Mukadimah
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah dalam Kitab Fathul Qadir:
"يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم" بفعل ما أمركم به وترك ما نهاكم عنه "وأهليكم" بأمرهم بطاعة الله ونهيهم عن معاصيه
“Wahai Oang-orang yang beriman, peliharalah dirimu” maksudnya dengan melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan kepadamu dan meninggalkan apa-apa yang telah dilarang untukmu. “Dan keluargamu” maksudnya dengan memerintahkan mereka untuk tat kepada Allah dan mencegah mereka dari maksiat kepadaNya. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir)
Imam Muqatil bin Sulaiman berkata, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,” yakni memelihara dengan adab yang shalih (baik).
Imam Mujahid dan Imam Muqatil juga berkata, “Peliharalah dirimu dengan amal perbuatanmu, dan peliharalah keluargamu dengan wasiat-wasiatmu.”
Imam Ibnu Jarir berkata, “Wajib bagi kita mengajarkan anak-anak kita tentang agama dan kebaikan, beserta perkara adab yang dibutuhkannya.” (Lihat Tafsir ini semua dalam kitab Fathul Qadir)
Anak merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya, baik bapak atau ibu, teristimewa lagi bapak, sebab ia kepala rumah tangga yang tanggung jawab dunia akhiratnya lebih besar. Sesuai dengan hadits: Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyatihi (Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya). Maka sangat wajar bila seorang ahli hikmah mengatakan, “Perhatikanlah anakmu, sebab surga atau neraka bagimu, tergantung sikapmu terhadap anak.”
Berikut ini adalah rincian cara Islam dalam mendidik anak.
1.Memberikan kabar gembira atas kelahiran anak
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“ Maka kami beri dia (Nabi Ibrahim) kabar gembira dengan (lahirnya) seorang anak yang amat sabar (yakni Nabi Ismail)” (QS. Ash Shafat: 101)
Dalam ayat lain:
“Hai Zakaria, Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS. Maryam: 7)
Sudah selayaknya orang tua bergembira dengan kelahiran anak, baik bayi laki-laki atau perempuan, baik anak pertama atau selanjutnya, dengan tanpa pembedaan dan pilih kasih sebagai wujud rasa syukur kita kepada Allah Ta’ala. Kegembiraan ini diharapkan menjadi awal yang baik dan memiliki pengaruh bagi jiwa anak, agar dalam perkembangannya ia mudah diarahkan dan dididik sesuai adab Islam.
2. Menasabkan bayi itu kepada orang tuanya (bapak)
Ini merupakan kewajiban selanjutnya yang dilakukan orang tua kepada anaknya. Sesuai firmanNya:
“Panggil-lah mereka (anak-anak angkatmu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah.” (QS. Al AHzab: 5)
Ayat ini berkenan tentang anak angkat, kita wajib memanggil dan menasabkan mereka dengan bapak kandungnya sendiri (bapak biologis). Apalagi, dengan anak kita sendiri tentu lebih wajib menasabkan kepada orang tua sendiri.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencela orang yang mengingkari atau tidak mengakui anaknya sendiri. Atau, mengklaim anak orang lain sebagai anak kandung.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Kufur hukumnya, orang yang mengklaim nasab yang tidak diketahuinya, atau mengingkari nasab walau masih samar.” (HR. Ibnu Majah no.2744, Ahmad II/215, dengan sanad hasan)
Ada kebiasaan di sebagian masyarakat kita, menyandarkan nama anak (perempuan) dengan nama suaminya, tentunya hal itu bertent angan dengan cara Islam. Misal, seorang bapak sebut saja namanya Muhammad mempunyai anak wanita bernama Fatimah, nikah bersuamikan Ali, maka dimasyarakat ia akan dipanggil ‘Bu Ali’ atau dibelakang namanya tertulis Fatimah Ali. Itu keliru, seharusnya ia tetap dinasabkan kepada bapaknya, misal Fatimah binti Muhammad.
3. Mendoakannya dengan Doa perlindungan
Hal ini dicontohkan dalam Al Qur’an, yakni ketika isteri dari seorang shalih bernama Imran (ada juga yang menyebutnya sebagai nabi), akan melahirkan bayi perempuan yang kelak dinamakan Maryam. Saat itu Istri Imran mendoakan bayi perempuannya (Maryam).
