ANAK YATIM DI SEKITAR KITA

Kata “yatim” berasal dari bahasa arab, bentuk jamaknya adalah yatama atau aitam. Kata ini mencakup pengertian semua anak yang bapaknya telah meninggal, ketika ia belum menginjak usia baligh(dewasa), baik ia kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, maupun beragama islam maupun non muslim. Karena itu, anak kecil yang dipelihara ibu nya atau kakek neneknya atau orang lain disebabkan perceraian orang tuanya atau sebab lain, tidak dikategorikan sebagai anak yatim. Tidak pula disebut yatim jika memang semenjak dalam kandungan, ia tidak mempunyai ayah, semisal nabi isa As. Jika seseorang hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan, maka ia dapat di kelompokkan ke dalam mustadh’afin (orang-orang lemah).

Adapun anak yang bapak ibunya telah meninggal, termaksuk dalam kategori yatim juga. Dalam tradisi kita, ia biasanya disebut sebagai yatim piatu. Istilah piatu ini hanya di kenal di Indonesia, sedangkan dalam literatur fikih klasik hanya dikenal isyilah yatim  saja. Tentu saja, kondisi anak yatim dalam makna ini (yatim piatu) lebih memperhatikan dari pada makna yang pertama.

Sudah menjadi bagian dari sunnatullah bila seseorang terlahir dari rahim ibunya dan tidak mendapati ayahnya. Hal ini sudah menjadi fenopmena umum semenjak umat manusia bertebaran di muka bumi. Namun kearifan belum sepenuhnya diberikan kepada anak malang seperti ini. Banyak diantara mereka yang hidup sia-sia karena ketiadaan orang tuanya. Mereka menderita dan merana, mengharapkan kasih sayang orang lain yang tidak kunjung datang.

Sebelum islam datang, banyak anak , yatim yang menjadi budak. Kelemahan diri dan keluarganya memaksa mereka untuk menjadi manusia kelas dua. Mereka sering menjadi sasaran cemoohan dan hinaan, bahkan tak jarang berujung pada penganiayaan.

Islam datang membawa ajaran yang mulia. Komprehensifitas ta’alimul islam (ajaran-ajaran islam ) mampu mengantarkan umat manusia ke gerbang pintu kemanusaan, jika ia di wujudkan dalam amaliah nyata. Salah satunya adalah islam mengajarkan agar menyantuni anak yatim dan menjadikannya sebagai suatu kewajiban umat. Bahkan Nabi Muhammat SAW. Juga seorang anak yatim. Seperti disebut dalam fgirman Allah SWT. Bukanlah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia malindungimu (adh-Dhuha:6)

Santunan terhadap anak yatim piatu lebih diutamakan daripada terhadap anak yatim. Ulama ushul menyebutnya sebagai mafhum al-muwafaqoh al-khitap (pemahaman yang sejalan disebutkan lebih utama). Hal ini disebabkan anak yatim piatu lebih memerlukan pertolongan daripada anak yatim. Ia sangat membutuhkan kasih sayang dari orang-orang yang peduli dengan kondisinya. Ia membutuhkan hal pokok bagi keberlangsungan hidup normal sebagai seorang anak kecil.

Keluarga dekat dari kedua orang tuanya bertanggung jawab untuk mengasuhnya. Mereka menjadi wali sekaligus penjaga harta warisan orang tuanya. Namun, jika mereka merelakan, bolehlah anak yatim ini dipelihara oleh kaum muslimin lain yang menawarkan dirinya untuk mengambil si yatim menjadi anak asuhnya.

Disamping kanan-kiri rumah kita, terdapat tidak sedikit anak-anak yatim. Mereka menjadi bagian dalam hidup masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jumlah mereka setiap tahun terus bertambah. Mereka ada di kampung – kampung, di desa-desa, di kota-kota besar, di gang-gang diantara jepitan gedung-gedung bertingkat di kota metropolitan, juga di tempat-tempat yang lain seperti: dijembatan, dijalan, dan di emperan pertokoan. Mereka mengadu nasib sebatas kemampuan yang telah Allah anugerahkan.

Jika kita merujuk pada makna leksikal, yang dimaksud anak yatim tidaklah terbatas pada anak-anak kaum muslimin saja. Kat tersebut juga menjangkau seluruh anak-dari berbagai millah- yang ditinggal mati oleh bapaknya. Sebab, semua anak yatim tentulah masih fitrah jiwanya, serta suci hatinya dari dosa dan noda. Sehingga kita diperintahkan untuk memperlakukan mereka secara makruf pula.

Pemeliharaan anak yatim non muslim bahkan bisa dipandang sebagai suatu dakwa, penyelamatan aqidah si anak dari kemusrikan dan kekufuran. Sayangnya, supaya kaum muslimin saat ini belum sampai pada taraf tersebut. Kaum muslimin sendiri masih kewalahan untuk mengsuh anak-anak yatim dari saudara sekaidah.

Sebaliknya, masih terdapat sekian banyak anak yatim kaum muslimin yang jatuh ke tangan-tangan kaum kuffar. Media islam banyak memberitahkan, di daerah-daerah bencana semisal tsunami di Aceh, atau dipelosok-pelosok desa, banyak anak kaum muslimin yang diambil oleh para misionaris dan pakar-pakar pemurtadan untuk dididik menjadi kader-kader mereka. Dan, kaum muslimin nyaris tak berdaya menghadapi kenyataan ini. Kaum muslimin hanya mampu menahan marah yang menggunung dan melakukan sedikit upaya penyelamatan terhadap beberapa anak yatim yang tersisa.

No comments:

Post a Comment