Umar bin Khaththab ra berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: 'Sekiranya kalian benar-benar bertawakkal kepada Allah SWT dengan tawakkal yang sebenar-benarnya, sungguh kalian akan diberi rezeki, sebagaimana seekor burung diberikan rezeki; yang pergi pada pagi hari dalam keadaan perut lapar, dan pulang pada sore hari dalam keadaan perut kenyang (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim).
Di antara perkara penting yang kerap disalah-pahami adalah konsep al-tawakkul (tawakkal). Ada yang menganggap, tawakkal mengharuskan sikap pasrah dan meniadakan usaha yang bersifat kausalitas (tasabbubiyah). Bertolak dari anggapan itu, kemalasan berusaha pun menemukan justifikasinya. Hadits di atas menampik anggapan salah tersebut. Dalam riwayat al-Tirmidzi, hadits ini disebutkan: Law annakum kuntum tawakkalûna 'alâl-Lâh haqqa tawakkulihi laruziqtum kamâ yurzaqu al-thayr taghdû khimâsh[an] wa tarûhu bithân-[an].
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim, yang semuanya berasal dari Abdullah bin Hubairah, dari Tamim al-Jaisyani, dari Umar ra. Menurut al-Tirmidzi dalam kitab Sunannya, hadits ini berstatus hasan shahîh. Sedangkan al-Hakim dalam al-Mustadrak 'alâ al-shahîhayn menyebutnya sebagai shahîh al-isnâd.
Tawakkal yang Benar
Di dalam hadits ini diberitakan mengenai jaminan Allah SWT bagi orang yang bertawakkal kepada-Nya. Hanya saja, tawakkal yang dilakukan itu harus haqqa tawakkulihi (tawakkal yang sebenar-benarnya).
Menurut Imam al-Qurthubi dalam al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, kata al-tawakkul secara bahasa berarti izhhâr al-'ajz wa al-i'timâd 'alâ al-ghayr (menampakkan kelemahan dan bersandar kepada yang lain). Itu berarti, bertawakkal kepada Allah SWT artinya bersandar kepada-Nya seraya menampakkan kelemahan.
Ibnu Rajab al-Hambali dalam Jâmi' al-'Ulûm wa al-Hikam menyatakan, “Hakikat tawakkal adalah membenarkan penyandaran hati kepada Allah dalam usaha untuk memperoleh manfaat atau menolak bahaya, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat; menyerahkan semua urusan kepada Allah; dan mengokohkan keimanan bahwa tidak ada yang memberi atau menghalangi rezeki, mendatangkan bahaya atau manfaat selain Allah semata.”
Ibnu Hajar al-Asqalani menuturkan bahwa yang dimaksud dengan tawakkal adalah meyakini apa yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah yang memberi rezekinya.”(QS Hud [11]: 6). Ini berarti, tawakkal berkaitan dengan keimanan.
Penjelasan senada juga di-sampaikan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam al-Rûh fi Kalâm 'alâ Arwâh al-Amwât wa al- Ahya. Menurutnya, “Tawakkal merupakan amalan dan ubudiyah hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya, dan ridla atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala 'kecukupan' bagi dirinya, dengan tetap melaksanakan 'sebab-sebab' serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.” Oleh karena amalan hati, maka jika hanya diucapkan saja, tanpa dibenarkan oleh hati, tidak tergolong sebagai tawakkal.
Perintah untuk bertawakkal kepada Allah SWT amat banyak dijumpai dalam Alquran, seperti QS al-Nisa' [4]: 81). Perintah serupa juga terdapat pada QS al-Maidah [5]: 11, al-Anfal [8]: 61, Hud [11]:123, al-Fuqan [25]:58, al-Ahzab [33]: 33 dan lain-lain. Sebaliknya, kaum Mukmin dilarang untuk bertawakkal kepada selain-Nya (lihat QS al-Isra' [17]: 2).
Bertolak dari ayat-ayat ini dapat disimpulkan bahwa tawakkal merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi. Bahkan ditegaskan Ibnu Taimiyyah dalam Majmû' al-Fatâwâ bahwa tawakkal kepada Allah merupakan wâjib min a'zham al-wâjibât (termasuk kewajiban yang paling agung) sebagaimana ikhlas kepada Allah SWT dan cinta kepada Allah dan rasul-Nya. Karena perintah bertawakkal itu dibangun atas dalil-dalil yang qath'i, maka mengingkarinya dapat menyebabkan kekufuran.
