Mawaddah, Mahabbah dan Rahmah

Perasaan cinta kepada pasangan hidup kita terkadang mengalami gejolak sebagaimana pasang surut yang dialami sebuah kehidupan rumah tangga. Tinggal bagaimana kita menjaga tumbuhan cinta itu agar tidak layu terlebih mati.

Satu dari sekian tanda kebesaranNya yang agung, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menjadikan anak Adam ‘alaihis salam memiliki pasangan hidup dari jenis mereka sendiri, sebagaimana kenikmatan yang dianugrahkan kepada bapak mereka Adam ‘alaihis salam. Di saat awal-awal menghuni surga, bersamaan dengan limpahan kenikmatan hidup yang diberikan kepadanya, Adam ‘alaihis salam hidup sendiri tanpa teman dari jenisnya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala pun melengkapi kebahagiaan Adam dengan menciptakan Hawa sebagai teman hidupnya, yang akan menyertai hari-harinya di surga nan indah.

Hingga akhirnya dengan ketetapan takdir yang penuh hikmah, keduanya diturunkan ke bumi untuk memakmurkan negeri yang kosong dari jenis manusia (karena merekalah manusia pertama yang menghuni). Keduanya sempat berpisah selama beberapa lama karena diturunkan pada tempat yang berbeda di bumi. (Al-Bidayah wan Nihayah, 1/81). Mereka didera derita dan sepi sampai Allah Subhaanahu wa Ta’ala mempertemukan mereka kembali.

Demikianlah Allah Subhaanahu wa Ta’ala menutup “sepi�? hidupnya seorang lelaki keturunan Adam dengan memberi istri-istri sebagai pasangan hidupnya. Dia Yang Maha Agung berfirman :

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya adalah Dia menciptakan uyntuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepanya, dan dijadikanNya diantara kalian mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir�? (Ar Ruum : 21)

Allah menciptakan seorang istri dari keturunan anak manusia, yang asalnya dari jenis laki-laki itu sendiri, agar para suami merasa tenang dan memiliki kecenderungan terhadap pasangan mereka. Karena, pasangan yang berasal daru satu jenis termasuk faktor yang menumbuhkan adanya keteraturan dan saling mengenal, sebagaimana perbedaan merupakan penyebab perpisahan dan saling menjauh. (Ruhul Ma’ani, 11/265)

Allah Subhaanahu wa Ta’ala juga berfirman :

“Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia jadikan dari jiwa yang satu itu pasangannya agar ia merasa tenang kepadanya..�? (Al-A’raf : 189)

Kata Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah: “Yang dimaksudkan dalam ayat diatas adalah Hawa. Allah Subhaanahu wa Ta’ala menciptakannya dari Adam, dari tulang rusuk kirinya yang paling pendek. Seandainya Allah Subhaanahu wa Ta’ala menciptakan anak Adam semuanya lelaki sedangkan wanita diciptakan dari jenis lain, bisa dari jenis jin atau hewan, niscaya tidak akan tercapai kesatuan hati di antara mereka dengan pasangannya. Bahkan sebaliknya akan saling menjauh. Namun termasuk kesempurnaan rahmat-Nya kepada anak Adam, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menjadikan istri-istri atau pasangan hidup mereka dari jenis mereka sendiri, dan Allah Subhaanahu wa Ta’ala tumbuhkan mawaddah yaitu cinta dan rahmah yakni kasih sayang. Karena seorang lelaki atau suami, ia akan senantiasa menjaga istrinya tersebut, karena kasihan kepada istrinya yang telah melahirkan anak untuknya, atau karena si istri membutuhkannya dari sisi kebutuhan belanja (biaya hidupnya), atau karena kedekatan di antara keduanya, dan sebagainya.�? (Al Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal 1052)

Mawaddah dan rahmah ini muncul karena di dalam pernikahan ada faktor-faktor yang bisa menumbukan dua perasaan tersebut. Dengan adanya seorang istri, suami dapat merasakan kesenangan dan kenikmatan, serta mendapatkan manfaat dengan adanya anak dan mendidik mereka. Disamping itu dia merasakan ketengangan, kedekatan dan kecenderungan kepada istrinya. Sehingga secara umum tidak didapatkan mawaddah dan rahmah diantara sesama manusia sebagaimana mawaddah dan rahmah yang ada di antara suami istri (Taisir Al Karimir Rahman, hal 639)

Allah Subhaanahu wa Ta’ala tumbuhkan mawaddah dan rahmah tersebut setelah pernikahan dua insan. Padahal mungkin sebelumnya pasangan itu tidak saling mengenal dan tidak ada hubungan yang mungkin menyebabkan adanya kasih sayang, baik berupa hubungan kekerabatan ataupun hubungan rahim. Al Hasan Al Bashri, Mujahid, dan ‘Ikrimah rahimahumullah berkata:
“Mawaddah adalah ibarat/kiasan dari nikah (jima’) sedangkan rahmah adalah ibarat/kiasan dari anak�?. Adapula yang berpendapat, mawaddah adalh cinta seorang suami kepada istrinya, sedangkan rahmah adalah kasih sayang suami kepada istrinya agar istrinya tidak ditimpa kejelekan. (Ruhul Ma’ani 11/265, Fathul Qadir 4/263)

