Pertanyaan
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Langsung saja ustadz, begini saya sudah bekerja di perusahaan kontraktor asing. Dengan gaji saya ini saya bisa menafkahi kedua orang tua dan 3 adik adik saya beserta nenek saya. Kedua orang tua saya menganggur dan tidak punya tempat tinggal sehingga masih menumpang di rumah bibi saya (adik ayah saya). Sementara saya sendiri hanya tinggal di kost yang mampu di tempati untuk 2 orang saja. Dalam hal ini tiap bulan saya selalu mengirimi mereka uang untuk biaya hidup mereka semua.
Yang ingin saya tanyakan bisakah hal tersebut saya niatkan sebagai zakat mal (2.5% dari penghasilan) mengingat gaji saya cukup besar dan saya yakin telah mencapai nisab. Jika tidak boleh dikategorikan zakat, uang yang tersisa hanya cukup untuk saya biaya hidup dan menabung demi masa depan saya sendiri. Lalu apakah perhitungan zakat dihitung dari gaji kotor atau gaji bersih (setelah potong pajak) atau gaji bersih setelah di potong biaya sehari-hari (termasuk untuk orang tua).
Terima kasih sesudahnya. Mohon penjelasannya beserta dalil al-Quran dan hadistnya.
Wassalamu'alaikum,
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau kita mengacu kepada materi tentang syarat harta yang diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya, maka di sana kita akan dapati syarat yang sangat penting, yaitu harta itu telah melebihi kebutuhan dasar seseorang dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Selama harta yang dimiliki sesorang belum melebihi kebutuhan dasarnya itu, maka dia belum lagi dianggap sebagai orang kaya yang wajib bayar zakat. Kecuali zakat fithrah yang pada hakikatnya zakat jiwa. Sedangkan yang anda tanyakan ini adalah jenis zakat harta. Maka syarat di atas harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum harta itu wajib dikeluarkan zakatnya.
Siapakah yang Wajib Ditanggung Nafkahnya?
Bagi seorang laki-laki kepala keluarga, lapis pertama yang wajib dinafkahinya tentu saja isteri dan anak-anaknya.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS An-Nisa': 34)
Ketika seseorang punya orang tua yang dahulu menafkahi dirinya, tetapi sekarang sudah tidak mampu lagi memberi nafkah, bahkan untuk dirinya sendiri pun tidak sanggup, maka kewajiban anak untuk gantian memberi nafkah kepada orang tuanya. Ini pun hukumnya wajib bila orang tua sudah tidak mampu dan tidak punya sumber-sumber penghasilan lain. Termasuk kepada saudara dan saudarinya yang memang tidak punya sumber nafkah. Maka semua itu menjadi tanggungan bagi dirinya yang memang diluaskan rezekinya oleh Allah SWT.
Bila penghasilannya habis untuk menafkahi kebutuhan dasar anak, isteri, orang tua dan saudaranya, sehingga tidak lagi bersisa, maka pada hakikatnya, tidak ada kewajiban atas dirinya untuk mengeluarkan zakat lagi. Sebab tidak ada yang lebih dari harta yang dimilikinya.
Dan jangan disangka bahwa tanggungan nafkah itu sia-sia. Tidak, nafkah itu justru merupakan ibadah maliyah yang mendatangkan pahala besar. Bahkan ketika burung-burung memakan buah milik petani, itu pun di sisi Allah merupakan amal kebajibkan bagi si petani.
Pendeknya, apa pun manfaat yang bisa didapat oleh makhluk-makhluk Allah dari harta seseorang, maka pahala akan mengalir kepada pemiliknya.
Penghasilan Bersih atau Kotor?
Memang di kalangan ulama zakat, berkembang sebuah polemik. Yaitu dari manakah kewajiban zakat itu dikeluarkan, apakah dari penghasilan kotor atau penghasilan bersih?
Sebagian ulama cenderung berpendapat bahwa seharusnya sebelum digunakan untuk keperluan apapun, keluarkan dulu 2,5% untuk dizakati. Sebab zakat pada hakikatnya adalah pembersihan harta.
Namun sebagian ulama lain berbeda pandangan. Menurut mereka, semua harta yang didapat dari jalan halal itu sudah pasti bersih. Karena itu kewajiban utama begitu menerima harta adalah memberikannya kepada yang wajib. Dan urutannya dari orang yang paling dekat terlebih dahulu. Dan mereka adalah anak, isteri dan orang-orang yang menjadi tanggungan. Barulah setelah itu kepada orang lain yang lebih jauh hubungannya.
Sedangkan yang namanya zakat itu diserahkan kepada amil zakat, tentu distribusinya kepada orang yang lebih jauh. Dan tidak mungkin mendahulukan orang lain sementara diri sendiri dan orang-orang yang berada dalam tanggungan malah sangat membutuhkan.
Sebenarnya kedua pemikiran ulama ini masing-masing ada benarnya. Selama diterapkan pada kasus yang tepat untuk masing-masing. Dan oleh karena jawaban yang benar adalah ketika diterapkan pada kasus yang tepat. Salah satu pendekatannya adalah sebagaimana yang ditegaskan oleh pakar zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradawi.
Dalam kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menyebutkan bahwa untuk mereka yang berpenghasilan tinggi dan terpenuhi kebutuhannya serta memang memiliki uang berlebih, lebih bijaksana bila membayar zakat dari penghasilan kotor sebelum dikurangi dengan kebutuhan pokok.
Misalnya seseorang bergaji 200 juta setahun, sedangkan kebutuhan pokok anda perbulannya sekitar 2 juta atau setahun 24 juta. Maka ketika menghitung pengeluaran zakat, hendaknya dari penghasilan kotor itu dikalikan 2,5%.
Namun masih menurut Al-Qaradhawi, bila anda termasuk orang yang bergaji pas-pasan bahkan kurang memenuhi standar kehidupan, kalaupun anda diwajibkan zakat, maka penghitungannya diambil dari penghasilan bersih setelah dikurangi hutang dan kebutuhan pokok lainnya. Bila sisa penghasilan anda itu jumlahnya mencapai nisab dalam setahun (Rp 1.300.000,-), barulah anda wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5% dari penghasilan bersih itu.
Nampaknya jalan tengah yang diambil Al-Qaradhawi ini lumayan bijaksana, karena tidak memberatkan semua pihak. Dan masing-masing akan merasakan keadilan dalam syariat Islam. Yang penghasilan pas-pasan, membayar zakatnya tidak terlalu besr. Dan yang penghasilannya besar, wajar bila membayar zakat lebih besar, toh semuanya akan kembali.
Kedua pendapat ini memiliki kelebihan dan kekuarangan. Buat mereka yang pemasukannya kecil dan sumber penghidupannya hanya tergantung dari situ, sedangkan tanggungannya lumayan besar, maka pendapat pertama lebih sesuai untuknya.
Pendapat kedua lebih sesuai bagi mereka yang memiliki banyak sumber penghasilan dan rata-rata tingkat pendapatannya besar sedangkan tanggungan pokoknya tidak terlalu besar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
www.warnaislam.com
No comments:
Post a Comment