Ruhiyah adalah bekal yang terbaik bagi setiap muslim, terutama bagi seorang da’i. Ruhiyah inilah yang akan memotivasi, menggerakkan dan kemudian menilai setiap perbuatan yang dilakukannya.. Keberadaan ruhiyah yang baik dan stabil menentukan kualitas sukses hidup seseorang, demikian juga dengan dakwah. Sangat tepat ungkapan yang menyatakan, “Ar-Ruhiyah qablad dakwah kama Annal Ilma qablal qauli wal amal”. Ungkapan ini merupakan “iqtibas” dari salah satu judul bab dalam kitab shahih Al-Bukhari, “Berilmu sebelum berbicara dan beramal, demikian juga memiliki ruhiyah yang baik sebelum berdakwah dan berjuang”.
Dalam konteks dakwah, menjaga dan mempertahankan ruhiyah harus senantiasa dilakukan sebelum beranjak ke medan dakwah, sehingga sangat ironis jika seseorang berdakwah tanpa mempersiapkan bekal ruhiyah yang maksimal, bisa jadi dakwahnya akan ”hambar” seperti juga ruhiyahnya yang sedang ”kering”. Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kalian bersama-sama, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu, kemudian lakukanlah amal kebaikan, dan berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad”. (Al-Hajj: 77-78)
Menurut susunannya, ayat di atas memuat perintah Allah kepada orang-orang yang beriman berdasarkan skala prioritas; diawali dengan perintah menjaga dan memperbaiki kualitas ruhiyah yang tercermin dalam tiga perintah Allah: ruku’, sujud dan ibadah, kemudian diiringi dengan implementasi dari ruhiyah tersebut dalam bentuk amal dan jihad yang benar. Yang diharapkan dari menjalankan perintah ayat ini sesuai dengan urutannya adalah agar kalian meraih kemenangan dan keberuntungan dalam seluruh aspek kehidupan, terlebih urusan yang kental dengan ruhiyah yaitu dakwah. Tentunya susunan ayat Al-Qur’an yang demikian bijak dan tepat bukan semata-mata hanya memenuhi aspek keindahan bahasa atau ketepatan makna, namun lebih dari itu, terdapat hikmah yang layak untuk digali karena susunan ayat atau surah dalam Al-Qur’an memang bersifat “tauqifiy” (berdasarkan wahyu, bukan ijtihad).
Peri pentingnya ruhiyah dalam dakwah dapat dipahami juga dari sejarah turunnya surah Al-Muzzammil. Surah ini secara hukum dapat dibagikan menjadi dua kelompok; kelompok yang pertama dari awal surah hingga ayat 19 yang berisi instruksi kewajiban shalat malam dan kelompok kedua yang berisi rukhshah dalam hukum qiyamul lail menjadi sunnah mu’akkadah, yaitu pada ayat yang terakhir, ayat 20. Bisa dibayangkan satu tahun lamanya generasi terbaik dari umat ini melaksanakan kewajiban qiyamul lail layaknya sholat lima waktu semata-mata untuk mengisi dan memperkuat ruhiyah mereka sebelun segala sesuatunya. Baru di tahun berikutnya turun rukhshah dalam menjalankan sholat malam yang merupakan inti dari aktivitas memperkuat ruhiyah. Hal ini dilakukan, karena mereka memang dipersiapkan untuk mengemban amanah dakwah yang cukup berat dan berkesinambungan.
Pada tataran aplikasinya, stabilitas ruhiyah harus diuji dengan dua ujian sekaligus, yaitu ujian nikmat dan ujian cobaan atau musibah. Karena bisa jadi seseorang mampu mempertahankan ruhiyahnya dalam keadaan susah dan banyak mengalami ujian dan cobaan, namun saat dalam keadaan lapang dan senang, bisa saja ia lengah dan lupa dengan tugas utamanya. Inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, “Bukanlah kefaqiran yang sangat aku khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika (kemewahan, kesenangan) dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya seperti yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana mereka juga binasa karenanya”. (Bukhari dan Muslim). Maka seorang mukmin yang kualitas ruhiyahnya baik adalah yang mampu mempertahankannya dalam dua keadaan sekaligus. Demikianlah yang pernah Rasulullah isyaratkan dalam sabdanya, “Sungguh mempesona keadaan orang beriman itu; jika ia mendapat anugerah nikmat ia bersyukur dan itu baik baginya. Namun jika ia ditimpa musibah ia bersabar dan itu juga baik baginya. Sikap sedemikian ini tidak akan muncul kecuali dari seorang mukmin”. (Al-Bukhari)
Dalam konteks ini, contoh yang sempurna adalah Muhammad saw. Beliau mampu memelihara stabilitas ruhiyahnya dalam keadaan apapun; dalam keadaan suka dan duka, senang dan sukar, ringan dan berat. Justru, semakin besar nikmat yang diterima seseorang, mestinya semakin bertambah volume syukurnya. Semakin besar rasa syukurnya, maka akan semakin tinggi voltase dakwahnya. Begitu seterusnya sehingga wajar jika Rasulullah tampil sebagai abdan syakuran. Karena memang demikian jaminan Allah swt, “Barangsiapa yang bersyukur, maka pada hakikatnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya” (Luqman: 12). Orang yang bersyukur akan memperoleh hasil syukurnya, yaitu kenikmatan ruhiyah yang ditandai dengan hidup menjadi lebih bahagia, tenteram dan sejahtera. Karena bersyukur hakikatnya adalah untuk dirinya sendiri.