Allah Ta’ala berfirman:
“Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, Sesunguhnya Aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya Aku Telah menamai dia Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk." (QS. Ali Imran : 36)
Imam Ibnu Katsir berkata: “Yaitu aku mohon perlindungan Allah untuknya, serta untuk anak keturunannya, yaitu Isa dari kejahatan syetan. Maka Allah kabulkan permohonan itu.” Lalu Imam Ibnu Katsir menyebutkn sebuah hadits dari Abdurrazaq dari Ma’mar, dari Az Zuhry, dari Said bin Musayyib, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah, bahwa Ia bersabda:
“Tidaklah satupun bayi ketika dilahirkan melainkan syetan mengganggunya, sehingga menjeritlah bayi itu. Kecuali Maryam dan anaknya, Isa.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Jilid 1, hal. 479)
Jadi, menurut keterangan ini, hanya dua bayi yang tidak mengalami gangguan syetan, yaitu Maryam dan anaknya, Isa.
Masih lanjutan hadits di atas, Abu Hurairah berkata, “Bacalah!” Inni u’idzuha bika wa dzurriyataha minasy syaithanir rajim. "وإني أعيذها بك وذريتها من الشيطان الرجيم" (Sesungguhnya Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau, dari gangguan syetan yang terkutuk) (HR. Bukhari no. 3431, Muslim no. 2366, 2367)
Jika anaknya laki-laki maka kata ‘ha’ diganti menjadi ‘hu’, yakni menjadi Inni u’idzuhu bika wa dzurriyatahu minasyaithanir rajim.
Imam Al Qurthubi berkata, “Gangguan syetan merupakan upaya penguasan terhadap bayi tersebut. Maka Allah menjaga Maryam dan anaknya dengan berkah doa ibunya.”
4. Adzankan
Ini merupakan upaya merekamkan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah sejak dini. Sebab otak bayi laksana pita kaset yang masih kosong, ia akan terisi oleh suara yang pertama kali tertangkap olehnya. Semoga hal itu menjadi arahan yang lurus bagi sang bayi, yang akan mengendalikan arah hidupnya.
Para ulama tidak sepakat dalam masalah mengadzankan dan mengqomatkan bayi, sebagian mereka ada yang menyebut keduanya adalah bid’ah karena tidak ada dasarnya, ada pula yang mengatakan adzan disyariatkan tetapi iqamah tidak, ada pula yang membolehkan dan menganjurkan adzan dan iqamah sekaligus. Adapun kami lebih cenderung mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa adzan disyariatkan, sedangkan iqamah tidak. Sebab seluruh hadits tentang iqamah untuk bayi tak ada satu pun yang shahih atau hasan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Demikianlah, wallahu a’lam.
Dari Abu Rafi’, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah adzan seperti adzan shalat di telinga Al hasan ketika dilahirkan oleh Fathimah.” (HR. Ahmad, VI/9,391,392. Abu Daud no. 5105. At Tirmidzi I/286)
Syaikh al Albany –ahli hadits abad ini- berkata tentang status hadits ini, “Hasan, Insya Allah!” (Irwa’ al Ghalil, IV/400)
Sedangkan hadits tentang iqamah, adalah sebagai berikut:
"Siapa yang kelahiran anak lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan dan iqamah pada telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil, -pent) tidak akan membahayakannya".
(Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 623) dan Al-Haitsami membawakannya dalam Majma' Zawaid (4/59) dan ia berkata : Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Ghifari , ia matruk (haditsnya ditinggalkan)".
Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya'la dengan nomor (6780).
Berkata Muhaqqiq (peneliti hadits)nya : "Isnadnya rusak dan Yahya bin Al-Ala tertuduh memalsukan hadits". Nah, dari keterangan ini jelaslah bahwa hadits tentang qamat untuk bayi tidak bisa dijadikan landasan untuk mengamalkannya, karena cacatnya yang parah.
