Tawakkal Dengan Sebenarnya

Tawakkal Dengan Sebenarnya (Bag. I)

Tawakkal adalah salah satu ibadah hati dan akhlaq keimanan yang paling afdhal. Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa tawakkal merupakan separuh din, karena din itu adalah ibadah dan isti’anah sedangkan tawakkal itu sendiri adalah isti’anah, Allah swt berfirman:

Hanya Engkaulah yang Kami ibadahi, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.” Al-Fatihah:5.

Secara etimologis tawakkal bermakna istislam (berserah diri). Sedangkan definisinya disebutkan oleh para ulama dengan redaksi yang berbeda-beda. Diantaranya definisi yang disebutkan oleh Al-Ghazali rahimahullah dalam Ihya-nya:

اِعْتِمَادُ القَلْبِ عَلَى الوَكِيْلِ وَحْدَهُ

Tawakkal adalah ketergantungan hati hanya kepada Al-Wakil subhanahuwata’ala semata.

Abu Said Al-Kharraz berkata bahwa tawakkal ialah:

ِاضْطِرَابٌ بِلاَ سُكُونٍ وَسُكُونٌ بِلاَ اضْطِرَابٍ

Gerakan anggota tubuh dalam berusaha tanpa perasaan bergantung kepada usaha, dan ketenangan hati hanya kepada Allah tanpa sedikitpun keraguan dengan-Nya.

Keutamaan Tawakkal


Keutamaan tawakkal dapat kita lihat dalam sekian banyak ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah saw. Diantaranya adalah:

Pertama, Tawakkal merupakan salah satu ciri mu’min sejati

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” Al-Anfal:2-4.

Atau dengan kata lain tawakkal adalah syarat keimanan yang benar:

Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”

Kedua, Tawakkal adalah akhlak seluruh nabi dan rasul alaihimussalam


Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal. Mengapa kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu, berserah diri.” Ibrahim:11-12

Ketiga, Banyaknya ayat Al-Quran yang menyebutkan tawakkal


Al-Quran cukup banyak menyebutkan tawakkal sebagai bukti urgensi dan kedudukan tawakkal yang amat mulia di sisi Allah swt. Diantaranya ada 10 ayat yang memerintahkan Rasulullah saw untuk bertawakkal (10 ayat yang dimaksud adalah Hud:123, Al-Furqan: 58, Asy-Syuara: 217-220, An-Naml: 79, Ali Imran: 159, An-Nisa: 81, Al-Anfal: 61, Al-Ahzab: 3, Al-Ahzab: 48, dan Al-Muzzammil: 9.)

Juga ayat-ayat yang memerintahkan orang-orang yang beriman secara umum untuk bertawakkal (Ibrahim: 11, Al-Maidah: 23,)

Keempat, Salah satu sebab masuk surga tanpa hisab

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Imran bin Hushain ra, Rasulullah saw. menyebutkan tujuh puluh ribu orang dari ummatnya yang akan masuk surga tanpa hisab. Beliau menjelaskan sifat-sifat mereka:

هُمُ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak tathayyur (merasa sial karena kejadian tertentu), tidak melakukan pengobatan dengan api, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal.

Orang yang bertawakkal berarti mendapat hidayah (petunjuk), kifayah (pencukupan), dan wiqayah (perlindungan)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ قَالَ: يُقَالُ حِينَئِذٍ هُدِيْتَ وَكُفِيْتَ وَوُقِيْتَ فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ (رواه أبو داود)

Dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Jika seseorang keluar dari rumahnya lalu membaca (doa, yang artinya): Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan upaya selain dengan Allah swt.. maka dikatakan kepadanya: Engkau telah mendapat petunjuk, dicukupi dan dilindungi, lalu syetan pun menyingkir darinya. Setan berkata (kepada kawannya): Bagaimana (engkau bisa memperdaya) seseorang yang telah diberi petunjuk, dicukupi dan dilindungi? (HR. Abu Dawud).

