Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Sahal ra menuturkan tentang Nabi Muhammad SAW. Suatu ketika Rasulullah SAW pernah mengenakan pakaian yang terbuat dari kain wool berwarna hitam dipadu warna putih di bagian sisi-sisinya. Lalu, beliau pun keluar menuju para sahabat seraya berkata: ”Wahai sahabatku, betapa bagusnya kain ini!” Seorang Arab Badui datang menghampiri beliau sambil menyatakan, ”Hadiahkanlah kain itu kepadaku, wahai Rasulullah.” Seperti diketahui, beliau tidak pernah menolak permintaan seseorang. Tidaklah mengherankan bila kekasih Allah SWT itu segera menjawab, ”Ya, ambillah.” Kemudian jubah yang beliau sukai itupun diberikannya kepada lelaki Arab tadi. Beliau lantas meminta baju biasa untuk dikenakan. Setelah itu beliau menyulam baju sebagaimana kain yang dikenakannya tadi. Rasulullah pun wafat dengan mengenakan baju yang disulam tersebut (Kanzul Ummal, Juz IV, halaman 42). Subhanallah, begitu indah teladan yang beliau berikan.
Sikap dan perilaku ini ditanamkan kepada para sahabat. Tidaklah mengherankan bila para sahabat saat menggenggam harta, sedikit maupun banyak, laksana menggenggam tanah. Mereka tidak sayang untuk mengeluarkannya. Tak berpikir panjang untuk menginfakkannya di jalan Allah SWT. Betapa banyak contoh yang dapat dipetik dari para sahabat tentang hal tersebut.
Hudzaifah bin Yaman ra mengisahkan gampangnya Utsman bin Affan berinfak. Suatu waktu Nabi Muhammad SAW mengirim utusan kepada Utsman bin Affan agar ia dapat membantu pasukan al-'usrah. Tanpa berpikir dua kali, Utsman menyerahkan uang senilai sepuluh ribu dinar melalui utusan tersebut. Saat Rasulullah Muhammad SAW menerima dana tersebut, beliau mendoakan Utsman: ”Semoga Allah mengampunimu, wahai Utsman, baik kesalahan-kesalahanmu yang dirahasiakan, yang tersembunyi maupun yang nampak terlihat. Semoga ampunan itu terus hingga hari Kiamat. Tidak ada perbuatan yang lebih baik lagi dari ini setelahnya” (Diriwayatkan oleh Ibnu 'Adi, Daruquthni, Abu Nu'aim, dan Ibnu Asakir; al-Muntakhab, Juz V, halaman 12). Pada masa kini, jumlah sepuluh ribu dinar kira-kira setara dengan 42,5 kilogram emas. Bila harga 1 gram emas Rp 200.000 berarti Utsman menginfakkan hartanya untuk Islam sebesar Rp 8,5 milyar. Dana sebesar itu tanpa perlu pikir-pikir dahulu.
Pernah Ibnu Umar sakit. Ia ingin sekali makan anggur. Dibelikanlah ia setandan anggur seharga satu dirham (sekitar 1/12 dinar atau Rp17.000). Namun, datanglah seorang miskin mengemis. Apa yang beliau lakukan? Beliau memerintahkan agar anggur itu diberikan kepada orang miskin tadi. Hal ini berulang hingga tiga atau empat kali. Hingga akhirnya Ibnu Umar pun makan anggur (al-Hilyah, Juz I, halaman 297; al-Ishabah, Juz II, halaman 248). Sungguh mulia pemandangan ini. Harta yang diinfakkan bukan berarti harus selalu besar. Siapapun dapat melakukannya.
Rupanya, para sahabat banyak yang secara sengaja menyisihkan dari penghasilannya untuk bersedekah/berinfak. Ibnu Sa'ad menceritakan dari Nu'man bin Humaid ra yang berkata: ”Aku bersama dengan pamanku pernah berkunjung ke rumah Salman al-Farisi di daerah Madain. Ia menganyam daun kurma”. Salman pun menjelaskan, ”Aku membeli daun kurma seharga satu dirham. Lalu, aku anyam dan kujual seharga tiga dirham. Satu dirham untuk modal, satu dirham untuk keluargaku, dan satu dirham sisanya untuk aku sedekahkan. Andai saja Umar bin Khathab ra melarangku untuk melakukan ini, niscaya aku tidak akan berhenti melakukannya” (Ibnu Sa'ad, Juz IV, halaman 64). Sudahkah kita meniru sahabat Nabi Salman al-Farisi?
Semua mereka lakukan bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Apalagi untuk kepentingan politis. Mereka menunaikan segalanya hanya demi Allah SWT dan demi meraih surga-Nya. Sikap Utsman merupakan gambaran hal tersebut. Ketika kaum Muhajirin sampai ke Madinah, mereka tidak cocok dengan air minum yang ada di sana, kecuali air yang berasal dari sumur Rauma, milik seorang suku Ghifar. Rasulullah berkata, ”Juallah sumur itu kepadaku dengan mata air surga!” Namun, orang itu enggan melakukannya karena itu satu-satunya sumber kehidupannya. Berita tersebut sampai kepada Utsman. Beliaupun membeli sumur tersebut. Lalu, ia mendatangi Nabi seraya berkata, ”Wahai, Rasulullah, apakah engkau tetap memberikan kepadaku mata air di surga sebagaimana yang pernah engkau katakan kepadanya jika aku menjualnya?” Rasul menjawab, ”Ya.” Utsman pun berkata, 'Aku telah membeli sumur itu, dan aku berikan kepada kaum Muslim' (al-Muntakhab, Juz V, halaman 11).
Sebagaimana pada masa Rasulullah SAW, kini pun kaum Muslim dan dakwah Islam membutuhkan dukungan. Bukan hanya orang, tapi juga dana. Sudahkah kita sebagai umat Muhammad SAW meniru perilaku beliau dan para sahabat dalam berinfak di jalan Allah SWT? Ataukah, harta diinfakkan hanya pada saat ada kepentingan pribadi? Ingatlah, Allah SWT telah membeli jiwa dan harta kita untuk dibalas oleh-Nya dengan surga (QS. At-Taubah ayat 111). Kini, saatnya ringan berinfak di jalan Allah Rabbul 'Alamin.[] www.mediaumat.com
Oleh M Rahmat Kurnia |
http://www.mediaumat.com/index.php?option=com_content&task=view&id=425&Itemid=2
No comments:
Post a Comment