5. Tahnik
Disunahkan memberikan tahnik kepada bayi dengan menggunakan kurma atau sejenisnya, seperti madu dan lain-lain. Dengan cara mengunyah kurma hingga lembut dan halus, lalu dimasukkan ke dalam mulut bayi tersebut. Ini merupakan upaya persiapan agar bayi nantinya mudah untuk merasakan manisnya air susu ibu. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits:
Dari Abu Musa al Asy’ary beliau berkata: Dilahirkan bagiku bayi laki-laki, kemudian aku bawa kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah menamakan bayi itu Ibrahim dan mentahniknya dengan korma serta mendoakan keberkatan atasnya, lalu menyerahkan kembali kepadaku. Dan dia (Ibrahim) merupakan anak Abu Musa yang paling besar (sulung).(HR. Bukhari no. 5467, Muslim III/1690, Ahmad IV/339)
Dari hadits ini ada tiga pelajaran lain selain tahnik, yaitu pertama, hendaknya yang mentahnik adalah orang shalih atau ahli ilmu. Boleh saja orang tuanya sendiri, apalagi ia juga seorang shalih atau ahli ilmu. Kedua, meminta diberikan atau dicarikan nama yang baik bagi si bayi oleh orang shalih atau ahli ilmu. Ketiga, mendoakan bayi ketika ditahnik dengan doa yang mengandung keberkahan bagi bayi. Namun, tidak ada rincian seperti apakah lafal doa tersebut, karena dalam hadits tersebut tidak sebutkan teks doanya.
Jika mau, boleh diucapkan doa yang mengandung permohonan keberkahan seperti: Allahumma barik lahu, atau Allahumma barik ‘alaih, atau Allahumma barik fih. Secara bahasa doa-doa ini memiliki maksud yang sama yakni agar bayi tersebut diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
6. Sikap Terhadap Bayi di hari ke Tujuh
Ada tiga hal yang hendaknya orang tua lakukan pada hari ketujuh usia bayi, yakni aqiqah, mencukur rambut, dan peresmian pemberian nama. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah;
“Bersama seorang bayi ada aqiqahnya, maka sembilahlah kambing dan singkirkanlah gangguan drinya” (HR. Bukhari no. 5472, Ahmad IV/18, An Nasa’i V/164, Abu Daud III/106 no. 1829, At Tirmidzi IV/97, 98)
Maksud dari ‘singkirkanlah gangguan darinya’ adalah mencukur rambutnya. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, IX/593. Imam Asy Syaukani, Nailul Authar,V/35)
Dalam riwayat lain: “Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelih (hewan) pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur rambutnya dan diberikan nama.” (HR. Ahmad V/807 no. 12,17,18, Ibnu Majah no. 3165, At Tirmidzi IV/101, An NAsa’I V/166, dan Abu Daud III/106)
A. Aqiqah
Definisinya
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfatul Maudud hal.25-26, mengatakan bahwa Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah “Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya.”
Hukumnya
sebagian besar ulama menyatakan sunnah. Berkata Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar (VI/213): “Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan sunah, dalilnya adalah Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” (Sanadnya Hasan, HR. Abu Dawud (2843), Nasa’i (VII/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (IV/330), dan shahihkan oleh Imam al-Hakim (IV/238) )
Namun ada juga yang menyatakan wajib yaitu Imam Hasan al Bashri, Al Laits bin Saad, dan Abu Zinad (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, VIII/580) ini juga pendapat Syaikh al Albany Rahimahullah.
Waktu Pelaksanaan
Dilakukan pada hari ketujuh, sesuai hadits shahih di atas. Ulama sepakat bahwa hari ketuju merupakan hari paling utama aqiqah, sebab haditsnya jelas, tegas, dan shahih. Namun ulama berbeda pendapat apakah boleh aqiqah di luar hari ketujuh. Sebagian ulama ada yang membolehkan pada hari sebelum ketujuh seperti Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Tuhfatul Maudud hal. 35, ada pula yang membolehkan pada hari sesudahnya seperti pendapat Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla (Jilid VII, hal. 527), atau hari kelipatannya, yakni hari 14 atau 21, sesuai hadits riwayat Imam Thabrani dari Abdullah bin Buraidah yang membolehkannya, namun hadits tersebut lemah (dhaif-tidak valid) (Syaikh al Albany, Irwa’ al Ghalil, IV/394/1170) atau pada hari ketika dewasa.