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” At-Thalaq:3. Allahu a’lam

http://www.dakwatuna.com/2008/tawakkal-dengan-sebenarnya-bag-i/

Tawakkal seperti yang diperintahkan oleh Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw tidak berarti menafikan atau menghilangkan usaha dan sebab-akibat. Abul Qasim Al-Qusyairi dalam risalahnya mengatakan: “Ketahuilah bahwa tawakkal tempatnya adalah hati, sementara gerakan anggota badan (usaha) tidaklah menafikan tawakkal itu sendiri…”

Al-Quran memerintahkan kita berusaha dan memperhatikan sebab akibat

Dalam konteks jihad fi sabilillah, Al-Quran memerintahkan kita untuk selalu waspada dan melakukan persiapan matang:

“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!” (An-Nisa (4): 71)

Dalam konteks rizki, Al-Quran menyuruh kita berusaha mencari kaunia-Nya:

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumu’ah (62): 9-10).

Dalam hal melaksanakan haji, AL-Quran menyuruh orang-orang yang akan melaksanakannya untuk berbekal:

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah (2): 197).

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ أُنَاسًا مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ كَانُوا يَحُجُّونَ وَلاَ يَتَزَوَّدُونَ وَيَقُوْلُونَ: نَحْنُ الْمُتَوَكِّلُونَ! فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى: ((وَتَزَوَّدُوا …)) الآية. (رواه البخاري وأبو داود والنسائي وابن حبان).

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa ada sekelompok orang dari Yaman yang berangkat haji tanpa berbekal lalu mereka berkata: “Kami bertawakkal !” Ketika sampai di Mekkah mereka meminta-minta kepada orang lain, maka turunlah ayat ini : “Berbekallah kamu…” (2/197). (HR. Bukhari, Abu Dawud, Nasai & Ibnu Hibban).

Sunnah Rasulullah saw memerintahkan kita memperhatikan usaha dan sebab akibat

عَنْ أنَس بْن مَالِكٍ يَقُولُ: قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ ((اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ)) (رواه الترمذي وحسنه الألباني)

Dari Anas bin Malik ra berkata: Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw: “Apakah aku ikat untaku dan bertawakkal atau aku biarkan dan bertawakkal?” Rasulullah saw bersabda: “Ikatlah dan tawakkallah !” (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani).

((لَوْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصاً، وَتَرُوحُ بِطَاناً)) (رواه الترمذي عن عمر بن الخطاب)

Jika kalian bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang benar pasti Dia member rizki kepada kalian seperti ia memberi rizki kepada burung yang terbang di pagi hari dalam keadaan keadaan perut yang kosong dan pulang sore hari dengan tembolok penuh. (HR Tirmidzi dari Umar bin Khottob)

« إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ ». (رواه أحمد)

Bila datang kiamat sementara di tangan salah seorang diantara kamu ada anak pohon kurma, jika ia mampu menanam sebelum terjadi kiamat maka lakukanlah. (HR. Ahmad, diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).

Bagi para peneliti sirah Rasulullah saw, amat jelas terlihat bahwa beliau adalah orang yang sangat memperhatikan usaha, dan persiapan matang terutama dalam ghazawat dan saraya beliau. Rasulullah saw memperhitungkan betul ihthiyath lazimah (persiapan dan antisipasi kebutuhan) bagi keselamatan pasukannya, mengirimkan mata-mata untuk mengetahui keadaan musuh dan kelemahan mereka.

Di antara hal yang mengagumkan adalah penggunaan istilah al-ihsha (penghitungan teliti, sensus) dalam hadits Rasulullah, yakni ketika beliau memerintahkan para sahabat untuk menulis siapa saja yang telah masuk Islam:

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « أَحْصُوا لِى كَمْ يَلْفِظُ الإِسْلاَمَ » (رواه مسلم)

Dari Hudzaifah ra berkata: Suatu ketika kami bersama Rasulullah saw lalu beliau bersabda: “Hitunglah untukku berapa yang melafalkan Islam.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat Bukhari beliau menyebutkan lafal اُكْتُبُوا (uktubuu/tulislah). Tampak dari hadits ini bahwa Rasulullah saw amat memperhatikan data sebagai salah satu faktor terpenting keberhasilan perjuangan. Data jumlah kaum muslimin terutama data mujahidin digunakan oleh Rasulullah saw untuk mengetahui berapa kekuatan SDM ummat Islam guna menghadapi kekuatan musuh yang selalu mengintai.

