Pertanyaan
Assalamu 'alaikum. Wr. Wb
Yth Bp Ustadz,
Saya wanita sudah berkeluarga. Waktu saya lahir orang tua saya tidak mengaqiqahkan kami anak-anaknya krn ketidakmampuan Ekonomi.
Saat ini saya mampu membeli 1 kambing untuk aqiqah saya, tapi yang jadi pertanyaan saya, apakah dalam peraturan Islam diperbolehkan anak mengaqiqah dirinya sendiri?
Informasi dari orang-orang, aqiqah kewajiban orang tua sebagai rasa syukur diberikan rezeki yaitu anak, jadi tidak dapat anak mengaqiqah dirinya sendiri, harus orang tua tapi sampai saat inipun orangtua saya blm ada keinginan untuk mengaqiqah.
Jadi bagaimana jalan keluar untuk saya Bp Ustadz krn mengantung aqiqah saya ini sudah cukup lama. Terima kasih sblmnya atas pencerahanyangdiberikan ke saya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
NH
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang menjadi kebingungan anda memang wajar, yaitu apakah boleh seseorang menyembelih hewan aqiqah untuk dirinya sendiri. Di satu sisi, ada pendapat yang mengatakan bahwa penyembelihan itu hanya disyariatkan untuk orang tua, sehingga si anak malah tidak perlu melakukannya. Namun di sisi lain, ada pendapat yang mengatakan tidak mengapa bila seorang anak melakukan untuk dirinya sendiri.
Jadi setidaknya ada dua pendapat dalam hal ini, di mana para ulama, yang levelnya sudah sampai ke tingkat mujtahid betulan, masih berbeda pendapat. Kalau kita buka kitab fiqih, maka kita akan mendapatkan rincian perbedaan pendapat itu.
Pendapat Pertama: Boleh Dilakukan
Ar-Rafi'i, ulama dari kalangan mazhab Asy-yafi'iyah mengatakan apabila seseorang mengakhirkan dari menyembelihkan aqiqah untuk anaknya hingga anaknya telah baligh, maka telah gugurlah kesunnahan dari ibadah itu.
Namun bila anak itu sendiri yang berkeinginan untuk melakukan penyembelihan aqiqah bagi dirinya sendiri, tidak mengapa.
Muhammad ibn Sirin berkata, "Seandainya saya tahu bahwa saya belum disembelihkan aqiqah, maka saya akan melakukannya sendiri."
Al-Qaffal, salah seorang dari fuqaha mazhab Asy-Syafi'iyah juga memilih hal yang sama. Silahkan rujuk kitab Syarah Al-Asqalani li Shahih Al-Bukhari jilid 9 halaman 594-595.
'Atha' dan Al-Hasan berkata bahwa seseorang tidak mengapa bila melakukan penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri, sebab dirinya menjadi jaminan (rahn).
Pendapat Kedua: Tidak Perlu
Ketika Al-Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang masalah ini, yaitu bolehkah seseorang melakukan penyembelihan aqiqah untuk dirinya sendiri, lantaran dahulu orang tuanya tidak melakukan untuknya, beliau menjawab bahwa tidak perlu dilakukan hal itu.
Alasannya, karena syariat aqiqah itu berada di pundak orang tuanya, bukan berada di pundak si anak.
Salah satu ulama pengikut mazhab Hanbali, Ibnu Qudamah berkata, "Menurut kami, penyembelihan itu disyariatkan sebagai beban bagi orang tua dan orang lain tidak dibebankan untuk melakukannya, seperti shadaqah fithr. (rujuk kitab Al-Mughni jilid 8 halaman 646).
Jadi kesimpulannya, silahkan saja bila anda merasa ingin menyembelih hewan aqiqah untuk diri anda sendiri. Tidak masalah kalau memang ada rezekinya, asal tidak dipaksakan. Sebab hal itu ada dasarnya, setidaknya didukung oleh beberapa ulama.
Akan tetapi anda harus maklum dengan perkataan orang lain yang tidak setuju dengan sikap seperti itu. Karena memang ada mazhab Ahmad bin Hanbal yang agaknya kurang sepakat dengan pendapat itu.
Toh, keduanya hanyalah ijtihad yang nilai kebenarannya tidak pernah sampai ke level mutlak. Jadi kita boleh saling berbeda pendapat dengan cara yang beradab, santun, wajar, dan tetap menjaga nilai-nilai ukhuwah.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
www.warnaislam.com
Halalnya Uang Belanja Umar bin Abdul Aziz
Kezuhudan Umar bin Abdul Aziz tidak kalah dengan kakeknya, Umar bin khatab yang selalu memperhatikan keadaan rakyatnya
Hidayatullah.com--Indonesia yang konon negerinya gemah ripah loh jinawi, sampai saat ini rakyatnya masih banyak yang miskin. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap dibawah garis kemiskinan. Tengok saja, kehidupan para pejabat yang diberi kepercayaan untuk mengurus negara, baru sebentar menjabat kekayaannya langsung membludak naik. Ujung-ujungnya mereka terjerat kasus korupsi. Lalu, siapa yang salah?
Taufik Ismail pernah mengatakan dalam seminarnya di Depok baru-baru ini. Sastrawan ini ini mengatakan,”Kita butuh dua abab untuk bisa mengentaskan kasus korupsi di Indonesia,” ujarnya. Taufik Ismail melihat generasi se-usianya sulit diperbaiki. Dari kalangan bawah hingga masyarakat atas seakan-akan telah menjamur penyakit yang namanya korupsi ini.
Seharusnya para pejabat yang memegang amanah rakyat, meneladani kehidupan-kehidupan pemimpin besar umat. Mereka benar-benar takut jika menyelewenagkan amanah yang telah diberikan kepercayaan kepadannya. Jabatan adalah amanah yang harus dipertangungjawabkan di hadapan masyarakat dan Allah Subhanallahhu wata’ala.
Sebagaimana diterangkan dalam hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Roti Umar bin Abdul Aziz
Dalam masalah harta, para pejabat pun bisa mengambil contoh khalifah Umar bin Abdul Aziz dari kisah sepotong rotinya. Seorang khilafah yang tidak mengkorup harta milik rakyatnya untuk kepentingan pribadi atau keluarganya. Tidak mau menilep uang dari rakyatnya. Ia hidup sederhana, ala kadarnya.
Alkisah, tatkala Umar Bin Abdul Aziz masih menjabat sebagai khalifah, suatu hari ia pernah disediakan makanan oleh Istrinya. Sepotong roti yang masih hangat, harum dan wangi. Terlihat begitu lezat hingga membangkitkan selera.
Sang Khalifah merasa heran dan bertanya pada Istrinya: “Wahai Istriku dari mana kau memperoleh roti yang harum dan tampak lezat ini”?
Istrinya menjawab, “Ya Amirul Mukminin itu buatanku sendiri, aku sengaja membuatkan ini hanya untuk menyenangkan hatimu yang setiap hari selalu sibuk dengan urusan negara dan umat.
“Berapa uang yang kamu perlukan untuk membuat roti seperti ini” tanya Khalifah.
“Hanya tiga setengah dirham saja , kenapa memangnya” jawab sang istri
“Aku perlu tahu asal usul makanan dan minuman yang akan masuk ke dalam perutku ini, agar aku bisa mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT nanti, ” jawab Khalifah, dan bertanya lagi “Terus uang yang 3,5 dirham itu kau dapatkan dari mana”?
“Uang itu saya dapatkan dari hasil penyisihan setengah dirham tiap hari dari uang belanja harian rumah tangga kita yang selalu kau berikan kepadaku, jadi dalam seminggu terkumpulah 3.5 dirham dan itu cukup untuk membuat roti seperti ini yang halalan toyyiban,” jawab istrinya.
“Baiklah kalau begitu . Saya percaya bahwa asal usul roti ini halal dan bersih, “ kata Khalifah yang lalu menambahkan. “Berarti kebutuhan biaya harian rumah tangga kita harus dikurangi setengah dirham, agar tak mendapat kelebihan yang membuat kita mampu memakan roti yang lezat atas tanggungan umat. “
Kemudian Khalifah memanggil Bendahara Baitulmaal (Kas Negara) dan meminta agar uang belanja harian untuk rumah tangga Khalifah dikurangi setengah dirham. Dan Khalifah berkata kepada istrinya, “Saya akan berusaha mengganti harga roti ini agar hati dan perut saya tenang dari gangguan perasaan, karena telah memakan harta umat demi kepentingan pribadi. “
Itulah kisah Umar bin Abdul Aziz dengan sepotong rotinya. Kezuhudanya tidak kalah dengan kakeknya, Umar bin khatab yang selalu memperhatikan keadaan rakyatnya. Kakeknya semasa sabagai khalifah pernah mengatakan, “Seandainya ada seekor keledai mati di Syam lantaran ketiadaan makanan, niscaya Umar akan diminta pertanggungjawabanya di akherat.”
Sepatutnya kisah sepotong roti Umar bin Abdul Aziz di atas menjadi pelajaran penting untuk kita semua. Teladan bukan untuk para pejabat saja, melainkan kita semua bisa mengambil hikmah didalamnya. Ia begitu hati-hati terhadap harta yang ia makan setiap harinya. Menanyakan asal usulya, hingga jelas sumber cara memperolehnya. Karena harta ini, di akherat nanti akan ditanyakan 2 pertanyaan. Dari mana sumbernya? dan kemana harta itu akan dipergunakan?. Semoga kita semua bisa menirunya.[www.hidayatullah.com]
Zakat ke Orang Tua
Pertanyaan
Assalamualaikum wr. wb.
Ustadz, bolehkah kita menzakatkan sebagian rejeki yang kita dapat ke orang tua sendiri yang sakit?
Contohnya begini ustadz, gaji saya rata-rata Rp 5 juta perbulan. Artinya kalau diambil 2, 5% berarti zakat yang saya keluarkan Rp 125.000. Tapi kalau saya menghitung sesudah pengeluaran kebutuhan keluarga saya, hanya Rp 25.000 (2, 5% x Rp 1 juta).
Sedangkan saya memberi ke orang tua Rp 300.000 perbulan ke orang tua saya yang sudah lama sakit. Kalau kemudian itu saya niatkan sebagai zakat penghasilan saya, bisa tidak ustadz?
Wassalamualaikum wr. wb.
Naufal
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Dalam masalah pemberian zakat memang ada begitu banyak pandangan dan versi. Sebagian kalangan ada yang dengan tegas menyatakan bahwa zakat itu kewajiban umat Islam yang harus disetorkan lewat ulul amri. Yang dimaksud dengan ulil amri adalah pemerintah, sebagaimana di zaman khilafah Islamiyah dahulu.
Kira-kira semacam pajak yang harus disetorkan kepada negara. Ada petugas khusus pajak yang akan datang dan menghitung jumlah kewajiban zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap penduduk yang memenuhi syarat wajib zakat.
Dengan mengacu kepada pendapat ini, maka pemberian bantuan kepada orang tua atau keluarga, tidak termasuk pembayaran zakat. Sebab zakat itu harus disetor kepada petugas zakat (baca: negara).
Sedangkan urusan membantu keluarga, termasuk orang tua yang sakit, maka jangan dicampur-campur dengan kewajiban membayar zakat. Bantulah keluarga dan orang tua yang sedang sakit dari dana sendiri, di luar dana zakat.
Pendapat Lain
Kalangan ulama lainnya bisa saja berbeda dalam masalah ini. Bagi mereka, tujuan zakat adalah memberikan sebagian harta kepada 8 ashnaf, dan tidak disyaratkan harus lewat petugas zakat.
Kalau ada keluarga atau tetangga terdekat yang sangat membutuhkan dana zakat, sementara mereka memang memenuhi kriteria sebagai mustahik, mengapa tidak boleh diberikan?
Bukankah membantu orang itu sebaiknya dari yang terdekat terlebih dahulu? Dan orang yang terdekat itu kebetulan orang tua sendiri, maka bayarkan saja zakat itu untuk biaya pengobatan mereka. Selama mereka miskin atau faqir serta memenuhi kriteria mustahiq zakat, maka bayarkan saja segera.
Apalagi mengingat negara kita belum punya Departemen Zakat sendiri. Sehingga kalau harus menunggu petugas zakat datang ke rumah, mau sampai kapan datangnya?
Demikian juga dengan institusi atau lembaga amil zakat, ternyata belum mencakup semua wilayah. Meski jumlahnya cukup banyak sekarang ini, namun tetap saja belum punya coverage area yang cukup.
Lagian, institusi seperti itu belum punya wewenang yang kuat untuk memungut dalam arti sesungguhnya. Belum seperti petugas pajak yang sudah punya kekuatan hukum. Di mana orang atau pihak yang terkena kewajiban membayar pajak apabila tidak membayarnya, maka ada sanksinya.
Berbeda dengan zakat, siapa pun yang tidak mau bayar zakat di negeri ini, dia aman-aman saja. Tidak ada satu pun pihak yang diberi wewenang oleh negara untuk menyita hartanya.
Hal ini tentu berbeda dengan keadaan di zaman Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, di mana beliau sebagai kepala negara bisa memaklumatkan perang kepada pihak-pihak yang menolak bayar zakat serta menghalalkan darah dan harta mereka. Karena orang yang menolak kewajiban zakat hukumnya kafir dan berhak divonis murtad.
Kesimpulan
Anda boleh bebas memilih dari kedua pandangan di atas, yang mana saja tentu ada landasan dan hujjahnya.
Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa harta zakat itu tidak boleh jatuh ke tangan orang-orang di luar 8 kriteria yang telah Allah SWT tetapkan di dalam Al-Quran.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. At-Taubah: 69)
Tapi barangkali yang paling afdhal adalah bila anda bisa lakukan keduanya serentak. Sisihkan uang gaji anda untuk membantu orang tua, lalu setorkan juga zakat anda ke lembaga amil zakat terdekat dengan anda. Toh, nilainya tidak terlalu jauh berbeda.
Dan belum pernah ada sejarahnya orang jatuh miskin dan kelaparan gara-gara bayar zakat. Sebaliknya, yang sering kejadian adalah seorang kaya jatuh miskin gara-gara tidak mau bayar zakat.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc
www.waranislam.com
Assalamualaikum wr. wb.
Ustadz, bolehkah kita menzakatkan sebagian rejeki yang kita dapat ke orang tua sendiri yang sakit?
Contohnya begini ustadz, gaji saya rata-rata Rp 5 juta perbulan. Artinya kalau diambil 2, 5% berarti zakat yang saya keluarkan Rp 125.000. Tapi kalau saya menghitung sesudah pengeluaran kebutuhan keluarga saya, hanya Rp 25.000 (2, 5% x Rp 1 juta).
Sedangkan saya memberi ke orang tua Rp 300.000 perbulan ke orang tua saya yang sudah lama sakit. Kalau kemudian itu saya niatkan sebagai zakat penghasilan saya, bisa tidak ustadz?
Wassalamualaikum wr. wb.
Naufal
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Dalam masalah pemberian zakat memang ada begitu banyak pandangan dan versi. Sebagian kalangan ada yang dengan tegas menyatakan bahwa zakat itu kewajiban umat Islam yang harus disetorkan lewat ulul amri. Yang dimaksud dengan ulil amri adalah pemerintah, sebagaimana di zaman khilafah Islamiyah dahulu.
Kira-kira semacam pajak yang harus disetorkan kepada negara. Ada petugas khusus pajak yang akan datang dan menghitung jumlah kewajiban zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap penduduk yang memenuhi syarat wajib zakat.
Dengan mengacu kepada pendapat ini, maka pemberian bantuan kepada orang tua atau keluarga, tidak termasuk pembayaran zakat. Sebab zakat itu harus disetor kepada petugas zakat (baca: negara).
Sedangkan urusan membantu keluarga, termasuk orang tua yang sakit, maka jangan dicampur-campur dengan kewajiban membayar zakat. Bantulah keluarga dan orang tua yang sedang sakit dari dana sendiri, di luar dana zakat.
Pendapat Lain
Kalangan ulama lainnya bisa saja berbeda dalam masalah ini. Bagi mereka, tujuan zakat adalah memberikan sebagian harta kepada 8 ashnaf, dan tidak disyaratkan harus lewat petugas zakat.
Kalau ada keluarga atau tetangga terdekat yang sangat membutuhkan dana zakat, sementara mereka memang memenuhi kriteria sebagai mustahik, mengapa tidak boleh diberikan?
Bukankah membantu orang itu sebaiknya dari yang terdekat terlebih dahulu? Dan orang yang terdekat itu kebetulan orang tua sendiri, maka bayarkan saja zakat itu untuk biaya pengobatan mereka. Selama mereka miskin atau faqir serta memenuhi kriteria mustahiq zakat, maka bayarkan saja segera.