Sebagian ulama mengatakan : "Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa kecilnya maka boleh mel akukannya sendiri ketika sudah dewasa". Mungkin mereka beralasan dengan hadits dari Anas bin Malik yang berbunyi : “Rasulullah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat sebagai nabi.” (HR. Abdur Razaq (4/326) dan Abu Syaikh dari jalan Qatadah dari Anas. Hadits ini statusnya munkar, yaitu salah satu jenis hadits dhaif (lemah), yang di dalam sanadnya ada periwayat yang dikenal banyak maksiat dan tidak kuat hafalannya, atau isi haditsnya bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh orang yang lebih terpercaya)
Nah, dari keterangan ini jelaslah bahwa hari ketujuh adalah hari yang disepakati dan paling utama untuk melaksanakan aqiqah, menurut keterangan para ulama berdasarkan hadits yang shahih (valid-authentic tex ). Adapun hadits-hadits di luar hari ketujuh, semuanya tak satu pun yang shahih, dan tidak bisa dijadikan hujjah (alasan), walau ada sebagian ulama dan para Imam yang membolehkannya. Wallahu A’lam
Harus dengan Kambing
Tidak boleh aqiqah dengan selain kambing, berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Abi Malikah ia berkata: Telah lahir seorang bayi laki-laki untuk Abdurrahman bin Abi Bakar, maka dikatakan kepada ‘Aisyah: “Wahai Ummul Mu’minin, adakah aqiqah atas bayi itu dengan seekor unta”. Maka ‘Aisyah menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, tetapi seperti yang dikatakan oleh Rasulullah, dua ekor kambing yang sepadan.” (HR. Baihaqi, IX/301 dan Abu Ja’far ath Thahawi I/457)
Bayi laki-laki dua kambing, Bayi Perempuan satu kambing
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” (Shahih, HR. Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), juga Ibnu Majah (3163), namun dengan sanad hasan)
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” (Sanadnya Hasan, HR. Abu Dawud (2843), Nasa’I (7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh Imam al-Hakim (4/238) )
Setelah menyebutkan dua hadist diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (IX/592): “Semua hadits yang semakna dengan ini menjadi hujjah (dalil) bagi jumhur/mayoritas ulama dalam membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam masalah aqiqah.”
Imam Ash-Shan’ani rahimahullah dalam kitabnya Subulus Salam (IV/1427) mengomentari hadist Aisyah tersebut diatas dengan perkataannya : “Hadist ini menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi perempuan ialah setengah dari bayi laki-laki.”
Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah dalam kitabnya Raudhatun Nadiyyah (II/26) berkata : “Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) ulama bahwa aqiqah untuk bayi perempuan adalah satu kambing.”
Boleh Bayi laki-laki dengan satu kambing
Dibolehkan oleh sebagian ulama untuk bayi laki-laki dengan satu kambing. Ini biasanya terjadi jika sedang mengalami kesempitan kondisi ekonomi, namun jika dalam keadaan lapang, maka tetaplah wajib dua kambing bagi bayi laki-laki.
Pendapat ini didasarkan pada hadits:
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : “Mengaqiqahi Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” (HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied)
Inilah pendapat yang dipegang oleh sahabat nabi seperti Abdullah bin Umar, Urwah bin Zubir, dan juga salah satu dari Imam yang empat yakni Imam Malik, dan lain-lain.
Dilarang melumuri kepala bayi dengan darah kambing aqiqah
Ini adalah adat zaman jahiliyah yang wajib dihilangkan. Abu Buraidah berkata: “Kami pada zaman jahiliyah dahulu, jika lahir seorang bayi laki-laki bagi kami maka disembelih atasnya seekor kambing dan dilumurkan ke kepala bayi itu darah sembelihannya. Namun, ketika Islam datang, kami menyembelih kambing, mencukur rambut bayi, dan melumurinya dengan za’faran (sejenis minyak wangi).” (Riwayat Abu Daud III/107, Baihaqi IX/303, Hakim IV/238)
“Dari Aisyah berkata : Dahulu ahlul kitab pada masa jahiliyah, apabila mau mengaqiqahi bayinya, mereka mencelupkan kapas pada darah sembelihan hewan aqiqah. Setelah mencukur rambut bayi tersebut, mereka mengusapkan kapas tersebut pada kepalanya ! Maka Rasulullah bersabda : “Jadikanlah (gantikanlah) darah dengan khuluqun (sejenis minyak wangi).” (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban (5284), Imam Abu Dawud (2743), dan dishahihkan oleh Imam al Hakim (2/438))
Al-‘Allamah Syaikh Al-Albani dalam kitabnya Irwa’ al Ghalil (IV/388) berkata : “Mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam.”
Disunnahkan daging kambing dibagikan dalam kondisi matang, dan boleh bagi orang tua bayi untuk ikut memakannya. Wallahu A’lam
Demikianlah penjelasan ringkas tentang aqiqah, alhamdulillah …
B. Mencukur Rambut
Bedasarkan hadits: “Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelih (hewan) pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur rambutnya dan diberikan nama.” (HR. Ahmad V/807 no. 12,17,18, Ibnu Majah no. 3165, At Tirmidzi IV/101, An NAsa’I V/166, dan Abu Daud III/106)
Caranya adalah dengan mencukur semua, dan dilarang qaja’ (mencukur sebagian) sebagaimana yang Rasulullah larang dalam kitab Riyadhus shalihin-nya Imam an Nawawi.