Perhatikan bagaimana Rasulullah saw saat hijrah ke Madinah, beliau membuat perencanaan yang matang dengan urutan dan logika berpikir sempurna. Rasulullah menyiapkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidurnya, mengajak Abu Bakar sebagai pendamping perjalanan, menentukan penunjuk jalan (Abdullah bin Uraiqith), menuju gua Tsaur yang arahnya berbeda dengan Madinah, bermalam di sana, menyiapkan pengantar bekal makanan ( Asma binti Abi Bakr), menentukan orang yang menghapus jejaknya (‘Amir bin Fuhairah),… Setelah itu semua, sementara musuh tetap berhasil mengikuti beliau hingga mulut gua Tsaur, di sinilah pentingnya penyerahan total kepada Allah dan tidak pernah bergantung kepada usaha, Rasulullah saw bersabda dengan tawakkal yang sempurna:

يَا أَبَا بَكْرٍ مَا ظَنُّكَ بِاثْنَيْنِ اَللَّهُ ثَالِثُهُمَا ؟ (رواه مسلم)

Wahai Abu Bakar, apa dugaanmu atas dua orang sementara Allah bersama mereka?

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan kalimat orang-orang kafir itulah yang rendah, dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah (9): 40).

Semua itu adalah bukti bahwa sunnah Rasulullah memerintahkan kita untuk memperhatikan sebab-sebab kemenangan disamping penyerahan diri total kepada Allah swt.

Tawakkal para sahabat, tabi’in dan para ulama

Umar bin Khattab ra melihat sekelompok orang yang sedang duduk-duduk di masjid setelah shalat Jum’at, lalu beliau mengingkari mereka sambil berkata:

لاَ يَقْعُدَنَّ أَحَدُكُمْ عَنْ طَلَبِ الرِّزْقِ، وَيَقُولُ: اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي، وَقَدْ عَلِمَ أَنَّ السَّمَاءَ لاَ تُمْطِرُ ذَهَباً وَلاَ فِضَّةً! إِنَّمَا يَرْزُقُ اللهُ النَّاسَ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ. أَمَا قَرَأْتُمْ قَوْلَ اللهِ تَعَالَى: (فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ)؟ (الجمعة: 10)؟

“Janganlah salah seorang diantara kamu menganggur (tidak mencari rizki) lalu hanya berkata: Ya Allah, berikan aku rizki. Padahal ia tahu bahwa langit tidak menurunkan hujan emas dan perak! Allah memberi rizki kepada orang dengan perantara orang lain (baca: muamalah). Tidakkah kalian membaca ayat (yang artinya): “Apabila telah ditunaikan shalat Jumat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumu’ah (62): 10).

Ketika Sa’ad bin Rabi’ al-anshari menawarkan kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhuma separuh dari hartanya, rumahnya bahkan menawarkan untuk menikahi salah satu istrinya setelah ia ceraikan, Abdurrahman menjawab sikap itsar saudaranya dengan penuh ‘iffah:

بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي مَالِكَ وَأَهْلِكَ وَدَارِكَ، إِنَّمَا أَنَا امْرُؤٌ تَاجِرٌ، فَدُلُّوْنِي عَلَى السُّوقِ!

Semoga Allah memberkahi hartamu, keluargamu, dan rumahmu. Aku adalah seorang pedagang, tunjukkan saja aku di mana pasar!

Al-Imam Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri rahimahullah berkata: “Seorang alim jika tidak memiliki ma’isyah akan menjadi penolong bagi orang-orang zalim, ahli ibadah yang tidak mempunyai maisyah akan makan dengan agamanya, dan orang jahil jika tidak punya maisyah akan menjadi penolong orang-orang fasiq.” Disebutkan oleh Abu Thalib Al-Makki dalam “Qut al-qulub” 2/16).

Yang tidak boleh terjadi dan merusak tawakkal adalah jika hati terpaut dengan usaha semata, dan bergantung hanya kepadanya, melupakan Pencipta sebab akibat, lupa bahwa sebab dan usaha tidak pernah berpengaruh dengan sendirinya. Banyak faktor-faktor keberhasilan yang berada di luar jangkauan usaha manusia dan di sinilah ia membutuhkan tawakkal kepada Allah dan tidak boleh bergantung sama sekali dengan usahanya. Seorang petani hanya bisa memilih bibit yang baik, menanamnya di tanah yang subur, menyirami dan memberi pupuk serta menjaganya dari hama, tetapi ia tidak berkuasa mengendalikan apa yang terjadi di dalam tanah, mengatur angin dan cuaca, atau bencana alam yang mungkin saja menimpa tanamannya. Semua itu mengharuskannya menyerahkan segala urusannya kepada Allah semata setelah ia mengerahkan daya dan usaha secara optimal.

