orang lain yang kesusahan. Padahal, kita akan ditanya oleh Allah SWT apakah kita membantu mereka. Ulurkan-lah tangan untuk memberi bantuan. Belumkah tiba saatnya kita menjadi orang-orang yang mengutamakan memberi bantuan?![]

Oleh M Rahmat Kurnia
www.mediaumat.com

No comments:

Post a Comment