Lalu, menimbang potongan rambut itu, dan disesuaikan dengan berat perak untuk disedekahkan. Ini jika dalam kelapangan ekonomi. Sebagian kecil ulama seperti Imam ar Rafi’i memilih menggunakan emas. Mungkin karena perak jarang dipakai oleh manusia.
Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhayyan berkata : “Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah dengan perak), seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.”
Hal ini berdasarkan hadits:
Dari Anas bin Malik, Bahwasanya Rasulullah memerintahkan mencukur rambut Hasan dan Husein, anak Ali bin Abi Thalib, pada hari ke tujuh, kemudian bersedekah dengan perak seberat timbangan rambut Hasan dan Husein itu. (HR. Thabrani dalam Al Ausath I/133)
Hadits jalur Anas bin Malik ini dhaif (lemah), namun ada hadits lain yang serupa, dari jalur Abdullah bin Abbas, yang bisa menguatkannya. Sehingga hadits di atas naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi.
Berkata Imam Ibnu Hajar, “Seluruh riwayat yang ada sepakat tentang penyebutan bersedekah dengan perak. Tidk ada satu pun yang menyebutkan emas. Berbeda dengan perkataan Ar rafi’I, bahwa disunnahkan bersedekah dengan emas seberat timbangan rambut, kalau tidak sanggup maka dengan perak. Riwayat yang menyebut bersedekah dengan emas dhaif dan tak ada yang menguatkannya!” (Talkhis al Habir IV/1408)
C. Pemberian Nama
Penamaan pada hari ketujuh, bukanlah keharusan, melainkan hanya keutamaan saja (afdhaliyah). Boleh saja memberikan nama sebelum hari ketujuh, sebab Rasulullah pernah menamakan anaknya yang baru lahir dengan nama Ibrahim.
Dari Anas bin Malik beliau berkata, bahwa Rasulullah besabda: “Semalam telah dilahirkan seorang bayi laki-laki bagiku. Saya namakan dia dengan nama bapakku (maksudnya nenek moyangnya) yaitu Ibrahim.” (HR. Muslim no. 2355, Abu Daud no. 3126, dan Baihaqi IX/589)
Begitu pula beberapa sahabat seperti Abu Musa al Asy’ary, Abu Thalhah, dan Zubeir bin Awwam, anak mereka dinamakan sebelum hari ketujuh.
Memberikan nama-nama yang baik
Hendaknya para orang tua memberikan nama-nama yang baik, dan jangan terpengaruh oleh ucapan tokoh kafir Barat William Shakespare yang mengatakan What is a name? (Apalah arti sebuah nama?) sebab dalam Islam nama bukan sekadar label, tetapi juga doa, citra diri, dan identitas seorang muslim.
Nama-nama yang disukai oleh Allah Ta’ala adalah nama-nama yang menunjukkan sikap penghambaan seperti Abdullah, Abdurrahman, Abdul Aziz, yang secara makna adalah sama yaitu hamba Allah.
Dari Ibnu Umar beliau berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adallah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR. Muslim III/1683, Tirmidzi V/132, Abu Daud IV/287, dan Ahmad II/24)
Bagus juga memberikan nama anak dengan nama para Nabi, seperti Ibrahim, Yusuf, dan lain-lain. Sebagaimana yang Rasulullah contohkan ketika menamakan anaknya dan anak Abu Musa dengan nama Ibrahim.
Dari Yusuf bin Abdullah bin Salam, dia berkata: “Rasulullah menamakan saya Yusuf.” (Riwayat Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad, hal. 249)
Nama-nama yang dibenci
Ada nama-nama yang dibenci (makruh) seperti barakah (mengandung berkah), ya’la (yang tinggi), aflah (yang menang), yassar (yang mudah), nafi’ (yang bermanfaat). Nama-nama ini dibenci Karena mengandung makna mengunggulkan diri (tazkiyatun nafs).
Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata: Rasulullah berkehendak melarang penamaan dengan nama-nama seperti Ya’la, Barakah, Aflah, Yassar, Nafi’, dan semisalnya. .. (HR. Muslim, XIII/1686)
Atau nama yang melambangkan kesombongan seperti Maha Raja, Raja Diraja, atau Syahhansyah. Hal ini didasrkan pada hadits:
Dari Abu Hurairah beliau berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Nama yang paling buruk/keji di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah seseorang yang bernama Malikul Amlak (Raja Diraja/Rajanya para raja).” (HR. Bukhari, X/604, no. 6205)
Juga dibenci menamakan anak dengan nama-nama yang tidak jelas seperti Juventus, atau nama yang mengandung kekufuran seperti musyrikah (wanita musyrik), Jarimah (Kejahatan), atau Farji (kemaluan). Atau nama-nama neraka seperti jahanam, wail, saqar. Atau nama-nama tokoh kafir Barat, atau nama para ahli maksiat seperti artis dan lain-lain. Diharamkan pula dengan nama Abdul Masih (Hamba al Masih), Abdul Uzza (hamba dewa uzza), dan seluruh nama yang berarti penghambaan kepada selain Allah Ta’ala.
Dianjurkan Ganti Nama jika Terlanjur memiliki nama yang Buruk
Ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah ketika ia memberikan nama-nama para sahabatnya yang baru memeluk Islam. Boleh juga menggunakan nama kun-yah, yaitu nama sandaran yang menjelaskan nasab. Contoh ada orang bernama Abdullah atau apa saja, ia memiliki anak bernama Ahmad, maka ia dipanggil Abu Ahmad (Bapaknya si Ahmad). Atau seorang anak bernama Ahmad punya bapak bernama Abdullah, maka ia dipanggil Ibnu Abdillah (Anaknya si Abdullah).
Demikianlah sikap Islam terhadap pemeliharaan bayi pada hari ketujuh.
7. Mengkhitankan
Yang paling rajih (argumentatif) hukum khitan adalah wajib, ini yang ditujukkan oleh dalil-dalil dan mayoritas pendapat ulama. Perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tsabit (kuat) terhadap seorang laki-laki yang telah ber-Islam untuk berkhitan. Beliau bersabda kepadanya :
"Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah". Ini merupakan dalil yang paling kuat atas wajibnya khitan.
Berkata Syaikh al Albany dalam Tamamul Minnah hal. 69: "Adapun hukum khitan maka yang tepat menurut kami adalah wajib dan ini merupakan pendapatnya jumhur seperti Imam Malik, Asy-Syafi'i, Ahmad dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Qayyim. Beliau membawakan 15 sisi pendalilan yang menunjukkan wajibnya khitan. Walaupun satu persatu dari sisi tersebut tidak dapat mengangkat perkara khitan kepada hukum wajib namun tidak diragukan bahwa pengumpulan sisi-sisi tersebut dapat mengangkatnya. Karena tidak cukup tempat untuk menyebutkan semua sisi tersebut maka aku cukupkan dua sisi saja :
[1].FirmanAllahTa'ala.
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu ; 'Ikutilah millahnya Ibrahim yang hanif" [An-Nahl : 123]
Khitan termasuk millah (ajaran) Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi
urairah yang telah lalu. Sisi ini merupakan hujjah yang terbaik sebagaimana kata Al-Baihaqi yang dinukil oleh Al-HafidzhImamIbnuHajar(10/281).
[2]. Khitan termasuk syi'ar Islam yang paling jelas, yang dibedakan dengan seorang muslim dari seorang nashrani. Hampir-hampir tidak dijumpai dari kaum muslimin yang tidak berkhitan" [selesai ucapan Syaikh al AlBany]"
Kami tambahkan sisi ke tiga yang menunjukkan wajibnya khitan. Al-Hafizh menyebutkan sisi ini dalam 'Fathul Baari (10/417)' dari Imam Abu Bakar Ibnul Arabi ketika ia berbicara tentang hadits : "Fithrah itu ada lima ; khitan, mencukur rambut kemaluan ....". Ia (Imam Abu Bakar Ibnul Araby) berkata :
"Menurutku kelima perkara yang disebutkan dalam hadits ini semuanya wajib. Karena seseorang jika ia meninggalkan lima perkara tersebut tidak tampak padanya gambaran bentuk anak Adam (manusia), lalu bagaimana ia digolongkan dari kaum muslimin" (Selesai ucapan Al-Imam)"
Hukum khitan ini umum bagi laki-laki dan wanita, hanya saja ada sebagian wanita yang tidak ada pada mereka bagian yang bisa dipotong ketika khitan yaitu apa yang diistilahkan klitoris (kelentit). Kalau demikian keadaannya maka tidak dapat dinalar bila kita memerintah mereka untuk memotongnya padahal tidak ada pada mereka.
