Islam di Trinidad and Tobago Turut Menjaga Toleransi Beragama


Jumlah pemeluk Islam di Trinidad and Tobago hanya enam persen dari populasi negara sebanyak 1,2 juta orang.

Pemakaian jilbab semakin berkembang pesat di seluruh dunia. Tidak hanya di negara mayoritas Muslim, di negara-negara non-Muslim, seperti di Eropa atau Amerika, pemakaian jilbab pun populer. Tak terkecuali di Trinidad and Tobago, sebuah negara kecil di Kepulauan Karibia. Di negara tersebut, para Muslimah kian 'jatuh hati' dengan busana khas umat Islam ini.

Seiring dengan perkembangan zaman, semakin mudah menemukan pelajar, karyawati, atau ibu rumah tangga Muslim yang beraktivitas dengan menggunakan busana Muslimah. Mereka tak canggung lagi untuk mengenakan jilbab sekaligus berbaur dengan anggota masyarakat lain.

Seperti juga di banyak negara, mereka turut memerhatikan penampilan dan lantas memadupadankan jilbab dengan mode pakaian lain. Simak penuturan salah satu karyawati, ''Saya mengambil gaya pakaian terbaru dari majalah mode. Namun, saya membuatnya menjadi lebih Islami.''

Pada beberapa kesempatan, para gadis Muslim juga meniru mode busana Barat terkini. Namun, mereka mengenakan jilbab, kaos tangan panjang, atau membeli pakaian berukuran lebih besar (longgar) sesuai dengan tuntunan ajaran Islam untuk berpakaian secara sederhana, tetapi menyenangkan.

Dalam perjalanannya, jilbab tidak lagi dipandang sekadar simbol agama, melainkan sebagai identitas masyarakat, politik, dan kelas. Bahkan, lebih dari itu, para Muslimah melihatnya sebagai lambang yang menghubungkan mereka dengan warisan kebudayaan asal atau komunitas Islam secara global.

''Saat mengenakan jilbab, saya merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada Trinidad,'' ungkap seorang mahasiswi dari sebuah universitas di Trinidad and Tobago.

Fatima Jafri dalam Common Ground News Service memiliki analisis lain. Menurutnya, dengan mengenakan pakaian berciri khas tertentu, Muslimah Trinidad and Tobago sanggup mempertahankan lambang masyarakat dan agama mereka. Jilbab pun dikatakan berhasil menciptakan sebuah identitas yang berbeda dari budaya dan masyarakat Afro-Trinidad.

Peran dai

Sejak kapan tren ini muncul? Hal itu sangat terkait dengan peningkatan jumlah dai dan daiyah Muslim serta cendekiawan dari Pakistan, Arab Saudi, dan Iran. Demikian juga bertambahnya jumlah umat Muslim Trinidad and Tobago yang berhaji ke Makkah sejak awal 1990-an. ''Faktor-faktor itu memberi peluang meningkatnya pemakaian jilbab di kalangan Muslimah setempat,'' sambung Fatima.

Kini, jilbab telah menjadi cara paling nyata yang menunjukkan kaum perempuan Muslim sebagai pembawa tradisi di ruang publik. Satu aspek fundamental yang juga berkontribusi bagi peningkatan pemakai jilbab. Bahkan, dalam banyak tradisi Islam lainnya, itu adalah situasi dan kondisi di negara yang sangat kondusif bagi kehidupan beragama. Trinidad adalah negara di mana tradisi keagamaan dan kebudayaan diakui dan dihormati.

Praktik seperti ini telah menciptakan sebuah masyarakat yang terbuka dan penuh penerimaan, termasuk umat Muslim. Mereka dapat secara bebas mempraktikkan kebiasaan dan ritual agama yang diyakini.

Karena itulah, umat Muslim di Trinidad tidak dapat digolongkan dengan cap yang sama. Seperti banyak umat Muslim yang tinggal dalam masyarakat Barat, Muslim di Trinidad menciptakan identitas Muslim yang dinamis.