Dikisahkan tentang Syaqiq Al-Karkhi bersama kawan karibnya Ibrahim bin Adham. Syaqiq yang merupakan seorang ahli ibadah dan zuhud berpamitan kepada Ibrahim bin Adham untuk perjalanan dagang yang cukup jauh dan lama. Namun baru beberapa hari, ia telah kembali sehingga Ibrahim heran dan bertanya tentang alasannya kembali dengan cepat sebelum menyelesaikan urusannya.

Syaqiq bercerita bahwa ketika ia sedang beristirahat di perjalanan dan memasuki tempat buang hajat ia melihat seekor burung yang buta dan lemah tak dapat terbang. Timbullah rasa iba pada dirinya sambil bergumam: “Dari mana burung ini akan mendapat makanan?” Tak lama berselang datanglah seekor burung membawa makanan dan memeberikannya kepada burung yang lemah tak beradaya itu. Hal ini diperhatikan oleh Syaqiq selama beberapa hari. Akhirnya Syaqiq berkata: “Sesungguhnya yang telah memberi rizki kepada burung butuh tak berdaya ini pasti mampu memberi rizki kepadaku.” Lalu ia memutuskan untuk kembali dan membatalkan perdagangannya.

Di sinilah Ibrahim bin Adham berkata: “Subhanallah Wahai Syaqiq! Mengapa engkau rela hanya menjadi burung yang buta dan lemah yang menanti bantuan burung lain? Mengapa engkau tidak ingin menjadi burung yang berusaha mencari makan dan kembali dengan bantuan untuk saudaranya yang lemah. Tidakkah engkau tahu bahwa Rasulullah saw bersabda:

((اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى))

“Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.” Hadits shahih muttafaq alaih dari Ibnu Umar dan Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhum.

Syaqiq mencium tangan Ibrahim bin Adham lalu berkata: “Engkau guru kami wahai Abu Ishaq.”

Allahu a’lam

http://www.dakwatuna.com/2008/tawakkal-dengan-sebenarnya-bag-2/


Di antara Motivator untuk Bertawakkal yaitu:

1. Mengenal Allah dengan nama-namanya yang indah

Barangsiapa mengenal dan yakin bahwa Allah swt sebagai Rahman (Maha Pengasih), Rahim (Maha Penyayang), ‘Aziz (Maha Perkasa), Hakim (Maha Bijaksana), Hayy (Maha Hidup), Qayyum (Maha Berdiri Sendiri)… maka ia akan terdorong untuk bertawakkal kepada-Nya. Oleh karena itu, Al-Quran sering mengaitkan perintah tawakkal dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah di atas. Yang paling banyak adalah Ismul Jalalah الله, nama yang mengandung segala kesempurnaan, seperti dalam firman-Nya:

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali Imran (3): 159).

“Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah (5): 23).

“Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Tuhan Kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” (Al-Maidah (5): 89).

Tawakkal juga dikaitkan dengan Ar-Rahman dimana rahmat-Nya yang maha luas tidak akan menyia-nyiakan siapapun yang bertawakkal kepada-Nya:

“Katakanlah: “Dia-lah Allah yang Maha Penyayang kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakkal. Kelak kamu akan mengetahui siapakah yang berada dalam kesesatan yang nyata”. (Al-Mulk (67): 29).

Tawakkal juga dikaitkan dengan Al-Aziz (akan mulia dan tidak akan hina sedikitpun orang yang bergantung kepada-Nya, Ar-Rahim (rahmat Allah bagi yang bertawakkal kepada-Nya), Al-Hakim (tidak akan diabaikan siapun yang percaya dengan kesempurnaan kebijaksanaan dan perencanaan-Nya):

“Dan bertawakkallah kepada (Allah) yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (Asy-Syuara (26): 217).

“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Anfal (8): 49).