Berkata Imam Ibnul Hajj dalam Al-Madkhal(3/396):
"Khitan diperselisihkan pada wanita, apakah mereka dikhitan secara mutlak atau dibedakan antara penduduk Masyriq (timur) dan Maghrib (barat). Maka penduduk Masyriq diperintah untuk khitan karena pada wanita mereka ada bagian yang bisa dipotong ketika khitan, sedangkan penduduk Maghrib tidak diperintah khitan karena tidak ada bagian tersebut pada wanita mereka. Jadi hal ini kembali pada kandungan ta'lil (sebab/alasan)".
Madzhab Malik mengatakan khitan untuk wanita adalah sunah. Dalam Madzhab Hanafi, khitan wanita bukan sunah, melainkan kehormatan bagi wanita. Madzhab Syafi’I dan Hambali, khitan wanita adalah wajib. Adapun menurut Faqihul islam abad ini al ‘Allamah Syaikh Yusuf al Qaradhawy hafizhahullah, khitan bagi wanita tidak wajib dan tidak pula sunah, sebab –menurutnya- tidak ada satu pun dalil yang shahih- yang menunjukkan wajib atau sunahnya, baginya hanya sekedar mubah (boleh). Bahkan jika ternyata membahayakan, bisa dicegah.
Telah masyhur di dunia kedokteran, bahwa khitan bagi wanita justru membahayakan kaum wanita. Khususnya membahayakan kehidupan seksualnya, sebab urat syaraf kenikmatan seksual wanita adalah pada klitorisnya, yang jika dipotong maka terhalanglah baginya untuk merasakan apa-apa yang kaum laki-laki telah rasakan. Sehingga hal ini bisa menggiring pada terjadinya keretakan rumah tangga. Wallahu A’lam
Kapankah waktu dikhitan? Sebagian madzhab Syafi’I menyatakan di hari ketujuh. Ini didasarkan hadits: “ Ada tujuh perkara yang disunnahkan bagi bayi pada usia yang ke tujuh hari: diberi nama, khitan, … (HR. At Thabrani dalam al Ausath. Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (IV/59), mengatakan bahwa perawinya adalah tsiqat (terpercaya). Namun Imam Ibnu hajar dalam Fathul bari (IX/483) menyatakan dhaif)
Imam an Nawawi mengatakan bahwa sebagian madzhab Syafi’i mengatakan waktu khitan adalah setelah baligh, namun demikian dianjurkan bagi orang tua mengkhitankan sejak kecil, sebab hal itu lebih ringan bagi bayi.
Sebagian ahli fiqih menyatakan wajibnya mengkhitan ketika masih bayi, bukan sekedar anjuran. Sebab hal itu membawa kemaslahatan. Berkata Imam Ibnul Qayyim dalam Tuhfatul Maudud hal, 60-61, “Tidak boleh bagi wali (orang tua) membiarkan seorang bayi tidak dikhitan sampai ia mencapai baligh.”
Para dokter spesialis juga menyatakan demikian, bahwa sebaiknya khitan dilakukan saat masih bayi, sebab itu lebih ringan baginya, hampir-hampir ia tidak merasakan apa yang sedang dialaminya. Kecuali jika bayi tersebut dinyatakan tidak sehat, maka khitan bisa ditunda. Walahu A’lam
8. Mendidik Anak sejak Usia Dini
Sejak dini anak ditanamkan nilai-nilai tauhidullah (keesaan Allah). Ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah tema pertama yang kita ajarkan kepada anak-anak, tentu dengan bahasa dan contoh-contoh yang sederhana. Agar terpatri dalam ruang pikirnya, siapa penciptanya, siapa pemberi rizki, siapa pengatur hidup, siapa penguasa alam, siapa yang pantas disembah, siapa yang menghidupkan dan mematikan, dll. Agar ia tidak mudah ternoda oleh kepercayaan yang sifatnya tahayul, mitos, dan khurafat, yang biasanya berkembang dan sangat melekat di masyarakat.
