Adapun prinsip kedua yang menjadi kaidah tegaknya syariat Islam adalah tidak mengikuti dan menuruti keinginan orang-orang kafir dan munafik, tidak mencontoh segala bentuk prilaku, etika, adat dan kebiasaan, apalagi menjadikan undang-undang mereka sebagai sumber hukum mengalahi syariat Islam, tidak mendengar dan mengambil pendapat dan arahan mereka kecuali yang memberikan kemaslahatan, begitupun tidak menjadikan mereka tempat berkonsultasi dan meminta pendapat.
Hal tersebut diatas tersirat dalam kelanjutan ayat yang disebutkan pada awal surat Al-Ahzab :
وَلاَ تُطِعِ الْكَافِرِيْنَ وَالْمُنَافِقِيْنَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Janganlah engkau mengikuti orang-orang kafir dan munafik, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana” (Al-ahzab : 1)
Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya berkata : “Maksudnya adalah tidak mendengar pendapat mereka dan tidak menjadikan mereka tempat berkonsultasi”.[1]
Jika ada Perintah terhadap sesuatu pasti ada larangan pada kebalikannya, karena itu Allah melarang nabi-Nya saw dari mengikuti orang-orang kafir penduduk Mekkah dan yang lainnya, orang-orang munafik penduduk Madinah dan konco-konconya serta memperingatkan mereka untuk tidak cenderung pada mereka.[2]
Seakan perintah taqwa pada permulaan ayat menjadi inspirasi terhadap larangan dari mengikuti orang-orang kafir dan munafik.[3]
Diantara sebab-sebab turunnya ayat, seperti yang disebutkan oleh sebagian ulama ahli tafsir adalah sebagai berikut :
1. “Ayat tersebut turun atas orang munafik yang masuk Islam melalui lisannya saja namun hatinya tidak, disebutkan dalam riwayat bahwa ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah beliau berkeinginan agar umat Yahudi masuk Islam; seperti Bani Quraidzah, Bani Nadhir dan Bani Qainuqa. Sebagian diantara mereka ada yang masuk Islam dengan cara nifaq, tapi Rasulullah memperlakukannya dengan baik, menghormati mereka, jika ada yang melakukan kesalahan mereka memohon untuk dimaafkan dan beliau mendengarkannya, maka turunlah ayat” ini.
2. Imam Al-Wahidi,[4] Imam Qusyairi,[5] Imam At-tsa’labi[6] dan Imam Al-Mawardi[7] serta imam yang lainnya berpendapat bahwa ayat diatas turun kepada Abu Sufyan bin Harb[8], Ikrimah bin Abu Jahal[9] dan Abu Al-A’war Amru bin Abu Sufyan. Mereka mendatangi kota Madinah dan menemui Abdullah bin Ubay bin Salul, pentolan kaum munafikin setelah perang Uhud, saat itu nabi saw telah memberikan jaminan keamanan terhadapnya. Mereka juga menghadap Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah[10] dan Ibnu Ibriq.[11]
Mereka beramai-ramai menghadap Nabi saw dan berkata kepadanya sementara Umar bin Khattab berada disampingnya : Saya menolak berhala kami al-lata, uzza dan manat, tidak bermanfaat tapi katakanlah bahwa semuanya dapat memberi syafaat dan mencegah bagi yang menyembahnya, dan kami akan meninggalkan kamu bersama Tuhanmu.
Maka –setelah mendengar itu- hati nabi merasa gelisah terhadap apa yang mereka ucapkan sehingga Umar berkata : Wahai Rasulullah berikan izin kepadaku untuk membunuh mereka. Nabi bersabda : sesungguhnya saya telah memberikan jaminan keamanan kepada mereka. Maka Umarpun berkata kepada mereka : Enyahlah kalian dalam keadaan dilakanat Allah dan murka-Nya. Maka nabipun memerintahkan mereka untuk keluar dari kota Madinah hingga turunlah ayat diatas.[12]
