Pertanyaan
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz yg dirahmati Allah, pertanyaannya adalah:
Anak dari ayah ada 6 orang = 4 (laki-laki) + 2 (perempuan) sewaktu ayah masih hidup ayah memberikan si anak laki-laki (A,B,C) tanah masing-masing 50m dan bangunan/rumah, si C kawin dan bercerai dan punya anak perempuan lalu si C kawin lagi dan punya anak perempuan, dan si C meninggal karena sakit berarti si C meninggalkan anak perempuan hasil perkawinan yang dulu dan istri + anak dari perkawinan terakhir, waktu si C meninggal ayah masih hidup, sekarang beliau sudah meninggal.
Apa si C meninggalkan harta waris ?
Bagaimana pembagian warisnya menurut Islam ? padahal waktu diberi tanah + bangunan ayah masih hidup.
Dan sekarang membikin bingung adalah status tanah dan bangunannya gimana ? soalnya salah satu saudara perempuan dari si C mau membeli tanah dan rumah tsb.
Mohon bantuannya ustadz untuk mencari jalan keluarnya, lebih cepat lebih baik.
Atas bantuan ustadz saya ucapkan banyak terimakasih.
Hamba Allah
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Rochman Nuryadin
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Biar tidak rancu, ada baiknya kita kembalikan dulu masalah hukum waris ini sesuai dengan aturan bakunya.
Pertama, pembagian warisan hanya terjadi manakala muwarrits telah meninggal dunia. Pembagian waris punya aturan dan ketentuannya sudah baku, tidak boleh pakai perasaan atau aturan sendiri. Ilmu Faraidh telah selama 14 abad menegaskan bagaiamana tata cara bagi waris.
Intinya, kalau seseorang belum meninggal, lalu membagi-bagi harta kepada para calon ahli warisnya, sebenarnya namanya bukan bagi waris, tetapi namanya hibah.
Kedua, hibah adalah transaksi yang sah dan dibenarkan dalam syariat Islam. Hibah dilakukan oleh seseorang yang masih hidup kepada orang lain yang juga masih hidup.
Ketiga, ketentuan yang ada pada hibah tidak selalu sama dengan ketentuan yang ada pada hukum waris. Ketiak seorang Ayah menghibahkan hartanya kepada anak-anaknya, ketentuannya sepenuhnya terpulang kepada si Ayah itu sendiri.
Bisa saja dia memberi hibah yang besarnya sama antara anak laki-laki dan anak perempuan. Sesuatu yang kalau dalam pembagian waris, hukumnya haram. Anak laki-laki harus mendapat 2 kali lipat dari yang diterima anak perempuan.
Apa yang diakukan oleh si Ayah yang membagi-bagi tanah kepada anak-anaknya, ketika dirinya masih hidup, secara kaca mata syariah jelas tidak termasuk kategori pembagian warisan. Tanah yang sudah diberikan itu namanya hibah. Dan pemberian hibah itu hukumnya sah serta diakui dalam syariah Islam.
Keempat, konsekuensi dari penghibahan harta adalah gugurnya kepemilikan harta dari yang memberikan, berpindah menjadi milik orang yang dihibahkan harta itu. Harta yang sudah dihibahkan secara hukum adalah harta yang sudah tidak lagi dimiliki oleh si empunya aslinya. Dalam hal ini, tanah-tanah itu sudah bukan lagi milik Ayah. Tanah-tanah itu setelah dihibahkan, kini sudah 100% milik anak-anak.
Maka kalau memang sudah diberikan masing-masing 50 meter persegi, maka tanah itu sudah menjadi hak masing-masing anak. Ada pun kalau nanti si Ayah meninggal, tanah-tanah itu tidak bisa dibagi waris lagi. Sebab tanah itu sudah bukan lagi milik si Ayah.
Yang dibagi waris saat si Ayah meninggal adalah harta lain yang masih tersisa, kalau ada, yang 100% belum dibagi-bagi sebelumnya.
Jadi kalau saya jawab pertanyaan antum, yaitu apakah C kalau meninggal dunia akan meninggalkan harta warisan?
Jawabnya, selama C telah memiliki tanah itu dari orang tuanya lewat proses hibah, maka pada hakikatnya, C adalah pemilik tanah yang sah seluas jumlah yang diterimanya dari ayahnya.
Untuk membagi waris harta si C apabila dirinya wafat, semua harta miliknya harus dilisting terlebih dahulu. Bukan hanya tanah yang diterima dari hibah saja, tetapi mungkin ada harta-harta lain yang juga dimiliki secara sah dan benar.
Lalu siapa yang menjadi ahli waris C?
Yang pasti adalah anak dan istrinya yang sah. Kalau C punya anak, baik dari istri pertama atau istri kedua, sudah pasti anak-anak itu mendapatkan warisan. Sedangkan istri C yang telah diceraikan, sama sekali tidak punya hak apa pun atas harta yang 100% milik C ketika meninggal dunia, karena statusnya bukan siapa-siapa. Yang mendapat warisan adalah istri keduanya, yang ketika C meninggal dunia, statusnya memang masih istri yang sah.
Saran
Kerancuan antara pemberian hibah dan pembagian waris sering terjadi di tengah masyarakat. Semua akibat dari tidak pahamnya kebanyakan orang antara kedua hal tersebut.
Dan hal yang paling parah namun sayangnya selalu terjadi adalah semua transaksi baik hibah atau waris, seringkali mengabaikan dokumen, saksi dan aspek legal. Seharusnya, saat terjadi pemberian hibah, para notaris diundang untuk memastikan secara legal bahwa tanah yang dihibahkan itu benar-benar telah mengalami perpindahan status kepemilikan, dari awalnya milik si Ayah menjadi milik para anak.
Hibah itu seharusnya juga disaksikan oleh para saksi, baik famili maupun handai taulan, serta aparat pemerintahan dan juga para tokoh masyarakat. Semua perlu dihadirkan, kalau perlu semua membubuhkan tanda-tangan, agar semua tahu bahwa si Ayah telah kehilangan hak-haknya atas tanah miliknya, karena dia sudah menghibahkan kepada anak-anaknya.
Yang paling penting, begitu hibah telah terjadi, segera diurus surat-surat tanahnya ke pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional), hingga keluar sertifikat tanah yang baru atas nama para anak.
Islam adalah agama hukum dan juga agama yang sangat tertib administrasinya. Semua itu sudah ditegaskan sejak 14 abad lampau, sayangnya umatnya kadang kurang mengapresiasi semangat syariahnya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
www.warnaislam.com
No comments:
Post a Comment