Bukan Meniadakan Sabab
Kesimpulan lain yang dapat dipetik dari hadits ini bahwa tawakkal yang benar tidak meniadakan usaha bersifat sababiyyah. Tawakkal yang diserupakan seperti burung jelas menunjukkan hal itu. Untuk memenuhi kebutuhan perutnya, burung tidak hanya tinggal di sarangnya dan menunggu makanan yang datang. Akan tetapi, burung itu pun pergi untuk mencari karunia Allah. Setelah seharian mening-galkan sarangnya, pada sore harinya burung itu pun pulang dalam keadaan perut kenyang.
Gambaran Rasulullah SAW ini menjelaskan bahwa tawakkal yang benar bukan berarti hanya pasrah seraya meninggalkan usaha. Usaha yang bersifat sababiyyah tetap harus dikerjakan. Jika burung saja dituntut untuk keluar mencari makanan, terlebih manusia yang dikarunia akal dan berkedudukan sebagai mukallaf. Dalam soal rezeki, syara' telah memerintahkan manusia bekerja, mencari rezeki, dan berusaha (lihat QS al-Mulk [57]: 15). Hal ini bukan hanya berlaku dalam soal rezeki, namun untuk semua urusan.
Tidak ada yang meragukan keyakinan Rasulullah SAW akan pertolongan Allah SWT terhadap agama dan rasul-Nya. Akan teta-pi dalam berdakwah, berperang, dan berjuang, beliau amat mem-perhatikan aspek sababiyah. Untuk melumpuhkan musuh pa-da Perang Badar, beliau meme-rintahkan menutup sumur-sumur di sekitar Badar. Agar pasukan ahzab yang berjumlah sepuluh ribu orang tidak bisa masuk ke kota Madinah, beliau memerintahkan kaum Muslimin menggali parit. Beliau juga pernah meminjam baju besi Shofwan untuk berperang. Itu semua menunjukkan bahwa be-liau telah melakukan amal sesuai kaidah sababiyyah.
Namun harus tetap dicam-kan bahwa adanya usaha yang dilakukan sama sekali tidak boleh mengurangi keyakinan bahwa yang mencukupi seluruh kebutu-hannya adalah Allah SWT. Dia pula yang berkuasa terjadinya manfaat atau mudharat bagi manusia. Bukan usaha yang dilakukan manusia.
Berkaitan dengan ini, Ibnu Rajab al-Hambali dalam Jâmi' al-'Ulûm wa al-Hikam mengatakan, “Sesungguhnya Allah SWT me-merintahkan untuk menunaikan sebab-sebab sekaligus meme-rintahkan untuk bertawakkal. Usaha dengan anggota badan dalam melakukan sebab adalah suatu bentuk ketaatan kepada Allah. Sedangkan bersandarnya hati pada Allah adalah termasuk keimanan. Sebagaimana perin-tah-Nya untuk bersiap siaga dalam perang (QS al-Nisa' [4]: 71), menyiapkan kekuatan yang di-sanggupi dan kuda-kuda yang ditambatkan (QS al-Anfal [8]: 60), dan bertebaran di muka bumi dan mencari karunia Allah sete-lah shalat Jumat ditunaikan (QS al-Jumu'ah [62]: 10)” Ibnu Rajab pun lantas mengutip pernyataan Sahl al-Tustari yang mengatakan, ”Barangsiapa mencela usaha, berarti dia telah mencela sunnah. Barangsiapa mencela tawakkal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan.”
Ketika menjelaskan hadits ini, al-Manawi dalam Tuhfat al-Ahwadzi mengatakan, ”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha itu bukanlah yang memberi rezeki. Yang memberi-kan rezeki adalah Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa tawak-kal tidak harus meninggalkan dan mengabaikan usaha. Akan tetapi, tawakkal haruslah dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja diberikan rezeki dengan usaha.”
Keutamaan Tawakkal
Di dalam hadits ini ditegas-kan bahwa siapa saja yang menjalankan tawakkal dengan benar, dia akan dicukupkan rezekinya seperti halnya burung. Selain hadits ini, jaminan Allah SWT kepada orang yang ber-tawakkal juga disebutkan dalam firman-Nya: “Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya” (TQS al-Thalaq [65]: 3).
Anda ingin termasuk di dalamnya? Bertawakkallah de-ngan tawakkal yang benar! Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.
http://www.mediaumat.com/content/view/1175/2/
No comments:
Post a Comment