Apalagi mengingat negara kita belum punya Departemen Zakat sendiri. Sehingga kalau harus menunggu petugas zakat datang ke rumah, mau sampai kapan datangnya?
Demikian juga dengan institusi atau lembaga amil zakat, ternyata belum mencakup semua wilayah. Meski jumlahnya cukup banyak sekarang ini, namun tetap saja belum punya coverage area yang cukup.
Lagian, institusi seperti itu belum punya wewenang yang kuat untuk memungut dalam arti sesungguhnya. Belum seperti petugas pajak yang sudah punya kekuatan hukum. Di mana orang atau pihak yang terkena kewajiban membayar pajak apabila tidak membayarnya, maka ada sanksinya.
Berbeda dengan zakat, siapa pun yang tidak mau bayar zakat di negeri ini, dia aman-aman saja. Tidak ada satu pun pihak yang diberi wewenang oleh negara untuk menyita hartanya.
Hal ini tentu berbeda dengan keadaan di zaman Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, di mana beliau sebagai kepala negara bisa memaklumatkan perang kepada pihak-pihak yang menolak bayar zakat serta menghalalkan darah dan harta mereka. Karena orang yang menolak kewajiban zakat hukumnya kafir dan berhak divonis murtad.
Kesimpulan
Anda boleh bebas memilih dari kedua pandangan di atas, yang mana saja tentu ada landasan dan hujjahnya.
Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa harta zakat itu tidak boleh jatuh ke tangan orang-orang di luar 8 kriteria yang telah Allah SWT tetapkan di dalam Al-Quran.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. At-Taubah: 69)
Tapi barangkali yang paling afdhal adalah bila anda bisa lakukan keduanya serentak. Sisihkan uang gaji anda untuk membantu orang tua, lalu setorkan juga zakat anda ke lembaga amil zakat terdekat dengan anda. Toh, nilainya tidak terlalu jauh berbeda.
Dan belum pernah ada sejarahnya orang jatuh miskin dan kelaparan gara-gara bayar zakat. Sebaliknya, yang sering kejadian adalah seorang kaya jatuh miskin gara-gara tidak mau bayar zakat.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc
www.waranislam.com
5 Hal Yang Menyebabkan Mandi Wajib
Segala puji bagi Allah, pujian yang terbaik untuk-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Saat ini kami akan menjelaskan beberapa hal yang berkenaan dengan mandi (al ghuslu). Insya Allah, pembahasan ini akan dikaji secara lebih lengkap dalam tiga artikel. Pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji beberapa hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi (al ghuslu).
Yang dimaksud dengan al ghuslu secara bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan al ghuslu secara syari’at adalah menuangkan air ke seluruh badan dengan tata cara yang khusus. Ibnu Malik mengatakan bahwa al ghuslu (dengan ghoin-nya didhommah) bisa dimaksudkan untuk perbuatan mandi dan air yang digunakan untuk mandi. [1]
Beberapa hal yang mewajibkan untuk mandi (al ghuslu):
Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat.
Sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, mani bisa dibedakan dari madzi dan wadi[2] dengan melihat ciri-ciri mani yaitu: [1] baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur ketika kering, [2] birnya memancar, [3] keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas). Jika salah satu syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut mani. Wanita sama halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita tidak disyaratkan air mani tersebut memancar sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah.[3]
Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)
Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim no. 343)
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, yang menyebabkan seseorang mandi wajib adalah karena keluarnya mani dengan memancar dan terasa nikmat ketika mani itu keluar. Jadi, jika mani tersebut keluar tanpa syahwat seperti ketika sakit atau kedinginan, maka tidak ada kewajiban untuk mandi. Berbeda halnya dengan ulama Syafi’iyah yang menganggap bahwa jika mani tersebut keluar memancar dengan terasa nikmat atau pun tidak, maka tetap menyebabkan mandi wajib. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.[4]
Lalu bagaimana dengan orang yang mimpi basah?
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika ihtilam (mimpi), sedangkan yang menyelisihi hal ini hanyalah An Nakho’i. Akan tetapi yang menyebabkan mandi wajib di sini ialah jika orang yang bermimpi mendapatkan sesuatu yang basah.”[5]
Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلاَ يَذْكُرُ احْتِلاَمًا قَالَ « يَغْتَسِلُ ». وَعَنِ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدِ احْتَلَمَ وَلاَ يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ « لاَ غُسْلَ عَلَيْهِ ». فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ الْمَرْأَةُ تَرَى ذَلِكَ أَعَلَيْهَا غُسْلٌ قَالَ « نَعَمْ إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ ».
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan dirinya basah sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia wajib mandi”. Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab: “Dia tidak wajib mandi”.” (HR. Abu Daud no. 236, At Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256. Dalam hadits ini semua perowinya shahih kecuali Abdullah Al Umari yang mendapat kritikan[6]. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِى طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِى مِنَ الْحَقِّ ، هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِىَ احْتَلَمَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ »
“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhari no. 282 dan Muslim no. 313)
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits di atas adalah sanggahan bagi yang berpendapat bahwa mandi wajib itu baru ada jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan mani tersebut keluar (dengan syahwat) dan yakin akan hal itu.”[7]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas berkata, “Pada saat itu diwajibkan mandi ketika melihat air (mani), dan tidak disyaratkan lebih dari itu. Hal ini menunjukkan bahwa mandi itu wajib jika seseorang bangun lalu mendapati air (mani), baik ia merasakannya ketika keluar atau ia tidak merasakannya sama sekali. Begitu pula ia tetap wajib mandi baik ia merasakan mimpi atau tidak karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa yang terjadi ketika ia tidur). Yang dimaksud dengan air di sini adalah mani.”[8]
Kedua: Bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ
“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Walaupun tidak keluar mani.”
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى لأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ ».
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (HR. Muslim no. 350)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara hakikat pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani. Jika kita katakan bahwa si suami junub karena berhubungan badan dengan istrinya, maka walaupun itu tidak keluar mani dianggap sebagai junub. Demikian nukilan dari Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari.[9]
Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna hadits tersebut adalah wajibnya mandi tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani. Akan tetapi, -maaf- jika ujung kemaluan si pria telah berada dalam kemaluan wanita, maka ketika itu keduanya sudah diwajibkan untuk mandi. Untuk saat ini, hal ini tidak terdapat perselisihan pendapat. Yang terjadi perselisihan pendapat ialah pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya. Kemudian setelah itu terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani ketika hubungan badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang pernah kami sebutkan.”[10]
Ketiga: Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.
Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
“Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).
Untuk nifas dihukumi sama dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Mengenai wajibnya mandi karena berhentinya darah haidh tidak ada perselisihan di antara para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan hadits mutawatir (melalui jalur yang amat banyak). Begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.”[11]
Keempat: Ketika orang kafir masuk Islam.
Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Perintah yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib.[12] Ulama yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya dari ulama Hanabilah[13], Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull Mundzir dan Al Khottobi[14].
Kelima: Karena kematian.
Yang dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang hidup, maksudnya orang yang hidup wajib memandikan orang yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya.[15] Penjelasan lebih lengkap mengenai memandikan mayit dijelaskan oleh para ulama secara panjang lebar dalam Kitabul Jana’iz, yang berkaitan dengan jenazah.
Dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan anaknya,
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مَنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).
Berdasarkan kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib. Sedangkan tentang masalah ini tidak ada dalil yang memalingkannya ke hukum sunnah (dianjurkan). Kaum muslimin pun telah mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai saat ini.
Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang merdeka atau budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang yang mati di medan perang ketika berperang dengan orang kafir.[16]
Lalu bagaimana dengan bayi karena keguguran, wajibkah dimandikan?
Jawabannya, dapat kita lihat dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Jika bayi karena keguguran tersebut sudah memiliki ruh, maka ia dimandikan, dikafani dan disholati. Namun jika ia belum memiliki ruh, maka tidak dilakukan demikian. Waktu ditiupkannya ruh adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan, sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu….”[17]
Demikian pembahasan singkat ini. Insya Allah selanjutnya kita akan melanjutkan pada pembahasan tata cara mandi (al ghuslu). Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di Pangukan-Sleman, Kamis, 15 Jumadal Awwal 1431 H (29/04/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 1/392, Mawqi’ Al Islam
[2] Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi. (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’)
[3] Lihat Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Asy Syafi’i, hal. 64, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, tahun 1422 H.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/163, Al Maktabah At Taufiqiyah. Juga lihat penjelasan dalam kitab Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, hal. 49, Darul ‘Aqidah, tahun 1428 H.
[5] Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 57, Darul ‘Aqidah, tahun 1425 H.
[6] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58.
[7] Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58.
[8] Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 50.
[9] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani 1/398, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
[10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 4/40-41, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[11] Ad Daroril Mudhiyah, hal. 57.
[12] Faedah dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/167.
[13] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 59.
[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/166.
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/617.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/618. Catatan: Adapun orang yang mati selain di medan pertempuran dan disebut syahid (seperti orang yang mati karena tenggelam dan sakit perut), maka mereka dimandikan dan disholatkan sebagaimana orang yang mati pada umumnya. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/619)
[17] Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 51.
Saat ini kami akan menjelaskan beberapa hal yang berkenaan dengan mandi (al ghuslu). Insya Allah, pembahasan ini akan dikaji secara lebih lengkap dalam tiga artikel. Pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji beberapa hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi (al ghuslu).
Yang dimaksud dengan al ghuslu secara bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan al ghuslu secara syari’at adalah menuangkan air ke seluruh badan dengan tata cara yang khusus. Ibnu Malik mengatakan bahwa al ghuslu (dengan ghoin-nya didhommah) bisa dimaksudkan untuk perbuatan mandi dan air yang digunakan untuk mandi. [1]
Beberapa hal yang mewajibkan untuk mandi (al ghuslu):
Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat.
Sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, mani bisa dibedakan dari madzi dan wadi[2] dengan melihat ciri-ciri mani yaitu: [1] baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur ketika kering, [2] birnya memancar, [3] keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas). Jika salah satu syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut mani. Wanita sama halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita tidak disyaratkan air mani tersebut memancar sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah.[3]
Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)
Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim no. 343)
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, yang menyebabkan seseorang mandi wajib adalah karena keluarnya mani dengan memancar dan terasa nikmat ketika mani itu keluar. Jadi, jika mani tersebut keluar tanpa syahwat seperti ketika sakit atau kedinginan, maka tidak ada kewajiban untuk mandi. Berbeda halnya dengan ulama Syafi’iyah yang menganggap bahwa jika mani tersebut keluar memancar dengan terasa nikmat atau pun tidak, maka tetap menyebabkan mandi wajib. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.[4]
Lalu bagaimana dengan orang yang mimpi basah?
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika ihtilam (mimpi), sedangkan yang menyelisihi hal ini hanyalah An Nakho’i. Akan tetapi yang menyebabkan mandi wajib di sini ialah jika orang yang bermimpi mendapatkan sesuatu yang basah.”[5]
Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلاَ يَذْكُرُ احْتِلاَمًا قَالَ « يَغْتَسِلُ ». وَعَنِ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدِ احْتَلَمَ وَلاَ يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ « لاَ غُسْلَ عَلَيْهِ ». فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ الْمَرْأَةُ تَرَى ذَلِكَ أَعَلَيْهَا غُسْلٌ قَالَ « نَعَمْ إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ ».
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan dirinya basah sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia wajib mandi”. Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab: “Dia tidak wajib mandi”.” (HR. Abu Daud no. 236, At Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256. Dalam hadits ini semua perowinya shahih kecuali Abdullah Al Umari yang mendapat kritikan[6]. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِى طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِى مِنَ الْحَقِّ ، هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِىَ احْتَلَمَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ »
“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhari no. 282 dan Muslim no. 313)
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits di atas adalah sanggahan bagi yang berpendapat bahwa mandi wajib itu baru ada jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan mani tersebut keluar (dengan syahwat) dan yakin akan hal itu.”[7]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas berkata, “Pada saat itu diwajibkan mandi ketika melihat air (mani), dan tidak disyaratkan lebih dari itu. Hal ini menunjukkan bahwa mandi itu wajib jika seseorang bangun lalu mendapati air (mani), baik ia merasakannya ketika keluar atau ia tidak merasakannya sama sekali. Begitu pula ia tetap wajib mandi baik ia merasakan mimpi atau tidak karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa yang terjadi ketika ia tidur). Yang dimaksud dengan air di sini adalah mani.”[8]
Kedua: Bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ
“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Walaupun tidak keluar mani.”
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى لأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ ».
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (HR. Muslim no. 350)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara hakikat pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani. Jika kita katakan bahwa si suami junub karena berhubungan badan dengan istrinya, maka walaupun itu tidak keluar mani dianggap sebagai junub. Demikian nukilan dari Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari.[9]
Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna hadits tersebut adalah wajibnya mandi tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani. Akan tetapi, -maaf- jika ujung kemaluan si pria telah berada dalam kemaluan wanita, maka ketika itu keduanya sudah diwajibkan untuk mandi. Untuk saat ini, hal ini tidak terdapat perselisihan pendapat. Yang terjadi perselisihan pendapat ialah pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya. Kemudian setelah itu terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani ketika hubungan badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang pernah kami sebutkan.”[10]
Ketiga: Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.
Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
“Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).
Untuk nifas dihukumi sama dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Mengenai wajibnya mandi karena berhentinya darah haidh tidak ada perselisihan di antara para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan hadits mutawatir (melalui jalur yang amat banyak). Begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.”[11]
Keempat: Ketika orang kafir masuk Islam.
Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Perintah yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib.[12] Ulama yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya dari ulama Hanabilah[13], Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull Mundzir dan Al Khottobi[14].
Kelima: Karena kematian.
Yang dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang hidup, maksudnya orang yang hidup wajib memandikan orang yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya.[15] Penjelasan lebih lengkap mengenai memandikan mayit dijelaskan oleh para ulama secara panjang lebar dalam Kitabul Jana’iz, yang berkaitan dengan jenazah.
Dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan anaknya,
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مَنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).
Berdasarkan kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib. Sedangkan tentang masalah ini tidak ada dalil yang memalingkannya ke hukum sunnah (dianjurkan). Kaum muslimin pun telah mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai saat ini.
Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang merdeka atau budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang yang mati di medan perang ketika berperang dengan orang kafir.[16]
Lalu bagaimana dengan bayi karena keguguran, wajibkah dimandikan?
Jawabannya, dapat kita lihat dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Jika bayi karena keguguran tersebut sudah memiliki ruh, maka ia dimandikan, dikafani dan disholati. Namun jika ia belum memiliki ruh, maka tidak dilakukan demikian. Waktu ditiupkannya ruh adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan, sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu….”[17]
Demikian pembahasan singkat ini. Insya Allah selanjutnya kita akan melanjutkan pada pembahasan tata cara mandi (al ghuslu). Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di Pangukan-Sleman, Kamis, 15 Jumadal Awwal 1431 H (29/04/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 1/392, Mawqi’ Al Islam
[2] Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi. (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’)
[3] Lihat Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Asy Syafi’i, hal. 64, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, tahun 1422 H.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/163, Al Maktabah At Taufiqiyah. Juga lihat penjelasan dalam kitab Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, hal. 49, Darul ‘Aqidah, tahun 1428 H.
[5] Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 57, Darul ‘Aqidah, tahun 1425 H.
[6] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58.
[7] Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58.
[8] Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 50.
[9] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani 1/398, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
[10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 4/40-41, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[11] Ad Daroril Mudhiyah, hal. 57.
[12] Faedah dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/167.
[13] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 59.
[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/166.
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/617.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/618. Catatan: Adapun orang yang mati selain di medan pertempuran dan disebut syahid (seperti orang yang mati karena tenggelam dan sakit perut), maka mereka dimandikan dan disholatkan sebagaimana orang yang mati pada umumnya. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/619)
[17] Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 51.
9 Kunci dalam Bersabar
Ketika sabar diperintahkan Allah kepada kita semua, maka Diapun adakan sebab-sebab yang membantu dan memudahkan seseorang untuk sabar. Demikian juga tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali membantu dan mengadakan sebab-sebab yang memudahkan dan membantu pelaksanaannya sebagaimana Ia tidak mentaqdirkan adanya penyakit kecuali menetapkan obatnya.
Sabar walaupun sulit dan tidak disukai jiwa, apalagi bila disebabkan kelakuan dan tindakan orang lain. Akan tetapi kesabaran harus ada dan diwujudkan.
