Pembuka
Ajaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah dan tujuan ini diistilahkan oleh para ulama dengan maqashid syari’ah, yaitu berbagai mashalat yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun akhirat.
Adapun mashalat akhirat, orang-orang shaleh ditunggu oleh kenikmatan tiada tara yang terangkum dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (hadits qudsi) yang artinya:
“Allah ta’ala berfirman: “Telah Aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terbetik di hati manusia.” [1]
Untuk ibadah haji, secara khusus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Haji yang mabruur tidak lain pahalanya adalah surga.” [2]
Adapun didunia, banyak mashalat yang bisa diperoleh umat Islam dengan menjalankan ajaran agama mereka. Dan untuk ibadah haji khususnya, ada beberapa contoh yang bisa kita sebut; seperti menambah teman, bertemu Ulama dan keuntungan berdagang.
Disamping itu, Allah azza wa jalla juga memberikan tanda-tanda diterimanya amal seseorang, sehingga Allah azza wa jalla bisa menyegerakan kebahagiaan di dunia sebelum akhirat dan agar ia semakin bersemangat dalam beramal.
Tidak Semua Orang Meraih Pahala Haji Mabruur
Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan yang mabruur. Haji mabruur bukanlah sekedar haji yang sah. Mabruur artinya diterima oleh Allah azza wa jalla dan sah artinya menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah azza wa jalla.
Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji yang mabruur. Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Yang hajinya mabruur sedikit, tapi mungkin Allah azza wa jalla memberikan karunia kepada jama’ah haji yang tidak baik dikarenakan jama’ah haji yang baik. [3]
Tanda-Tanda Haji Mabruur
Bagaimanakah mengetahui mabruurnya haji seseorang? Apa perbedaan antar haji yang mabruur dengan yang tidak mabruur? Tentunya yang menilai mabruur tidaknya haji seseorang adalah Allah azza wa jalla semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabruur atau tidak. Para Ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabruurnya haji, berdasarkan keterangan al-Qur’an dan Hadits. Namun, ini tidak bisa memberikan kepastian mabruur atau tidaknya haji seseorang.
Sebagian dari tanda ini barangkali berhubungn dengan pembahasan cara meraih haji mabruur, karena cara kira menjalankan ibadah haji juga bisa dijadikan cermin dalam hal ini.
Di antara tanda haji mabruur yang telah disebutkan para Ulama adalah:
Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal, karena Allah azza wa jalla tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sungguh Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik.” [4]
Orang yang ingin hajinya mabruur harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama bagi mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabruur bagi mereka hanyalah jauh dari panggang dari api.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam sebuah syair. [5]
“Jika anda berhaji dengan harta tak halal asalnya
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda
Allah azza wa jalla tidak menerima kecuali yang halal saja
Tidak semua yang berhaji mabruur hajinya”
Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya dijalankan, dan semua larangan ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusan yang telah ditentukan.
Disamping itu, haji yang mabruur juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi rahimahullah: “Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jammaah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah azza wa jalla.” [6]
Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat kejadian haji yang ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat, akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah bersalah. [7]
Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Maka haji mabruur adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa. [8]
Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabruur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang maksud haji mabruur, maka beliau menjawab:
“Memberi makan dan berkata-kata baik.” [9]
Keempat: Tidak berbuat maksiat selama ihram. Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas dan jika dilanggar, maka haji mabruur yang diimpikan akan lepas.
Diantara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal. Allah azza wa jalla berfirman (yang artinya):
“Musim haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.”[QS.Al Baqarah:197]
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [10]
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.
Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah azza wa jalla, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits diatas.
Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.
Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun diluar waktu ihram, berhubungan suami-istri kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, haji yang mabruur juga harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiat.
Kelima: Pulang dari haji dengan keadaan lebih baik.
Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah azza wa jalla adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal shaleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah azza wa jalla tidak menerima amalannya. [11]
Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jama’ah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah azza wa jalla. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari pada Ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.
Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya. Karena itu, bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang lebih mantap dan benar, kemudian istiqomah di atas kebaikan itu adalah salah satu tanda haji mabruur.
Orang yang hajinya mabruur menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridha Allah azza wa jalla; ia akan semakin mendekat ke akhirat dan mejauhi dunia. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan: “Haji mabruur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.” [12] Ia juga mengatakan: “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.” [13]
Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah mengatakan: “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majelis kelalaian menjadi majelis dzikir dan kesadaran.”
Penutup
Sekali lagi, yang menilai mabruur tidaknya haji seseorang hanya Allah azza wa jalla. Para Ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah azza wa jalla berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji anda, maka hendaknya anda bersyukur atas taufik dari Allah azza wa jalla. Anda boleh berharap ibadah anda diterima oleh Allah azza wa jalla, dan teruslah berdoa agar ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka anda harus mawas diri, istighfar dan memperbaiki amalan anda. Wallahu A’lam.
Oleh : Ustadz Anas Burhanuddin
Referensi:
1. Al-Qur’aan al Kariim
2. Shahiih al Bukhari, Tahqiq Mushtafa al-Bugha, Daar Ibn Katsir
3. Shahiih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Daar Ihya’ Turats
4. Musnad Imam Ahmad, Tahqiq Syu’aib al-Arnauth, Muassasah Qurthubah
5. Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Cetakan Hyderabad, India
6. Silsilah al-Hadits ash-Shahiihah, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Maktabah al-Ma’arif
7. At-Tarikh al-Kabir, al-Bukhari, Tahqiq Sayyid Hasyim an-Nadawi, Darul Fikr
8. Lathaiful Ma’arif Fima Li Mawasil ‘Am Minal Wazhaif, al-Maktabah asy-Syamilah.
Note:
[1] HR al-Bukhari 3073 dan Muslim 2824
[2] HR. al-Bukhari 1683 dan Muslim 1349
[3] Lathaiful Ma’arif Fima Li Mawasimil ‘Am Minal Wazhaif 1/68
[4] HR.Muslim 1015
[5] Lathaiful Ma’arif 2/49
[6] Lathaiful Ma’arif 1/257
[7] Ibid
[8] Lathaiful Ma’arif 1/67
[9] HR. al Baihaqi 2/413 no.10693, dihukumi shahih oleh al-Hakim dan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahiihah 3/262 no.1264
[10] HR.Muslim 1350 dan yang lain, dan ini adalah lafazh Ahmad di Musnad 7136
[11] Lathaiful Ma’arif 1/68
[12] At Tarikh al-Kabir 3/238
[13] Lathaiful Ma’arif 1/67
Sumber: Diketik ulang dari Majalah as Sunnah Edisi 08, Thn.XIII, Dzulqa’dah 1430H, November 2009 M, Hal.35-38
Dipublikasikan kembali oleh: http://alqiyamah.wordpress.com
http://alqiyamah.wordpress.com/2009/11/23/tanda-tanda-haji-mabruur/
No comments:
Post a Comment