Syabab.Com - Berawal dari kajian usul fiqih yang tiap pekannya penulis isi di salah satu masjid kampus di kota Bandung, muncul banyak sekali catatan, komentar, dan pertanyaan. Semuanya itu menjadikan kekayaan intelektual tersendiri bagi penulis. Namun demikian, tidak jarang ada persoalan-persoalan yang membutuhkan kajian lebih serius dan mendalam. Di antara perkara-perkara itu adalah terkait dengan lamanya masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal suaminya, dan persoalan seputar safar seorang wanita.
Berkaitan dengan masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal suaminya, apakah berdasarkan waktu paling lama atau sampai melahirkan kandungannya [1].
Pihak yang berpendapat berdasarkan waktu paling lama, mendasarkan pada jama' (mengompromikan) antara dua dalil. Ini adalah pendapat madzhab Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib ra. [2]
Adapula yang berpendapat, di antaranya menurut riwayat Abdullah bin Mas'ud, ayat kedua (Q.S. ath-Thalaq: 4) turunnya lebih akhir dari pada ayat pertama (Q.S. al-Baqarah: 234). Sehingga, ayat kedua dapat menasakh ayat pertama. Jadi masa iddahnya adalah sampai melahirkan kandungannya.
Demikian juga ada yang berpendapat bahwa masa iddah wanita hamil, baik yang dicerai maupun yang ditinggal mati oleh suaminya itu habis dengan melahirkan kandungannya, dengan alasan bukan jama' ataupun nasakh. Argumentasi yang ketiga ini didasarkan pada hadits Subai'ah dalam kitab shahih Bukhari dan kitab-kitab hadits lain, juga hadits-hadits lain yang semakna. Hadits-hadits itu merupakan pengkhususan terkait masa iddah wanita hamil yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya. Sehingga yang benar bahwa dua ayat di atas masuk dalam kategori ta'arudh al-umumaini (dua makna umum yang kontradiksi). Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama.
Berkaitan dengan safar wanita, sepengetahuan penulis ada lebih kurang 21 hadits yang makbul [3]. Hadits-hadits tersebut ada yang menjelaskan bahwa wanita mutlak (sama sekali) tidak boleh bepergian kecuali dengan mahram. Ada yang menjelaskan bahwa wanita tidak boleh bepergian yang membutuhkan waktu perjalanan satu hari satu malam (atau lebih) kecuali dengan mahram. Ada pula yang menjelaskan bahwa wanita tidak boleh bepergian yang mambutuhkan waktu perjalanan dua hari dua malam (atau lebih), begitulah seterusnya. Itulah realitas nash-nash tentang safar bagi wanita. Hadits-hadits yang terlihat saling bertentangan itu dapat dijelaskan dengan cara memadukan (mengompromikan) semuanya. Kompromisasi (al-jam'u) ini dilakukan dengan melihat realitas nash yang mutlaq, juga ada yang berfungsi sebagai taqyid, adanya mafhum mukhalafah, dan mafhum 'adad.
Dari contoh kasus di atas, muncul suatu pertanyaan yang lebih besar dan lebih metodologis, adakah pertentantangan antara dalil-dalil syara, karena ini terjadi ikhtilaf indal 'ulama?; bagaimana menolak pertentangan itu?; dan bagaimana tahapan dalam menolak pertentangan itu? Perkara-perkara inilah yang akan dijelaskan, hasbal isthitha'ah, oleh penulis pada risalah singkat ini berdasarkan dua kitab rujukan utama, asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz ats-Tsalis karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Taisir al-Wushul ila al-Ushul karya Syaikh Atha bin Khalil.
Hakikat at-Ta'arudh, at-Ta'adul, dan at-Tanaqudh
Sebagian ahli ushul menggunakan istilah at-ta'adul (التعادل) sebagai ganti dari istilah at-ta'arudh (التعارض). Tetapi mayoritas ahli ushul, kecuali ahli mantiq membedakannya dengan istilah at-tanaqudh (التناقض) [4].
kata at-ta'adul menurut ahli bahasa ialah kata yang berasal dari kata dasar (عدل), yang artinya sesuatu yang lurus, benar menurut hati. Kata at-ta'adul merupakan antonim dari kata (الجور), yang artinya lalim atau menyimpang. Ungkapan (عدل الحاكم في الحكم) artinya seorang hakim telah memberikan keputusan (hukum) yang adil dan benar [5]. Sebagai kesimpulan, menurut ahli bahasa, kata at-ta'adul berarti serupa atau sama.
