Agar Harta Tidak Lenyap Sia-Sia






Image

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (TQS al-Hadid [57]: 10).

Secara faktual, harta dapat memenuhi ane-ka kebutuhan manusia. Bahkan bisa dinyatakan, harta menjadi kebutuhan pasti setiap manusia hidup. Tak heran jika manusia amat mencintai harta. Meskipun demikian, itu tidak boleh menjadi alasan bagi seseorang untuk bersikap bakhil terhadap harta yang dimiliki. Ketika Allah SWT mewajibkan manusia untuk menginfakkan sebagian harta yang dipunyai, harus ditunaikan. Sebagai sebuah kewajiban, Allah SWT menjanjikan pahala besar bagi orang yang menaatinya. Sebaliknya, penolakan terhadap perintah itu sama sekali tidak berguna. Suka atau tidak, suatu saat dia pasti harus berpisah dengan semua harta yang dicintai. Jika demikian kenyataannya, mengapa harus enggan berinfak di jalan-Nya? Inilah yang dijelas-kan oleh ayat di atas.

Kembali kepada Allah SWT

Allah SWT berfirman: Wa-mâ lakum an-lâ tunfiqû fî sabîlil-Lâh (dan mengapa kamu tidak menafkahkan [sebagian harta-mu] di jalan Allah). Menurut al-Baidhawi, fî sabîlil-Lâh di sini adalah fîmâ yakûnu qurbah ilayhi (dalam perkara yang dapat mendekatkan kepada-Nya). Tidak jauh berbeda, al-Samarqandi sebagai fî thâ'atihi (dalam keta-atan terhadap-Nya). Dengan demikian, infak yang dimaksud-kan dalam ayat ini mencakup semua infak yang diperintahkan Allah SWT, baik yang diwajibkan seperti zakat, maupun yang disunnahkan, seperti shadaqah, waqaf, dan sebagainya.

Kalimat yang digunakan dalam ayat ini berbentuk istifhâm (pertanyaan). Akan tetapi, kali-mat tersebut bermakna li al-taqrî' wa al-tawbîh (teguran dan celaan) bagi orang yang tidak mau berinfak. Demikian penjelasan al-Syaukani dalam tafsirnya, Fath al-Qadîr. Pertanyaan sejenis juga disampaikan dalam ayat sebelumnya (ayat 8) kaitannya de-ngan celaan bagi orang yang tidak beriman.

Kemudian Allah SWT berfirman: Walil-Lâh mîrâts al-samâwât wa al-ardh (padahal Allah-lah yang mempusakai [mempunyai] langit dan bumi?). Kata mîrâts berarti harta yang ditinggalkan manusia karena kematian. De-ngan kata lain, mîrâts berarti warisan. Sebagaimana layaknya warisan, harta yang ditinggalkan itu menjadi miliki pihak yang mewarisi. Ditegaskan dalam ayat ini bahwa Allahlah yang akan mewarisi seluruh langit dan bumi ini. Tidak ada sama sekali harta yang tersisa bagi manusia.

Jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya (QS al-Hadid [57]: 7), sesungguhnya manusia dalam soal harta hanya menjadi mus-takhlafîna fîhi (pihak yang diberi kekuasaan atasnya). Itu artinya, harta yang dikuasai manusia sesungguhnya berasal dari Allah SWT. Realitas itu diungkapkan ketika manusia diperintahkan untuk berinfak. Sedangkan da-lam ayat ini, perintah berinfak dikaitkan dengan kembalinya semua harta di langit dan bumi itu kepada Allah SWT. Atas dasar itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk menolak perintah ber-infak. Sebab, harta yang dikuasai manusia ketika hidup itu berasal dari Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya.

Berkenaan dengan ini, kita dapat mengikuti penjelasan Fakhruddin al-Razi. Dalam al-Tafsîr al-Kabîr, mufassir ternama itu berkata, “Sesungguhnya harta itu pasti akan terlepas dari tangan manusia. Bisa disebabkan oleh kematian, bisa pula karena diin-fakkan di jalan Allah. Jika yang terjadi adalah yang pertama, ma-ka akibatnya adalah laknat, mur-ka, dan hukuman. Sebaliknya, jika yang terjadi adalah yang kedua, maka hasilnya adalah pujian dan pahala. Oleh karena harta harus keluar, maka orang yang berakal akan mengetahui bahwa menge-luarkan harta yang dapat men-datangkan pujian dan pahala tentulah lebih utama daripada yang justru mengakibatkan laknat dan hukuman.

