Menyelai iqamah dan shalat dengan pembicaraan atau perbuatan karena kebutuhan
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan dari jalur Humaid, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Tsabit Al-Bunani tentang seseorang yang berbicara setelah diserukan iqamah shalat. Maka ia menyampaikan kepadaku bahwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Pernah diserukan iqamah shalat, lalu ada seorang lelaki menghadang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia menahan beliau dari shalat (karena mengajak beliau bicara) setelah diserukan iqamah’.” (HR. Al-Bukhari no. 643)
Pernah pula saat iqamah shalat Isya telah diserukan, didapati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbicang-bincang dengan seorang lelaki di satu sisi masjid. Beliau tidak bangkit untuk mengerjakan shalat sampai orang-orang tertidur.” (HR. Al-Bukhari no. 642)
Tentunya, pembicaraan yang dibolehkan tersebut bila ada kebutuhan. Adapun bila tanpa kebutuhan, maka makruh. Al-Hafizh rahimahullahu berkata, “Hadits di atas menunjukkan bolehnya memisah iqamah dengan takbiratul ihram, bila memang ada kebutuhan.” (Fathul Bari, 2/163)
Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla (2/196). Bahkan beliau menyatakan tidak didapati perbedaan pendapat dari seorang pun di kalangan ulama/imam tentang tidak perlunya mengulangi iqamah bagi orang yang berbicara antara iqamah dengan shalat atau ia berhadats, kemudian ia keluar berwudhu (karena hadatsnya tersebut).
Kebolehan menyela antara iqamah dengan takbiratul ihram/shalat ini juga ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini:
أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ، فَسَوَّى النَّاسُ صُفُوْفَهُمْ، فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَتَقَدَّمَ وَهُوَ جُنُبٌ، ثُمَّ قَالَ: عَلَى مَكَانَتِكُمْ. فَرَجَعَ فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ خَرَجَ وَرَأْسُهُ يَقْطُرُ ماَءً، فَصَلَّى بِهِمْ
Telah diserukan iqamah shalat, lalu orang-orang meluruskan shaf-shaf mereka. Keluarlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam1, beliau maju ke depan shaf dalam keadaan junub (beliau lupa sehingga belum mandi janabah, pen.). Kemudian beliau berkata, “Tetaplah kalian di tempat kalian.” Beliau lalu kembali ke rumah beliau untuk mandi janabah. Setelahnya, beliau keluar dari rumah memasuki masjid dalam keadaan rambut beliau masih meneteskan air. Beliau lalu shalat mengimami mereka. (HR. Al-Bukhari no. 640)
Hadits ini juga menunjukkan bolehnya keluar dari masjid setelah iqamah bila ada kebutuhan darurat. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu membuat satu bab khusus untuk hadits ini dengan memberinya judul “Apakah seseorang boleh keluar dari masjid (setelah iqamah) karena satu alasan?” Al-Hafizh rahimahullahu menerangkan maksud Al-Imam Bukhari, bahwa judul bab ini mengisyaratkan pengkhususan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dan selainnya: ketika itu Abu Hurairah melihat seseorang keluar dari masjid setelah muadzin menyerukan adzan, maka Abu Hurairah berkata, “Orang ini, sungguh ia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Karena hadits ini khusus ditujukan kepada orang yang keluar dari masjid setelah adzan atau iqamah tanpa ada kebutuhan darurat. Adapun orang yang junub atau berhadats, orang yang mengalami mimisan dan semisalnya, atau dia adalah imam di masjid yang lain, mereka perlu keluar dari masjid guna membersihkan diri, misalnya. Kemudian Al-Hafizh juga menyatakan bahwa Ath-Thabarani meriwayatkan dalam Al-Ausath dari jalan Sa’id ibnul Musayyab rahimahullahu, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لاَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ فِي مَسْجِدٍ ثُمَّ يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ لِحَاجَةٍ ثُمَّ لاَ يَرْجِعُ إِلَيْهِ إِلاَّ مُنَافِقٌ
“Tidaklah seseorang mendengar adzan di dalam masjid kemudian ia keluar meninggalkan masjid tersebut (sebelum melaksanakan shalat) terkecuali karena suatu hajat/kebutuhan, lalu setelah keluarnya ia tidak kembali lagi ke masjid, tidak lain kecuali orang itu munafik.” (Fathul Bari, 2/159)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan, keluar masjid (setelah adzan/iqamah) karena adanya udzur dibolehkan. Demikian pula orang yang keluar namun ia meniatkan untuk kembali. (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Hukmul Khuruj minal Masjid Ba’dal Adzan)
Iqamah untuk lebih dari satu shalat dan untuk shalat yang tertinggal
