Masjid Masih Sebatas Tempat Shalat

''Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat.'' (QS at Taubah [9]: 18)


Memakmurkan masjid, itulah ajakan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni setiap meresmikan masjid baru, juga dalam berbagai kesempatan. Caranya, dengan tak hanya menjadikan masjid sebagai tempat ibadah semata, tapi juga memfungsikan untuk sarana pemberdayaan masyarakat.

Bukan tanpa sebab Menag terus menekankan hal tersebut. Ada persoalan serius yang menjadi keprihatinan sekaligus kekhawatiran terkait kondisi sebagian masjid di Indonesia dewasa ini.

''Banyak masjid dan mushala megah, namun tidak ada jamaahnya,'' demikian ungkap Menag, saat meresmikan Masjid Baiturrahim di Demak, Jawa Tengah, akhir pekan lalu.

Sinyalemen itu sulit dibantah. Kenyataannya, sebagian masjid tampak kurang menggerakkan aktivitas sosial kemasyarakatan, seperti saran Menag tadi. Ini menyebabkan jamaah yang pergi ke masjid hanya berkepentingan melaksanakan ibadah shalat fardhu dan Jumat.

Padahal, fungsi masjid bukan semata tempat shalat. Seperti pada masa kenabian, masjid pernah begitu dimakmurkan dan menjadi pusat kegiatan masyarakat. Pertanyaannya, mengapa kini fungsi masjid justru menjadi kurang maksimal?

Menilik kecenderungan ini, Litbang Republika mengadakan survei terkait fungsi masjid. Survei bertujuan untuk mengetahui kesadaran responden terhadap fungsi masjid, penilaian atas pentingnya peran takmir masjid, juga kegiatan apa saja yang ramai terselenggara di masjid.

Selama sebulan, mulai 14 Mei hingga 13 Juni 2009, survei dilakukan melalui situs Republika on Line (RoL) dengan melibatkan sebanyak 1.307 responden, yang juga pengakses RoL, dari dalam dan luar negeri.

Responden luar negeri berasal dari 13 negara, sedangkan responden dalam negeri dari 28 provinsi di Indonesia. Mereka terdiri dari berbagai tingkat usia, tingkat pendidikan serta aneka profesi.

Mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki (92 persen), berusia 30 tahun hingga 40 tahunan (72 persen). Sementara dari jenis profesi, sebagian besar adalah karyawan swasta (44 persen) dan pegawai negeri sipil (19 persen).

Dari data ini, dapat dikatakan bahwa mayoritas pengunjung masjid adalah laki-laki, karyawan/pegawai, secara ekonomi relatif mapan, semangat produktivitas dan memiliki rasa keingintahuan tinggi. Mereka biasanya ke masjid yang berdekatan dengan tempat kerja (kantor).

Responden mayoritas dari dalam negeri (96 responden). Responden dari Jawa 74 persen dan Sumatera 15 persen. Mereka berpendidikan tinggi (83 persen).

Ini mengindikasikan bahwa masjid yang ramai dikunjungi terdapat di kota-kota besar di Jawa dan Sumatera. Pengunjung masjid dari kalangan terpelajar, peduli terhadap masalah sosial kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.

Bagaimana hasilnya? Mayoritas responden yang mengaku berkunjung ke masjid dengan tujuan melaksanakan shalat fardhu berjumlah 38 persen, shalat Jumat 27 persen, serta menghadiri ceramah 20 persen.

Ini berarti masjid selama ini benar-benar digunakan hanya sebagai tempat ibadah (shalat). Sebaliknya, masjid jarang digunakan sebagai pusat kajian, diskusi publik, tafakur, apalagi untuk kegiatan sosial yang berdimensi agama.

Dalam hal frekuensi kunjungan ke masjid, terbesar responden berkunjung ke masjid setiap hari (51,6 persen), dan sebagian besar lainnya tidak setiap hari 34,4 persen.

Mereka yang tidak setiap hari datang ke masjid karena shalat di rumah berjumlah 57,2 persen, karena jarak masjid jauh (21,9 persen) dan karena malas (18,9 persen).

Selain itu, masih terdapat 48,4 persen responden yang tidak setiap hari berkunjung ke masjid karena malas, jaraknya jauh, dan kegiatan masjid kurang menarik. Juga anak usia remaja tak banyak berkunjung ke masjid. Oleh karena itu, takmir masjid perlu memiliki data jamaahnya dan merencanakan blue-print kegiatan yang menarik.

Data tersebut menunjukkan secara agregat bahwa terbuka lebar potensi untuk meningkatkan fungsi masjid, baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai pusat pembinaan kualitas umat.

Maka, pembenahan secara konkret mendesak dilakukan. Ini harus menjadi perhatian semua pihak, mulai dari pemerintah, ormas Islam, lembaga terkait lainnya, pengurus masjid serta segenap umat.

Sebab bila tak segera ditangani, dikhawatirkan masjid bakal senasib dengan tempat-tempat ibadah di Eropa yang tak lagi ramai oleh jamaah. Bila itu terjadi, maka harapan mencapai kemaslahatan umat akan semakin sulit diwujudkan. fif

By Mohammad Shoelhi

http://republika.co.id/berita/59971/Masjid_Masih_Sebatas_Tempat_Shalat

No comments:

Post a Comment