Adapun kata at-ta'arudh, secara etimologis merupakan kata yang dibentuk dari fi'il madhi (عرض), yang artinya menghalangi, mencegah atau membandingi. Artinya, menurut penjelasan para ahli bahasa [6], kata at-ta'arudh berarti saling mencegah, menentang atau menghalangi.
Adapun ahli ushul yang menyatakan bahwa at-ta'adul menurut arti kata terkandung dalam kata at-ta'arudh adalah pendapat al-Asnawi dalam kitabnya Nihayat al-Saul, al-Razi dalam kitabnya al-Mashul, dan pendapat Syaikh Zuhair dalam kitabnya Ushul al-Fiqh [7]. Kemungkinan penyebabnya adalah karena arti kata at-ta'adul selalu melekat dalam kata at-ta'arudh.
Padahal hakikatnya, kata at-ta'arudh lebih menunjukkan apa yang kita bahas, yakni adanya pernyataan yang saling bertentangan menurut persepsi mujtahid. Pada konteks inilah, Al-Asnawi mendefinisikan bahwa at-ta'arudh adalah (تقابل الامرين على وجه يمنع كلّ منهما مقتضى صاحبه ), yang artinya berbandingnya dua hal (perkara), dimana masing-masing pernyataannya saling bertentangan [8]. Definisi ini sangat jelas dan singkat menggambarkan realitas at-ta'arudh, dari pada definisi-definisi yang lain.
Karena realitas at-ta'adul adalah terjadinya pertentangan antara beberapa dalil dan yang satu tidak lebih kuat dari yang lainnya, maka Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa at-ta'adul sebenarnya tidak terjadi pada dalill-dalil syara [9]. At-Ta’adul tidak akan terdapat pada dalil-dalil yang bersifat qath’i, karena tidak akan terjadi pertentangan di antara beberapa nash/dalil yang bersifat qath’i. Begitu juga tidak akan terjadi pertentangan antara dalil yang qath’i dengan dalil yang dzanni, karena yang qath’i harus didahulukan terhadap yang dzanni. Ta’adul ini tidak akan terjadi antara dalil-dalil yang dzanni dilihat dari sisi fakta pensyari’atan (al-wâqi’ at-tasyri’i), meskipun dilihat dari perkiraan manthiq (al-fardli al-manthiqi) bisa saja terjadi. Namun hal ini bertentangan dengan fakta pensyari’atan. Sebab, dalil-dalil yang dzanni apabila bertentangan dilihat dari seluruh sisi tanpa terdapat sesuatu yang menguatkan atau melebihkan salah satu di antaranya, maka dalam keadaan seperti ini tidak mungkin bisa mengamalkannya; atau mengamalkan dalil zhanni yang manapun juga. Apabila seluruhnya diamalkan, sedangkan dalil-dalil tersebut bertentangan satu sama lain, maka hal ini sama saja dengan berkumpulnya sesuatu yang berlawanan dengan lawannya, dan hal semacam ini jelas tidak mungkin terjadi. Apabila kita mengamalkan salah satunya tanpa mengamalkan yang lain, maka berarti merupakan pen-tarjih-an tanpa adanya faktor yang menguatkannya, karena dalil-dalil tersebut bertentangan dalam seluruh aspeknya. Apabila kita tidak mengamalkannya, berarti nash dalil-dalil tersebut sia-sia, padahal adanya unsur kesia-siaan dalam syari’at mustahil bagi Allah Swt, Pada konteks inilah, penulis menduga Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani begitu hati-hati dengan tidak menggunakan istilah at-ta'adul.
