Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditinjau dari segi ittiba’ (diikuti atau tidaknya -pen), terbagi menjadi tiga macam:
1. Perbuatan Jibiliyah (yang merupakan tabiat manusia)
Seperti berdiri, duduk, minum, tidur dan lain-lain. Perbuatan ini terbagi menjadi dua jenis ditinjau dari segi ittiba’:
* Perbuatan yang ditunjukkan oleh dalil lain – selain perbuatan itu – bahwa perbuatan ini wajib atau mandub (disukai). Seperti makan dengan tangan kanan, minum sebanyak tiga kali tegukan dengan duduk, dan tidur di atas lambung kanan. Maka perbuatan ini disyariatkan untuk dicontoh dan diikuti.
* Perbuatan yang tidak ditunjukkan oleh satu dalil pun bahwa perbuatan itu disyariatkan. Maka perbuatan itu tetap pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh dilakukan) oleh semuanya. Hal itu karena “sifat tabiat manusia, seperti keinginan untuk makan dan minum, tidak dituntut untuk di hilangkan seluruhnya atau sebagian darinya.”(1)
Dan para ulama berselisih pendapat tentang disyariatkannya mengikuti dan meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – secara mandub (disukai) – di dalam jenis perbuatan ini menjadi 2 pendapat.
Disukai meneladani dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam jenis perbuatan ini. Dan dahulu Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan yang semacam ini meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya secara kebetulan.
Tidak disyariatkan meneladani dan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam jenis perbuatan ini. Dan ini adalah pendapat dan perbuatan jumhur (mayoritas) sahabat radhiallahu ‘anhum. Di antaranya adalah Al-Faruq dan Aisyah radhiallahu ‘anha, sebagaimana di dalam perkataan keduanya yang telah lalu.(2)
Dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tuntutan adat dan kebiasaan, disamakan hukumnya dengan perbuatan jibiliyah ini. Seperti mengenakan jubah dan surban, memanjangkan rambut, dan yang semacamnya. Karena – menurut pendapat yang lebih kuat – hal itu tidak menunjukkan selain hukum mubah. Kecuali jika ada dalil yang menunjukkan pensyariatannya.(3)
2. Perbuatan yang merupakan kekhususan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di dalam hal kekhususan-kekhususan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, para ulama telah menyebutkan beberapa perkara yang mubah, wajib atau haram bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebagiannya disepakati hukumnya dan yang lain diperselisihkan – dan di sini bukan tempat untuk menetapkannya. Maka di antara yang mubah bagi beliau adalah menikah lebih dari empat wanita, menikah tanpa mahar dan menikahi wanita yang menghibahkan (menyerahkan) dirinya. Di antara yang wajib bagi beliau adalah kewajiban tahajjud dan shalat malam. Dan di antara yang haram bagi beliau adalah makan dari shadaqah dan makan makanan yang berbau busuk seperti bawang putih dan bawang merah.
Maka ini adalah kekhususan-kekhususan yang tidak boleh seorang pun mengikutinya dengan bentuk yang telah dijelaskan. (5) Asy-Syaukani berkata, “Dan yang benar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diikuti di dalam perkara apa saja yang jelas bagi kita bahwa itu merupakan kekhususan beliau. Kecuali dengan syariat yang mengkhususkan kita.”(4)
Dan diikutsertakan ke dalam hukum ini pula, kekhususan-kekhususan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikan kepada sebagian sahabat beliau. Seperti persaksian Khuzaimah yang setara dengan persaksian dua orang laki-laki dan sembelihan Abu Burdah yang menyembelih seekor anak kambing (ketika kurban –pen). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
اِذْبَحْهَا وَلَنْ تَصْلُحَ لِغَيْرِكَ
“Sembelihlah anak kambing itu, tapi tidak boleh bagi selain engkau.” (6)
Sebagaimana diikutkan pula ke dalam hukum ini apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khususkan terhadap ahli bait beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti larangan memakan shadaqah.
3. Perbuatan yang merupakan ibadah.
Yaitu perbuatan-perbuatan – selain tabiat dan kekhususan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang mana tujuan perbuatan itu adalah pensyariatan. Maka perbuatan-perbuatan ini diikuti dan diteladani. Dan ini adalah hukum asal perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ اْلآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah.” (Qs. Al-Ahzab: 21)
Hanya saja sifatnya secara syar’i berbeda-beda dalam hal wajib atau mandubnya sesuai dengan indikasi yang ada.
Footnote:
(1) Al-Muwafaqaat karya Asy-Syathibi (2/108)
(2) Tentang penetapan hal ini, lihat Kitab Qa’idah Jalilah fit-Tawassul wal Wasilah (hlm 105, 106) karya Ibnu Taimiyah, al-Fatawa karya beliau (10/409) dan al-Ihkam karya Al-Amidi (1/227, 228). Lihat perbuatan Ibnu Umar di dalam al-Ibanah al-Kubra karya Ibnu Bath-thah (1/240-245)
(3) Lihat Af’aalun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Al-Asyqar (1/235, 236)
(4) Lihat Al-Ihkam karya Al-Amidi (1/228)
(5) Irsyaadul Fuhul (35, 36).
(6) Lihat Shahih Bukhari no. 2807, 5556, Al-Muwafaqaat karya Asy-Syathibi (2/245, 246)
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
http://ekonomisyariat.com/belajar-islam/perbuatan-nabi-ditinjau-dari-segi-ittiba%E2%80%99.html
No comments:
Post a Comment