Tawakkal juga dikaitkan dengan Al-Hayy dimana orang yang bergantung kepada makhluk berarti ia bergantung kepada sesuatu yang akan mati sewaktu-waktu, dan beruntunglah orang yang hanya bergantung kepada Allah:

“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya.” (Al-Furqan (25): 58).

Percaya penuh kepada Allah swt

Tsiqah kepada Allah adalah tsamarah (buah) dari ma’rifatullah, seperti tsiqah Ummi Musa melaksanakan tuntunan Allah swt:

Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah mia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (Al-Qashash (28): 7).

Dalam ayat ini ibunda Musa diberi dua perintah, dua larangan dan dua janji: perintah untuk menyusui dan meletakkan bayinya di sungai Nil, larangan jangan takut dan jangan sedih, dan janji akan dikembalikan-Nya Musa kepadanya dan akan dijadikan-Nya salah seorang nabi. Semua perintah, larangan dan janji dari Allah swt ini amat diyakini oleh ibu Musa alaihimassalam dan ia taati semuanya dengan penuh tawakkal.

Seorang mujahid di masa-masa keemasan Islam pernah ditanya: Siapa yang akan mencukupi anak-anakmu sepeninggalmu?” Dengan penuh tsiqah ia menjawab:

عَلَيْنَا أَنْ نُجَاهِدَ فِي سَبِيْلِهِ كَمَا أَمَرَنَا، وَعَلَيْهِ أَنْ يَرْزُقَنَا كَمَا وَعَدَنَا!

Tugas kita adalah berjihad di jalan-Nya seperti perintah-Nya, dan menjadi urusan-Nya memberi rizki kepada kita sesuai janji-Nya.

Dikisahkan juga bahwa istri salah seorang mujahid dari kaum salaf pernah ditanya: “Dari mana engkau dan anak-anakmu hidup sesudah kepergian suamimu?” Dengan penuh tsiqah ia menjawab: “Sejak aku menikah dan mengenal suamiku, aku tahu ia hanyalah orang yang mengkonsumsi rizki, dan bukan pemberi rizki, bila pemakan rizki pergi maka Pemberi rizki tetap Kekal Abadi.”

Mengenal diri dan kelemahannya

Motivator ketiga untuk bertawakkal adalah pengenalan manusia terhadap kelemahan dirinya dalam banyak hal: kelemahan fisik, keterbatasan ilmu, dan dilahirkan tanpa pengetahuan apapun.

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (An-Nisa (4): 28).

Ÿ“Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali?” (Maryam (19): 67)

Dari sinilah manusia beriman yakin bahwa tidak ada daya dan upaya kecuali bersama Allah yang telah menciptakan dan mengajarkan, dan memenuhinya dengan semua nikmat lahir dan batin. Perasaan ini memotivasi seseorang untuk menyandarkan dirinya yang lemah, faqir, dan jahil kepada Yang Maha Kuat dan Berkuasa, Maha Kaya dan Maha Mengetahui. Seorang mu’min tidak ingin jauh dari Allah meskipun sekejap mata, ia tidak merasa tentram kalau dirinya lemah dibiarkan oleh Allah swt:

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ (رواه أبو داود وأحمد وابن حبان)

“Ya Allah, hanya rahmat-Mu yang kuharap, maka janganlah engkau serahkan aku kepada diriku sendiri meski sekejap, perbaiki semua urusanku, tidak ada ilah selain Engkau.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Hibban).

Rasulullah saw mengajarkan kepada putri tercintanya Fathimah Az-Zahra sebuah doa yang mengungkapkan kelemahan dan kebutuhan diri kepada Allah seraya bersabda:

مَا يَمْنَعُكِ أَنْ تَسْمَعِي مَا أُوْصِيْكِ بِهِ: أَنْ تَقُولِي إِذَا أَصْبَحْتِ وَإِذَا أَمْسَيْتِ: يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ! أَصْلِحْ لِي شَأْنِيَ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ (رواه الحاكم في المستدرك وصححه على شرط الشيخين ووافقه الذهبي)

“Tidak ada yang menghalangimu untuk mendengar pesanku kepadamu, ucapkanlah setiap pagi dan petang: “Wahai Yang Maha Hidup, wahai Yang berdiri sendiri, hanya dengan rahmat-Mu aku meminta dengan menghiba: Perbaikilah semua urusanku, dan jangan Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walau sekejap.” (HR. Hakim dalam Al-Mustadrak, beliau mensahihkannya sesuai syarat Bukhari & Muslim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).