Jumlah umat Islam memang hanya sekitar enam persen dari populasi penduduk sebanyak 1,2 juta jiwa. Akan tetapi, mereka sangat solid dan merupakan kekuatan yang cukup berpengaruh dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Dua agama terbesar adalah Kristen (36 persen) dan Hindu (23 persen).

Dalam banyak hal, ada kesamaan antara Indonesia dan Trinidad and Tobago. Keduanya dikenal sebagai negara yang multietnis dengan perbedaan tradisi, budaya, dan agama di lingkup masyarakatnya.

Meski demikian, jarang ada gesekan antarwarga yang dipicu perbedaan tadi. Sebaliknya, mereka mampu menciptakan kondisi damai, toleransi, tenggang rasa, dan pembauran agama atau kebudayaan. Ini menjadi bagian keseharian dari masyarakat Trinidad.

Keragaman tersebut tak lepas dari sejarah negara pulau yang awalnya diduduki kekuatan-kekuatan besar Eropa. Bangsa Spanyol, Inggris, dan Prancis membawa perbudakan dan kuli kontrak dari wilayah-wilayah jajahan sebagai bagian kebijakan kolonialisme di kawasan tersebut.

Islam diyakini telah ada di Trinidad sejak abad ke-18, yakni ketika bangsa kolonial mendatangkan budak-budak atau tentara bayaran dari Afrika. Di antara mereka terdapat pula pemeluk agama Islam.

Akan tetapi, seperti dikemukakan Dr Nasser Mustapha, sosiolog dari Universitas Trinidad, komunitas Afrika Muslim justru tidak ditemukan lagi ketika negara ini telah menghapus perbudakan. ''Kalau masih ada, jumlahnya sangat tidak signifikan,'' katanya.

Pada periode itu, agama Islam lebih berkembang dalam masyarakat Muslim India Timur yang datang belakangan, tepatnya di awal abad ke-19. Kehadiran mereka di Karibia terutama dipekerjakan sebagai kuli kontrak. Umat Muslim asal India ini tiba dalam jumlah yang cukup banyak.

Dr Nasser mengungkapkan, saat sensus penduduk tahun 1901, diketahui jumlahnya hampir sama dengan persentase umat Islam yang ada di Uttar Pradesh dan Bihar, tempat asal mereka.

Para kuli asal India ini mempertahankan norma-norma gender patriakal tradisional dari tanah leluhur. Termasuk pula, kaum perempuannya yang bertanggung jawab dalam memelihara budaya India di rumah, yang membawa pada pembangunan identitas gender Muslim Indo-Trinidad berdasarkan berbagai tradisi kerja, keluarga, dan agama.

Festival Hosay


Dewasa ini, masyarakat multietnis Trinidad mendorong sebuah ruang kebudayaan unik untuk memadukan berbagai tradisi yang berbeda. Misalnya, upacara Muslim Ashoura yang memperingati wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW--Husain (yang merupakan asal usul nama festival yang disebut Hosay) dan Hasan--diperingati tidak hanya oleh umat Muslim, tetapi juga oleh banyak umat non-Muslim.

Penduduk dari berbagai etnis, termasuk umat Hindu, Creole, bangsa Afrika, dan Trinidad, berperan serta dalam kemeriahan Hosay. Tradisi ini sempat melambat setelah penguasa kolonial menjadi waspada terhadap kumpulan orang. Mereka melihat perayaan Hosay sebagai potensi pemberontakan sehingga melarang kegiatan itu.

Akhirnya, Hosay menjadi lambang pengasingan masyarakat dari semua etnis dan agama sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni kolonial. Umat Muslim dan non-Muslim berperan serta dalam ritual berpuasa dan berbagai kegiatan penyucian.

Dengan keberagaman pengaruh serta faktor eksternal dan internal, warga Muslim Trinidad ikut mewarnai budaya lokal, mempertahankan, dan memperbarui identitas mereka. Identitas dan budaya dalam masyarakat ini terus bergerak dan berubah.