Cinta Suami Istri adalah Anugrah Ilahi

Rasa cinta yang tumbuh di antara suami istri adalah anugrah dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala kepada keduanya, dan ini merupakan cinta yang sifatnya tabiat. Tidaklah tercela orang yang senantiasa memiliki rasa cinta asmara kepada pasangan hidupnya yang sah. Bahkan hal itu merupakan kesempurnaan yang semestinya disyukuri. Namun tentunya selama tidak melalaikan dari berdzikir kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari zikir kepada Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.�? (Al Munafiqun : 9)

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah…�? (An Nur : 37)(Ad-Da’u wad Dawa’, Ibnul Qayyim, hal 293, 363)

Juga, cinta yang merupakan tabiat manusia ini tidaklah tercela selama tidak menyibukkan hati seseorang dari kecintaan kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala sebagai Dzat yang sepantasnya mendapat kecintaan tertinggi. Karena Dia Yang Maha Agung mengancam dalam firman-Nya :

“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan RasulNya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.�? (At-Taubah : 24)

Kecintaan kepada Istri


Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, makhluk Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugrahi rasa cinta kepada para istrinya. Beliau nyatakan dalam sabdanya:

“Dicintakan kepadaku dari dunia kalian (1) para wanita (istri) dan minyak wangi dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.�? (2)

Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam ditanya oleh shahabatnya yang mulia, ‘Amr ibnul ‘Ash :

“Siapakah manusia yang paling engkau cintai?�? Beliau menjawab:�?Aisyah.�?
Aku (’Amr ibnul ‘Ash) berkata: “Dari kalangan lelaki?�?
“Ayahnya (Abu Bakar)�?, jawab beliau. (3)
Dan beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata membela dan memuji Khadijah bintu Khuwalid Radiyallahu ‘anha ketika ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha cemburu kepadanya :
“Sesungguhnya aku diberi rizki yaitu mencintainya�? (4)

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pun pernah ingin menjadi perantara dan penolong seorang suami yang sangat mencintai istrinya untuk tetap mempertahankan istri yang dicintainya dalam ikatan pernikahan dengannya. Namun si wanita enggan dan tetap memilih untuk berpisah, sebagaimana kisah Mughits dan Barirah. Barirah (5) adalah seorang sahaya milik salah seorang dari Bani Hilal. Sedangkan suaminya Mughits adalah seorang budak berkulit hitam milik Bani Al Mughirah. Barirah pada akhirnya merdeka, sementara suaminya masih berstatus budak. Ia pun memilih berpisah dengan suaminya diiringi kesedihan Mughits atas perpisahan itu. Hingga terlihat Mughits berjalan dibelakan Barirah sembari berlinangan air mata hingga membasahi jenggotnya, memohon kerelaan Barirah untuk tetap hidup bersamanya. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata kepada paman beliau, Al Abbas Radiyallahu ‘anhu :

“Wahai paman, tidakkah engkau merasa takjub dengan rasa cinta Mughits pada Barirah dan rasa benci Barirah terhadap Mughits?�?

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Barirah :
“Seandainya engkau kembali kepada Mughits.�?
Barirah bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan aku?�?
“Tidak�?, kata Rasulullah, “Akan tetapi aku hanya ingin menolongnya.�?
“Aku tidak membutuhkannya�?, jawab Barirah (6)

Tiga Macam Cinta Menurut Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah

Perlu diketahui oleh sepasang suami istri, menurut Al Imam Al ‘Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar yang lebih dikenal dengan Ibnul Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah, ada tiga macam cinta dari seorang insan kepada insan lainnya :

Pertama : Cinta asmara yang merupakan amal ketaatan. Yaitu cinta seorang suami kepada istri atau budak wanita yang dimilikinya. Ini adalah cinta yang bermanfaat. Karena akan mengantarkan kepada tujuan yang disyariatkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam pernikahan, akan menahan pandangan dari yang haram dan mencegah jiwa/hati dari melihat kepada selain istrinya. Karena itulah, cita seperti ini dipuji di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan di sisi manusia.