Ada beberapa kiat yang dapat membantu kita dalam bersabar dengan ketiga jenisnya, diantaranya:
1. Mengetahui tabiat kehidupan dunia dan kesulitan dan kesusahan yang ada disana, sebab manusia memang diciptakan berada dalam susah payah, sebagaimana firman Allah (yang artinya): “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah“. (Qs. Al Balad: 4)
2. Beriman bahwa dunia seluruhnya adalah milik Allah dan Dia memberinya kepada orang yang Dia sukai dan menahannya dari orang yang disukai-Nya juga.
3. Mengetahui besarnya balasan dan pahala atas kesabaran tersebut. Diantaranya:
a. Mendapatkan pertolongan Allah, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): “Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Qs. Al Baqarah: 249)
b. Mendapatkan shalawat, rahmat dan petunjuk Allah, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Qs. Al Baqarah: 155-157)
c. Sabar adalah kunci kesuksesan seorang hamba, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”. (Qs. Al Imran: 200).
4. Yakin dan percaya akan mendapatkan pemecahan dan kemudahan sebab Allah telah menjadikan dua kemudahan dalam satu kesulitan sebagai rahmat dari-Nya. Inilah yang difirmankan Allah (yang artinya): “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (Qs. Al Insyirah: 5-6)
5. Memohon pertolongan kepada Allah dan berlindung kepada-Nya, karena Allah satu-satunya yang dapat memberikan kemudahan dan kesabaran,
6. Beriman kepada ketetapan dan takdir Allah dengan meyakini semuanya yang terjadi sudah merupakan suratan takdir. Sehingga dapat bersabar menghadapi musibah yang ada.
7. Ikhlas dan mengharapkan keridhoan Allah dalam bersabar. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya (yang artinya): “Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rejeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)” (Qs. Al Ra’d :22)
8. Mengetahui kebaikan dan manfaat yang ada dalam perintah dan keburukan yang ada dalam larangan. Ibnul Qayyim menyatakan: “Apabila seorang mengetahui kebaikan yang ada pada amalan yang diperintahkan dan akibat buruk dan kejelekan yang ada pada amalan yang dilarang sebagaimana mestinya, kemudian ditambah dengan tekad kuat dan motivasi tinggi serta harga diri maka insya Allah akan dapat bersabar dan semua kesulitan dan kesusahan menjadi mudah baginya”.
9. Menguatkan faktor pendukung agama dalam setiap kali menghadapi perintah, larangan dan musibah yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan empat perkara:
a. Mengagungkan Allah yang maha mendengar dan melihat. Seorang yang senantiasa ada di hartinya pengagungan terhadap Allah, tentunya dapat bersabar dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Bagaimana Dzat yang maha agung dimaksiati padahal Dia maha melihat dan mendengar?
b. Menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, sehingga ia melaksanakan perintah dan meninggalkan kemaksiatan karen mencintai Allah. Demikian juga akan bersabar atas ujian kekasihnya. Hal ini disebabkan orang yang mencintai tentu akan menaati kekasihnya dan tidak ingin dimurkai serta dapat menahan diri atas semua ujian yang diberikan kepadanya.
c. Menampakkan dan mengingat nikmat dan kebaikan Allah, sebab orang yang mulia tidak akan membalas kebaikan orang lain dengan kejelekan. Oleh karena itu mengingat nikmat dan karunia Allah dapat mencegah seseorang dari bermaksiat karena malu dengan-Nya dan memotivasi melaksanakan perintah-Nya serta merasa semua musibah yang menimpanya merupakan kebaikan yang Allah karuniakan kepadanya.
d. Mengingat kemarahan, kemurkaan dan balasan Allah, karena Allah akan marah bila hamba-Nya dan bila murka tidak ada seorangpun yang dapat menahan amarah-Nya. Sehingga dengan melihat sepuluh kiat dari kiat-kiat bersabar dalam tiga jenis kesabaran ini, mudah-mudahan dapat menjadikan diri kita termasuk orang-orang yang bersabar.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel: UstadzKholid.Com
Dipublikasikan oleh: www.pengusahamuslim.com
Sabar walaupun sulit dan tidak disukai jiwa, apalagi bila disebabkan kelakuan dan tindakan orang lain. Akan tetapi kesabaran harus ada dan diwujudkan.
Ada beberapa kiat yang dapat membantu kita dalam bersabar dengan ketiga jenisnya, diantaranya:
1. Mengetahui tabiat kehidupan dunia dan kesulitan dan kesusahan yang ada disana, sebab manusia memang diciptakan berada dalam susah payah, sebagaimana firman Allah (yang artinya): “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah“. (Qs. Al Balad: 4)
2. Beriman bahwa dunia seluruhnya adalah milik Allah dan Dia memberinya kepada orang yang Dia sukai dan menahannya dari orang yang disukai-Nya juga.
3. Mengetahui besarnya balasan dan pahala atas kesabaran tersebut. Diantaranya:
a. Mendapatkan pertolongan Allah, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): “Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Qs. Al Baqarah: 249)
b. Mendapatkan shalawat, rahmat dan petunjuk Allah, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Qs. Al Baqarah: 155-157)
c. Sabar adalah kunci kesuksesan seorang hamba, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”. (Qs. Al Imran: 200).
4. Yakin dan percaya akan mendapatkan pemecahan dan kemudahan sebab Allah telah menjadikan dua kemudahan dalam satu kesulitan sebagai rahmat dari-Nya. Inilah yang difirmankan Allah (yang artinya): “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (Qs. Al Insyirah: 5-6)
5. Memohon pertolongan kepada Allah dan berlindung kepada-Nya, karena Allah satu-satunya yang dapat memberikan kemudahan dan kesabaran,
6. Beriman kepada ketetapan dan takdir Allah dengan meyakini semuanya yang terjadi sudah merupakan suratan takdir. Sehingga dapat bersabar menghadapi musibah yang ada.
7. Ikhlas dan mengharapkan keridhoan Allah dalam bersabar. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya (yang artinya): “Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rejeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)” (Qs. Al Ra’d :22)
8. Mengetahui kebaikan dan manfaat yang ada dalam perintah dan keburukan yang ada dalam larangan. Ibnul Qayyim menyatakan: “Apabila seorang mengetahui kebaikan yang ada pada amalan yang diperintahkan dan akibat buruk dan kejelekan yang ada pada amalan yang dilarang sebagaimana mestinya, kemudian ditambah dengan tekad kuat dan motivasi tinggi serta harga diri maka insya Allah akan dapat bersabar dan semua kesulitan dan kesusahan menjadi mudah baginya”.
9. Menguatkan faktor pendukung agama dalam setiap kali menghadapi perintah, larangan dan musibah yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan empat perkara:
a. Mengagungkan Allah yang maha mendengar dan melihat. Seorang yang senantiasa ada di hartinya pengagungan terhadap Allah, tentunya dapat bersabar dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Bagaimana Dzat yang maha agung dimaksiati padahal Dia maha melihat dan mendengar?
b. Menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, sehingga ia melaksanakan perintah dan meninggalkan kemaksiatan karen mencintai Allah. Demikian juga akan bersabar atas ujian kekasihnya. Hal ini disebabkan orang yang mencintai tentu akan menaati kekasihnya dan tidak ingin dimurkai serta dapat menahan diri atas semua ujian yang diberikan kepadanya.
c. Menampakkan dan mengingat nikmat dan kebaikan Allah, sebab orang yang mulia tidak akan membalas kebaikan orang lain dengan kejelekan. Oleh karena itu mengingat nikmat dan karunia Allah dapat mencegah seseorang dari bermaksiat karena malu dengan-Nya dan memotivasi melaksanakan perintah-Nya serta merasa semua musibah yang menimpanya merupakan kebaikan yang Allah karuniakan kepadanya.
d. Mengingat kemarahan, kemurkaan dan balasan Allah, karena Allah akan marah bila hamba-Nya dan bila murka tidak ada seorangpun yang dapat menahan amarah-Nya. Sehingga dengan melihat sepuluh kiat dari kiat-kiat bersabar dalam tiga jenis kesabaran ini, mudah-mudahan dapat menjadikan diri kita termasuk orang-orang yang bersabar.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel: UstadzKholid.Com
Dipublikasikan oleh: www.pengusahamuslim.com
Birrul Walidain : Berbakti Kepada Kedua Orang Tua !
MAKNA "AL BIRR"
Al Birr yaitu kebaikan, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam (artinya) : "Al Birr adalah baiknya akhlaq". (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya Nomor 1794).
Al Birr merupakan haq kedua orang tua dan kerabat dekat, lawan dari Al ‘Uquuq yaitu kejelekan dan menyia-nyiakan haq..
"Al Birr adalah mentaati kedua orang tua didalam semua apa yang mereka perintahkan kepada engkau, selama tidak bermaksiat kepada Allah, dan Al ‘Uquuq dan menjauhi mereka dan tidak berbuat baik kepadanya." (Disebutkan dalam kitab Ad Durul Mantsur 5/259)
Berkata Urwah bin Zubair mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua tentang firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan." (QS. Al Isra’ : 24). Yaitu: "Jangan sampai mereka berdua tidak ditaati sedikitpun". (Ad Darul Mantsur 5/259)
Berkata Imam Al Qurtubi mudah-mudahan Allah merahmatinya: "Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/ menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan). (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an Jil 6 hal 238).
Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mudah-mudahan Allah merahmatinya: Berkata Abu Bakr di dalam kitab Zaadul Musaafir "Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali". (Ghadzaul Al Baab 1/382).
HUKUM BIRRUL WALIDAIN
Para Ulama’ Islam sepakat bahwa hukum berbuat baik (berbakti) pada kedua orang tua hukumnya adalah wajib, hanya saja mereka berselisih tentang ibarat-ibarat (contoh pengamalan) nya.
Berkata Ibnu Hazm, mudah-mudahan Allah merahmatinya: "Birul Walidain adalah fardhu (wajib bagi masing-masing individu). Berkat beliau dalam kitab Al Adabul Kubra: Berkata Al Qodli Iyyad: "Birrul walidain adalah wajib pada selain perkara yang haram." (Ghdzaul Al Baab 1/382)
Dalil-dalil Shahih dan Sharih (jelas) yang mereka gunakan banyak sekali , diantaranya:
1. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak". (An Nisa’ : 36).
Dalam ayat ini (berbuat baik kepada Ibu Bapak) merupakan perintah, dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan meng-Esa-kan (tidak mempersekutukan) Allah, serta tidak didapatinya perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini. (Al Adaabusy Syar’iyyah 1/434).
2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya". (QS. Al Isra’: 23).
Adapun makna ( qadhoo ) = Berkata Ibnu Katsir : yakni, mewasiatkan. Berkata Al Qurthubiy : yakni, memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Berkata Asy Syaukaniy: "Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orang tua seiring dengan perintah untuk mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, ini pemberitahuan tentang betapa besar haq mereka berdua, sedangkan membantu urusan-urusan (pekerjaan) mereka, maka ini adalah perkara yang tidak bersembunyi lagi (perintahnya). (Fathul Qodiir 3/218).
3. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu." (QS. Luqman : 14).
Berkata Ibnu Abbas mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua "Tiga ayat dalam Al Qur’an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya) : "Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu", Berkata beliau. "Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu." (Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40).
Berkaitan dengan ini, Rasulullah Shalallahu’Alaihi Wassallam bersabda (artinya) : "Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua" (Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/ 346), Hadits ini Shohih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516).
4. Hadits Al Mughirah bin Syu’bah - mudah-mudahan Allah meridhainya, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam beliau bersabda (artinya): "Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan membuang-buang harta". (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1757).
KEUTAMAAN BIRRUL WALIDAIN
Pertama : Termasuk Amalan Yang Paling Mulia
Dari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: "Sholat tepat pada waktunya", Saya bertanya : Kemudian apa lagi?, Bersabada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam "Berbuat baik kepada kedua orang tua". Saya bertanya lagi : Lalu apa lagi?, Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Berjihad di jalan Allah". (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).
Kedua : Merupakan Salah Satu Sebab-Sebab Diampuninya Dosa
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya….", hingga akhir ayat berikutnya : "Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka." (QS. Al Ahqaf 15-16)
Diriwayatkan oleh ibnu Umar mudah-mudahan Allah meridhoi keduanya bahwasannya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Apakah Ibumu masih hidup?", berkata dia : tidak. Bersabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Kalau bibimu masih ada?", dia berkata : "Ya" . Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Berbuat baiklah padanya". (Diriwayatkan oleh Tirmidzi didalam Jami’nya dan berkata Al ‘Arnauth : Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/ 406).
Ketiga : Termasuk Sebab Masuknya Seseorang Ke Surga
Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Celakalah dia, celakalah dia", Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya : Siapa wahai Rasulullah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga". (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1758, ringkasan).
Dari Mu’awiyah bin Jaahimah mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua, Bahwasannya Jaahimah datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian berkata : "Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada anda. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Apakah kamu masih memiliki Ibu?". Berkata dia : "Ya". Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya". (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya, Hadits ini Shohih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248)
Keempat : Merupakan Sebab keridhoan Allah
Sebagaiman hadits yang terdahulu "Keridhoan Allah ada pada keridhoan kedua orang tua dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan kedua orang tua".
Kelima : Merupakan Sebab Bertambahnya Umur
Diantarnya hadit yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Barangsiapa yang suka Allah besarkan rizkinya dan Allah panjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahim".
Keenam : Merupakan Sebab Barokahnya Rizki
Dalilnya, sebagaimana hadits sebelumnya.
Wallahu a’lam
Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsari
Judul Asli: Berbakti pada Kedua Orang Tua
http://ghuroba.blogsome.com/2008/01/03/birrul-walidain-berbakti-kepada-kedua-orang-tua/
Al Birr yaitu kebaikan, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam (artinya) : "Al Birr adalah baiknya akhlaq". (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya Nomor 1794).
Al Birr merupakan haq kedua orang tua dan kerabat dekat, lawan dari Al ‘Uquuq yaitu kejelekan dan menyia-nyiakan haq..
"Al Birr adalah mentaati kedua orang tua didalam semua apa yang mereka perintahkan kepada engkau, selama tidak bermaksiat kepada Allah, dan Al ‘Uquuq dan menjauhi mereka dan tidak berbuat baik kepadanya." (Disebutkan dalam kitab Ad Durul Mantsur 5/259)
Berkata Urwah bin Zubair mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua tentang firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan." (QS. Al Isra’ : 24). Yaitu: "Jangan sampai mereka berdua tidak ditaati sedikitpun". (Ad Darul Mantsur 5/259)
Berkata Imam Al Qurtubi mudah-mudahan Allah merahmatinya: "Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/ menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan). (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an Jil 6 hal 238).
Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mudah-mudahan Allah merahmatinya: Berkata Abu Bakr di dalam kitab Zaadul Musaafir "Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali". (Ghadzaul Al Baab 1/382).
HUKUM BIRRUL WALIDAIN
Para Ulama’ Islam sepakat bahwa hukum berbuat baik (berbakti) pada kedua orang tua hukumnya adalah wajib, hanya saja mereka berselisih tentang ibarat-ibarat (contoh pengamalan) nya.
Berkata Ibnu Hazm, mudah-mudahan Allah merahmatinya: "Birul Walidain adalah fardhu (wajib bagi masing-masing individu). Berkat beliau dalam kitab Al Adabul Kubra: Berkata Al Qodli Iyyad: "Birrul walidain adalah wajib pada selain perkara yang haram." (Ghdzaul Al Baab 1/382)
Dalil-dalil Shahih dan Sharih (jelas) yang mereka gunakan banyak sekali , diantaranya:
1. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak". (An Nisa’ : 36).
Dalam ayat ini (berbuat baik kepada Ibu Bapak) merupakan perintah, dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan meng-Esa-kan (tidak mempersekutukan) Allah, serta tidak didapatinya perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini. (Al Adaabusy Syar’iyyah 1/434).
2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya". (QS. Al Isra’: 23).
Adapun makna ( qadhoo ) = Berkata Ibnu Katsir : yakni, mewasiatkan. Berkata Al Qurthubiy : yakni, memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Berkata Asy Syaukaniy: "Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orang tua seiring dengan perintah untuk mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, ini pemberitahuan tentang betapa besar haq mereka berdua, sedangkan membantu urusan-urusan (pekerjaan) mereka, maka ini adalah perkara yang tidak bersembunyi lagi (perintahnya). (Fathul Qodiir 3/218).
3. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu." (QS. Luqman : 14).
Berkata Ibnu Abbas mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua "Tiga ayat dalam Al Qur’an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya) : "Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu", Berkata beliau. "Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu." (Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40).
