Takdir, Cermin Kebijaksanaan, Bukan Kekejaman

Alhamdulillah was sholatu was salamu ‘ala rasulillah. Kaum muslimin sekalian, semoga Allah merahmati perjalanan hidup kita bersama. Bagi seorang muslim, iman kepada takdir merupakan prinsip yang tidak bisa diusik oleh siapapun juga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Iman adalah kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim).

Suatu saat, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mendengar laporan bahwa ada segolongan penduduk Bashrah (Iraq) yang mengingkari takdir, maka beliau berkata, “Demi Dzat yang Abdullah bin ‘Umar bersumpah dengan nama-Nya, seandainya salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu dia infakkan niscaya Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman terhadap takdir.”(HR. Muslim).

Hal ini menunjukkan bahwa mengingkari takdir adalah kekafiran yang mengeluarkan dari agama.

Kembali kepada Pemahaman Sahabat


Dalam mengimani takdir, seorang muslim harus berpegang kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar yaitu pemahaman para sahabat. Apabila tidak, maka yang terjadi adalah sebagaimana yang dialami oleh sebagian penduduk Bashrah yang dikisahkan di dalam hadits di atas. Yahya bin Ya’mar periwayat hadits tersebut menceritakan, “Wahai Abu Abdirrahman -panggilan Ibnu Umar-, sesungguhnya telah muncul di daerah kami orang-orang yang pandai membaca al-Qur’an dan gemar mengumpulkan ilmu.” Lalu dia menyebutkan keadaan mereka, “Mereka menganggap bahwa takdir itu tidak ada, dan segala sesuatu terjadi secara tiba-tiba.” (HR. Muslim).

Hal ini menunjukkan bahwa sekedar menghafal Al Qur’an dan memiliki wawasan keilmuan yang luas tidak cukup apabila tidak dilandasi dengan pemahaman yang benar -yaitu metode pemahaman para sahabat- terhadap suatu perkara agama. Apalagi dalam perkara pokok seperti rukun iman. Apabila di masa sebagian sahabat masih hidup saja penyimpangan dalam masalah takdir -yang itu termasuk rukun iman- sudah muncul, maka bagaimana lagi pada zaman kita sekarang ini -di saat racun filsafat dan pemikiran sesat telah merasuki akal banyak orang-?

Memahami Takdir itu Mudah

Sesungguhnya dengan merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah serta pemahaman para sahabat, keimanan terhadap takdir akan dapat dimengerti dengan mudah. Sebaliknya, apabila manusia merusak akalnya dan ‘meracuninya’ dengan filsafat maka takdir akan menjadi susah dipahami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada seorang pun yang berusaha untuk mempersulit diri kecuali dia pasti kalah.”(HR. Bukhari).

Di antara prinsip penting yang harus kita yakini sebelum kita berbicara lebih jauh tentang hal ini adalah keharusan untuk taslim (pasrah) kepada dalil-dalil yang ada, tidak menentang ataupun menyelewengkannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- itu berbicara dengan memperturutkan hawa nafsunya. Karena sesungguhnya apa yang disampaikannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An Najm: 3-4).

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku beriman kepada Allah dan segala yang datang dari Allah sebagaimana yang diinginkan oleh Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan segala yang datang dari beliau sebagaimana yang diinginkan olehnya.”(Disebutkan Ibnu Qudamah dalam Lum’atul I’tiqad)

Iman kepada takdir mencakup empat perkara:

[1] Mengimani ilmu Allah yang azali-ada sebelum alam semesta tercipta- yang meliputi segala sesuatu. Termasuk dalam ilmu-Nya adalah pengetahuan Allah tentang amal perbuatan hamba sebelum mereka melakukannya

[2] Allah telah menuliskan ilmu-Nya itu di dalam Lauh al-Mahfuzh

[3] Kehendak Allah yang menyeluruh dan kemampuan-Nya yang sempurna untuk terwujudnya segala peristiwa

[4] Allah yang mewujudkan semua makhluk. Allah lah satu-satunya pencipta sedangkan selain-Nya adalah makhluk. (Syarh Aqidah Wasithiyah, Syaikh Shalih Al Fauzan)