Kedua : Cinta asmara yang dibenci Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan akan menjauhkan dari rahmat-Nya. Bahkan cinta ini paling berbahaya bagi agama dan dunia seorang hamba. Yaitu cinta kepada sesama jenis, seorang lelaki mencintai lelaki lain (homo) atau seorang wanita mencintai sesama wanita (lesbian). Tidak ada yang ditimpa bala dengan penyakit ini kecuali orang yang dijatuhkan dari pandangan Allah Subhaanahu wa Ta’ala, hingga ia terusir dari pintu-Nya dan jauh hatinya dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Penyakit ini merupakan penghalang terbesar yang memutuskan seorang hamba dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Cinta yang merupakan musibah ini merupakan tabiat kaum Luth alaihis salam hingga mereka lebih cenderung kepada sesama jenis daripada pasangan hidup yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala tetapkan untuk mereka. Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengabarkan :

“Demi umurmu (ya Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan�? (Al Hijr : 72)

Obat dari penyakit ini adalah minta tolong kepada Dzat Yang Maha membolak balikkan hati, berlindung kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, menyibukkan diri dengan berdzikir/mengingat-Nya, mengganti rasa itu dengan cinta kepada-Nya dan mendekati-Nya, memikirkan pedihnya akibat yang diterima karena cinta itu. Bila seseorang membiarkan jiwanya tenggelam dalam cinta ini, maka silahkan dia bertakbir seperti takbir dalam shalat jenazah (7). Dan hendaklah ia mengetahui bahwa musibah dan petaka telah menyelimuti dan menyelubunginya.

Ketiga : Cinta yang mubah yang datang tanpa dapat dikuasai. Seperti ketika seorang lelaki diceritakan tentang sosok wanita yang jelita lalu tumbuh rasa suka dalam hatinya. Atau ia melihat wanita cantik secara tidak sengaja hingga hatinya terpikat. Namun rasa suka/cinta itu tidak mengantarnya untuk berbuat maksiat. Datangnya begitu saja tanpa disengaja, sehingga ia tidak diberi hukuman karena perasaannya itu. Tindakan yang paling bermanfaat untuk dilakukan adalah menolak perasaan itu dan menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat. Ia wajib menyembunyikan perasaan tersebut, menjaga kehormatan dirinya (menjaga ‘iffah) dan bersabar. Bila ia berbuat demikian, Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan memberinya pahala dan menggantinya dengan perkara yang lebih baik karena ia bersabar karena Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan menjaga ‘iffah-nya. Juga karena ia meninggalkan untuk menaati hawa nafsunya dengan lebih mengutamakan keridhaan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan ganjaran yang ada di sisi-Nya. (Ad-Da’u wad Dawa’, hal 370-371)

Bila cinta kepada pasangan hidup, kepada suami atau kepada istri, merupakan perkara kebaikan, maka apa kiranya yang mencegah seorang suami atau seorang istri untuk mencintai, atau paling tidak belajar mencintai teman hidupnya ?

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote :
(1) Tiga perkara ini (wanita, minyak wangi dan shalat) dinyatakan termasuk dari dunia. Maknanya adalah: ketiganya ada di dunia. Kesimpulannya, beliau menyatakan bahwa dicintakan kepadaku di alam ini tiga perkara, dua yang awal (wanita dan minyak wangi) termasuk perkara tabiat duniawi, sedangkan yang ketiga (shalat) termasuk perkara diniyyah (agama). (Catatan kaki Misykatul Mashabih 4/1957, yang diringkas dari Al-Lam’aat, Abdul Haq Ad-Dahlawi)
(2) HR. Ahmad 3/128, 199, 285, An Nasa’i no. 3939 kitab ‘Isyratun Nisa’ bab Hubbun Nisa’. Dihasankan Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad’i rahimahullah dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain (1/82)
(3) HR. Al Bukhari no. 3662, kitab Fadhai’il Ashabun Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bab Qaulin Nabi : “Lau Kuntu Muttakhidzan Khalilan�? dan Muslim no. 6127 kitab Fadha’ilush Shahabah, bab Min Fadhai’il Abi Bakar Ash Shiddiq Radiyallahu ‘anhu.
(4) HR. Muslim no. 6228 kitab Fadha’ilush Shahabah, bab Fadha’il Khadijah Ummul Mukminin Radiyallahu ‘anha.
(5) Disebutkan bahwa Barirah memiliki paras yang cantik, tidak berkulit hitam. Beda halnya dengan Mughits, suaminya. Barirah menikah dengan Mughits dalam keadaan ia tidak menyukai suaminya. Dan ini tampak ketika Barirah telah merdeka, ia memilih berpisah dengan suaminya yang masih berstatus budak. Dimungkinkan ketika masih terikat dalam pernikahan dengan suaminya, Barirah memilih bersabar atas hukum Allah Subhaanahu wa Ta’ala walaupun ia tidak menyukai suaminya. Dan ia tetap tidak menampakkan pergaulan yang buruk kepada suaminya sampai akhirnya Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan kelapangan dan jalan keluar baginya. (Fathul Bari, 9/514)
(6) Lihat hadits dalam Shahih Bukhari no. 5280-5282, kitab Ath Thalaq, bab Khiyarul Amati Tahtal ‘Abd dan no. 5283 bab Syafa’atun Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam fi Zauji Barirah.
(7) Artinya dia telah mati

Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah
Sumber : Majalah Asy Syariah Vol II/No. 24/1427 H/2006
http://menikahsunnah.wordpress.com/2007/06/20/mawaddah-mahabbah-dan-rahmah/

No comments:

Post a Comment