Bahaya Menyelisihi Ulama

Imam Bukhari meriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ia menyatakan: Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa salam berada di majelis dan bicara di hadapan orang-orang, datang seorang Arab badui seraya menyatakan, kapan hari kiamat? Tapi Rasul tetap meneruskan pembicaraannya, sehingga sebagian orang yang ada menyatakan, beliau mendengar apa yang dikatakan tapi beliau tidak suka dengan apa yang dikatakan. Sebagian yang lain menyatakan beliau tidak mendengarnya. Sampai beliau menyudahi pembicaraannya lalu berkata: “Dimana orang yang bertanya tentang hari kiamat?” Maka penanya berkata: “Ini saya ya, Rasulullah”. Beliau berkata: “Jika amanah telah ditelantarkan maka tunggulah hari kiamat”. Ia menyatakan: “Bagaimana terlantarnya?” Jawabannya: “Jika sebuah perkara diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah hari kiamat”.

Dalam hadits lain terdapat ancaman kesesatan untuk yang tidak rujuk kepada ulama dalam fitnah. Sabdanya:

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba akan tetapi mencabutnya dengan mewafatkan para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pimpinan, maka ditanyalah pimpinan-pimpinan itu sehingga berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.
(HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr).

Mudah-mudahan dua hadits ini bisa mencegah kelalaian banyak kaum muslimin terhadap perkara ini.

Fitnah Ibnu Muthi’


Sungguh benar-benar pada kisah mereka itu ada ibrah bagi orang-orang yang memiliki akal. (QS. Yusuf:111)

Dalam sejarah Islam kejadian Al-Harrah adalah kejadian yang sangat masyhur sekaligus sangat menyedihkan. Orang yang mendengarnya akan berlindung kepada Allah daripadanya. Mulanya ketika Yazid bin Muawiyah menjabat sebagai khalifah setelah ayahnya, terdengar berita-berita buruk tentangnya khususnya berita tentang maksiat-maksiat yang dilakukannya. Sampai berita itu kepada sebagian kaum muslimin, diantaranya Abdullah bin Muthi’. Mendengar hal itu, bangkit ghirah keagamaannya.

Ringkas cerita ia bertekad mencabut baiatnya terhadap Yazid dan melakukan kudeta. Maka ia mengirim utusan guna mengultimatum Yazid dan mengajaknya untuk taat kepada Allah dan diberi waktu sampai 3 hari. Sepulangnya mereka ke Madinah, Abdullah bin Muthi’ bersama rekan-rekannya mendatangi Muhammad bin Hanafiyah, putra Ali bin Abi Thalib. Mereka menginginkan beliau untuk bersama-sama memberontak Yazid, tapi beliau menolaknya. Berkatalah Ibnu Muthi’: “Sesungguhnya Yazid minum Khamr, meninggalkan shalat dan melanggar hukum Al Qur’an”.

Muhammad bin Hanafiyah menjawab: “Saya tidak melihat padanya apa yang kalian sebutkan, dan saya pernah mendatanginya bahkan tinggal di sana, justru yang saya lihat dia selalu shalat, mencari kebaikan, bertanya masalah fiqh dan berpegang kuat dengan sunnah”.

Mereka menyatakan: “Itu dibuat-buat karena dia di hadapanmu".
Jawabnya: “Apa yang dia takuti atau harapkan dariku sehingga dia perlu menampakkan kekhusyu’annya dihadapanku? Apakah dia menampakkan kepada kalian meminum khamr? Jika dia menampakkan kepada kalian yang demikian berarti kalian sama dengan dia, tapi jika tidak maka tidak halal buat kalian bersaksi tentangnya sesuatu yang kalian tidak ketahui”.

Mereka katakan: “Sesungguhnya menurut kami benar adanya walaupun kami tidak melihatnya”.
Beliau menjawab: “Allah menolak yang demikian pada orang yang besaksi. Firman-Nya:
Kecuali orang yang bersaksi dengan Al-Haq sedang mereka mengetahui.

Saya tidak ikut-ikutan urusan kalian sedikitpun”.
Mereka katakan: “Mungkin engkau tidak suka kalau yang memimpin selainmu, jika demikian kami jadikan engkau pimpinan kami”.

Beliau menjawab: “Saya tidak menghalalkan pemberontakan ini sebagaimana yang kalian inginkan dariku baik saya jadi pimpinan atau yang dipimpin”.

Mereka katakan: “Dulu engkau ikut bersama ayahmu berperang (yakni melawan Muawiyah, semoga Allah ridha pada mereka).
Jawabnya: “Datangkan kepada saya orang yang seperti ayahku, aku akan memerangi seperti yang diperangi ayahku”.

Mereka katakan: “Kalau begitu perintahkan 2 anakmu Abdul Qosim dan Qosim untuk berperang bersama kami”.
Beliau menjawab : “Kalau aku perintah keduanya aku juga akan berperang”.
Mereka katakan: “Kalau begitu bangkitlah bersama kami untuk sekedar menganjurkan orang berperang bersana kami”.
Beliau menjawab: “Subhanallah, apakah aku akan memerintahkan orang sesuatu yang saya tidak melakukannya dan meridhainya, kalau begitu saya tidak punya keinginan- keinginan baik pada hamba-hamba Allah”.
Mereka katakan: “Kalau begitu kami akan membencimu.

Beliau menjawab: “Kalau begitu aku akan memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada Allah dan tidak mencari ridhanya mahkluk dengan kemurkaan Allah”. Lalu beliau pergi ke Makkah.

Datang Abdullah bin Umar kepada Abdullah bin Muthi’, maka Ibnu Muthi’ menyatakan: “Berikan bantal kepada Abi Abdirahman (yakni Ibnu Umar)”.

Ibnu Umar menjawab: “Saya tidak datang kepadamu untuk duduk, akan tetapi aku datang untuk memberitakanmu sebuah hadits yang pernah saya dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam, beliau bersabda:

Barangsiapa mencabut tangannya dari bai’at, ia akan bertemu Allah dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal sedang tiada bai’at dilehernya dia akan meninggal seperti meninggalnya orang-orang jahiliyyah. (HR. Muslim bersama kisahnya).

Penulis : Ustadz Qomar Suaidi
http://www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=6

No comments:

Post a Comment