3. Pendapat ketiga berkata : Bahwa ayat diatas turun pada saat pembatalan perjanjian Hudaibiyyah.
Diriwayatkan bahwa Abu Sufyan bin Harb, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Abul A’war As-Salami datang menghadap Rasulullah saw pada saat perjanjian yang dilakukan bersama keduanya, mereka juga menemui Abdullah bin Ubay, Mu’attab bin Qusyair[13] dan Al-Jad bin Qais[14], mereka saling berbicara untuk mencapai mufakat lalu menghadap Rasulullah saw dan mengajak untuk bersepakat bersama mereka, dan menjabarkan beberapa hal serta meminta penolakan penisbatan latta dan uzza pada hal-hal yang buruk, dan meminta untuk dianggap memberikan syafaat, maka Rasulpun merasa benci dan marah hingga turunlah ayat tersebut.[15]
4. Ibnu Jarir[16] berkata : dari Ibnu Abbas[17] bahwa Penduduk Mekkah menyeru kepada Nabi Muhammad untuk kembali kepada agama nenek moyang dan akan memberikan setelah itu akan harta atau kekayaan yang mereka miliki dan menikahkannya dengan anak perempuan dari Syaibah bin rabiah[18], sementara kaum munafik menakut-nakutinya bahwa mereka akan membunuhnya jika tidak mau menerima dan kembali pada agama nenek moyang, hingga turunlah ayat diatas.[19]
Kata “kafir” berari ingkar terhadap ni’mat Allah, berasal dari kata “Al-kufr” yang berarti menutupi, dan setiap yang menutupi sesuatu maka disebut kafir, karena itu pula petani disebut kafir karena menutupi biji (benih) di dalam bumi dengan tanah, seperti yang difirmankan Allah :
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ
”Seperti hujan yang membuat takjub para petani dengan tumbuhnya tanaman” (Al-hadid : 20)
Begitupun malam hari dinamakan kafir karena dengan kegelapannya menutupi segala sesuatu dari penglihatan.
Sebagian ulama mengatakan : kufur terbagi pada 4 tipe :
1. Kufur Ingkar yaitu tidak mengenal Allah dan tidak mau mengakui-Nya, hati dan lisannya kufur.
2. Kufur Juhud yaitu kufur dengan tidak mau mengakui Allah di dalam hati namun mengucapkannya dalam lisan, seperti kufurnya Iblis dan ahli kitab, sebagaimana firman Allah : “Ketika datang kepada mereka ayat mereka ingkar dan tidak mau mengakuinya”. ( Al-Baqoroh : 89)
3. Kufur Inad yaitu kufur dengan pengakuan di dalam hati dan lisan namun tidak mau menegakkan agama karena dengki dan benci, seperti kufurnya Abu Jahal dan konco-konconya.
4. Kufur Nifaq yaitu kufur yang menampakkan Islam secara dzahir dan menyembunyikan keingkaran dalam hatinya sehingga tidak meyakini apa yang diucapkan, seperi perbuatan orang-orang munafik.
Adapun kata “Munafikin” adalah jama’ dari kata munafik yang maknanya memperlihatkan Islam dan menyembunyikan kekufuran dalam hatinya, berasal dari kata “An-Nafaq” yang berarti fatamorgana bumi, dalam kitab lisan Arab disebutkan : “Pembicaraan tentang nifaq talah banyak diulang, dan istilah ini adalah berasal dari kalangan Islam karena pada arab jahili tidak dikenal akan istilah ini, maknanya adalah menampakkan keislaman dan menyembunyikan keimanan”.[20]
Larangan dalam potongan ayat ini bukanlah tidak memiliki penafisran atau pandangan lainnya sehingga kadang orang memahami hanya sekedar menghindar dari larangan ini atau memahami hanya sekedar tidak mentaati mereka –orang kafir dan munafik- pada satu sisi saja tapi pada segala aspek kehidupan, seperti larangan mengangkat mereka sebagai pemimpin, seperti firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, jangnlah engkau mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena kasih sayang; padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran..(Al-Mumtahanah : 1)
Musuh Allah yang disebutkan pada ayat diatas adalah umum mencakup berbagai jenis musuh baik kafir, munafik, Yahudi dan Nasrani yang tidak menjadikan Islam sebagai manhaj hidup mereka. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin sebgahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golognan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (Al-Maidah : 51)