Berkaitan dengan ini, Rasulullah Shalallahu’Alaihi Wassallam bersabda (artinya) : "Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua" (Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/ 346), Hadits ini Shohih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516).
4. Hadits Al Mughirah bin Syu’bah - mudah-mudahan Allah meridhainya, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam beliau bersabda (artinya): "Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan membuang-buang harta". (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1757).
KEUTAMAAN BIRRUL WALIDAIN
Pertama : Termasuk Amalan Yang Paling Mulia
Dari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: "Sholat tepat pada waktunya", Saya bertanya : Kemudian apa lagi?, Bersabada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam "Berbuat baik kepada kedua orang tua". Saya bertanya lagi : Lalu apa lagi?, Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Berjihad di jalan Allah". (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).
Kedua : Merupakan Salah Satu Sebab-Sebab Diampuninya Dosa
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya….", hingga akhir ayat berikutnya : "Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka." (QS. Al Ahqaf 15-16)
Diriwayatkan oleh ibnu Umar mudah-mudahan Allah meridhoi keduanya bahwasannya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Apakah Ibumu masih hidup?", berkata dia : tidak. Bersabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Kalau bibimu masih ada?", dia berkata : "Ya" . Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Berbuat baiklah padanya". (Diriwayatkan oleh Tirmidzi didalam Jami’nya dan berkata Al ‘Arnauth : Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/ 406).
Ketiga : Termasuk Sebab Masuknya Seseorang Ke Surga
Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Celakalah dia, celakalah dia", Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya : Siapa wahai Rasulullah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga". (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1758, ringkasan).
Dari Mu’awiyah bin Jaahimah mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua, Bahwasannya Jaahimah datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian berkata : "Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada anda. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Apakah kamu masih memiliki Ibu?". Berkata dia : "Ya". Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya". (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya, Hadits ini Shohih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248)
Keempat : Merupakan Sebab keridhoan Allah
Sebagaiman hadits yang terdahulu "Keridhoan Allah ada pada keridhoan kedua orang tua dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan kedua orang tua".
Kelima : Merupakan Sebab Bertambahnya Umur
Diantarnya hadit yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Barangsiapa yang suka Allah besarkan rizkinya dan Allah panjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahim".
Keenam : Merupakan Sebab Barokahnya Rizki
Dalilnya, sebagaimana hadits sebelumnya.
Wallahu a’lam
Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsari
Judul Asli: Berbakti pada Kedua Orang Tua
http://ghuroba.blogsome.com/2008/01/03/birrul-walidain-berbakti-kepada-kedua-orang-tua/
Infaq Dan Zakat
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah setiap bulannya walaupun uangnya sedikit saya rutin mengeluarkan zakat/infaq 2,5% dari gaji saya. Yg kemudian zakat/infaq tsb saya bagi-bagikan kepada: keponakan (yg kebetulan ponakan saya adalah anak yatim) dan kepada saudara-saudara saya yg kurang mampu.
Yang jadi pertanyaan saya adalah
1. Apa arti dan perbedaan SEDEKAH, ZAKAT dan INFAQ?
2. Salahkah saya? Kalau selama ini ketika saya memberikan uang tsb saya niatkan membayar sedekah dan infaq!
3. Apakah saya menyalahi aturan kalau zakat/infaq tsb saya berikan kepada saudara-saudara saya yg kurang mampu seperti keponakan, kakak/adik saya sendiri?
Atas segala perhatiannya saya ucapkan terima kasih
Wassallamu alaikum Wr. Wb.
Ishendar
Jawaban
Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Bapak Ishendar yang budiman.
1. Zakat, infaq, dan shodaqoh merupakan kebuktian iman kita kepada allah dan sesama muslim yang membutuhkannya. Kalau kita melihat dari penggunaan ayat-ayat Al-Quran istilah shadaqah, zakat, dan infaq sebetulnya menunjuk kepada satu pengertian yaitu sesuatu yang dikeluarkan. Zakat, infaq dan shadaqah memiliki persamaan dalam peranannya memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan.
Adapun perbedaannya yaitu zakat hukumnya wajib sedangkan infaq dan sedekah hukumnya sunnah. Atau zakat yang dimaksudkan adalah sesuatu yang wajib dikeluarkan, sementara infaq dan shadaqah adalah istilah yang digunakan untuk sesuatu yang tidak wajib dikeluarkan. Jadi pengeluaran yang sifatnya sukarela itu yang disebut infaq dan shadaqah. zakat ditentukan nisabnya sedangkan infaq dan sedekah tidak memiliki batas, zakat ditentukan siapa saja yang berhak menerimanya sedangkan infaq boleh diberikan kepada siapa saja.
Perbedaannya juga dapat dicermati antara lain yaitu;
1) Zakat itu sifatnya wajib dan adanya ketentuannya/batasan jumlah harta yang harus zakat dan siapa yang boleh menerima.
2.Infaq : sumbangan sukarela atau seikhlasnya (materi)
3.Sedekah: lebih luas dari infaq, karena yang disedekahkan tidak terbatas pada materi saja.
Sedangkan pengertian sedekah, zakat dan infaq yaitu sebagai berikut;
a) Sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Adapun secara terminologi syariat shadaqah makna asalnya adalah tahqiqu syai'in bisyai'i, atau menetapkan / menerapkan sesuatu pada sesuatu. Sikapnya sukarela dan tidak terikat pada syarat-syarat tertentu dalam pengeluarannya baik mengenai jumlah, waktu dan kadarnya. Atau pemberian sukarela yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, terutama kebada orang-orang miskin setiap kesempatan terbuka yang tidak di tentukan baik jenis, jumlah maupun waktunya, sedekah tidak terbatas pada pemberian yang bersifat material saja tetapi juga dapat berupa jasa yang bermanfaat bagi orang lain. Bahkan senyum yang dilakukan dengan ikhlas untuk menyenangkan orang lain termasuk kategori sedekah. Shadaqoh mempunyai cakupan yang sangat luas dan digunakan al-qur'an untuk mencakup segala jenis sumbangan.
Sedekah berarti memberi derma, termasuk memberikan derma untuk mematuhi hukum dimana kata zakat digunakan didalam al-qur'an dan sunah. Zakat telah disebut pula sedekah karena zakat merupakan sejenis derma yang diwajibkan sedangkan sedekah adalah sukarela, zakat dikumpulkan oleh pemerintah sebagai suatu pengutan wajib, sedegkan sedekah lainnya dibayarkan secara sukarela. Jumlah dan nisab zakat di tentukan, sedangkan jumlah sedekah yang lainya sepenuhnya tergantung keinginan yang menyumbang.
Pengertian sedekah sama dengan pengertian infaq, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja shadaqoh mempunyai makna yang lebih luas lagi dibanding infaq. Jika infaq berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut juga hal yang bersifat nonmateriil. Shadaqah ialah segala bentuk nilai kebajikan yang tidak terikat oleh jumlah, waktu dan juga yang tidak terbatas pada materi tetapi juga dapat dalam bentuk non materi, misalnya menyingkirkan rintangan di jalan, menuntun orang yang buta, memberikan senyuman dan wajah yang manis kepada saudaranya, menyalurkan syahwatnya pada istri dsb. Dan shadaqoh adalah ungkapan kejujuran (shiddiq) iman seseorang.
Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar, Rasulullah menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta, maka membaca tasbih, takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-istri, atau melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adakah sedekah.
Dalam hadist Rasulullah memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak bershadaqah dengan hartanya, beliau bersabda: "Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir shadaqah, setiap tahmid shadaqah, setiap amar ma'ruf adalah shadaqah, nahi munkar shadaqah dan menyalurkan syahwatnya kepada istri shadaqah". (HR. Muslim)
b) Zakat secara bahasa (lughat), berarti : tumbuh; berkembang dan berkah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10). Seorang yang membayar zakat karena keimanannya nicaya akan memperoleh kebaikan yang banyak. Allah SWT berfirman : "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.". (QS : At-Taubah : 103). Sedangkan menurut terminologi syari'ah (istilah syara') zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dalam waktu tertentu.
Zakat juga berarti derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah, dan waktu suatu kekayaan atau harta yang wajib diserahkan; dan pendayagunaannya pun ditentukan pula, yaitu dari umat Islam untuk umat Islam. Atau Zakat adalah nama dari sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu (nishab) yang diwajibkan Allah SWT untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula (QS. 9:103 dan QS. 30:39). Ulama' Hanafiyyah mendefinisikan zakat dengan menjadikan hak milik bagian harta tertentu dan harta tertentu untuk orang tertentu yang telah ditentukan oleh Syari' karena Allah.
Demikian halnya menurut mazhab Imam Syafi'i zakat adalah sebuah ungkapan keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan secara khusus. Sedangkian menurut mazhab Imam Hambali, zakat ialah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula, yaitu kelompok yang disyaratkan dalam Al-Qur'an. Zakat mempunyai fungsi yang jelas untuk menyucikan atau membersihkan harta dan jiwa pemberinya.
c) Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut terminologi syariat, infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan Islam. Jika zakat ada nishabnya, infaq tidak mengenal nishab. Infaq dikeluarkan setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit (QS. 3:134). Jika zakat harus diberikan pada mustahik tertentu (8 asnaf), maka infaq boleh diberikan kepada siapapun. Misalnya, untuk kedua orang tua, anak-yatim, dan sebagainya (QS. 2:215).
Infaq adalah pengeluaran sukarela yang di lakukan seseorang, setiap kali ia memperoleh rizki, sebanyak yang ia kehendakinya. Allah memberi kebebasan kepada pemiliknya untuk menentukan jenis harta, berapa jumlah yang yang sebaiknya diserahkan.
Terkait dengan infak ini Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore : "Ya Allah SWT berilah orang yang berinfak, gantinya. Dan berkata yang lain : "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak, kehancuran". (HR. Bukhori)
2. Melakukan amal kebajikan semuanya agar bernilai ganjaran pahala di sisi Allah Swt. Semuanya tergantung pada niat. Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya sahya perbuatan itu hanyalah dengan niat”. (HR. Muslim). Jika Bapak mengeluarkan harta diniatkan sedekah maka akan bernilai ibadah sedekah yang besar ganjarannya dari Allah Swt. Pun demikian jika diniatkan berinfak akan bernilai pahala infak. Tentunya hendaknya terlebih dahulu dimantapkan niat bapak yang manakah amal karikatif (sedekah atau infak) yang bapak pilih dan ditunaikan.
3. Zakat/infaq diberikan kepada saudara-saudara yg kurang mampu seperti keponakan, kakak/adik sendiri menurut ulama diperbolehkan atau tidak berdosa untuk memberi kepadanya zakat. Sebab, mereka bukan menjadi tanggung jawab bapak Ishendar dan dengan catatan bahwa mereka adalah mustahik zakat yaitu apakah mereka masuk kriteria fakir atau miskin. Meskipun demikian, alangkah lebih arifnya jika bapak mengeluarkan harta tersebut sebagai sedekah yang juga tidak kalah besar amalan pahalanya. Dan mengeluarkan zakat malnya pada lembaga amil zakat baik BAZ maupun LAZ yang amanah agar zakat dapat lebih merata tersalurkannya dan dapat terberdayakan mustahiknya.
Berdasarkan penjelasan tersebut jelas bahwa sedekah, infak dan zakat memiliki sisi perbedaan baik penghimpunannya maupun penyalurannya. Dengan mengeluarkan sedekah/infak/zakat sebetulnya untuk bekal investasi nanti di akhirat bahkan akan dijauhkan dari musibah. Rasulpun menjelaskan orang yang mengeluarkan sedekah/zakat akan terhindar dari marabahaya/musibah. Bahkan zakat dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, memurnikan jiwa (menumbuhkan akhlak mulia, menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan mengikis sifat bakhil (kikir) serta serakah. Dengan begitu, akhirnya tercipta suasana ketenangan bathin yang terbebas dari tuntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, yang selalu melingkupi hati.
Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.
Muhammad Zen, MA
www.eramuslim.com
Alhamdulillah setiap bulannya walaupun uangnya sedikit saya rutin mengeluarkan zakat/infaq 2,5% dari gaji saya. Yg kemudian zakat/infaq tsb saya bagi-bagikan kepada: keponakan (yg kebetulan ponakan saya adalah anak yatim) dan kepada saudara-saudara saya yg kurang mampu.
Yang jadi pertanyaan saya adalah
1. Apa arti dan perbedaan SEDEKAH, ZAKAT dan INFAQ?
2. Salahkah saya? Kalau selama ini ketika saya memberikan uang tsb saya niatkan membayar sedekah dan infaq!
3. Apakah saya menyalahi aturan kalau zakat/infaq tsb saya berikan kepada saudara-saudara saya yg kurang mampu seperti keponakan, kakak/adik saya sendiri?
Atas segala perhatiannya saya ucapkan terima kasih
Wassallamu alaikum Wr. Wb.
Ishendar
Jawaban
Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Bapak Ishendar yang budiman.
1. Zakat, infaq, dan shodaqoh merupakan kebuktian iman kita kepada allah dan sesama muslim yang membutuhkannya. Kalau kita melihat dari penggunaan ayat-ayat Al-Quran istilah shadaqah, zakat, dan infaq sebetulnya menunjuk kepada satu pengertian yaitu sesuatu yang dikeluarkan. Zakat, infaq dan shadaqah memiliki persamaan dalam peranannya memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan.
Adapun perbedaannya yaitu zakat hukumnya wajib sedangkan infaq dan sedekah hukumnya sunnah. Atau zakat yang dimaksudkan adalah sesuatu yang wajib dikeluarkan, sementara infaq dan shadaqah adalah istilah yang digunakan untuk sesuatu yang tidak wajib dikeluarkan. Jadi pengeluaran yang sifatnya sukarela itu yang disebut infaq dan shadaqah. zakat ditentukan nisabnya sedangkan infaq dan sedekah tidak memiliki batas, zakat ditentukan siapa saja yang berhak menerimanya sedangkan infaq boleh diberikan kepada siapa saja.
Perbedaannya juga dapat dicermati antara lain yaitu;
1) Zakat itu sifatnya wajib dan adanya ketentuannya/batasan jumlah harta yang harus zakat dan siapa yang boleh menerima.
2.Infaq : sumbangan sukarela atau seikhlasnya (materi)
3.Sedekah: lebih luas dari infaq, karena yang disedekahkan tidak terbatas pada materi saja.
Sedangkan pengertian sedekah, zakat dan infaq yaitu sebagai berikut;
a) Sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Adapun secara terminologi syariat shadaqah makna asalnya adalah tahqiqu syai'in bisyai'i, atau menetapkan / menerapkan sesuatu pada sesuatu. Sikapnya sukarela dan tidak terikat pada syarat-syarat tertentu dalam pengeluarannya baik mengenai jumlah, waktu dan kadarnya. Atau pemberian sukarela yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, terutama kebada orang-orang miskin setiap kesempatan terbuka yang tidak di tentukan baik jenis, jumlah maupun waktunya, sedekah tidak terbatas pada pemberian yang bersifat material saja tetapi juga dapat berupa jasa yang bermanfaat bagi orang lain. Bahkan senyum yang dilakukan dengan ikhlas untuk menyenangkan orang lain termasuk kategori sedekah. Shadaqoh mempunyai cakupan yang sangat luas dan digunakan al-qur'an untuk mencakup segala jenis sumbangan.
Sedekah berarti memberi derma, termasuk memberikan derma untuk mematuhi hukum dimana kata zakat digunakan didalam al-qur'an dan sunah. Zakat telah disebut pula sedekah karena zakat merupakan sejenis derma yang diwajibkan sedangkan sedekah adalah sukarela, zakat dikumpulkan oleh pemerintah sebagai suatu pengutan wajib, sedegkan sedekah lainnya dibayarkan secara sukarela. Jumlah dan nisab zakat di tentukan, sedangkan jumlah sedekah yang lainya sepenuhnya tergantung keinginan yang menyumbang.
Pengertian sedekah sama dengan pengertian infaq, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja shadaqoh mempunyai makna yang lebih luas lagi dibanding infaq. Jika infaq berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut juga hal yang bersifat nonmateriil. Shadaqah ialah segala bentuk nilai kebajikan yang tidak terikat oleh jumlah, waktu dan juga yang tidak terbatas pada materi tetapi juga dapat dalam bentuk non materi, misalnya menyingkirkan rintangan di jalan, menuntun orang yang buta, memberikan senyuman dan wajah yang manis kepada saudaranya, menyalurkan syahwatnya pada istri dsb. Dan shadaqoh adalah ungkapan kejujuran (shiddiq) iman seseorang.
Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar, Rasulullah menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta, maka membaca tasbih, takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-istri, atau melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adakah sedekah.
Dalam hadist Rasulullah memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak bershadaqah dengan hartanya, beliau bersabda: "Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir shadaqah, setiap tahmid shadaqah, setiap amar ma'ruf adalah shadaqah, nahi munkar shadaqah dan menyalurkan syahwatnya kepada istri shadaqah". (HR. Muslim)
b) Zakat secara bahasa (lughat), berarti : tumbuh; berkembang dan berkah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10). Seorang yang membayar zakat karena keimanannya nicaya akan memperoleh kebaikan yang banyak. Allah SWT berfirman : "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.". (QS : At-Taubah : 103). Sedangkan menurut terminologi syari'ah (istilah syara') zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dalam waktu tertentu.
Zakat juga berarti derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah, dan waktu suatu kekayaan atau harta yang wajib diserahkan; dan pendayagunaannya pun ditentukan pula, yaitu dari umat Islam untuk umat Islam. Atau Zakat adalah nama dari sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu (nishab) yang diwajibkan Allah SWT untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula (QS. 9:103 dan QS. 30:39). Ulama' Hanafiyyah mendefinisikan zakat dengan menjadikan hak milik bagian harta tertentu dan harta tertentu untuk orang tertentu yang telah ditentukan oleh Syari' karena Allah.
Demikian halnya menurut mazhab Imam Syafi'i zakat adalah sebuah ungkapan keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan secara khusus. Sedangkian menurut mazhab Imam Hambali, zakat ialah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula, yaitu kelompok yang disyaratkan dalam Al-Qur'an. Zakat mempunyai fungsi yang jelas untuk menyucikan atau membersihkan harta dan jiwa pemberinya.
c) Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut terminologi syariat, infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan Islam. Jika zakat ada nishabnya, infaq tidak mengenal nishab. Infaq dikeluarkan setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit (QS. 3:134). Jika zakat harus diberikan pada mustahik tertentu (8 asnaf), maka infaq boleh diberikan kepada siapapun. Misalnya, untuk kedua orang tua, anak-yatim, dan sebagainya (QS. 2:215).
Infaq adalah pengeluaran sukarela yang di lakukan seseorang, setiap kali ia memperoleh rizki, sebanyak yang ia kehendakinya. Allah memberi kebebasan kepada pemiliknya untuk menentukan jenis harta, berapa jumlah yang yang sebaiknya diserahkan.
Terkait dengan infak ini Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore : "Ya Allah SWT berilah orang yang berinfak, gantinya. Dan berkata yang lain : "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak, kehancuran". (HR. Bukhori)
2. Melakukan amal kebajikan semuanya agar bernilai ganjaran pahala di sisi Allah Swt. Semuanya tergantung pada niat. Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya sahya perbuatan itu hanyalah dengan niat”. (HR. Muslim). Jika Bapak mengeluarkan harta diniatkan sedekah maka akan bernilai ibadah sedekah yang besar ganjarannya dari Allah Swt. Pun demikian jika diniatkan berinfak akan bernilai pahala infak. Tentunya hendaknya terlebih dahulu dimantapkan niat bapak yang manakah amal karikatif (sedekah atau infak) yang bapak pilih dan ditunaikan.
3. Zakat/infaq diberikan kepada saudara-saudara yg kurang mampu seperti keponakan, kakak/adik sendiri menurut ulama diperbolehkan atau tidak berdosa untuk memberi kepadanya zakat. Sebab, mereka bukan menjadi tanggung jawab bapak Ishendar dan dengan catatan bahwa mereka adalah mustahik zakat yaitu apakah mereka masuk kriteria fakir atau miskin. Meskipun demikian, alangkah lebih arifnya jika bapak mengeluarkan harta tersebut sebagai sedekah yang juga tidak kalah besar amalan pahalanya. Dan mengeluarkan zakat malnya pada lembaga amil zakat baik BAZ maupun LAZ yang amanah agar zakat dapat lebih merata tersalurkannya dan dapat terberdayakan mustahiknya.
Berdasarkan penjelasan tersebut jelas bahwa sedekah, infak dan zakat memiliki sisi perbedaan baik penghimpunannya maupun penyalurannya. Dengan mengeluarkan sedekah/infak/zakat sebetulnya untuk bekal investasi nanti di akhirat bahkan akan dijauhkan dari musibah. Rasulpun menjelaskan orang yang mengeluarkan sedekah/zakat akan terhindar dari marabahaya/musibah. Bahkan zakat dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, memurnikan jiwa (menumbuhkan akhlak mulia, menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan mengikis sifat bakhil (kikir) serta serakah. Dengan begitu, akhirnya tercipta suasana ketenangan bathin yang terbebas dari tuntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, yang selalu melingkupi hati.
Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.
Muhammad Zen, MA
www.eramuslim.com
Tamasya Ke Taman Surga
Definisi Surga secara bahasa:
Surga dalam bahasa arab disebut (جَنَّةٌ ) “Jannatun” yang artinya: Taman yang di dalamnya terdapat pemandangan yang indah dan pepohonan yang rindang. Surga dinamakan (جَنَّةٌ ) “Jannatun” karena di dalam surga terdapat pemandangan yang sangat indah dipandang dan juga terdapat pepohonan yang rindang.
Dimanakah letak surga?
Surga berada di tempat yang tinggi yaitu berada dilangit yang ketujuh yang bernama “Sidrotul Muntaha”. Allah berfirman:
(( عند سدرة المنتهى ، عندها جنة المأوى ))
“(Yaitu) di Sidrotul Muntaha, di dekatnya terdapat surga tempat kembali.” (QS. An Najm:14-15).
Namun sebaliknya nereka berada di tempat yang paling rendah, yaitu di bagian bumi yang paling bawah. Allah berfirman:
(( ثم رددناه أسفل سافلين ))
“Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (QS. At Tiin:5).
Luasnya Surga:
Surga sangat luas seperti luasnya langit dan bumi. Allah berfirman:
(( وسارعوا إلى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السماوات والأرض أعدت للمتقين ))
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron:133).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( والذي نفس محمد بيده إن ما بين المصراعين من مصاريع الجنة لكما بين مكة وهجر ))
“Demi jiwa Muhammad yang berada di Tangan-Nya, sesungguhnya jarak antara dua sisi pintu dari pntu-pintu surga seperti jarak antara Makkah dan Hajar (Kota dekat Dammam dan Ahsa’). (HR. Bukhori&Muslim).
Keindahan Surga:
Keindahan surga sangat luar biasa sehingga tidak bisa dijangkau dengan angan-angan manusia. Allah berfirman:
(( فلا تعلم نفس ما أخفي لهم من قرة أعين جزاء بما كانوا يعملون ))
“Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam keni’matan) yang menyejukkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. As Sajdah:17).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Allah Azza Wa Jalla berfirman:
(( أعددت لعبادي الصالحين ما لا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر ))
“ِAku persiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang sholih keni’matan (disurga) yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pula terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dihati manusia.” (HR Bukhori:3244, Muslim:2824).
Tanah, kerikil, batu bata di Surga:
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( لبنة ذهب ولبنة فضة وملاطها المسك وحصباؤها اللؤلؤ والياقوت وترابها الزعفران ))
“Batu bata (di surga) dari emas dan batu bata dari perak, lumpur (untuk mengecat) dindingnya terbuat dari minyak kesturi, kerikilnya terbuat dari mutiara dan intan, tanahnya terbuat dari minyak za’faron.” (HR. Ahmad).
Rumah dan istana di Surga:
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( دخلت الجنة فإذا أنا بقصر من ذهب ))
“Aku masuk surga, tiba-tiba aku melihat istana yang terbuat dari emas.” (HR. Tirmidzi).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( من قرأ قل هو الله أحد حتى يختمها عشر مرات بنى الله له قصرا في الجنة. قال عمر: إذن تكثر قصورنا يا رسول الله. فقال: الله أكثر وأطيب ))
“Barangsiapa membaca Qul Huwallahu Ahad (Surat Al Ikhlash) dan menghatamkannya sepuluh kali, maka Allah akan membangunkan baginya istana di surga. Umar berkata: Kalau begitu istana kita banyak Ya Rosulallah. Beliau bersabda: Apa-apa yang disisi Allah lebih banyak dan lebih baik.” (HR. Ahmad:4/103).
Taman dan pepohonan di Surga:
Allah berfirman:
(( وأصحاب اليمين ما أصحاب اليمين، في سدر مخضود، وطلح منضود، وظل ممدود ))
“Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. (Mereka) berada di antara pohon bidara yang tidak berduri, dan pohon pisang yang bersusun (buahnya), dan naungan yang terbentang luas.” (QS. Al Waqi’ah:27-30).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( إن في الجنة لشجرة يسير الراكب في ظلها مائة عام لا يقطعها ))
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat pohon, apabila seseorang yang berkendaraan lewat dibawah naungannya selama seratus tahun, ia tidak dapat menempuhnya.” (HR. Bukhori&Muslim).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( ما في الجنة شجرة إلا وساقها من ذهب ))
“Tidak ada pohon di surga melainkan tangkainya terbuat dari emas.” (QS. HR. Tirmidzi:2525).
Buah-buahan di Surga:
Allah berfirman:
(( وفاكهة كثيرة، لا مقطوعة ولا ممنوعة ))
“Dan buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya.” (QS. Al Waqi’ah:32-33).
(( قطوفها دانية ))
“Buah-buahannya dekat.” (QS. Al Haqqoh:23).
Ibnu Abbas rodhiyallahu anhuma berkata: “Apabila penghuni surga ingin mengambil buah-buahan surga, maka buah tersebut turun mendekat sehingga diapun mengambil apa saja yang ia suka.” Baro’ bin Azib rodhiyallahu anhuma berkata: “Mereka memetik buah dengan tidur.” (Hadil Arwah karya Ibnul Qoyyim:230-231).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( إنه عرضت علي الجنة وما فيها من الزهرة والنضرة، فتناولت منها قطفا من عنب لآتيكم به، فحيل بيني وبينه، ولو أتيتكم به لأكل منه من بين السماء والأرض لا ينقصونه ))
“Sesungguhnya pernah dinampakkan surga kepadaku, akupun melihat keindahan dan keelokan di dalamnya, lalu aku mengulurkan tanganku untuk memetik setangkai buah anggur agar aku dapat membawanya ke hadapan kalian, namun ada sesuatu yang menghalangiku darinya, kalau seandainya aku dapat membawanya kepada kalian niscaya buah tersebut cukup dimakan semua yang ada di antara langit dan bumi, serta tidak kurang.” (HR. Ahmad:352-353)
Sungai-sungai di Surga:
Allah Ta’ala berfirman:
(( مثل الجنة التي وعد المتقون فيها أنهار من ماء غير آسن وأنهار من لبن لم يتغير طعمه وأنهار من خمر لذة للشاربين وأنهار من عسل مصفى ولهم فيها من كل ثمرات من ربهم ))
“Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa, di dalamnya terdapat sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khomr yang lezat bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring, dan mereka mendapatkan di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka.” (QS. Muhammad:15).
Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata: “Sungai-sungai tersebut mengalir di bawah kamar-kamar mereka, istana-istana mereka dan kebun-kebun mereka.” (Hadil Arwah:236).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( الكوثر نهر في الجنة حافتاه من ذهب، ومجراه على الدر والياقوت، تربته أطيب من المسك، وماؤه أحلى من العسل وأبيض من الثلج ))
“Al Kautsar adalah sungai di surga kedua tepinya tebuat dari emas, alirannya diatas mutiara dan permata Yaqut, tanahnya lebih harum dari minyak kesturi, airnya lebih manis daripada madu dan lebih putih daripada salju.” (HR. Tirmidzi:3361).
Makanan dan minuman Surga:
Allah berfirman:
(( مثل الجنة التي وعد المتقون تجري من تحتها الأنهار أكلها دائم وظلها ))
“Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa mengalir sungai-sungai di dalamnya, buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula).” (QS. Ar Ro’d:35).
(( وأمددناكم بفاكهة ولحم مما يشتهون ))
“Dan Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini.” (QS Ath Thuur:22).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( يأكل أهل الجنة ويشربون ولا يمتخطون ولا يغوطون ولا يبولون، طعامهم جشاء كريح المسك ))
“Penghuni surga makan dan minum namun tidak mengeluarkan ingus dan tidak mengeluarkan kotoran besar dan tidak pula kencing, makanan mereka menjadi sendawa (dan keringat) baunya seperti bau minyak kesturi.” (HR. Muslim:2835).
Baju penghuni Surga:
Allah berfirman:
(( إن المتقين في مقام أمين، في جنات وعيون، يلبسون من سندس وإستبرق متقابلين ))
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman, di dalam taman-taman dan mata air-mata air, mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan.” (HR. Ad Dukhon: 51-53).
(( إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات إنا لا نضيع أجر من أحسن عملا، أولئك لهم جنات عدن تجري من تحتهم الأنهار يحلون فيها من أساور من ذهب ويلبسون ثيابا خضرا من سندس وإستبرق متكئين فيها على الأرائك نعم الثواب وحسنت مرتفقا ))
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalnya dengan baik. Mereka itu memperoleh surga Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya, dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar diatas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya dan tempat istirahat yang indah.” (QS. Al Kahfi:30-31).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( من لبس الحرير في الدنيا لم يلبسه في الآخرة ))
“Siapa yang memakai sutera di dunia, maka dia tidak memakainya di akhirat.” (HR. Bukhori:5832,Muslim:2073).
Istri-istri (bidadari) di Surga:
Bidadari istri-istri penghuni Surga sangat cantik dan jelita ibarat bulan purnama, wajah mereka indah mempesona, mereka suci dan tidak pernah di sentuh oleh jin ataupun manusia, Allah berfirman:
(( ولهم فيها أزواج مطهرة وهم فيها خالدون ))
“Dan untuk mereka ada istri istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al Baqarah:25).
Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas rodhiyallahu anhuma berkata: “(Istri-istri surga) mereka tidak haid, tidak mengeluarkan berhadats (kencing dan buang kotoran besar) dan tidak pula mengeluarkan ingus.” Mujahid rohimahullah berkata: “Mereka tidak kencing dan tidak mengeluarkan kotoran besar, tidak mengeluarkan madhi dan mani, tidak haid, tidak meludah, tidak mengeluarkan ingus dan tidak pula melahirkan.” (Hadil Arwah:284).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( ولو اطلعت امرأة من نساء الجنة إلى الأرض لملأت بينهما ريحا ولأضاءت ما بينهما ))
“Kalau seandainya wanita surga melongok ke bumi, niscaya antara langit dan bumi penuh dengan bau harum dan bersinar.” (HR. Ahmad:3/264).
Orang-orang yang beriman di dalam surga bersenang-senang dengan istri-istri mereka, Allah berfirman:
(( إن أصحاب الجنة اليوم في شغل فاكهون، هم وأزواجهم على الأرائك متكئون ))
“Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan, mereka dan istri-istri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.” (QS. Yasin:55-56).
Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas rodhiyallahu anhuma berkata: “Mereka sibuk memecahkan keperawanan bidadari.” Muqotil berkata: “Mereka sibuk memecahkan keperawanan bidadari sampai lupa dengan penghuni neraka, sehingga mereka tidak ingat dan tidak memperhatikan mereka (penghuni neraka). (Hadil Arwah:310).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Penghuni surga di beri kekuatan seratus orang.” (HR. Tirmidzi:2536).
Penghuni Surga dikumpulkan bersama keluarga mereka:
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan dan setiap perkumpulan pasti ada permasalahan. Akan tetapi pertemuan dan perkumpulan di surga tiada lagi perpisahan dan tiada pula permasalahan. Wahai alangkah indahnya pertemuan dan perkumpulan itu, yaitu di saat Allah Ta’ala menyatukan orang-orang yang beriman pada hari kiamat dengan keluarganya. Allah berfirman:
(( والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم بإيمان ألحقنا بهم ذريتهم وما ألتناهم من عملهم من شيء ))
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada sedikitpun mengurangi pahala amal mereka.” (QS. Ath Thur:21).
Penghuni Surga diantara mereka saling mengingat amalan yang mereka kerjakan di dunia:
Allah Ta’ala berfirman:
(( وأقبل بعضهم على بعض يتساءلون ، قالوا إنا كنا قبل في أهلنا مشفقين ، فمنّ الله علينا ووقانا عذاب السموم ، إنا كنا من قبل ندعوه إنه هو البر الرحيم ))
“Dan sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling bertanya. Mereka berkata: “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diadzab). Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dialah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Mulia.” (QS. Ath Thuur:28).