2. Mengetahui keutamaan tawakkal dan bagaimana keadaan orang-orang yang ahli tawakkal serta bergaul dengan mereka

Keutamaan tawakkal dan buahnya dalam kehidupan dunia maupun akhirat bila kita ketahui dan kita hayati pasti akan memotivasi kita untuk bertawakkal kepada Allah sepanjang hayat.

Dan cukuplah pencukupan dari Allah menjadi keutamaan tawakkal seperti firman-Nya:

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (At-Thalaq (65): 3).

Di samping mengetahui keutamaan tawakkal, mencintai dan berusaha meneladani para pendahulu yang bertawakkal juga dapat memotivasi kita, karena Allah mencintai mereka.

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali-Imran (3): 159).

Seorang penyair berkata:

فَتَشَبَّهُوا إِنْ لَمْ تَكُْونُوْا مِثْلَهُمْ إِنَّ التَّشـبُّهَ بِالرِّجَالِ فَلاَحُ

Tirulah jika kalian tidak bisa persis seperti mereka,

Sungguh, menyerupai para tokoh besar adalah sebuah keberuntungan.

Lebih kuat lagi motivasi bertawakkal jika teladan itu masih hidup dan dapat kita saksikan dengan mata kepala kita sendiri, hal ini jauh lebih kuat dari seribu ucapan dan teori tentang tawakkal.

“Pengaruh teladan seseorang bagi seribu orang lebih besar dari pengaruh ucapan seribu orang pada diri seseorang.” Allahu a’lam

http://www.dakwatuna.com/2008/tawakkal-dengan-sebenarnya-bag-3/

Tawakkal Dengan Sebenarnya (tamat)

Tawakkal adalah pohon yang baik yang tidak berbuah kecuali buah yang baik dalam diri maupun kehidupan.. kehidupan pribadi yang berimbas pada kehidupan bermasyarakat atau berorganisasi. Di antara buah sikap tawakkal, yaitu:

Pertama, As-Sakinah wa at-thuma’ninah (Ketenangan dan ketentraman)

Buah yang pertama dari pohon tawakkal ini adalah ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang dirasakan oleh orang yang bertawakkal kepada Rabb-nya. Ia rasakan itu memenuhi seluruh relung jiwanya, ia merasa aman ketika orang lain takut, merasa tenang ketika mereka berguncang, merasa yakin saat mereka bimbang, tsabat saat orang lain goyah, penuh harap sementara mereka hilang asa, dan menikmati perasaan ridha saat orang lain diracuni murka.

Ia tak ubahnya seperti prajurit yang berlindung di benteng yang amat kokoh, menyediakan makanan, tempat istirahat, perbekalan dan senjata lengkap. Dari dalam benteng itu ia bisa melihat namun tak terlihat, menembak tanpa tertembak, semua kejadian di luar benteng tidak menggentarkannya sama sekali baik teriakan ataupun gemuruh senjata.

Inilah keadaan yang dirasakan Nabi Musa alaihissalam ketika sahabat-sahabatnya berkata: “Kita pasti terkejar!” Nabi Musa menjawab:

Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (Asy-Syuara (26): 62).

Keadaan ini juga dirasakan oleh Nabi Muhammad saw ketika ia berkata kepada Abu Bakar di gua Tsaur:

Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (At-Taubah (9): 40).

Seperti yang dialami pula oleh Ibrahim alaihissalam saat dilemparkan ke dalam api, ia tidak meminta tolong kepada manusia, jin atau malaikat, ucapan yang keluar dari mulutnya hanyalah:

حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيلُ

Cukuplah Allah untukku dan Dia sebaik-baik pelindung.

Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Abdullah bin Abbas ra berkata:

“حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ” قَالَهَا إِبْرَاهِيمُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ قَاُلوا لَهُ: (إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَاناً وَقَالُوا حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيْلُ).

Hasbunallahu wa ni’mal wakil” adalah ucapan yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api, juga diucapkan oleh Nabi Muhammad saw saat manusia berkata kepadanya: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung”. (Ali imran (3): 173).