Disamping itu Allah menjelaskan bahwa hanya Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman yang harus dijadikan sebagai pemimpin, pelindung dan penolong mereka pada perkara agama dan dunia, Allah SWT :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
”Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (Al-Maidah : 54)
Sebgaimana juga Allah memerintahkan untuk tidak mengikuti kebiasaan, muamalah, prilaku dan adat istiadat mereka yang merusak dan menyimpang dari agama Islam. Namun –yang sangat ironi sekali- kita melihat saat ini umat Islam –pada sebagian mereka- mengambil orang-orang kafir sebagai teman setia dalam membangun negara mereka, mengambil ideologi dan kebudayaan mereka, muamalah dan prilaku mereka sehingga dapat menjauhkan umat dari agama Islam yang hanif, dan sebagai solusi utama terhadap segala permasalahan dan problema. Apalagi pemahaman ayat mengisyaratkan peringatan akan hal tersebut; jadi tidak boleh meminta bantuan kepada mereka apalagi bergantung, tidak menerima pandangan pada suatu permasalahan, dan tidak menjadikan sebagai teman setia, pembantu dan penolong, jangan merasa puas dengan mereka namun berhati-hatilah karena mereka adalah musuh Allah.[21]
Allah telah melarang untuk mentaati dan menuruti keinginan orang-orang kafir secara umum sebagaimana juga melarang terhadap orang-orang yang memiliki sifat pendusta dan kufur, bersumpah palsu atau lalai dari mengingat Allah, seperti firman Allah :
وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
”Dan janganlah kedua matamu berpaling (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kemu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (Al-Kahfi : 28)
Maksudnya adalah janganlah engkau palingkah wajahmu kepada mereka yang telah tertipu dunia, dan mereka yang telah Kami jadikan hatinya lalai dari Al-Quran dan mengingat Allah, hawa nafsunya menyimpang dari kebenaran, memilih syirik daripada tauhid.[22] Allah SWT juga berfirman :
فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَاداً كَبِيراً
”Maka janganlah (kamu) mengikuti orang-orang kafir dan perangilah mereka dengannya dengan perang yang besar”. (Al-Furqan : 52)
Maksudnya jangan ikuti dan turuti orang kafir dan yang memiliki sifat seperti orang kafir, yang terjerumus pada kubangan hawa nafsu dan kebatilan. Dalam ayat lain Allah berfirman :
فَلا تُطِعِ الْمُكَذِّبِينَ. وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ. وَلا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ. هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ
”Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). Dan janganlah kamu ikuti setiap yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah”. (Al-Qalam : 8-11)
Dan firman Allah :
فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِماً أَوْ كَفُوراً
”Maka bersabrlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir diantara mereka”. (Al-Insan : 24)
Kenapa dalam ayat ini Allah mengkhususkan orang-orang kafir dan munafik untuk tidak dituruti dan ditaati, padahal nabi sendiri tidak layak baginya untuk mentaati apapun kecuali Allah ?
Untuk menjawab pertanyaan diatas imam Fakhrurrozi berkata : ada dua kemungkinan perintah diatas diungkapkan Allah:
1. Karena penyebutan selain keduanya tidaklah perlu, karena nabi diperintahkan untuk menuruti dan tidak terbetik dalam jiwa nabi saw untuk mentaatinya dan sedikitpun tidak terlintas untuk melakukannya.
2. Bahwa ketika Allah berfirman : “Janganlah engkau taati orang kafir dan munafik” berarti mencegah kepada yang lainnya, karena setiap yang meminta untuk ditaati maka dirinya adalah kafir dan munafik, dan karena bagi siapa yang memerintahkan kepada nabi sesuatu atau dengan kewajiban dan berkeyakinan jika hal tersebut tidak dilaksanakan akan mendapat azab maka dia adalah kafir”.[23]
Adanya larangan ini setelah perintah taqwa yang diartikan dengan keteguhan sebelum adanya takhsis (pengkhususan) dan penekanan setelah yang umum, untuk menjadikan besarnya perhatian terhadap permasalahan tersebut.