Sejak dini juga ditanamkan pendidikan ma’rifaturrasul (mengenal Rasulullah), agar ia memiliki teladan yang mampu menjadi pemandu hidupnya, dan tidak salah pilih idola. Apalagi, saat ini banyak para artis, atau tokoh-tokoh khayalan dan rekaan yang mencoba merebut hati para anak-anak kita, baik cerita rakyat seperti Gatot Kaca atau dari Barat seperti Superman, Batman, Satria Baja Hitam, Power Rangers. Sekadar tahu tokoh-tokoh ini tidak ada masalah, namun jadi masalah jika anak menjadikan mereka sebagai teladan hidupnya, dan melupakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sejak dini juga ditanamkan tarbiyah akhlaqiyah wa sulukiyah (pembinaan akhlak dan perilaku). Agar anak menghormati orang tua dan yang lebih tua, atau menyayanyi yang lebih muda. Agar anak tahu adab makan, minum, berjalan, berpakaian, dan berbicara, serta adab-adab lainnya. Supaya mereka menyayangi sahabat dan memaafkan musuh. Agar mereka tahu juga batasan-batasan pergaulan dengan lawan jenis, agar tidak terjadi fitnah dikemudian hari.
Sejak dini juga diperkenalkan dengan tokoh-tokoh Islam, mulai para sahabat nabi, para Imam dan ulama, para pahlawan dan mujahidin Islam, baik dalam atau luar negeri. Bukan justru memperkenalkan mereka dengan bintang film, penyanyi, pemain sepak bola, atau penghibur yang membuatnya jauh dari Allah dan kewajiban-kewajiban agama.
Hendaknya dirumah sering diperdengarkan ayat-ayat Allah, lantunan ayat suci Al Qur’an baik dibaca sendiri oleh orang tua, atau melalui kaset-kaset muratal para Imam Mesjid di Timur Tengah. Ini lebih baik dan sangat baik demi keberkahan rumah dan turunnya rahmat Allah. Paling tidak, syair-syair Islam seperti nasyid-nasyid Islami yang tidak melampui batas dan tidak melalaikan.
Terakhir, sediakanlah anak-anak kita buku-buku bacaan yang mendidik, yang mampu menambah pengetahuan agama dan akademik, serta iman mereka. Seperti buku-buku kisah tentang para nabi, sahabat, atau buku-buku doa sederhana, hadits-hadits, atau majalah Islam anak-anak. Dampingilah mereka untuk membantu memahaminya, sebagaimana kita dampingi mereka ketika nonton televisi agar bisa menjauhi tontonan yang tidak pantas. (Sebagusnya cegah mereka dari televisi, hingga saatnya nanti mereka bisa membedakan mana baik mana buruk).
Jika ini sudah kita lakukan, berdoalah mudah-mudahan anak kita terbentuk oleh kebiasaan Islami, yang akan mewarnai dan membentuk kehidupannya setelah dewasa nanti. Sebagaimana kata pepatah Arab:
Man syabba fii syai’iin syaaba ‘alaih (Barang siapa yang dididik dengan sesuatu, maka sesuatu itulah yang akan membentuk dirinya hingga dewasa nanti)
9. Membimbingnya dalam Memilih Jodoh
Jodoh memang rahasia Allah Ta’ala, selaku orang beriman kita wajib meyakininya. Namun selaku orang berakal, kita dituntut mempersiapkannya secara rasional sejauh yang kita mampu. Hendaknya orang tua tidak lepas tangan dengan masalah jodoh anak-anaknya. Anak memiliki hak untuk menentukan calon pendamping hidupnya, tetapi orang tua berkewajiban mengarahkan, memberi pertimbangan, dan masukan, walau akhirnya anak juga yang memutuskan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan arahan bagi umatnya urusan pernikahan ini, sabdanya:
“Wanita dinikahkan karena empat hal, karena kecantikannya, hartanya, keturunannya, dan agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya kau akan beruntung.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Maksud dari ‘pilihlah karena agamanya’ adalah pilihlah karena keshalihannya, sebagaimana hadits: “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang shalihah.”
Berkata Umar bin al Khathab, “Nikahilah anak gadis kalian dengan laki-laki shalih, sebab jika ia (laki-laki shalih) sedang marah, ia tidak akan berbuat zalim, jika ia ridha ia akan amat menjaga.”
Hendaknya orang tua mempermudah urusan pernikahan, sebab memang pernikahan dalam Islam adalah perkara agung yang simple. Namun, tradisi dan adatlah yang membuatnya menjadi rumit dan njelimet (susah). Harus ini, harus itu, begini dan begitu, yang sebenarnya tidak ada dasarnya dalam Islam. Namun, anehnya itulah yang menjadi pedoman bagi pernikahan mereka, bukan berpedoman kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Wallahu A’lam wa lIllahil ‘Izzah
Al Faqir Ilaa Rahmati rabbihi
Oleh : Farid Nu’man
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/10
No comments:
Post a Comment