Sakinah dan Thuma-ninah bersama Allah juga dirasakan oleh Hajar ibunda Ismail alaihimassalam tatkala Ibrahim al-Khalil meninggalkannya di lembah tandus Makkah tanpa memberi alasan yang jelas.

آللهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَتْ: هُوَ إِذَنْ لاَ يُضَيِّعُنَا!

Apakah Allah yang memerintahkanmu (meninggalkan kami)? Ibrahim menjawab: “Ya”. Hajar berkata: Kalau begitu, Dia tak kan membiarkan kami.

Kedua, Al-Quwwah (kekuatan)


Buah kedua yang pasti dirasakan oleh mu’min yang bertawakkal adalah kekuatan mental yang membaja terutama ketika tengah menghadapi tantangan yang amat berat.

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُوْنَ أَقْوَى النَّاسِ فَلْيَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ.

Siapa yang ingin bahagia menjadi orang yang paling kuat hendaklah ia bertawakkal kepada Allah.” (Hadits dha’if diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam At-Tawakkul dan Makarim Al-Akhlaq hlm 18 no 5, juga oleh Al-Bahaqi dalam Az-Zuhd: 2/463 no 986 dari Ibnu Abbas. Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa pada sanadnya ada perawi yang matruk (yang tidak dipakai oleh para ahli hadits) dan ada pula yang dituduh berdusta. Al-Qaradhawi dalam bukunya At-tawakkul mengatakan: Cukuplah ini menjadi ucapan salah seorang ulama salaf)

Hal ini dapat kita lihat dari sikap para nabi, diantaranya adalah Nabi Nuh as ketika menghadapi ancaman kaumnya:

Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya).” (Yunus (10): 71-72).

Nabi Hud as:

Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Huud menjawab: “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (Hud (11): 54-56).

Nabi Syuaib as:

Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami”. berkata Syu’aib: “Dan Apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun Kami tidak menyukainya?” Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan Kami dari padanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki(nya). Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” (Al-A’raf (7): 88-89).

Lebih agung lagi adalah kekuatan Rasulullah saw tatkala beliau menggali khandak di tengah kepungan pasukan sekutu. Betapa tidak, saat itu Rasulullah saw menjanjikan para sahabatnya dengan penaklukan Yaman, Kisra dan Kaisar. Kekuatan jiwa yang membuat orang-orang munafik menuduh Rasulullah dan para sahabat ngawur dan ghurur:

Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata:”Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (Al-Ahzab (33): 12).

Ketiga, Al-Izzah (Kemulian)


Buah ketiga dari tawakkal adalah izzah -terhormat, mulya- yang diraih oleh orang yang bertawakkal kepada Allah. Izzah yang mengangkatnya ke tempat yang mulia, mengantarnya menjadi raja besar tanpa perlu singgasana dan mahkota, raja mulia meski tanpa prajurit atau pengikut. Izzah yang merupakan kurnia Al-Aziz subhanahu wata’ala.

Dan bertawakkallah kepada (Allah) yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (Asy-Syuara (26): 217).

Orang yang bertawakkal adalah raja, tapi bukan raja di dunia. Raja dunia selalu merasa butuh terhadap pengikut dan para pembantu, seperti juga perasaan takut mereka akan kehilangan kekuasaannya baik oleh makar internal maupun serangan dari luar, atau oleh kematian yang sewaktu-waktu datang. Sedangkan kemuliaan dan kerajaan bagi orang yang bertawakkal tidak demikian, ia hanya membutuhkan Allah saja, hatinya hanya bergantung kepada-Nya, tidak mengharap selain rahmat-Nya, dan tidak takut kecuali kepada azab-Nya.

Suatu hari, salah seorang khalifah berkata kepada seorang ulama salaf: “Sampaikan keperluan duniamu, kami akan penuhi untukmu.” Dengan penuh izzah sang alim menjawab:

إِنِّي لَمْ أَطْلُبْهَا مِنَ الْخَالِقِ فَكَيْفَ أَطْلُبُهَا مِنَ الْمَخْلُوقِ؟!

Aku tidak memintanya (dunia) kepada Allah, bagaimana mungkin aku memintanya kepada makhluk?!