Dan ternyata kesuksesan dakwah Rasulullah saw yang diteruskan oleh para sahabatnya sangat ditentukan –selain dari pertolongan Allah- dengan kekuatan ruhiyahnya. Selain dari qiyamul lail yang menjadi amaliyah rutin sepanjang masa, cahaya Al-Qur’an juga senantiasa menyinari hatinya. Allah swt menegaskan dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Ia dibawa turun oleh Ar-ruhul Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”. (Asy-Syu’ara’: 192-194). Demikian persiapan Muhammad sebelum menjadi Rasul yang akan memberi peringatan yang merupakan tugas yang berat dan mengandung resiko adalah dengan dibekali Al-Qur’an yang akan senantiasa mengarahkan hatinya.
Dalam hal ini, Dr. Yusuf Al-Qaradawi pernah menyatakan dengan tegas rahasia kekuatan Al-Qur’an, “
القرآن روح رباني تحيا به القلوب والعقول
“Al-Qur’an adalah kekuatan Rabbani yang akan menghidupkan hati dan pikiran”. Al-Qur’an akan senantiasa memancarkan kekuatan Allah yang akan kembali menghidupkan hati dan pikiran yang sedang dirundung duka dan kemaksiatan. Kekuatan nabi Muhammad sendiri ada pada kekuatan hatinya yang senantiasa dicharge dengan cahaya Al-Qur’an. Dan demikian seharusnya, kekuatan dakwah seseorang ditentukan oleh kekuatan ruhiyahnya, bukan dengan aspek secondary dan formalitas lainnya.
Pada masa yang sama, agar ruhiyah tetap stabil terpelihara, maka harus dijaga dengan banyak beramal, meskipun hanya sedikit. Karena amal yang terbaik menurut Rasulullah saw adalah amal yang berkesinambungan, “Sebaik-baik amal adalah yang berkesinambungan meskipun sedikit demi sedikit”. (Tirmidzi). Dalam konteks ini, Inkonsistensi ruhiyah pernah ditegur oleh Rasulullah saw, “Janganlah kamu seperti si fulan; dahulu ia rajin qiyamul lail, kemudian ia tinggalkan”.
Penguatan aspek ruhiyah sebelum yang lainnya pada hakikatnya merupakan bentuk kewaspadaan seorang mukmin di hadapan musuh besarnya yaitu setan yang seringkali bergandeng bahu dengan manusia untuk melancarkan serangannya dan merealisasikan misinya. Tepat ungkapan Prof. Muhammad Mutawlli Asy-Sya’rawi:.
يأتى الشيطان من نقطة الضعف للانسان
“Setan akan senantiasa mengintai dan mencari titik lemah manusia”. Dengan licik dan komit, setan senantiasa mengincar kelemahan manusia tanpa henti, karena ia tahu bahwa setiap manusia memiliki kelemahan dan oleh karenanya manusia diperintahkan untuk berlindung hanya kepada Allah dengan memperkuat aspek ruhiyahnya.
Demikianlah, aspek ruhiyah selalu menjadi potensi andalan para pemimpin dakwah yang telah menoreh tinta emas dalam sejarah dakwah ini. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dalam kualitas ruhiyah dan amalnya. “Ruhbanun bil Lail wa Fursanun bin Nahar”. Bisa jadi kelemahan dan kelesuan dakwah memang berpangkal dari kelemahan dan kelesuan ruhiyah. Saatnya para da’i menyadari urgensi ruhiyah sebelum amal dakwah dengan memberi perhatian yang besar tentang aspek ini dalam pembinaan. Karena demikianlah memang dakwah mengajari kita melalui generasi terbaiknya.
Wallahu ‘alam bis shawab
Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
http://www.dakwatuna.com/2007/ruhiyah-bekal-berdakwah/
No comments:
Post a Comment