Penjelasan senada juga disampaikan al-Baidhawi. Bahwa Allah SWT mewarisi segala yang ada di langit dan di bumi. Tidak tersisa harta pada seorang pun. Jika demikian faktanya, maka menginfakkan harta (di jalan Allah) mengingat akan menda-patkan ganti yang kekal berupa pahalajelas lebih utama.
  
Keutamaan Infaq dan Berperang Sebelum Fath

Setelah dijelaskan kemes-tian menginfakkan sebagian dari harta di jalan-Nya, kemudian dijelaskan mengenai orang yang paling utama dalam berinfak. Allah SWT berfirman: Lâ yastawî man anfaqa min qabl al-fath wa qâtala (tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan [hartanya] dan berperang sebe-lum penaklukan). Ibnu Katsir, al-Syaukani, dan al-Baghawi menu-turkan bahwa menurut pen-dapat jumhur, makna al-fath di sini adalah fath Makkah. Sedang-kan menurut al-Sya'bi dan lain-lain, memaknainya sebagai shulh al-Hudaibiyyah (perjanjian Hu-daibiyah). Penafsiran lebih um-um diberikan al-Samarqandi.

Menurutnya, al-fath ini berarti zhuhûr al-Islâm (kemenangan Islam). Sedangkan qâtala (ber-perang) di sini adalah jâhada (berjihad).

Ditegaskan dalam ayat ini adanya perbedaan keutamaan tentang orang-orang yang berinfak dan berperang sebelum terjadinya fath dengan sesudah-nya. Dalam frasa selanjutnya kemudian diungkap bahwa orang-orang yang berinfak dan berperang sebelum terjadinya al-fath lebih utama daripada yang mengerjakan sesudahnya. Allah SWT berfirman: Ulâika a'zham darajât[an] min al-ladzîna anfaqû min ba'd wa qâtalû (mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesu-dah itu). Artinya, arfa' man-zilat[an] wa a'lâ rutbat[an] (yang lebih tinggi kedudukan dan tingkatannya) daripada orang-orang yang berinfak dan ber-perang sebelumnya. Demikian al-Syaukani dalam tafsirnya. Menurut al-Zujjaj, sebagaimana dikutip dalam Fath al-Qadîr hal itu disebabkan karena orang-orang yang lebih dahulu men-dapatkan kesulitan yang banyak daripada sesudahnya.

Sekalipun berbeda dera-jatnya, namun mereka sama-sama mendapatkan balasan kebaikan. Allah SWT berfirman: Wakulla[n] wa'adal-Lâh al-husnâ (Allah menjanjikan kepada ma-sing-masing mereka [balasan] yang lebih baik). Menurut kebanyakan mufassir, seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Fakhruddin al-Razi, al-Baidhawi, al-Samar-qandi, al-Syaukani, dan lain-lain, al-husnâ di sini bermakna al-jannah. Atha' berkata, “Derajat surga itu bertingkat-tingkat. Maka orang yang berinfak sebelum al-fath menempati surga yang paling utama.”

Ayat ini kemudian ditutup dengan firman-Nya: wal-Lâh bimâ ta'malûna Khabîr (dan Allah mengetahui apa yang kamu ker-jakan). Baik yang bakhil maupun yang mau berinfak; yang awal maupun yang akhir, semuanya diketahui Allah SWT. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Bagi siapa pun yang menginfakkan sebagian hartanya, akan dibalas dengan berlipat ganda sebagai-mana dijanjikan dalam ayat berikutnya: Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak (TQS al-Hadid [57]: 11).

Kini umat Islam sedang tertindas, syariah masih telantar, dan khilafah juga belum tegak. Maka, inilah saat yang tepat untuk berinfak; sebelum keda-huluan datangnya kemenangan Islam

Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.

Ikhtisar:

1.    Manusia pasti akan kehilangan hartanya, baik karena diinfakkan atau ditinggal mati.
2.    Berinfak merupakan pilihan cerdas. Sebab, harta yang diinfakkan itu akan diganti dengan berlipat ganda.
3.    Orang yang berinfak dan berjihad sebelum kemenangan Islam lebih utama daripada yang melakukannya sesudah itu.
http://www.mediaumat.com/content/view/1389/64/

No comments:

Post a Comment