Dan dipenghujung ayat Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana”. Dengan sighat (bentuk) “Fa’il” yang bermakna mubalaghoh (melebih-lebihkan), berarti Maha Tahu dan Maha Bijaksana, Allah Mengetahui segala perkara yang baik dan buruk, maka Dia tidak menyuruhmu kecuali ada maslahat dibaliknya dan tidak mencagahnya kecuali mudlarat dibaliknya, tidak memberikan keputusan (hukum) kecuali ada hikmah disampingnya. Kalimat tersebut merupakan penguat atas perintah dan larangan dan menjadikannya sebagai kewajiban yang harus ditaati, pengertiannya adalah ikutilah apa yang telah Kami perintahkan dan yang Kami larang, karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu dan bijaksana dalam Ucapan dan Perbuatan-Nya.[24]
Potongan ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa taqwa harus berasal dari lubuk hati yang paling dalam, tidak ada sesuatu yang disembunyikan dari selain Allah, seperti halnya seseorang yang mengaku dirinya pemberani padahal dirinya adalah pengecut dan penakut. Sebagaimana juga hal tersebut merupakan isyarat berupa larangan dan peringatan atas orang-orang yang beriman agar tidak mudah tertipu oleh kemajuan ilmu, keberhasilan dan experimen orang-orang kafir, apalagi disaat kaum muslimin dalam kondisi lemah dan terbelakang seperti ini sehingga menyimpang dari jalan Allah sangat mungkin terjadi, karena Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, Dialah yang menetukan kepada orang yang beriman jalan hidupnya, dari Pengetahuan dan Kebijaksanaan-Nya sementara yang dimiliki manusia hanyalah kulit saja dan sedikit.[25]
Karena itu, jika taqwa telah merasuk kedalam jiwa orang-orang yang beriman lalu disertai dengan amal salih tanpa ada ikatan atau mengikuti kebudayaan, prilaku dan adat yang menyimpang dari manhaj Allah, bersih dari ideology yang buram serta tidak memilih pemimpin atau perlindungan kecuali yang mengikuti dan mentaati Syariat Allah.
Maka dengan sendirinya akan menghasilkan sosok pribadi yang bersih dan salih, buahnya dapat dipetik dan dinikmati sehingga dapat membentuk masyarakat yang memiliki ciri khusus dan merdeka, tidak terikat pada masyarakat lainnya, tidak pernah merasa minder dan rendah diri sekalipun masyarakat lainnya memiliki kemajuan yang spektakuler –seperti yang kita rasakan saat ini-, baik dari keilmuan, experimen-experimen terbaru, kebudayaan yang memukau dan yang lain-lainnya. Kecuali dalam dirinya merasa yakin bahwa semua itu tidak akan mengungguli kebesara Allah dan kekuasaan-Nya.
Semua yang mereka miliki akan habis dan sirna sementara milik Allah kekal dan abadi.
Yakin bahwa hal tersebut adalah hiasan dunia, jika tidak diiringi akhlak Islamiyah seperti taqwa maka tidak ada manfaatnya sama sekali, seperti halnya fatamorgana di tengah padang pasir, dari kejauhan seperti air namun ketika didekati hampa, tidak mampu sama sekali menghilangkan diri dari rasa haus.
_____________________________
[1]. Tafsir Ibnu Katsir, jil. 3, hal. 466.
[2]. Tafsir Al-Munir, jil. 21, hal. 229
[3]. Lihat kitab Tafsir at-tahrir wat tanwir, jil. 10, hal. 250.
[4]. Imam Al-Wahidi adalah Ali bin Muhammad bin Ali bin Hatwiyyah Al-Imam Abul Hasan Al-Wahidi An-Naisaburi, satu-satunya mufassir pada zamannya, alim dalam bahasa, gurunya adalah Abu Ishaq ats-Tsa’labi, diantara karyanya : 3 kitab tafsir : As-Sabth, Al-Wasith dan Al-wajiz dan Asbabun nuzul, meninggal di kota Naisabur pada bulan Jumadil Akhir tahun 468 H.
[5]. Al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Huzan bin Abdul Malik bin Tolhah bin Muhammad an-Naisaburi, Al-Qusyairi, As-Syafi’I (Abul Qasim), sufi, mufassir, faqih, Asli, Muhaddits, mutakallim, wa’idz (juru nasehat), Adib (sastrawan), natsir (Penyair) dan nadzim (ahli tata bahasa). Lahir pada tahun 376 H. diantara karyanya : At-Taisir fi tafsir, Hayatul Arwah dan Ad-Dalil Ila Thoriqi As-solah. Meninggal di kota Naisabur tahun 465 H.
[6]. At-Tsa’labi adalah Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Abu Ishaq An-Naisaburi At-Tsa’labi, satu-satunya ulama dalam Al-Quran pada zamannya, beliau juga seorang mufassir, gurunya adalah : Ibnu Khuzaimah, dan muridnya adalah Abul hasan Al-Wahidi, diantara karya tulisnya : AT-tafsir dan Al-Arais fi Qisasal anbiya, meninggal pada bulan muharram tahun 427 H.