Menangkal Bahaya Pemurtadan

Di mana pun terdapat kawasan komunitas Muslim di Trinidad and Tobago. Di tempat-tempat tersebut, hampir selalu dijumpai bangunan masjid. Ya, masjid menjadi bagian penting dalam kehidupan keagamaan umat Islam setempat yang tak hanya berfungsi sebagai tempat peribadatan, tapi juga sarana penguatan akidah.

Aspek penguatan akidah memang sangat ditekankan. Bukan tanpa sebab, karena hal tersebut sangat berkaitan dengan sejarah kelam masa lalu yang juga berpotensi terjadi kembali di masa kini.

Kejadiannya bermula di pertengahan abad ke-20. Adalah para misionaris asal Kanada datang ke negara pulau itu untuk menyebarkan agama mereka kepada penduduk setempat.

Setelah beberapa waktu, mereka berhasil mengajak sejumlah warga untuk berpindah agama. Di antaranya adalah pemeluk Islam keturunan India. Kebanyakan mereka yang beralih agama adalah yang tinggal di kawasan yang jumlah umat Muslimnya tidak banyak. Meski begitu, tak ayal kejadian tersebut membuka mata umat Islam untuk waspada terhadap potensi ancaman pemurtadan.

Dari keterangan Dr Nasser Mustapha, sebelum kedatangan misionaris itu, warga Muslim hidup dengan tenang dan damai. Namun, kondisi itu segera berubah. Selain umat Islam, yang juga terancam dengan sepak terjang misionaris tadi adalah para pemeluk Hindu.

Seolah memiliki ancaman bersama, antara umat Islam dan Hindu memutuskan bersatu untuk menangkal bahaya itu. Maka, tutur Dr Nasser, kedua umat agama ini mendirikan sekolah Islam dan Hindu pada tahun 1940-an.

Upaya lain adalah mendatangkan tenaga dai dari India. Ini terjadi antara tahun 1941-1942. Salah satu yang terkenal adalah Amir Ali. Dia dikenal dengan metode pengajaran agama yang lebih modern.

''Secara jelas, muncul kekhawatiran kalangan muda Muslim akan bahaya pemurtadan dan mereka menginginkan penguatan bidang pendidikan agama. Selain itu, yang penting dilakukan adalah pembentukan organisasi Muslim,'' kata Dr Nasser.

Amir Ali kemudian mendirikan Trinidad Muslim League. Langkah strategis lainnya adalah semakin berkembangnya penerbitan terjemahan kitab suci Alquran dalam bahasa Inggris serta literatur-literatur agama untuk mendukung pendidikan agama Islam.

Hadir pula anggota Jamaah Tabligh, kelompok dakwah dari India yang melakukan kegiatannya di komunitas-komunitas Muslim. Mereka dengan cepat mampu meningkatkan kepedulian umat terhadap ancaman pemurtadan.

Berturut-turut, pada 1975, untuk pertama kalinya dibuka toko buku dan perpustakaan khusus Islam, namanya The Islamic Trust. Sarana ini sangat membantu para pelajar dan guru agama untuk memperoleh sumber-sumber literatur yang memperkuat bidang pendidikan.

Era 80-an, pendakwah dari Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya mulai berdatangan ke Trinidad atau kawasan Karibia. ''Kemajuan signifikan juga dicapai dalam pembangunan masjid di sejumlah wilayah. Kini, jumlah masjid di Trinidad mencapai 700-800 unit,'' jelas Dr Nasser lagi. sya/taq

Data:
Nama Negara: Trinidad and Tobago
Ibu Kota: Port of Spain
Merdeka: 1962
Penduduk: 1,2 juta jiwa
Pemeluk Agama: Islam (enam persen), Kristen (36 persen), dan Hindu (23 persen)

http://republika.co.id/berita/90318/Islam_di_Trinidad_and_Tobago_Turut_Menjaga_Toleransi_Beragama

No comments:

Post a Comment