Memang, ia tidak meminta dunia kepada Allah, yang dimintanya jauh lebih mulia dari dunia… itulah ridha dan surga-Nya.

Izzah itu tidak dapat dicari dengan mengetuk pintu para penguasa, ia hanya dapat diraih dengan mengetuk satu-satunya pintu.. pintu Al-’Aziz:

Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” (Fathir (35): 10)

Izzah seorang mu’min adalah ketika ia tsiqah kepada Al-Maula subhanahu wata’ala, ketika ia menang atas hawa nafsunya, dan saat ia selamat dari semua penghalang menuju jalan petunjuk-Nya.

Syiar mereka adalah:

اَلْاِكْتِفَاءُ بِاللهِ، وَرَفْعُ الْهِمَّةِ عَمَّا سِوَاهُ، وَصِيَانَةُ مَلاَبِسِ الْإِيْمَانِ مِنْ أَنْ تُدَنَّسَ بِالْمَيْلِ إِلَى الأَكْوَانِ، وَالطَّمْعِ فِي غَيْرِ الْمَلِكِ الْمَنَّانِ.

Merasa cukup bersama Allah, mengangkat keinginan dari selain Allah, dan menjaga pakaian iman agar tidak dikotori oleh kecondongan duniawi dan sifat rakus kepada selain karunia Allah.

Keempat, Al-Ridha (Ridha / Rela)


Diantara buah tawakkal adalah ridha. Dengannya dada menjadi lapang, hatipun bertambah luas. Ulama berkata:

مَتَى رَضِيْتَ بِاللهِ وَكِيْلاً، وَجَدْتَ إِلَى كُلِّ خَيْرٍ سَبِيْلاً.

Kapanpun engkau ridha Allah sebagai wakil (pelindung), akan engkau temukan jalan menuju semua kebaikan.

Ibnul Qayyim mengutip ucapan gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

اَلْمَقْدُورُ يَكْتِنُفُهُ أَمْرَانِ: التَّوَكُّلُ قَبْلَهُ، وَالرِّضَا بَعْدَهُ، فَمَنْ تَوَكَّلَ عَلَى اللهِ قَبْلَ الْفِعْلِ، وَرَضِيَ بِالْمَقْضِيِّ لَهُ بَعْدَ الْفِعْلِ، فَقَدْ قَامَ بِالْعُبُوْدِيَّةِ.

Sesuatu yang ditakdirkan itu dikelilingi oleh dua perkara: tawakkal sebelumnya dan ridha sesudahnya. Siapa yang bertawakkal kepada Allah sebelum berbuat dan ridha dengan ketentuan Allah setelahnya berarti ia telah menjalankan ubudiyah kepada Allah.

Kelima, Al-amal (Optimisme)

Buah tawakkal yang lain adalah harapan yang tak pernah padam dalam menyambut masa depan betapapun pahitnya realita yang dihadapi. Di hati orang yang bertawakkal kepada Allah tidak ada celah bagi putus asa, karena ia adalah sifat kekufuran dan kesesatan.

Ibrahim berkata: “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat.” (Al-Hijr (15): 56)

Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf (12): 87).

Nabi Ya’qub as tidak pernah berputus asa mencari Yusuf anaknya meskipun waktu penantiannya begitu lama, berpuluh tahun tanpa ada berita tentangnya.

Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; sesungguhnya Dia-lah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Yusuf (12): 83).

Orang yang bertawakkal kepada Allah amat yakin bahwa segala kekuasaan dan rencana berada di Tangan-Nya, Dia berbuat sesuai Kehendak-Nya, memutuskan menurut iradah-Nya, mencabut kekuasaan dari siapa saja yang Dia kehendaki, memberi kekuasaan kepada yang Ia kehendaki. Jika Dia menghendaki yang miskin bisa menjadi kaya dan sebaliknya, yang lemah dijadkan-Nya kuat dan sebaliknya, yang sulit jadi mudah, yang sakit segera sembuh, yang hina menjadi mulia dan sebaliknya. Semua itu dilakukan-Nya dengan sebab yang terlihat atau tanpa sebab sama sekali, tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Wallahu a’lam (tamat)


http://www.dakwatuna.com/2008/tawakkal-dengan-sebenarnya-tamat/

No comments:

Post a Comment