[7]. Al-Mawardi adalah Muhammad bin Habib al-Qadli Abul Hasan Al-Mawardi Al-Basri. Ulama tsiqoh bersal dari kalangan madzhab Syafi’i, seorang ulama yang memiliki kharisma yang sangat agung, salah seorang Imam besar, ada yang menuduhnya pengikut mu’tazilah, namun As-Subki membantahnya tapi beliau hanya punya pendapat yang persis dengan mu’tazilah pada masalah Al-Qadr. Diantara gurunya : Abul Hamid Al-Asfarayini, dan diantara k arya tulisnya : “Al-Hawi” “Tafsir Al-Quran” yang diberi nama dengan “An-Naktu”, meninggal pada hari selasa, diakhir bulan Rabiul awwal tahun 450 H dalam usia 86 tahun.
[8]. Abu Sufyan bin Harb adalah Al-Mugirah bin Al-Harits bin Abdul Muttalib bin Hasyim Abu Sufyan Al-Hasyimi Al-Qurasyi, beliau adalah saudara sesusuan Rasulullah saw, dan beliau juga paling kerang pertentangannya terhadap da’wah Rasulullah saw, beliau juga banyak berlaku kasar terhadapnya. Masuk Islam sebelum futuh Mekkah dan menyaksikan futuh Mekkah dan perang Hunain hingga baik Islamnya dan meninggal setelah Umar menjabat sebagai khalifah selama satu tahun tujuh bulan, ada yang mengatakan bahwa beliau meninggal pada tahun 20 H, Umar ikut menshalatkannya dan dikubur di pemakaman Baqi.
[9]. Ikrimah bin Abu Jahal bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum Al-Qurasyi Al-Makhzumi. Masuk islam setelah futuh Mekkah dan menjadi bagian umat islam yang terbaik. Sebalumnya beliau sangat keras permusuhannya atas nabi Muhammad saw, beliau terkenal sebagai penunggang kuda yang lihai, setelah futuh Mekkah beliau lari dan tinggal di Yaman, sebelumnya Rasulullah saat menuju Mekkah telah memerintahkan sahabtnya untuk membunuh Ikrimah namun dia berhasil kabur, Istrinya bernama Ummu Hakim Binti Ammah Al-harits bin Hisyam, pergi menemui Ikrimah di Yaman dengan jaminan keamanan dari Rasulullah saw, beliau masuk Islam sebelum futuh Mekkah, lalu kembalilah Ikrimah kepada Rasulullah saw dan masuk Islam hingga baik keislamannya. Beliau memiliki peran dalam memerangi kaum murtadin. Meninggal syahid dalam perang Ajnadin, ada yang mengatakan pada perang Yarmuk, dan yang ketiga mengatakan pada perang suffah.
[10]. Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah adalah Abdullah bin Said bin Abi Sarah Al-Qurasyi Al-Amiri, julukannya Abu Muhyi, saudara sesusuan Utsman. Ikut berperan dalam futuh Mesir, beliau disebut sebagai sohibul maimanah bersama Amru bin Al-Ash, Utsman telah memerintahkannya untuk menaklukkan Mesir. Saat terjadi fitnah beliau tinggal di Asqolan dan meninggal disana pada tahun 36, ada yang berpendapat pada tahun 59 H, beliau juga ikut dalam perang negeri Nubah tahun 31 H.
[11]. Ibnu Ibriq adalah Tu’mah bin Amru Al-Anshori, beliau termasuk dalam sahabat rasulullah saw, ikut semua perang kecuali perang Badr.
[12] Tafsir Al-Qurtubi, jal. 7 hal. 114.
[13]. Mu’attab bin Qusyair bin Jalil bin Zaid bin Al-Athaf bin Dlabiyyah bin Malik Al-Ansori Al-Awsi, salah seorang yang ikut dalam baiat Aqobah dan ikut berperang Badr dan Uhud. Ada yang mengatakan bahwa adalah salah seorang munafik dan dialah yang berkata seperti yang termaktub dalam Al-Quran : “Jika kami tahu perkaranya seperti ini kami tidak akan mati konyol disini”. (3 : 154) Dan ada yang mengatakan bahwa beliau akhirnya bertaubat.