Ilmu Allah Maha Luas

Allah mengetahui perkara ghaib maupun yang tampak. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dialah Allah yang tidak ada sesembahan -yang benar- selain Dia, Yang Maha mengetahui perkara gaib maupun yang terlihat.” (QS. Al Hasyr: 22). Allah juga mengetahui segala yang ada di langit maupun di bumi. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah itu mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Sesungguhnya hal itu terdapat di dalam Kitab, sesungguhnya hal itu adalah perkara yang mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj: 70). Ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Agar kalian mengetahui bahwa Allah maha berkuasa untuk melakukan segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah meliputi segala sesuatu.” (QS. At Thalaq: 12). Allah mengetahui siapakah di antara hamba-Nya yang taat dan siapa yang bermaksiat. Allah juga mengetahui bagaimana akhir hidup mereka, di atas keimanan atau kekafiran. Allah mengetahui siapa di antara mereka yang akan menghuni surga dan siapa yang akan menghuni neraka.

Segalanya Telah Ditulis

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Segala sesuatu telah Kami kumpulkan di dalam kitab yang jelas (lauhul mahfuzh).” (QS. Yasin: 12). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menulis takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi.” (HR. Muslim).

Iman terhadap pencatatan takdir ini meliputi lima perkara:

[1] Mengimani bahwa Allah telah memerintahkan pena takdir untuk mencatat segala sesuatu sebelum penciptaan langit dan bumi, hal ini disebut sebagai takdir azali,

[2] Mengimani bahwa Allah telah mengambil perjanjian terhadap anak cucu Adam ketika mereka dikeluarkan dari tulang sulbinya dan mereka bersaksi bahwa Allah adalah Rabb mereka (lihat QS. Al A’raf: 172),

[3] Mengimani bahwa Allah telah menetapkan jenis kelamin, ajal, amal dan nasib manusia yaitu ketika mereka masih berada di dalam rahim ibu mereka (sebagaimana disebutkan di dalam HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu), ini disebut takdir ‘umri,

[4] Allah menetapkan takdir segala sesuatu yang akan terjadi dalam waktu setahun berikutnya, yaitu pada malam Qadar (Lihat QS. Ad Dukhan: 3-4),

[5] Allah menjalankan takdir yang telah ditetapkan-Nya di sepanjang perjalanan waktu pada setiap harinya. Hal ini disebut sebagai takqir yaumi atau takdir harian (Lihat QS. Ar Rahman: 29). Takdir harian merupakan rincian dari takdir tahunan. Takdir tahunan merupakan rincian dari takdir ‘umri. Takdir ‘Umri merupakan rincian dari takdir yang ditetapkan ketika Allah mengambil perjanjian dengan anak cucu Adam.

Adapun takdir yang ditetapkan ketika pengambilan perjanjian dengan anak cucu Adam merupakan rincian dari takdir yang ada di Lauhul Mahfuzh (Diringkas dari Al Mukhtashar fi ‘Aqidati Ahli Sunnati fi Al Qadar, Syaikh Dr. Ibrahim Ar Ruhaili)

Kehendak Allah Meliputi Segala Sesuatu

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya perintah Allah apabila Dia menginginkan sesuatu maka dia cukup dengan mengatakan, ‘jadilah’ maka hal itu akan terjadi.” (QS. Yasin: 82). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Rabbmu menciptakan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya dan Dia pula yang memilih.” (QS. Al Qashash: 68). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah melakukan apa pun yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27).

Allah Pencipta Segala Sesuatu

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia Maha pemelihara atas segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar: 62). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menciptakan segala sesuatu dan menetapkan takdirnya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al Furqan: 2). Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mengatakan kepada kaumnya sebagaima disebutkan dalam firman Allah (yang artinya), (“Allah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian lakukan.” (QS. Ash Shaffat: 96).

Apakah manusia dipaksa?

Setiap orang yang berakal tentu menyadari bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan yang dengan keduanya dia melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dia bisa membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan keinginannya seperti berjalan, dengan sesuatu yang terjadi di luar keinginannya seperti contohnya terpeleset di saat berjalan. Namun perlu kita ingat pula kehendak hamba juga tidak mungkin terlepas dari kehendak dan kemampuan Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bagi siapa saja di antara kalian yang ingin menempuh jalan yang lurus. Dan tidaklah kalian berkehendak melainkan apabila dikehendaki Allah Rabb alam semesta.” (QS. At Takwir: 29). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Maka barang siapa yang ingin niscaya dia akan mengambil jalan kembali menuju Rabbnya.” (QS. An Naba’: 39).

