Dalam wawancara di Rubrik Islam Digest Republika (1/2/ 2009), Prof Dr H Ahmad Rofiq MA, guru besar IAIN Semarang, mengatakan bahwa dalil qath'i masih juga diperdebatkan oleh ulama. ''Salah satu contoh dalil qath'i yang kemudian diperdebatkan kembali hukumnya adalah kasus potong tangan bagi pencuri,'' kata Ahmad Rofiq yang juga sekretaris MUI Jawa Tengah.
Menurut Prof Rofiq, ketika itu ada pembantu yang mengambil barang majikannya. Tapi, ia mencuri karena terpaksa, karena anak dan istrinya sedang kelaparan akibat honornya tidak dibayar oleh majikannya. Oleh khalifah Umar, si pencuri tidak dihukum potong tangan. Cerita ini tidak disebutkan sumbernya. Tapi, penjelasan Prof Ahmad Rofiq itu menyimpulkan bahwa Umar bin Khathab telah mengubah hukum yang qath'i, yakni hukum potong tangan.
Argumentasi semacam ini sudah berulang-ulang diungkapkan oleh berbagai kalangan. Munawir Sjadzali, dalam makalahnya berjudul Reaktualisasi Ajaran Islam menulis tentang Umar bin Khathab: Selama menjabat beliau telah mengambil banyak kebijaksanaan dalam bidang hukum yang tidak sepenuhnya sesuai dengan bunyi ayat-ayat Alquran. (Lihat, Munawir Sjazali. 1993. Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta: UI Press). Peneliti Freedom Institute, Ahmad Sahal, dalam artikelnya berjudul Umar bin Khattab dan Islam Liberal menyebut Islam Liberal mendapat energi dari Umar bin Khathab.
Padahal, fakta sebenarnya tidaklah demikian. Umar bin Khatab ra sama sekali tidak mengubah status hukum potong tangan bagi pencuri. Tetapi, yang sebenarnya, penerapan hukum itu sendiri harus memenuhi sejumlah syarat. Ada beberapa dalil untuk itu.
Pertama, hadis riwayat As-Sarkhasi dari Mahkul bahwa Nabi SAW telah berkata: Tidak ada potong tangan pada masa (tahun) paceklik yang teramat sangat. (Lihat, Syamsuddin As- Sarkhasi, Al-Mabsuth (Mesir: As-Sa'adah, 1324), jil. 10, hal. 104). Jadi, Umar tidak menerapkan hukum potong tangan pada kasus tertentu karena memang ada nash lain yang menjelaskan. Umar ra tidak meninggalkan nash Alquran yang sudah jelas maknanya.
Kedua, selain hadis yang sangat jelas itu, Allah menjelaskan dalam Alquran: Maka barangsiapa yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 5:3).
Dari sini jelas bahwa ijtihad Umar menggugurkan had potong tangan dalam beberapa kasus pencurian di bawah pemerintahannya adalah karena tunduk di bawah aturan syariat Alquran dan hadis. Dan, bukan disandarkan pada logika dan kemaslahatan semata. Adalah tidak masuk akal, Umar bin Khathab berani melanggar atau mengubah nash-nash yang qath'i, sedangkan ketika itu para sahabat begitu kritisnya dalam setiap masalah agama. Tindakan Umar ra dalam masalah hukuman bagi pencuri pun sudah disetujui oleh para sahabat karena tidak menyalahi Alquran dan Sunah Rasulullah SAW.
Kasus pengguguran hukum potong tangan bagi sebagian pencuri telah dibahas secara mendalam oleh Dr Muhammad Baltaji dalam tesis masternya di Fakultas Syariah Universitas Kairo, yang berjudul Manhaj Umar Ibn Khathab fii at-Tasyri: Diraasatu Mustaw’abah li-Fiqhi Umar wa-Tandziimaatihi. (Diterbitkan oleh Penerbit Khalifa dengan judul Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, 2003). Umar bin Khathab tidaklah menggugurkan hukum potong tangan bagi pencuri, tetapi beliau menerapkan hukum itu untuk kondisi tertentu dan tidak menerapkannya untuk kondisi yang lain.
Hukum potong tangan bagi pencuri telah diterapkan oleh Rasulullah SAW dan juga oleh Abu Bakar ra. Umar pun menerapkan hukum tersebut terhadap Samurah yang kedapatan mencuri. Tetapi, di musim paceklik, Umar tidak menerapkan hukum tersebut karena memang ada hadis Rasulullah SAW: Tidak ada potong tangan pada masa (tahun) paceklik yang teramat sangat. Sejumlah ulama, seperti Ibnul Qayyim dan al-Auzai juga berpendapat bahwa dalam keadaan paceklik, hukum potong tangan digugurkan.
