Sejarah Rekonstruksi Ka'bah



Rabu, 19 Sya'ban 1039 H, seharian kota suci Mekah diguyur hujan. Sangat lebat dan konon yang terhebat dalam sejarah lembah suci itu. Sesuatu yang paling dikhawatirkan pun terjadi, banjir bah. Rumah-rumah rusak dan dalam sehari sudah melayang seribu jiwa.

Dilaporkan, air naik setinggi tujuh meter dan hampir mencapai lampu-lampu di dinding Ka'bah. Besoknya, hari kamis seluruh dinding yang bersebelahan dengan Hijr Ismail runtuh, sementara dinding sebelah barat dan timur hanya separo yang utuh. Tangga untuk naik ke sotoh pun hancur. Beruntung, barang-barang berharga di Baitullah itu bisa diselamatkan, antara lain 20 buah teko emas, salah satunya bertakhtakan permata.

Pada 29 Sya'ban, Amir Mekah Syarif Mas'ud bin Idris menggelar rapat terbatas di Masjidil Haram yang dihadiri para ulama dan tokoh masyarakat. Yang menjadi tema pembicaraan, antara lain, apakah Amir Mekah berwenang merehab Ka'bah yang sudah rusak itu, atau harus menunggu perintah Istambul, mengingat negeri ini bagian dari khalifah Usmaniah.

Forum pun bersepakat pembangunan segera dilakukan tanpa harus menanti Istambul, mengingat kondisi darurat. Namun proposal pun tetap dikirim ke Khalifah Murad Khan. Untuk pendanaan awal kaum Muslimin diserukan untuk menyumbangkan harta yang halal.

Pada pertengahan Ramadhan, Syarif Mas'ud mengerahkan para pembantunya untuk mencari kayu sebagai pengganti sementara dinding yang rusak. Pengerjaan Ka'bah darurat ini selesai dalam tempo sebulan sebagai antisipasi musim haji yg sudah dekat.
Ka'bah dari kayu ini kemudian ditutup kelambu dan diberi pintu kecil yang juga terbuat dari kayu dilapisi kain berwarna hijau. Syarif lega. Ia masuk ke dalam Ka'bah shalat 2 rakaat, lalu tawaf yang diikuti orang banyak.

Sementara itu, Khalifah Murad Khan menunjuk Muhammad Affandi bin Muhammad Al-Anqarawi, hakim di Madinah, untuk mewakili khalifah mengetuai pembangunan kembali Baitullah itu. Agar pekerja dan orang-orang yang bertawaf tidak terganggu, dibuatlah dinding kayu di sekeliling Ka'bah. Namun sayangnya, tiga hari rehab Ka'bah baru berjalan, 18 Rabi'ul Akhir 1040 H., Syarif Mas'ud wafat. Ia digantikan Syarif Abdullah bin Numa'i.

Tapi seminggu kemudian, datang lagi hujan lebat yang mengakibatkan sisa-sisa dinding runtuh lagi. Akhirnya, diputuskan untuk membangun fondasi yang sama sekali baru. Dasar-dasar bangunan yang dulu diletakkan Abdullah bin Zubair r.a., yang kemudian direvisi oleh Hajjaj pada bagian yang sejajar dengan Hijr Ismail diruntuhkan seluruhnya, kecuali bagian yang melindungi Hajar Aswad. Soalnya, bangunan tersebut lebih besar beberapa sentimeter dari aslinya.

Ibn Zubair membangun kembali Ka'bah (1064 H), yang rusak akibat serangan tentara Yazid bin Muawiyah, sesuai bentuk yang dicita-citakan Rasulullah berdasarkan hadis yang diriwayatkan Aisyah. Sepuluh tahun kemudian Ka'bah rusak kembali oleh serangan Hajjaj yang juga menewaskan Ibn Zubair. Atas perintah Khalifah Abdul Malik bin Marwan, Hajjaj mengembalikan bangunan itu seperti sebelum diutak-atik Ibn Zubair.

Ka'bah yang sekarang, itulah yang dibangun kembali oleh Sultan Murad Khan tadi. Kalaupun setelah itu ada perbaikan, sifatnya tidak mendasar. Bangunan berbentuk mirip kubus dan terdiri atas batu-batu besar berwarna coklat ini tingginya 15 meter. Panjangnya 9,92 meter (dinding bagian utara), 10,25 meter (selatan, 11,85 meter 9 timur, dan 12,7 meter (barat). Sebuah bangunan yang teramat sederhana dan jauh dari kesan monumental, sebagaimana halnya mahakarya seni arsitektur dunia yang membuat berdecak. Namun, ia mampu membuat air mata jutaan umat menetes dan hati begetar takjub akan kebesarannya saat menataapnya.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Ka'bah sebagaimana yang diceritakan di atas tentunya merupakan rahasia Allah. Sementara kita hanya bisa mengambil hikmah di balik peristiwa yang terkadang masih jauh dari dasar rahasia tersebut. Mungkin dengan peristiwa tersebut, Allah ingin memberitahu kita bahwa hanya Dialah yang Abadi yang tak pernah rusak dimakan waktu dan hukum alam. Menjadikan Ka'bah sebagai Baitullah yang suci dan kiblat shalat tidak berarti menempatkannya pada posisi kesucian-Nya.

Barangsiapa menyembah Allah SWT, maka sesungguhnya Dia adalah Maha Kekal. Inilah suatu bukti bahwa umat Islam dilarang menyembah Ka'bah sekalipun Allah memerintahkan shalat menghadapnya (kiblat). Kejadian ini merupakan peringatan bagi semua umat manusia bahwa Islam bukanlah penyembah Ka'bah, karena ia adalah makhluk Allah yang diciptakan, tidak berdaya dalam menghadapi kejadian alam berupa banjir.taq/ass

http://www.republika.co.id/berita/35086/Sejarah_Rekonstruksi_Ka_bah

No comments:

Post a Comment