Hari-hari indah telah kita lalui bersama, aku pun sangat menikmati dan bangga ada disampingmu. Karena kau benar-benar lain dan layak untuk dibanggakan, sampai banyak sekali para pemuda yang siap menjadi pembelamu di depan. Banyak ahli kecantikkan mencari-cari rahasia keelokkanmu. Tidak sedikit penulis mencatatmu sebagai fenomena baru di negeri ini. Tak ketinggalan, kuli tinta pun memujimu; cantik, cerdas, dan generasi masa depan, satu lagi, shalihah! Namamu menjadi garansi semua harapan. Nyaris sempurna. Memang, ada pula yang iri hati padamu. Ah .. itu hal biasa.
Sebagai gadis baru di kota tua penuh drakula, dunia baru bagimu, tentu keberadaanmu amat dibutuhkan, ya.. memang menyegarkan dan membuat suasana semakin hidup, masih ada yang bisa diharapkan. Silahkan lihat hatiku, di sana ada dirimu. Di ruang kerjaku fotomu menjadi rebutan. Di rumah? Apalagi! Bahkan banyak fans-mu yang meletakkanmu di tempat yang tidak terduga dan sulit dijangkau oleh tangan-tangan berhati kotor. Maka, saat itu, tak ada yang mampu menghalangi gelora cintaku padamu, dan aku yakin jika ada kontes miss muslimah shalihah kau adalah pemenangnya; gadis cantik, cerdas, nan shalihah.
Namun, langit memang tak selamanya cerah. Bulan tidak selamanya terang. Aku lihat, ada sebuncah kekhawatiran menimpa dirimu. Bukan karena kejahatan orang lain, bukan pula sebab makar para pesaingmu yang memang sudah sedari dulu begitu sunatullahnya. Kecantikanmu memudar dan pesonamu menghilang karena ulah dirimu sendiri. Memang demikian adanya .... ketika manusia pada puncak kejayaannya, tak ada yang mampu menggelincirkannya, biasanya dia akan tergelincir oleh dirinya sendiri; ghurur. Kekasihku, kau menjadi gadis yang genit saat ini, centil dan norak. Bahkan katanya, kau sudah berani menjual diri dengan harga murah, hanya demi kemenangan. Astaghfirullah! Aku tidak tahu, apakah ini karena pengaruh dunia barumu itu?
Kembali manusia ramai membicarakanmu, bukan dirimu sebagai; gadis cantik, cerdas nan shalihah. Tetapi perilakumu yang berubah, batasan syar’imu mulai abu-abu, keputusanmu untuk menjadi gadis ‘gaul’, katamu; agar bisa memperluas pasar, lalu kau kotori kecantikanmu dengan langkah berani dan kontroversi, serta lisan yang tidak terkendali. Nasihat orang tua, hukama dan pujangga sudah sering kau dapatkan, tetapi justru kau mengatakan: saya lebih tahu tentang apa yang saya lakukan!
Ditambah lagi, kau mulai tidak telaten menjaga kesegaran tubuhmu, kesehatan jiwamu, dan kecemerlangan akalmu. Agenda-agenda ri’ayah hanya menjadi rencana kosong. Dahulu kau sangat telaten ke salon halaqah, spa daurah, dan les tastqifiyah. Tetapi itu dulu. Saat ini, kau menjadi gadis yang ringkih, .... ringkih ruhani dan harga diri, tak berani berkata benar, aqidah sudah keriput, padahal keriput hanyalah milik orang tua ... dan kau masih muda. Manusia mulai menjauh dan mencibir, bahkan marah, termasuk saudara dekatmu. Tak ada lagi kisah Bukan Di Negeri Dongeng yang legendaris itu. Tak ada lagi pujian dari mereka untukmu, walau kau masih saja merasa cantik, cerdas, dan shalihah seperti dulu. (Ya ... itu romantisme kita masa lalu, boleh-boleh saja diingat). Tak ada lagi kebanggaan meletakkan fotomu di rumah, di kantor, dan sepeda motor! Apalagi setelah mendengar pernyataan-pernyataanmu dengan nada miring tentang syariah, jilbab, dan lainnya .. aku semakin malu. Masukan-masukan yang kau dapatkan tak satu pun yang kau anggap ... pernah juga kau anggap .. tetapi sebagai angin lalu, bahkan sebagai musuh ...padahal nasihat itu dari kekasihmu sendiri ..
Kekasihku ..., jangan takut, aku masih mencintaimu, tetapi .. cinta bukan berarti memuji, menyanjung, dan selalu bermuka manis. Ingatkah ucapan manusia paling terkasih; law saraqat fathimah laqatha’tu yadaha (Seandainya Fathimah mencuri aku sendiri yang akan memotong tangannya). Padahal begitu besar sayang beliau terhadap anaknya.
Kekasihku ..., aku yakin harapan memang masih ada. Tetapi ada pada siapa?
Wallahu A’lam
Oleh: Abu Hudzaifi
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/130
No comments:
Post a Comment