Siapa yang mengerjakan dua shalat dengan jamak taqdim atau jamak ta’khir maka ia iqamah untuk masing-masing shalat, sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang panjang tentang haji, “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh muadzinnya untuk iqamah shalat zhuhur. Kemudian (setelah mengerjakan shalat zhuhur) iqamah lagi untuk shalat ashar. Ini beliau lakukan di Arafah. Kemudian beliau mendatangi Muzdalifah, lalu mengerjakan shalat maghrib dan isya di sana dengan satu adzan dan dua iqamah.” (HR. Muslim no. 2492)
Demikian pula bila seseorang mengerjakan beberapa shalat yang luput dikerjakan pada waktunya, maka untuk masing-masing shalat diserukan iqamah sebagaimana dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Khandaq. Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami tertahan dari mengerjakan shalat fardhu pada hari perang Khandaq sampai hilang sebagian malam hingga akhirnya kami dicukupkan. Yang demikian itu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكَفَى اللهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ اللهُ قَوِيًّا عَزِيزًا
“Dan Allah mencukupkan peperangan dari kaum mukminin2 dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al-Ahzab: 25)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memanggil Bilal untuk menyuruhnya mengumandangkan iqamah. Kemudian beliau mengerjakan shalat zhuhur sebaik yang beliau lakukan bila mengerjakannya pada waktunya. Setelah itu Bilal iqamah lagi untuk shalat ashar, lalu beliau mengerjakan ashar dengan baik. Kemudian iqamah lagi untuk shalat maghrib, setelahnya beliau shalat maghrib. Terakhir, diserukan iqamah untuk shalat isya, beliau pun mengerjakan shalat isya. Ini dilakukan sebelum turun ayat tentang shalat khauf:
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
“Maka kalau kalian takut, kerjakanlah shalat dalam keadaan berjalan atau berkendaraan.” (Al-Baqarah: 239) [HR. Ahmad 3/25, 49, 67-68. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata: “Sanadnya shahih dengan syarat Muslim.” Lihat Ats-Tsamar, 1/109]
Apabila seseorang selesai mengerjakan shalat dan telah keluar dari masjid, padahal ia lupa satu rakaat dari shalatnya yang membuat shalatnya tidak sempurna, setelah itu ia ingat dan ingin melengkapi kekurangan shalatnya, maka ia mengulangi iqamah.
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari selesai dari shalat, beliau mengucapkan salam dan bangkit meninggalkan tempatnya padahal ada satu rakaat yang tertinggal. Beliau lupa. Lalu ada seseorang berkata, “Anda lupa mengerjakan satu rakaat.” Beliau pun kembali masuk ke masjid dan memerintahkan Bilal untuk iqamah. Lalu beliau shalat mengimami manusia menambah kekurangan satu rakaat tadi.” (HR. An-Nasa’i no. 663, hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa’i)
Al-Imam An-Nasa’i rahimahullahu memberi judul terhadap hadits ini: “(Ditegakkannya) iqamah bagi orang yang lupa satu rakaat dari shalatnya.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Penulis : Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
1 Catatan: Hadits ini tidaklah bertentangan dengan hadits Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu:
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَقُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْنِي (قَدْ خَرَجْتُ)
“Apabila telah diserukan iqamah untuk shalat maka janganlah kalian berdiri sampai kalian melihatku (telah keluar dari rumah menuju masjid).”
Keduanya bisa dijamak (dikumpulkan) dengan penjelasan bahwa terkadang hal itu terjadi untuk menunjukkan boleh iqamah dan berdiri bagi makmum meskipun belum ada imam, sekaligus penjelasan bahwa perbuatan mereka dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bisa jadi merupakan sebab larangan yang ada dalam hadits Abu Qatadah, di mana mereka berdiri saat diserukan iqamah walaupun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum keluar dari rumahnya. Beliau melarang mereka melakukan hal tersebut karena mungkin beliau masih punya kesibukan/pekerjaan yang memperlambat beliau untuk keluar mengimami mereka, sehingga dikhawatirkan penantian tersebut akan memberatkan mereka. Keterangan ini tidak pula bertentangan dengan hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan di atas tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicang-bincang cukup lama dengan seorang lelaki di satu sisi masjid sampai orang-orang yang hadir untuk shalat tertidur, karena dimungkinkan hal ini jarang terjadi atau perbuatan beliau ini hendak menunjukkan bolehnya perkara tersebut. (Fathul Bari, 2/158)
2 Kaum mukminin tidak perlu berperang secara fisik menghadapi orang-orang musyrik dan kafir ketika itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang menghalau dan membinasakan mereka dengan tentaranya berupa angin dan para malaikat.
http://www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=866
No comments:
Post a Comment