Muhammad Baltaji berpendapat, bukan hanya paceklik nasional yang menjadi kondisi digugurkannya hukum ini, bahkan dalam kondisi paceklik personal yang memaksa seseorang mencuri karena lapar maka hukum potong tangan pun digugurkan. Ibnul Qayyim, sebagaimana dikutip Baltaji menyatakan: Dan, sesuai dengan sunah bahwa jika ada kelaparan dan kebutuhan yang teramat sangat, yang menyebabkan seseorang merasa butuh dan bahkan menjadi keharusan baginya untuk memperoleh barang yang dibutuhkan itu, seorang pencuri akan bebas dari tuntutan karena keadaan darurat untuk menyambung nyawanya. Dan, dalam keadaan yang demikian itu, wajib bagi orang yang memiliki sesuatu untuk memberikan barangnya itu secara cuma-cuma, karena setiap orang wajib memberikan kemudahan dan membantu orang lain untuk menjaga nyawanya. Dan, inilah alasan kuat digugurkannya potong tangan bagi orang yang dalam keadaan terpaksa.
Umar bin Khathab berpegang pada sabda Rasulullah SAW: Hindarkanlah had (hukuman yang sudah ditentukan, misalnya potong tangan atau rajam--Pen) semampu kalian dari orang Islam. Sebab, lebih baik seorang imam (hakim) salah dalam memberikan ampunan daripada ia salah dalam memberikan had. Karena itu, kata Umar ra: Menggugurkan had dalam masalah-masalah yang belum jelas, lebih baik daripada melaksanakannya.
Oleh sebab itu, tidak benar tuduhan bahwa Umar bin Khathab berani mengubah nash yang qath'i. Umar ra tetap berpegang kepada nash Alquran dan sunah. Dr Baltaji menulis: Merupakan kesalahan yang sangat fatal, jika ada orang yang mengira bahwa Umar bin al-Khathab adalah pioner (orang yang pertama kali) dalam menggugurkan had pencuri. Karena pada kenyataannya, ia hanya sebatas mempraktikkan nash-nash yang umum dan khusus dari Alquran dan sunah.
Umar bin Khathab dan para sahabat Nabi SAW adalah manusia-manusia pilihan yang sangat taat kepada Alquran. Suatu ketika, saat menjabat kepala negara, Umar berpidato di atas mimbar: Aku tidak mendengar seorang wanita yang maharnya melewati mahar istri-istri Nabi, kecuali aku akan menguranginya.
Tiba-tiba seorang wanita berkata kepada Umar: Kau berkata dengan pendapatmu sendiri atau kau mendengar dari Rasulullah? Karena kami menemukan dalam Alquran sesuatu yang tidak sesuai dengan perkataanmu. Dia lalu membaca QS 4:120. Mendengar kritik wanita tersebut, Umar bin Khathab berkata: Perempuan ini betul dan Umarlah yang salah.
Itulah sikap Umar ra sebagai seorang kepala negara yang memiliki kualitas keilmuan yang sangat tinggi. Generasi sahabat memang dikenal sebagai generasi yang sangat kritis. Karena itulah, seorang pemimpin, seperti Umar bin Khathab tidak bisa bertindak sembarangan. Apalagi, sampai mengubah-ubah hukum yang jelas ditetapkan dalam Alquran dan sunah.
Dalam wawancara dengan Republika tersebut, Prof Rofiq berpendapat bahwa dalam masalah sosial kemasyarakatan dan kemaslahatan yang lebih besar, hukum-hukum Islam masih bisa diperdebatkan. Dia contohkan, hukum iddah bagi wanita bisa diperdebatkan, karena dengan kemajuan teknologi, dalam waktu lima menit sudah bisa diketahui seseorang yang berhubungan suami-istri bisa hamil atau tidak.
Logika seperti ini sebenarnya sangat riskan sebab tidak memiliki batasan yang jelas. Sehingga, bisa menjadi pendapat yang liar. Seharusnya, setiap Muslim tidak gegabah dalam mengeluarkan pendapat jika tidak didukung oleh landasan yang kokoh.
Jika hukum-hukum Islam yang sudah qath'i boleh diubah atas dasar kemaslahatan, tentu pertanyaannya adalah apa makna kemaslahatan dan menurut siapa? Soal manfaat dan maslahat, lokalisasi perjudian dan pelacuran pun ada maslahatnya. Perkawinan sejenis juga ada manfaatnya, bagi mereka.
Kaum Yahudi dimurkai oleh Allah karena mereka berani merusak ajaran para Nabi (QS 2: 75, 79). Dengan alasan kemaslahatan juga, kaum Yahudi liberal kini menyelenggarakan perkawinan homo dan lesbi di sinagog-sinagog mereka. Kita senantiasa berdoa dalam shalat, semoga dijauhkan dari jalan kaum Yahudi (al-maghdlub).
Wallahu A'lam.
Muhammad Musa dan Adian Husaini
(Dosen STID Mohammad Natsir, Jakarta)
http://www.republika.co.id/berita/34204/ijtihad-umar-bin-khathab
No comments:
Post a Comment