Marhabah, Dilema Muslimah Tajikistan


Muslim Tajikistan menderita akibat tentara Soviet. Syiar Islam mulai bangkit. Tapi Ekonomi dan pendidikan menjadi persoalan




Hidayatullah.com—Marhaba adalah seorang ibu beranak empat dari Yaqgulam,sebuah desa yang terletak di pegunungan di tenggara Tajikistan. Lima tahun lalu, suaminya meninggalkan wanita yang berusia 32 tahun. Namun suaminya tak pernah membayar tunjangan untuknya dan untuk anak-anak karena pernikahan mereka dilakukan berdasarkan hukum Islam dan tak pernah terdaftar resmi di negara. Pernikahan seperti ini banyak terjadi di negara itu.

Diperkirakan hingga 70 persen dari semua pernikahan di Tajikistan tidak terdaftar secara resmi.

Di negara yang penduduknya beragama Islam dan miskin, banyak orang orang, terutama yang tinggal di pedesaan, hanya pergi ke seorang pemuka agama atau mullah untuk nikah secara hukum Islam. Praktek ini terutama meluas selama perang saudara pada 1990-an. Ini terjadi ketika Marhaba menikah di usia 15 tahun.

Kemiskinan

Pada saat itu, kemiskinan, kekerasan dan ketakutan akan perkosaan membuat banyak orangtua menikahkan anak perempuannya secepat mungkin. Mereka enggan mendaftarkan pernikahan itu di kantor pernikahan negara karena hal itu tidak menjadi prioritas di tengah kekacauan perang.

Dalam satu dekade sejah perang berakhir, gelombang pernikahan tak terdaftar itu disusul dengan gelombang perceraian secara talak. Akibatnya ribuan wanita Tajik dan anak-anak tak mendapat perlindungan hukum.

"Saya sedang hamil anak keempat ketika suami meninggalkan saya. Ternyata ia nikah lagi, tapi kali ini resmi secara hukum negara. Ia menikah dan mereka hidup makmur. Sementara saya dan anak-anak hidup miskin. Mereka bahkan tak bisa bersekolah karena saya tak mampu membiayai dan bahkan mereka tak punya sertifikat kelahiran," ujar Marhaba.

Menurut Zebo Davlatova dari Liga Pengacara Wanita, ada ribuan wanita seperti Marhaba di Tajikistan. Banyak wanita tak berpendidikan dan menganggur dan mereka mau menjadi istri kedua atau ketiga agar dapat bertahan hidup.



"Tanpa registrasi resmi, wanita tidak berhak menuntut suami untuk memberi nafkah atau memberi tunjangan untuk anak-anak," ujar Aynihal Babanazarova, seorang pembela hak-hak wanita.

Pengadilan sekuler tidak mengakui nikah sebagai bukti status pernikahan. Kecuali wanita dapat menyediakan sertifikat nikah secara resmi yang dikeluarkan negara, mereka tidak dapat meminta pengadilan untuk campur tangan saat pernikahan kandas.

Dalam kasus Marhaba, ia kini hanya bertahan hidup dengan menyewakan satu dari kamar di rumahnya yang kecil kepada keluarga lain. Kadang-kadang, suaminya mengirim beberapa dolar dari rumahnya yang baru di Rusia.

Hijrah ke Rusia juga menjadi faktor lain yang membuat banyak wanita terjebak dalam pernikahan tanpa mencatat di kantor pemerintah. Ratusan ribu pria Tajik pergi mencari kerja di Rusia dalam dua dekade sejak Tajikistan lepas dari Uni Soviet.

Karena prospek yang buram dalam mendapatkan pekerjaan di dalam negeri, semakin banyak pria Tajik lebih memilih tinggal di Rusia, menikah dengan wanita yang memiliki hak bermukim di Rusia dan meninggalkan para istri.

Legalisasi Poligami

Menurut Aynihal Babanazarova, yang mengelola kelompok pembela hak-hak wanita Perspective Plus, situasi ekonomi yang buram dan eksodus para pria membuat semakin banyak wanita Tajik putus asa karena hanya nikah siri.

"Banyak wanita tak berpendidikan dan menganggur tak punya pilihan selain setuju untuk nikah siri. Mereka menjadi istri kedua atau ketiga semata-mata agar bisa bertahan hidup," ujarnya.

Situasi itu membuat sejumlah pembela hak-hak wanita mempertimbangkan langkah radikal seperti melegalkan poligami untuk memastikan agar semua istri mendapatkan perlindungan berdasarkan hukum.

Pasca Soviet

Baru beberapa tahun belakangan ini saja Muslim Tajikistan bisa bangga mengatakan Muslim setelah berpuluh-puluh tahun mengalami penindasan dibawah pemerintahan Uni Sovyet. Pasca runtuhnya pemerintahan Soviet, umat Islam Tajikistan bangkit kembali.

Marhabo, seorang muslimah Tajikistan mengatakan, sekarang ini masjid-masjid mudah ditemui di Tajikistan.

"Sebelumnya, tidak ada masjid. Sekarang jumlah masjid banyak dan tersebar di mana-mana," ujar ibu muda berusia 25 tahun dengan tiga anak itu.

Warga Tajikistan lainnya bernama Akbar, masih bisa mengingat pengalaman saat ia dicari-cari polisi Soviet yang memergokinya sedang menunaikan shalat. Akbar sempat dicemooh oleh guru sekolahnya karena peristiwa itu



"Semua memandang ke arah saya. Saya merasa seperti seorang kriminal," kenang Akbar.

Diperkirakan, 90 persen dari 7,2 juta penduduk Tajikistan adalah Muslim. Ketika masih berada dibawah Uni Soviet, warga Muslim tidak bisa leluasa menjalankan ibadahnya seperti shalat dan haji.

Saat dijajah Soviet, para orangtua Muslim menikahkan anak-anak perempuan mereka disuaia muda untuk melindungi mereka dari penculikan dan pemerkosaan oleh tentara Soviet.

Pemerintahan Soviet juga melarang semua simbol-simbol agama dan siapa yang melanggarnya akan dikenakan hukuman. Tahun 1991, Tajikistan baru bisa melepaskan diri dari federasi Rusia yang menggantikan Uni Sovyet.

Masalahnya, setelah perang lilitan ekonomi menjadi problem utama. Banyak orang tua miskin di daerah pedesaan tidak mampu mengirim anak perempuan mereka ke sekolah. [bbc/iol/cha/www.hidayatullah.com]

http://hidayatullah.com/index.php/f/9452-marhabah-dilema-muslimah-tajikistan

No comments:

Post a Comment