Penghuni Surga melihat Wajah Allah di Surga:
Melihat Wajah Allah di surga adalah keni’matan yang paling besar. Allah Ta’ala berfirman:
(( للذين أحسنوا الحسنى وزيادة ولا يرهق وجوههم قتر ولا ذلة أولئك أصحاب الجنة هم فيها خالدون ))
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahan (melihat Wajah Allah). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak pula kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yunus:26).
(( وجوه يومئذ ناضرة ، إلى ربها ناظرة ))
“Wajah-wajah (orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat.” (QS. Al Qiyamah:20-21).
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Apabila penghuni surga telah masuk ke dalam surga, Allah Azza Wa Jalla berfirman (kepada mereka): Apakah kalian menginginkan tambahan? Mereka berkata: Bukankah Engkau telah membuat putih wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka? Kemudian Allah menyingkap tabir, maka mereka tidak mendapat keni’matan yang lebih mereka cintai dari melihat Wajah Tuhan mereka Azza Wa Jalla.” (HR. Muslim:181).
Kematian disembelih di antara Surga dan Nereka:
Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Di datangkan kematian seakan-akan ia adalah seekor domba, lalu di berhentikan di antara surga dan neraka, dikatakan kepada penghuni surga: Wahai penghuni surga tahukah kalian ini? Merekapun berkumpul, melihat dan berkata: Ya ini adalah kematian. Kemudian dikatakan kepada penghuni neraka: Wahai penghuni neraka tahukah kalian ini? Merekapun berkumpul, melihat dan berkata: Ya ini adalah kematian. Kemudian diperintahkan kepada kematian lalu iapun disembelih. Kemudian dikatakan: Wahai penghuni surga kekal dan tidak ada lagi kematian, wahai penghuni neraka kekal dan tidak ada lagi kematian.” (Muttafaqun Alaih).
Wahai Saudaraku! Ingatlah kebahagiaan dunia hanyalah sementara, sedangkan kebahagiaan akhirat kekal selama-lamanya. Orang-orang yang cerdik mereka menyiapkan masa depannya yang abadi, adapun orang-orang yang dungu mereka silau dan tertipu dengan gemerlapnya keni’matan duniawi.
Ya Allah tunjukkan kami selalu kepada jalan-Mu yang lurus, yaitu jalan yang mengantarkan kami kepada surga-Mu. Amin Ya Robbal A’lamin.
Oleh: Ustadz Ahmad Jamil bin Alim bin Hamid -hafizhahullah-
Sumber: http://pengajianbahrain.blogspot.com
http://alqiyamah.wordpress.com/2010/04/25/tamasya-ke-taman-surga/
Kedudukan As Sunnah An Nabawiyah Dalam Islam
Kedudukan As Sunnah An Nabawiyah Dalam Islam (Pengantar)
I. Definisi
A. Secara bahasa (Lughatan – Etimologis):
As Sunnah jamaknya adalah As Sunan, Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan artinya Ath Thariiq (jalan/cara/metode). (Al Qadhi’ Iyadh, Ikmal Al Mu’allim, 8/80. Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 35/436). Lalu, Imam Abul Abbas Al Qurthubi mengatakan: Ath Thariiq Al Masluukah (jalan yang dilewati). (Imam Abul Abbas Al Qurthubi, Al Mufhim Lima Asykala Min Talkhishi fi Kitabi Muslim, 22/53)
Hal ini nampak dari hadits berikut:
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
"لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ؟ "
“Kalian akan benar-benar mengikuti sunan (jalan) orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai walau mereka melewati lubang biawak, kalian akan menempuhnya juga.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka adalah Yahudi dan Nasrani?” Beliau bersabda: “Ya Siapa lagi?” (HR. Bukhari No. 3269, 6889, Muslim No. 2669, Ibnu Hibban No. 6703 , Ahmad No. 11800)
Juga bisa berarti As Siirah (peri kehidupan/perjalanan) (lihat Syaikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Hujjah As Sunnah An Nawawiyah, Hal. 88) Juga berarti perilaku. (Kamus Al Munawwir, Hal. 669)
Dalam Al Munjid disebutkan makna As Sunnah, yakni: As Sirah (perjalanan), Ath Thariqah (jalan/metode), Ath Thabi’ah (tabiat/watak), Asy Syari’ah (syariat/jalan). (Al Munjid fil Lughah wal A’lam, hal. 353)
Disebutkan dalam sebuah hadits terkenal:
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ ، وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa dalam Islam melakukan kebiasan baik, maka tercatat baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka yang mengikutinya. Barangsiapa dalam Islam melakukan kebiasaan buruk, maka tercatat baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim, No. 1017, At Tirmidzi No. 2675, An Nasa’i No. 2554, Ibnu Majah No. 203)
Imam Abul Abbas Al Qurthubi Rahimahullah mengomentari kalimat : Man sanna fil Islam sunnatan hasanah …, katanya:
من فعل فعلاً جميلاً
“Barangsiapa yang mengerjakan fi’l (perbuatan/perilaku) yang bagus ..” (Al Mufhim, 9/33)
B. Makna Secara Istilah (Ishthilahan -Terminologis):
Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani menyebutkan makna As Sunnah:
والمراد بالسنة : الطريقة التى كان عليها رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و أصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة
Yang dimaksud dengan As Sunnah adalah: jalan yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik berada di atasnya sampai hari kiamat. (Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Syarh Al ‘Aqidah Al Wasathiyah, Hal. 10. Muasasah Al Juraisi)
Selain itu dalam perkembangannya, makna As Sunnah terbagi menjadi beberapa bagian sesuai disiplin ilmu yang mengikatnya.
- Menurut Ahli Ushul
Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan:
وإذا أطلقت في الشرع، فإنما يراد بها ما أمر به النبي صلى الله عليه وسلم، ونهى عنه، وندب إليه قولا، وفعلا مما لا ينطق به الكتاب العزيز، ولهذا يقال: في أدلة الشرع الكتاب والسنة. أي القرآن والحديث
“Jika dilihat dari sudut pandang syara’, maka maksudnya adalah apa-apa yang diperintahkan dan dilarang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan apa yang dianjurkannya baik perkataan, perbuatan yang tidak dibicarakan oleh Al Quran. Maka, dikatakan: tentang dalil-dalil Syara’ adalah Al Kitab dan As Sunnah, yaitu Al Quran dan Al Hadits.” (An Nihayah, 1/186)
Syaikh Abdul Qadir As Sindi Rahimahullah mengatakan:
عبارة عما صدر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ما عدا القرآن الكريم من قول, أو فعل, أو تقرير، فيخرج من السنة عندهم ما صدر من غيره عليه الصلاة والسلام رسولا كان أو غير رسول، وما صدر عنه صلى الله عليه وسلم قبل البعثة.
“Keterangan tentang apa yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selain dari Al Quran Al Karim, berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya. Yang tidak termasuk dari As Sunnah menurut mereka adalah apa yang selain dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik dia seorang rasul atau selain rasul, dan apa-apa yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum masa bi’tsah (masa diutus menjadi rasul).” (Syaikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Hujjah As Sunnah An Nawawiyah, Hal. 88. 1975M-1395H. Penerbit: Al Jami’ah Al Islamiyah - Madinah)
Jadi, menurut para ahli ushul, As sunnah adalah semua yang datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan dari selainnya dan bukan pula dari Al Quran, khususnya yang berimplikasi kepada hukum syara’, baik berupa perintah, larangan, dan anjuran.
- Menurut Fuqaha (Ahli Fiqih)
Berkata Syaikh Abdul Qadir As Sindi:
فهي عندهم عبارة عن الفعل الذي دل الخطاب على طلبه من غير إيجاب، ويرادفها المندوب والمستحب، والتطوع، والنفل، والتفرقة بين معاني هذه الألفاظ اصطلاح خاص لبعض الفقهاء، وقد تطلق على ما يقابل البدعة منه قولهم طلاق السنة كذا، وطلاق البدعة كذا، فهم بحثوا عن رسول الله صلة الله عليه وسلم الذي تدل أفعاله على حكم شرعي.
“Maknanya menurut mereka adalah istilah tentang perbuatan yang menunjukkan perkataan perintah selain kewajiban. Persamaannya adalah mandub (anjuran), mustahab (disukai), tathawwu’ (suka rela), an nafl (tambahan). Perbedaan makna pada lafaz-lafaz istilah ini, memiliki makna tersendiri bagi sebagian fuqaha. Istilah ini juga digunakan sebagai lawan dari bid’ah, seperti perkataan mereka: thalaq sunah itu begini, thalaq bid’ah itu begini . Jadi, pembahsan mereka pada apa-apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menunjukkan perbuatannya itu sebagai hukum syar’i.” (Ibid)
- Menurut Muhadditsin (Ahli Hadits)
Beliau juga mengatakan:
الرأي السائد بينهم - ولا سيما المتأخرين منهم - أن الحديث والسنة مترادفان متساويان يوضع أحدهما مكان الآخر
Pendapat utama di antara mereka –apalagi kalangan muta’akhirin- bahwa Al Hadits dan As Sunnah adalah muradif (sinonim-maknanya sama), yang salah satunya diletakkan pada posisi yang lain. (Ibid)
Sedangkan hadits adalah –sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
الحديث النبوي هو عند الإطلاق ينصرف إلى ما حُدِّث به عنه بعد النبوة : من قوله وفعله وإقراره، فإن سنته ثبتت من هذه الوجوه الثلاثة .
“Al Hadits An Nabawi adalah berangkat dari apa-apa yang diceritakan darinya setelah masa kenabian: berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuannya. Jadi, sunahnya ditetapkan dari tiga hal ini.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/6)
Syaikh Dr. Mahmud Ath Thahhan mendefinisikan Al Hadits:
ما اضيف إلى النبى صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة
“Apa saja yang dikaitkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berupa perkataan, atau perbuatan, atau persetujuan, atau sifatnya.” (Taysir Mushthalahul Hadits, Hal. 14. Tanpa tahun)
Jadi, makna As Sunnah dalam pandangan ahli hadits adalah semua yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah diutusnya menjadi Rasul, baik perkatan, perbuatan, persetujuan, dan sifatnya, tanpa dibedakan mana yang mengandung muatan syariat atau bukan, semuanya adalah As Sunnah.
Namun dalam pemakaian sehari-hari, istilah Al Hadits –walau maknanya sama dengan As Sunnah- lebih sering dikaitkan dengan perkataan (Qaul) nabi saja. Maka, sering kita dengar manusia mengatakan sebuah kalimat: “Dalam sebuah hadits nabi bersabda ….”, jarang sekali kita dengar manusia mengatakan: “Dalam sebuah sunah nabi bersabda …”
Hal ini dikatakan oleh Prof. Dr. ‘Ajaj Al Khathib, dalam kitab Ushulul Hadits, sebenarnya Al Hadits merupakan sinonim dari As Sunnah, yaitu segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah baik ucapan, perbuatan, dan taqrir. Namun, dalam pemakaiannya Al Hadits lebih sempit maknanya, yaitu identik dengan qauliyah (ucapan) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana yang ditetapkan oleh para Ahli Ushul. (Prof. Dr.Muhammad ‘Ajaj Al Khathib, Ushulul Hadits, hal. 8)
II. Dalil-Dalil Kehujjahan As Sunnah
Berikut ini adalah dalil-dalil kenapa umat Islam menjadikan As Sunnah sebagai salah satu marja’ (referensi) pokok setelah Al Quran.
Pertama. Dari Al Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa (4): 59)
Dikeluarkan oleh Abdullah bin Humaid, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim, dari ‘Atha, bahwa ayat ‘Taatlah kepada Allah dan Rasul’ adalah mengikuti Al Kitab dan As Sunnah. (Imam Asy Syaukany, Fathul Qadir, 2/166. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Athi’uur rasul artinya khudzuu bisunnatihi (ambillah sunahnya). (Imam Ibnu Katsir, Jilid 1, hal. 518. Darul Kutub Al Mishriyah)
Ayat lainnya:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah...” (QS. An Nisa (4): 80)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengomentari;
يخبر تعالى عن عبده ورسوله محمد صلى الله عليه وسلم بأنه من أطاعه فقد أطاع الله، ومن عصاه فقد عصى الله،وما ذاك إلا لأنه ما ينطق عن الهوى، إن هو إلا وحي يوحى.
Allah Ta’ala mengabarkan tentang hamba dan RasulNya, bahwa barangsiapa yang taat kepadanya, maka itu termasuk taat juga kepada Allah, barangsiapa yang bermaksiat kepadanya maka itu termasuk bermaksiat kepada Allah, dan tidaklah hal itu melainkan bahwa apa yang dikatakannya bukan berasal dari hawa nafsunya, melainkan wahyu kepadanya. (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1. hal. 528) dan ayat-ayat lainnya
Dan masih banyak ayat lainnya.
Kedua. Dalil As Sunnah:
1. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصا الله، ومن أطاع أميري فقد أطاعني، ومن عصا أميري فقد عصاني
“Barangsiapa yang mentaatiku,maka ia telah mentaati Allah, barangsiapa yang membangkang kepadaku maka ia membangkang kepada Allah, barangsiapa yang mentaati pemimpin maka ia telah taat kepadaku, barangsiapa yang membangkang kepada pemimpin, maka ia telah membangkang kepada aku.” (HR. Bukhari No. 7137 dan Muslim No. 1835)
2. Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما مسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua hal yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan pernah tersesat: Kitabullah dan Sunah NabiNya.” (HR. Malik dalam Al Muwatha’ No. 1594, secara mursal. Syaikh Al Albani menyatakan: hasan. Lihat Misykah Al Mashabih No. 186)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (ketika khutbah haji wada'):
إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا كتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم
“Sesungguhnya saya telah meninggalkan pada kalian apa-apa yang jika kalian komitmen dengannya niscaya tidak akan tersesat selamanya, Kitabullah dan Sunah NabiNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Imam Al Hakim mengatakan tentang riwayat ini:
وذكر الاعتصام بالسنة في هذه الخطبة غريب ويحتاج إليها وقد وجدت له شاهدا من حديث أبي هريرة
Penyebutan berpegang teguh dengan sunnah pada khutbah ini adalah ghariib (asing),dan membutuhkan adanya penjelasan kepadanya. Saya telah menemukan syahid (penguat) bagi hadits ini, dari hadits Abu Hurairah . (Al Mustadrak No. 318)
Hadits sebagai syahid tersebut adalah;
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتي ولن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Saya telah tinggalkan pada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat selamanya setelah berpegang pada keduanya: Kitabullah dan Sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangi aku di Al Haudh (telaga).” (Al Mustadrak No. 319. Hadits ini shahih, lihat Shahihul Jami’ No.2937)
3. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يدْخُلُونَ الْجنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبِي". قِيلَ وَمَنْ يَأَبى يا رسول اللَّه؟ قالَ:"منْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الجنَّةَ، ومنْ عصَانِي فَقَدْ أَبِي
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang menolak.” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang menolak?” Beliau menjawab: “Barangsiapa yang taat kepadaku akan masuk surga, dan barangsiapa yang maksiat kepadaku, maka ia telah menolak.” (HR. Bukhari No. 6851, Ahmad No. 8726)
4. Dari Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindi Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al Kitab dan yang semisalnya bersamanya, ketahuilah sesungguhnya aku diberikan Al Quran dan yang semisalnya bersamanya.” (HR. Abu Daud No. 4604, Ibnu Zanjawaih dalam Al Amwal No. 620, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 668, 670, Ahmad No.17174, kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq terhadap Musnad Ahmad: isnadnya shahih, para perawinya adalah perawi terperaya dan perawi hadits shahih, kecuali Abdurrahman bin Abu ‘Aufa, dia perawi Abu Daud dan An Nasa’i, dia terpercaya. Syakh Al Albani menshahihkan dalam berbagai kitabnya.)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengomentari maksud hadits itu:
يعني: السنة. والسنة أيضًا تنزل عليه بالوحي، كما ينزل القرآن؛ إلا أنها لا تتلى كما يتلى القرآن، وقد استدل الإمام الشافعي، رحمه الله وغيره من الأئمة على ذلك بأدلة كثيرة ليس هذا موضع ذلك.
Yakni As Sunnah. As Sunnah juga diturunkan kepadanya dengan wahyu sebagaimana Al Quran, hanya saja bedanya As Sunnah tidaklah dibacakan sebagaimana Al Quran. Imam Asy Syafi’i Rahimahullah dan sebagian imam lainnya telah menunjukkan hal itu dengan dalil-dalil yang banyak, dan bukan tempatnya di bahas di sini.” (Imam Ibnu Katsir, Muqadimah Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Hal. 7)
Ketiga. Ijma’ (konsensus) para sahabat.
1. Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berkata:
وإن الله شرع لنبيكم صلى الله عليه وسلم سنن الهدى. ولعمري. لو أن كلكم صلى في بيته، لتركتم سنة نبيكم. ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم.
“Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan bagi nabi kalian jalan-jalan petunjuk. Demi umurku, seandainya tiap kalian shalat di rumahnya, itu benar-benar telah meninggalkan sunah nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan sunah nabi kalian, niscaya kalian tersesat.” (HR. Muslim No. 654, Abu Daud No. 550, Ibnu Majah No. 777, An Nasa’i No. 849)
2. Ketika Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, ia bertanya: “Dengan apa engkau berhukum?” Muadz menjawab: “Dengan Al Qur’an”, Nabi bertanya, “Jika tidak kau temukan?.” Ia menjawab: “Dengan Sunah Rasulullah,” Nabi bertanya, “Jika tidak kau temukan?”, Ia menjawab,”Aku akan berijtihad dengan pikiranku.” Mendengar jawaban ini Rasulullah menepuk dada Muadz, lalu berkata: “Alhamdulilah, Semoga Allah memberikan taufiq kepada utusan Rasulnya, kepada apa-apa yang diridhai Rasulullah.” (HR. Ahmad No. 22007, Abu Daud No. 3592, Ath Thayalisi No. 559, At Tirmidzi No. 1328, Al Baihaqi 10/114, Ad Darimi No. 168, dan lainnya)
Hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama seperti Syaikh Al Albani. (Misykah Al Mashabih No. 1315, dan Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3592), juga Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Musnad Ahmad No. 22007)
Namun menurut Ibnu Katsir hadits ini Jayyid (bagus). (Lihat Muqaddimah Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, hal. 7. Daruth Thayyibah Lin Naysr wat Tauzi’)
Imam Ibnul Qayyim menguatkan hadits ini. (I’lamul Muwaqi’in 1/202), sementara Imam Al Khathib mengatakan:
إن أهل العلم قد تقبلوه واحتجوا به، فوقفنا بذلك على صحته عندهم
“Sesungguhnya para ulama menerima hadits ini dan berhujjah dengannya, sedangkan saya no coment atas penshahihan yang mereka lakukan.” (Al Faqih wal Mutafaqih, 1/189-190)
Juga dikuatkan oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa, dan Imam Ad Dzahabi dalam Talkhis ‘Ilal Mutanahiyah.
3. Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata kepada Qadhi Suraih,
إذا وجدت شيئا في كتاب الله فاقض به ولا تلتفت إلى غيره وإن أتاك شيء ليس في كتاب الله فاقض بما سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فإن أتاك ما ليس في كتاب الله ولم يسن رسول الله صلى الله عليه وسلم فاقض بما أجمع عليه الناس وإن أتاك ما ليس في كتاب الله ولا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يتكلم فيه أحد قبلك فإن شئت أن تجتهد رأيك
“Jika kau temukan pada Kitabullah maka putuskanlah dengannya, jangan tengok selainnya. Jika tidak ada maka putuskanlah dengan Sunah Rasulullah, jika tak kau temui juga, maka putuskanlah dengan yang di-ijma’kan, jika juga tidak ada dalam kitabullah, Sunah, dan perkataan seorang pun manusia sebelum engkau, maka berijtihadlah jika kau mau dengan pendapatmu .” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/ 61-62. Maktabah Al Kulliyah Al Azhariyah)
Masih banyak lagi perilaku para sahabat seperti Abu Bakar, Ibnu Umar, Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain, yang selalu menjadikan As Sunnah sebagai hujjah. Hal ini terus diwariskan kepada Tabi’in, tabi’ut tabi’in, imam empat madzhab, dan para ulama terpercaya hingga hari ini. Semua sepakat tentang wajibnya berhujjah dengan As Sunnah.
III. Anjuran Para Salaf Mengikuti As Sunnah
Berkata Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu:
عليكم بالسبيل والسنة فإنه ليس من عبد على سبيل وسنة ذكر الرحمن ففاضت عيناه من خشية الله فتمسه النار وإن اقتصادا في سبيل وسنة خير من اجتهاد في إخلاف
“Hendaknya kalian bersama jalan kebenaran dan As Sunnah, sesungguhnya tidak akan disentuh neraka, orang yang di atas kebenaran dan As Sunnah dalam rangka mengingat Allah lalu menetes air matanya karena takut kepada Allah Ta’ala. Sederhana mengikuti kebenaran dan As Sunnah adalah lebih baik, dibanding bersungguh-sungguh dalam perselisihan.”
Dari Al Auza’i, dia berkata:
اصبر نفسك على السنة وقف حيث وقف القوم وقل بما قالوا وكف عما كفوا عنه واسلك سبيل سلفك الصالح فانه يسعك ما وسعهم
“Sabarkanlah dirimu di atas As Sunnah, berhentilah ketika mereka berhenti, dan katakanlah apa yang mereka katakan, tahanlah apa-apa yang mereka tahan, dan tempuhlah jalan pendahulumu yang shalih, karena itu akan membuat jalanmu lapang seperti lapangnya jalan mereka.”
Dari Yusuf bin Asbath, dia berkata:
قال سفيان يا يوسف إذا بلغك عن رجل بالمشرق أنه صاحب سنة فابعث إليه بالسلام وإذا بلغك عن آخر بالمغرب أنه صاحب سنة فابعث إليه بالسلام فقد قل أهل السنة والجماعة
“Berkata Sufyan: Wahai Yusuf, jika sampai kepadamu seseorang dari Timur bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku untuknya. Jika datang kepadamu dari Barat bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku untuknya, sungguh, Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu sedikit.”
Dari Ayyub, dia berkata:
إني لأخبر بموت الرجل من أهل السنة فكأني أفقد بعض أعضائ
“Sesungguhnya jika dikabarkan kepadaku tentang kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan telah copot anggota badanku.”
Dan masih banyak lagi nasihat yang serupa. (Lihat semua ucapan salaf ini dalam Talbisu Iblis, hal. 10-11, karya Imam Abul Faraj bin Al Jauzi )
Oleh: Farid Nu’man Hasan
(bersambung …..)
I. Definisi
A. Secara bahasa (Lughatan – Etimologis):
As Sunnah jamaknya adalah As Sunan, Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan artinya Ath Thariiq (jalan/cara/metode). (Al Qadhi’ Iyadh, Ikmal Al Mu’allim, 8/80. Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 35/436). Lalu, Imam Abul Abbas Al Qurthubi mengatakan: Ath Thariiq Al Masluukah (jalan yang dilewati). (Imam Abul Abbas Al Qurthubi, Al Mufhim Lima Asykala Min Talkhishi fi Kitabi Muslim, 22/53)
Hal ini nampak dari hadits berikut:
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
"لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ؟ "
“Kalian akan benar-benar mengikuti sunan (jalan) orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai walau mereka melewati lubang biawak, kalian akan menempuhnya juga.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka adalah Yahudi dan Nasrani?” Beliau bersabda: “Ya Siapa lagi?” (HR. Bukhari No. 3269, 6889, Muslim No. 2669, Ibnu Hibban No. 6703 , Ahmad No. 11800)
Juga bisa berarti As Siirah (peri kehidupan/perjalanan) (lihat Syaikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Hujjah As Sunnah An Nawawiyah, Hal. 88) Juga berarti perilaku. (Kamus Al Munawwir, Hal. 669)
Dalam Al Munjid disebutkan makna As Sunnah, yakni: As Sirah (perjalanan), Ath Thariqah (jalan/metode), Ath Thabi’ah (tabiat/watak), Asy Syari’ah (syariat/jalan). (Al Munjid fil Lughah wal A’lam, hal. 353)
Disebutkan dalam sebuah hadits terkenal:
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ ، وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa dalam Islam melakukan kebiasan baik, maka tercatat baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka yang mengikutinya. Barangsiapa dalam Islam melakukan kebiasaan buruk, maka tercatat baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim, No. 1017, At Tirmidzi No. 2675, An Nasa’i No. 2554, Ibnu Majah No. 203)
Imam Abul Abbas Al Qurthubi Rahimahullah mengomentari kalimat : Man sanna fil Islam sunnatan hasanah …, katanya:
من فعل فعلاً جميلاً
“Barangsiapa yang mengerjakan fi’l (perbuatan/perilaku) yang bagus ..” (Al Mufhim, 9/33)
B. Makna Secara Istilah (Ishthilahan -Terminologis):
Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani menyebutkan makna As Sunnah:
والمراد بالسنة : الطريقة التى كان عليها رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و أصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة
Yang dimaksud dengan As Sunnah adalah: jalan yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik berada di atasnya sampai hari kiamat. (Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Syarh Al ‘Aqidah Al Wasathiyah, Hal. 10. Muasasah Al Juraisi)
Selain itu dalam perkembangannya, makna As Sunnah terbagi menjadi beberapa bagian sesuai disiplin ilmu yang mengikatnya.
- Menurut Ahli Ushul
Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan:
وإذا أطلقت في الشرع، فإنما يراد بها ما أمر به النبي صلى الله عليه وسلم، ونهى عنه، وندب إليه قولا، وفعلا مما لا ينطق به الكتاب العزيز، ولهذا يقال: في أدلة الشرع الكتاب والسنة. أي القرآن والحديث
“Jika dilihat dari sudut pandang syara’, maka maksudnya adalah apa-apa yang diperintahkan dan dilarang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan apa yang dianjurkannya baik perkataan, perbuatan yang tidak dibicarakan oleh Al Quran. Maka, dikatakan: tentang dalil-dalil Syara’ adalah Al Kitab dan As Sunnah, yaitu Al Quran dan Al Hadits.” (An Nihayah, 1/186)
Syaikh Abdul Qadir As Sindi Rahimahullah mengatakan:
عبارة عما صدر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ما عدا القرآن الكريم من قول, أو فعل, أو تقرير، فيخرج من السنة عندهم ما صدر من غيره عليه الصلاة والسلام رسولا كان أو غير رسول، وما صدر عنه صلى الله عليه وسلم قبل البعثة.
“Keterangan tentang apa yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selain dari Al Quran Al Karim, berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya. Yang tidak termasuk dari As Sunnah menurut mereka adalah apa yang selain dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik dia seorang rasul atau selain rasul, dan apa-apa yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum masa bi’tsah (masa diutus menjadi rasul).” (Syaikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Hujjah As Sunnah An Nawawiyah, Hal. 88. 1975M-1395H. Penerbit: Al Jami’ah Al Islamiyah - Madinah)
Jadi, menurut para ahli ushul, As sunnah adalah semua yang datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan dari selainnya dan bukan pula dari Al Quran, khususnya yang berimplikasi kepada hukum syara’, baik berupa perintah, larangan, dan anjuran.
- Menurut Fuqaha (Ahli Fiqih)
Berkata Syaikh Abdul Qadir As Sindi:
فهي عندهم عبارة عن الفعل الذي دل الخطاب على طلبه من غير إيجاب، ويرادفها المندوب والمستحب، والتطوع، والنفل، والتفرقة بين معاني هذه الألفاظ اصطلاح خاص لبعض الفقهاء، وقد تطلق على ما يقابل البدعة منه قولهم طلاق السنة كذا، وطلاق البدعة كذا، فهم بحثوا عن رسول الله صلة الله عليه وسلم الذي تدل أفعاله على حكم شرعي.
“Maknanya menurut mereka adalah istilah tentang perbuatan yang menunjukkan perkataan perintah selain kewajiban. Persamaannya adalah mandub (anjuran), mustahab (disukai), tathawwu’ (suka rela), an nafl (tambahan). Perbedaan makna pada lafaz-lafaz istilah ini, memiliki makna tersendiri bagi sebagian fuqaha. Istilah ini juga digunakan sebagai lawan dari bid’ah, seperti perkataan mereka: thalaq sunah itu begini, thalaq bid’ah itu begini . Jadi, pembahsan mereka pada apa-apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menunjukkan perbuatannya itu sebagai hukum syar’i.” (Ibid)
- Menurut Muhadditsin (Ahli Hadits)
Beliau juga mengatakan:
الرأي السائد بينهم - ولا سيما المتأخرين منهم - أن الحديث والسنة مترادفان متساويان يوضع أحدهما مكان الآخر
Pendapat utama di antara mereka –apalagi kalangan muta’akhirin- bahwa Al Hadits dan As Sunnah adalah muradif (sinonim-maknanya sama), yang salah satunya diletakkan pada posisi yang lain. (Ibid)
Sedangkan hadits adalah –sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
الحديث النبوي هو عند الإطلاق ينصرف إلى ما حُدِّث به عنه بعد النبوة : من قوله وفعله وإقراره، فإن سنته ثبتت من هذه الوجوه الثلاثة .
“Al Hadits An Nabawi adalah berangkat dari apa-apa yang diceritakan darinya setelah masa kenabian: berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuannya. Jadi, sunahnya ditetapkan dari tiga hal ini.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/6)
Syaikh Dr. Mahmud Ath Thahhan mendefinisikan Al Hadits:
ما اضيف إلى النبى صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة
“Apa saja yang dikaitkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berupa perkataan, atau perbuatan, atau persetujuan, atau sifatnya.” (Taysir Mushthalahul Hadits, Hal. 14. Tanpa tahun)
Jadi, makna As Sunnah dalam pandangan ahli hadits adalah semua yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah diutusnya menjadi Rasul, baik perkatan, perbuatan, persetujuan, dan sifatnya, tanpa dibedakan mana yang mengandung muatan syariat atau bukan, semuanya adalah As Sunnah.
Namun dalam pemakaian sehari-hari, istilah Al Hadits –walau maknanya sama dengan As Sunnah- lebih sering dikaitkan dengan perkataan (Qaul) nabi saja. Maka, sering kita dengar manusia mengatakan sebuah kalimat: “Dalam sebuah hadits nabi bersabda ….”, jarang sekali kita dengar manusia mengatakan: “Dalam sebuah sunah nabi bersabda …”
Hal ini dikatakan oleh Prof. Dr. ‘Ajaj Al Khathib, dalam kitab Ushulul Hadits, sebenarnya Al Hadits merupakan sinonim dari As Sunnah, yaitu segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah baik ucapan, perbuatan, dan taqrir. Namun, dalam pemakaiannya Al Hadits lebih sempit maknanya, yaitu identik dengan qauliyah (ucapan) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana yang ditetapkan oleh para Ahli Ushul. (Prof. Dr.Muhammad ‘Ajaj Al Khathib, Ushulul Hadits, hal. 8)
II. Dalil-Dalil Kehujjahan As Sunnah
Berikut ini adalah dalil-dalil kenapa umat Islam menjadikan As Sunnah sebagai salah satu marja’ (referensi) pokok setelah Al Quran.
Pertama. Dari Al Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa (4): 59)
Dikeluarkan oleh Abdullah bin Humaid, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim, dari ‘Atha, bahwa ayat ‘Taatlah kepada Allah dan Rasul’ adalah mengikuti Al Kitab dan As Sunnah. (Imam Asy Syaukany, Fathul Qadir, 2/166. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Athi’uur rasul artinya khudzuu bisunnatihi (ambillah sunahnya). (Imam Ibnu Katsir, Jilid 1, hal. 518. Darul Kutub Al Mishriyah)
Ayat lainnya:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah...” (QS. An Nisa (4): 80)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengomentari;
يخبر تعالى عن عبده ورسوله محمد صلى الله عليه وسلم بأنه من أطاعه فقد أطاع الله، ومن عصاه فقد عصى الله،وما ذاك إلا لأنه ما ينطق عن الهوى، إن هو إلا وحي يوحى.
Allah Ta’ala mengabarkan tentang hamba dan RasulNya, bahwa barangsiapa yang taat kepadanya, maka itu termasuk taat juga kepada Allah, barangsiapa yang bermaksiat kepadanya maka itu termasuk bermaksiat kepada Allah, dan tidaklah hal itu melainkan bahwa apa yang dikatakannya bukan berasal dari hawa nafsunya, melainkan wahyu kepadanya. (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1. hal. 528) dan ayat-ayat lainnya
Dan masih banyak ayat lainnya.