[14]. Al-Jad bin Qais Shahr bin Sanan bin Adiy bin Ghanam bin Ka’ab bin Salamah Al-Anshari As-Salami, dijuluki dengan Abdullah bin Umar Al-Barra. Beliau pernah dianggap sebagai anggota munafi, dan pada dirinya turun ayat : “Diantara mereka ada yang berkata : “Berilah saya keizinan (tidak ikut berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah”. Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang kafir. (9 : 49) pada masa Jahiliyah beliau menjadi pemimpin bani Bani Salmah namun Rasulullah saw akhirnya mencabut kepemipinannya dan memberikannya kepada Amru bin Al-Jumuh, saat ada baiat beliau tidak ikut dan bersembunyi di bawah perut unta. Ada yang mengatakan : sesungguhnya pada akhirnya beliau bertaubat dan baik pertaubatannya, dan meninggal pada masa khalifah Utsman.
[15]. Lihat Tafsir Al-Qurtubi, jil 7, hal. 155
[16]. Ibnu Jarir adalah Abu Ja’far bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib At-Tobari, sejarawan, mufassir, muhaddits, muqri (hafidz), ulama terkenal dan imam terkemuka pada zamannya, lahir di desa Amil ota Teberstan tahun 224 H. pergi menuntut ilmu dan masuk ke kota Iraq, Syam dan Mesir kemudian tinggal di Baghdad, dan wafat pada tahun 310 H. diantara karya tulisnya : Akhbar Ar-ruslu wal muluk”, Jamiul Bayan Fi tafsir”
[17]. Ibnu Abbas adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdi Manaf, Abul Abbas Al-Qurasyi Al-Hasyimi, anak paman Rasulullah saw, dijuluki dengan Ibnu Abbas, anak yang paling besar dari yang laki-laki, ibunya bernama Lubabah Al-Kubra binti Al-harits bin Harb Al-Hilaliyah, anak dari bibi Khalid bin Al-Walid. Beliau juga dengan laut karena luasnya ilmu yang dimiliki, dan tinta umat. Lahir pada beliau dan nabi dan keluarganya hijrah dari Mekkah, maka nabi mendatanginya dan mentahniknya dengan sepotong buah kurma, yaitu pada tahun ketiga sebelum hijrah. Pada saat Rasulullah saw wafat beliau berumur 13 tahun, ada yang berpendapat umurnya saat itu 15 tahun. Meninggal pada tahun 78 H di kota Thaif. Dalam usia 70 tahun, diakhir hayatnya mata beliau mengalami kebutaan.
[18]. Syaibah bin Rabiah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf, saudara kandung Utbah. Beliau penganut Nasrani dari suku Quraisy, dan memiliki akhlak yang lembut, mulia dan dermawana. Beliau juga melekukan wukuf di Arafah jika datang bulan haji tidak seperti suku Quraisy yang lain. Beliau terbunuh pada saat perang Badr dalam keadaan kafir, pada tahun 2 H.
[19]. Lihat Luba An-Nuqul fi Asbabi An-Nuzul, Abdurrahman bin abu Bakar bin Muhammad As-Suyuthi Abu Al-Fadl, 849-911 H, jil I, hal. 171, dar ihya al-Ulum, Bairut.
[20]. Lihat Al-kamus al-muhith, Muhammad bin Ya’kub Al-Fairuz Abadi, afat pada tahun 817 H, tahqiq Muhammad Na’im Al-Arqasusi, jil. 1 hal. 8231, muassasah ar-risalah. Beirut, cet V, 1406 H. dan Lisan Al-Arab, jil. 2, hal. 452.
[21]. Suratul ahzab, urdun wa tafsir, hal. 19-20.
[22]. Lihat At-Tafsir al-wajiz, hal. 297
[23]. At-tafsir al-kabir, jil. 25, hal. 190.
[24]. Lihat tafsir Ruhul ma’ani, jil 21, hal. 143-144, dan At-tafsir al-wasith, bag. 11, hal. 14
[25]. Lihat tafsir Ruhul bayan, jil. 7,hal. 131 dan fi dzilalil Quran, jil. 5, hal. 2822.
Penterjemah: Abu Ahmad
http://www.al-ikhwan.net/karakteristik-masyarakat-islam-dalam-surat-al-ahzab-7-prinsip-prinsip-tegaknya-syariat-islam-2-tidak-mengikuti-orang-orang-kafir-dan-munafik-329/
No comments:
Post a Comment