Dalil-dalil ini dengan jelas menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak dan pilihan dalam menjalani kehidupan. Namun, kehendak hamba tidak bisa dilepaskan dari kehendak Allah ta’ala.

Dalam masalah ini ada dua kelompok ekstrim yang menyimpang dari aqidah yang benar, yaitu Jabriyah dan Qadariyah. Kaum Jabriyah menganggap bahwa manusia dalam keadaan dipaksa dan tidak memiliki pilihan. Adapun kaum Qadariyah mengira bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini terjadi dengan sendirinya, tanpa ada yang mentakdirkannya. Kedua kelompok ini jelas telah menyalahi dalil-dalil yang ada di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah.

Takdir sebagai Dalih untuk Berbuat Maksiat?

Sebagian orang yang telah diperdaya oleh syaitan dan diperbudak oleh nafsu sehingga tenggelam dalam berbagai bentuk kemaksiatan dan dosa-dosa besar -dan tidak mau bertaubat darinya- berusaha untuk mencari-cari alasan demi membenarkan perilaku mereka. Sebagian di antara mereka berkata, “Bukankah kemaksiatan yang terjadi ini sudah merupakan takdir dari Allah dan kehendak dari-Nya? Jadi, tidak perlu ada yang dipersalahkan!”. Apakah alasan semacam ini bisa kita terima?

Pembaca sekalian, semoga Allah meneguhkan iman kita. Sesungguhnya alasan semacam itu adalah alasan yang mengada-ada. Ambillah sebuah contoh, apabila di hadapan seseorang terdapat dua buah jalan. Jalan yang satu menuju suatu daerah yang penuh dengan kekacauan dan keresahan, pembunuhan, perampokan, penodaan terhadap kehormatan, dicekam oleh rasa takut dan tertimpa kelaparan. Adapun jalan yang kedua menuju suatu daerah yang di sana segala sesuatunya teratur dan keamanan terjamin, kehidupan penuh kesejahteraan, kehormatan manusia dihormati, harga diri dan harta mereka terjaga.

Maka kira-kira akan kemanakah orang itu akan menempuh perjalanannya? Niscaya dia akan memilih jalan kedua yang akan mengantarkannya menuju keteraturan dan ketenteraman. Tidak mungkin orang yang berakal justru memilih jalan pertama yang akan menjerumuskannya kepada kekacauan dan dicekam oleh rasa takut, kemudian dia beralasan dengan takdir. Lalu mengapa orang justru menempuh jalan akhirat yang akan menjerumuskannya ke neraka -bukan jalan ke surga- dan berdalih dengan takdir? Sungguh hal ini adalah perkara yang sangat mengherankan! (Lihat Nubdzat fi Al ‘Aqidah, Syaikh Ibnu Utsaimin)

Sesungguhnya berdalih dengan takdir untuk membenarkan maksiat merupakan kebiasaan orang-orang kafir. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang berbuat kesyirikan itu akan mengatakan, ‘Seandainya Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan melakukan kesyirikan. Demikian pula bapak-bapak kami. Dan kami juga tidak akan mengharamkan apa pun’. Demikian itulah perilaku orang-orang sebelum mereka yang mendustakan -kebenaran-, sampai akhirnya mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah -kepada mereka-, ‘Apakah kalian memiliki ilmu sehingga hal itu bisa kalian keluarkan kepada kami?’. Sesungguhnya kalian hanya mengikuti persangkaan semata. Dan kalian tidak melakukan apa-apa selain hanya menduga-duga.” (QS. Al An’am: 148). Kalau seandainya alasan mereka itu diterima oleh Allah niscaya Allah tidak akan menimpakan siksaan itu kepada mereka.

Buah Iman kepada Takdir

Seorang yang beriman kepada takdir, maka dia akan senantiasa bersandar kepada Allah dalam berusaha dan bertawakal kepada-Nya. Dia tidak akan merasa ujub dengan dirinya, sebab dia tidak akan berhasil mendapatkan kebaikan kecuali dengan nikmat dari-Nya. Dia juga akan merasakan ketenangan jiwa dan pasrah terhadap musibah yang Allah tetapkan menimpanya. Akhirnya kita memohon, semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk tetap istiqomah di atas jalan-Nya hingga ajal tiba. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

[Ari Wahyudi]
At Tauhid edisi V/25
http://buletin.muslim.or.id/aqidah/takdir-cermin-kebijaksanaan-bukan-kekejaman

No comments:

Post a Comment