Kedua. Dalil As Sunnah:
1. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصا الله، ومن أطاع أميري فقد أطاعني، ومن عصا أميري فقد عصاني
“Barangsiapa yang mentaatiku,maka ia telah mentaati Allah, barangsiapa yang membangkang kepadaku maka ia membangkang kepada Allah, barangsiapa yang mentaati pemimpin maka ia telah taat kepadaku, barangsiapa yang membangkang kepada pemimpin, maka ia telah membangkang kepada aku.” (HR. Bukhari No. 7137 dan Muslim No. 1835)
2. Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما مسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua hal yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan pernah tersesat: Kitabullah dan Sunah NabiNya.” (HR. Malik dalam Al Muwatha’ No. 1594, secara mursal. Syaikh Al Albani menyatakan: hasan. Lihat Misykah Al Mashabih No. 186)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (ketika khutbah haji wada'):
إني قد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا كتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم
“Sesungguhnya saya telah meninggalkan pada kalian apa-apa yang jika kalian komitmen dengannya niscaya tidak akan tersesat selamanya, Kitabullah dan Sunah NabiNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Imam Al Hakim mengatakan tentang riwayat ini:
وذكر الاعتصام بالسنة في هذه الخطبة غريب ويحتاج إليها وقد وجدت له شاهدا من حديث أبي هريرة
Penyebutan berpegang teguh dengan sunnah pada khutbah ini adalah ghariib (asing),dan membutuhkan adanya penjelasan kepadanya. Saya telah menemukan syahid (penguat) bagi hadits ini, dari hadits Abu Hurairah . (Al Mustadrak No. 318)
Hadits sebagai syahid tersebut adalah;
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتي ولن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Saya telah tinggalkan pada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat selamanya setelah berpegang pada keduanya: Kitabullah dan Sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangi aku di Al Haudh (telaga).” (Al Mustadrak No. 319. Hadits ini shahih, lihat Shahihul Jami’ No.2937)
3. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يدْخُلُونَ الْجنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبِي". قِيلَ وَمَنْ يَأَبى يا رسول اللَّه؟ قالَ:"منْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الجنَّةَ، ومنْ عصَانِي فَقَدْ أَبِي
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang menolak.” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang menolak?” Beliau menjawab: “Barangsiapa yang taat kepadaku akan masuk surga, dan barangsiapa yang maksiat kepadaku, maka ia telah menolak.” (HR. Bukhari No. 6851, Ahmad No. 8726)
4. Dari Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindi Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al Kitab dan yang semisalnya bersamanya, ketahuilah sesungguhnya aku diberikan Al Quran dan yang semisalnya bersamanya.” (HR. Abu Daud No. 4604, Ibnu Zanjawaih dalam Al Amwal No. 620, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 668, 670, Ahmad No.17174, kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq terhadap Musnad Ahmad: isnadnya shahih, para perawinya adalah perawi terperaya dan perawi hadits shahih, kecuali Abdurrahman bin Abu ‘Aufa, dia perawi Abu Daud dan An Nasa’i, dia terpercaya. Syakh Al Albani menshahihkan dalam berbagai kitabnya.)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengomentari maksud hadits itu:
يعني: السنة. والسنة أيضًا تنزل عليه بالوحي، كما ينزل القرآن؛ إلا أنها لا تتلى كما يتلى القرآن، وقد استدل الإمام الشافعي، رحمه الله وغيره من الأئمة على ذلك بأدلة كثيرة ليس هذا موضع ذلك.
Yakni As Sunnah. As Sunnah juga diturunkan kepadanya dengan wahyu sebagaimana Al Quran, hanya saja bedanya As Sunnah tidaklah dibacakan sebagaimana Al Quran. Imam Asy Syafi’i Rahimahullah dan sebagian imam lainnya telah menunjukkan hal itu dengan dalil-dalil yang banyak, dan bukan tempatnya di bahas di sini.” (Imam Ibnu Katsir, Muqadimah Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Hal. 7)
Ketiga. Ijma’ (konsensus) para sahabat.
1. Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berkata:
وإن الله شرع لنبيكم صلى الله عليه وسلم سنن الهدى. ولعمري. لو أن كلكم صلى في بيته، لتركتم سنة نبيكم. ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم.
“Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan bagi nabi kalian jalan-jalan petunjuk. Demi umurku, seandainya tiap kalian shalat di rumahnya, itu benar-benar telah meninggalkan sunah nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan sunah nabi kalian, niscaya kalian tersesat.” (HR. Muslim No. 654, Abu Daud No. 550, Ibnu Majah No. 777, An Nasa’i No. 849)
2. Ketika Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, ia bertanya: “Dengan apa engkau berhukum?” Muadz menjawab: “Dengan Al Qur’an”, Nabi bertanya, “Jika tidak kau temukan?.” Ia menjawab: “Dengan Sunah Rasulullah,” Nabi bertanya, “Jika tidak kau temukan?”, Ia menjawab,”Aku akan berijtihad dengan pikiranku.” Mendengar jawaban ini Rasulullah menepuk dada Muadz, lalu berkata: “Alhamdulilah, Semoga Allah memberikan taufiq kepada utusan Rasulnya, kepada apa-apa yang diridhai Rasulullah.” (HR. Ahmad No. 22007, Abu Daud No. 3592, Ath Thayalisi No. 559, At Tirmidzi No. 1328, Al Baihaqi 10/114, Ad Darimi No. 168, dan lainnya)
Hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama seperti Syaikh Al Albani. (Misykah Al Mashabih No. 1315, dan Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3592), juga Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Musnad Ahmad No. 22007)
Namun menurut Ibnu Katsir hadits ini Jayyid (bagus). (Lihat Muqaddimah Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, hal. 7. Daruth Thayyibah Lin Naysr wat Tauzi’)
Imam Ibnul Qayyim menguatkan hadits ini. (I’lamul Muwaqi’in 1/202), sementara Imam Al Khathib mengatakan:
إن أهل العلم قد تقبلوه واحتجوا به، فوقفنا بذلك على صحته عندهم
“Sesungguhnya para ulama menerima hadits ini dan berhujjah dengannya, sedangkan saya no coment atas penshahihan yang mereka lakukan.” (Al Faqih wal Mutafaqih, 1/189-190)
Juga dikuatkan oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa, dan Imam Ad Dzahabi dalam Talkhis ‘Ilal Mutanahiyah.
3. Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata kepada Qadhi Suraih,
إذا وجدت شيئا في كتاب الله فاقض به ولا تلتفت إلى غيره وإن أتاك شيء ليس في كتاب الله فاقض بما سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فإن أتاك ما ليس في كتاب الله ولم يسن رسول الله صلى الله عليه وسلم فاقض بما أجمع عليه الناس وإن أتاك ما ليس في كتاب الله ولا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يتكلم فيه أحد قبلك فإن شئت أن تجتهد رأيك
“Jika kau temukan pada Kitabullah maka putuskanlah dengannya, jangan tengok selainnya. Jika tidak ada maka putuskanlah dengan Sunah Rasulullah, jika tak kau temui juga, maka putuskanlah dengan yang di-ijma’kan, jika juga tidak ada dalam kitabullah, Sunah, dan perkataan seorang pun manusia sebelum engkau, maka berijtihadlah jika kau mau dengan pendapatmu .” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/ 61-62. Maktabah Al Kulliyah Al Azhariyah)
Masih banyak lagi perilaku para sahabat seperti Abu Bakar, Ibnu Umar, Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain, yang selalu menjadikan As Sunnah sebagai hujjah. Hal ini terus diwariskan kepada Tabi’in, tabi’ut tabi’in, imam empat madzhab, dan para ulama terpercaya hingga hari ini. Semua sepakat tentang wajibnya berhujjah dengan As Sunnah.
III. Anjuran Para Salaf Mengikuti As Sunnah
Berkata Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu:
عليكم بالسبيل والسنة فإنه ليس من عبد على سبيل وسنة ذكر الرحمن ففاضت عيناه من خشية الله فتمسه النار وإن اقتصادا في سبيل وسنة خير من اجتهاد في إخلاف
“Hendaknya kalian bersama jalan kebenaran dan As Sunnah, sesungguhnya tidak akan disentuh neraka, orang yang di atas kebenaran dan As Sunnah dalam rangka mengingat Allah lalu menetes air matanya karena takut kepada Allah Ta’ala. Sederhana mengikuti kebenaran dan As Sunnah adalah lebih baik, dibanding bersungguh-sungguh dalam perselisihan.”
Dari Al Auza’i, dia berkata:
اصبر نفسك على السنة وقف حيث وقف القوم وقل بما قالوا وكف عما كفوا عنه واسلك سبيل سلفك الصالح فانه يسعك ما وسعهم
“Sabarkanlah dirimu di atas As Sunnah, berhentilah ketika mereka berhenti, dan katakanlah apa yang mereka katakan, tahanlah apa-apa yang mereka tahan, dan tempuhlah jalan pendahulumu yang shalih, karena itu akan membuat jalanmu lapang seperti lapangnya jalan mereka.”
Dari Yusuf bin Asbath, dia berkata:
قال سفيان يا يوسف إذا بلغك عن رجل بالمشرق أنه صاحب سنة فابعث إليه بالسلام وإذا بلغك عن آخر بالمغرب أنه صاحب سنة فابعث إليه بالسلام فقد قل أهل السنة والجماعة
“Berkata Sufyan: Wahai Yusuf, jika sampai kepadamu seseorang dari Timur bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku untuknya. Jika datang kepadamu dari Barat bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku untuknya, sungguh, Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu sedikit.”
Dari Ayyub, dia berkata:
إني لأخبر بموت الرجل من أهل السنة فكأني أفقد بعض أعضائ
“Sesungguhnya jika dikabarkan kepadaku tentang kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan telah copot anggota badanku.”
Dan masih banyak lagi nasihat yang serupa. (Lihat semua ucapan salaf ini dalam Talbisu Iblis, hal. 10-11, karya Imam Abul Faraj bin Al Jauzi )
Oleh: Farid Nu’man Hasan
(bersambung …..)
Untaian Doa untuk Memperbaiki Agama dan Dunia
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Kita masih melanjutkan pembahasan do'a yang singkat namun penuh makna. Do'a ini kami bawakan dari kitab Riyadhus Shalihin - An Nawawi, pada Bab Ad Da'awaat (Doa-doa). Semoga sajian do'a berikut bermanfaat.
Do’a Memperbaiki Urusan Agama dan Dunia
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِينِىَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَاىَ الَّتِى فِيهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِى الَّتِى فِيهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ
“Alloohumma ashlih lii diiniilladzii huwa 'ishmatu amrii, wa ashlih lii dun-yaayallatii fiihaa ma'aasyii, wa ash-lih lii aakhirotiillatii fiihaa ma’aadii, waj'alil hayaata ziyaadatan lii fii kulli khoirin, waj'alil mauta roohatan lii min kulli syarrin.”
[Ya Allah ya Tuhanku, perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng urusanku; perbaikilah bagiku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala kejahatan!]
Dari Abu Hurairah dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِينِىَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَاىَ الَّتِى فِيهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِى الَّتِى فِيهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ »
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdoa sebagai berikut:
"Alloohumma ashlih lii diiniilladzii huwa 'ishmatu amrii, wa ashlih lii dun-yaayallatii fiihaa ma'aasyii, wa ash-lih lii aakhirotiillatii fiihaa ma’aadii, waj'alil hayaata ziyaadatan lii fii kulli khoirin, waj'alil mauta roohatan lii min kulli syarrin."
[Ya Allah ya Tuhanku, perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng (ishmah) urusanku; perbaikilah bagiku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala kejahatan!] (HR. Muslim no. 2720). An Nawawi membawakan hadits ini dalam bab “Berlindung dari sesuatu yang telah diamalkan dan apa-apa yang belum diamalkan.”
Faedah hadits:
1. Islam adalah benteng yang melindungi seseorang agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan ketergelinciran serta menjaga dari kesesatan dan sekedar mengikuti hawa nafsu.
2. Seorang muslim beramal untuk dunianya seaka-akan ia hidup selamanya dan dia beramal untuk akhiratnya seakan-akan ia akan mati besok.
3. Seharusnya umur panjang seorang muslim dijadikan sebagaimana sarana untuk menambah amalan kebaikan dan ketaatan.
4. Kematian adalah kebebasan dari segala kejelekan. Maksudnya, boleh jadi seseorang di dunia hidup lama, namun hanya kerusakan yang ia perbuat. Oleh karenanya, kematian itulah yang menyebabkan ia terbebas dari banyak kejelekan.
5. Karena hidup yang sementara dan kematian yang pasti datang, maka hendaklah setiap hamba memperbaiki ibadahnya dan mengokohkan amalannya, bertawakkal dan selalu meminta tolong pada Allah.
Sebagai renungan!
Dari Abu Bakroh, ia berkata,
أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ
Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa manusia yang baik?” Beliau menjawab, “Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa manusia yang jelek?” Beliau menjawab, “Orang yang panjang umurnya namun jelek amalnya” (HR. Tirmidzi no. 2330 dan Ad Darimi no. 2742, shahih lighairihi)
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat dan bisa diamalkan oleh kaum muslimin sekalian.
Referensi:
Bahjatun Naazhirin Syarh Riyadhish Sholihin, Salim bin ‘Ied Al Hilali, cetakan Dar Ibnul Jauzi, jilid II, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Syarh Riyadhish Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, jilid IV, cetakan ketiga, tahun 1424 H
http://pengusahamuslim.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/870-untaian-doa-untuk-memperbaiki-agama-dan-dunia.html
Kita masih melanjutkan pembahasan do'a yang singkat namun penuh makna. Do'a ini kami bawakan dari kitab Riyadhus Shalihin - An Nawawi, pada Bab Ad Da'awaat (Doa-doa). Semoga sajian do'a berikut bermanfaat.
Do’a Memperbaiki Urusan Agama dan Dunia
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِينِىَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَاىَ الَّتِى فِيهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِى الَّتِى فِيهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ
“Alloohumma ashlih lii diiniilladzii huwa 'ishmatu amrii, wa ashlih lii dun-yaayallatii fiihaa ma'aasyii, wa ash-lih lii aakhirotiillatii fiihaa ma’aadii, waj'alil hayaata ziyaadatan lii fii kulli khoirin, waj'alil mauta roohatan lii min kulli syarrin.”
[Ya Allah ya Tuhanku, perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng urusanku; perbaikilah bagiku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala kejahatan!]
Dari Abu Hurairah dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِينِىَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَاىَ الَّتِى فِيهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِى الَّتِى فِيهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ »
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdoa sebagai berikut:
"Alloohumma ashlih lii diiniilladzii huwa 'ishmatu amrii, wa ashlih lii dun-yaayallatii fiihaa ma'aasyii, wa ash-lih lii aakhirotiillatii fiihaa ma’aadii, waj'alil hayaata ziyaadatan lii fii kulli khoirin, waj'alil mauta roohatan lii min kulli syarrin."
[Ya Allah ya Tuhanku, perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng (ishmah) urusanku; perbaikilah bagiku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala kejahatan!] (HR. Muslim no. 2720). An Nawawi membawakan hadits ini dalam bab “Berlindung dari sesuatu yang telah diamalkan dan apa-apa yang belum diamalkan.”
Faedah hadits:
1. Islam adalah benteng yang melindungi seseorang agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan ketergelinciran serta menjaga dari kesesatan dan sekedar mengikuti hawa nafsu.
2. Seorang muslim beramal untuk dunianya seaka-akan ia hidup selamanya dan dia beramal untuk akhiratnya seakan-akan ia akan mati besok.
3. Seharusnya umur panjang seorang muslim dijadikan sebagaimana sarana untuk menambah amalan kebaikan dan ketaatan.
4. Kematian adalah kebebasan dari segala kejelekan. Maksudnya, boleh jadi seseorang di dunia hidup lama, namun hanya kerusakan yang ia perbuat. Oleh karenanya, kematian itulah yang menyebabkan ia terbebas dari banyak kejelekan.
5. Karena hidup yang sementara dan kematian yang pasti datang, maka hendaklah setiap hamba memperbaiki ibadahnya dan mengokohkan amalannya, bertawakkal dan selalu meminta tolong pada Allah.
Sebagai renungan!
Dari Abu Bakroh, ia berkata,
أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ
Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa manusia yang baik?” Beliau menjawab, “Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa manusia yang jelek?” Beliau menjawab, “Orang yang panjang umurnya namun jelek amalnya” (HR. Tirmidzi no. 2330 dan Ad Darimi no. 2742, shahih lighairihi)
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat dan bisa diamalkan oleh kaum muslimin sekalian.
Referensi:
Bahjatun Naazhirin Syarh Riyadhish Sholihin, Salim bin ‘Ied Al Hilali, cetakan Dar Ibnul Jauzi, jilid II, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Syarh Riyadhish Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, jilid IV, cetakan ketiga, tahun 1424 H
http://pengusahamuslim.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/870-untaian-doa-untuk-memperbaiki-agama-dan-dunia.html
Subscribe to:
Posts (Atom)