Sedangkan at-tanaqudh merupakan istilah yang lazim digunakan oleh ulama ahli mantiq, memiliki kajian berbeda dengan at-ta'arudh. Di sisi lain, sebagian ulama menyebutkan bahwa apa yang menjadi syarat at-ta'arudh juga merupakan syarat bagi at-tanaqudh [10]. At-ta'arudh merupakan pertentangan yang hanya terjadi secara lahiriah saja, yakni menurut pandangan atau pemikiran para mujtahid saja, sebagaimana yang telah dijelaskan, bukan secara hakiki. Karena hal tersebut tidak mungkin terjadi pada diri Zat Allah (Syari'). Hal ini berbeda dengan topik at-tanaqudh, karena at-tanaqudh dapat terjadi secara hakiki. Dengan kalimat lain, at-tanaqudh dapat menggugurkan eksistensi dalil, sedangkan at-ta'arudh hanya menggugurkan ketetapan hukumnya tanpa menggugurkan eksistensi dalilnya. Inilah perbedaan antara keduanya [11].
Metode-metode Menolak Pertentangan
Apabila dalam pandangan seorang mujtahid terdapat pertentangan antara dalil-dalil syara, maka ia harus menolak pertentangan tersebut. Dalam telusur metodologi klasik, metode menolak pertentangan dapat kita rumuskan menjadi dua pendekatan, yaitu metode ulama Hanafiyah dan metode mayoritas ulama selain Hanafiyah.
Pada kesempatan yang baik ini, penulis hanya akan membatasi untuk menjelaskan secara singkat metode ulama Hanafiyah dan metode ulama Syafi'iyah. Referensi utama yang akan dijadikan rujukan oleh penulis untuk memahami metode Hanafiyah adalah kitab at-Tahrir karya Kamal bin al-Hamam dan kitab Muslim ats-Tsubut yang ditulis oleh Muhibullah bin Abdusy Syukur. Adapun untuk menggambarkan bagaimana metode ulama Syafi'iyah dalam menolak pertentangan, penulis mengambil rujukan dari kitab Minhaj al-Baidlawi dan kitab-kitab syarahnya bersandar kepada kitab al-Mahshul karya Imam ar-Razi. Menurut Dr. Muhammad Wafaa, kitab-kitab itu lebih lengkap dan cermat menggambarkan metode-metode ulama-ulama Hanafiyah maupun Syafi'iyah dalam menolak pertentangan [12]. Berikut adalah penjelasannya.
1. Ikhtilaf di Kalangan Para Ulama dalam Menolak Pertentangan
Menurut ulama Hanafiyah, metode menolak pertentangan dalil dapat dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni harus mengikuti empat langkah atau cara sebagai berikut:
1) me-nasakh [13] (menghapus) salah satu hukum dari dua dalil yang saling bertentangan tersebut. Apabila hal ini tidak dapat dilakukan, maka
2) men-tarjih [14] (menguatkan) salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan. Apabila hal ini tidak dapat dilakukan, maka
3) men-jama' [15] (mengompromikan) kedua dalil tersebut. Apabila hal ini juga tidak dapat dilakukan maka
4) menggugurkan atau tidak mengamalkan kedua dalil tersebut dan mengamalkan dalil yang kedudukannya lebih rendah dari kedua dalil tersebut. Apabila terdapat suatu dalil, namun tidak patut dijadikan dasar beramal, maka yang harus dijadikan dasar beramal adalah hukum asalnya, dengan catatan, sekiranya tidak ada dalil yang mengubah hukum asal tersebut. [16]
Dengan mencermati referensi kitab-kitab ulama Syafi'iyah dalam metode menolak pertentangan, dapat penulis simpulkan bahwa tindakan pertama yang harus dilakukan untuk menghindarkan pertentangan dua dalil adalah dengan mengompromikan kedua nash tersebut. Kedua, jika tidak dapat dikompromikan, maka nash yang datang lebih akhir dapat me-nasakh nash yang datang lebih dahulu. Ini bila dapat diketahui masa datangnya kedua nash tersebut. Ketiga, jika tidak diketahui nash mana yang datang lebih akhir, maka tindakan yang diambil adalah dengan men-tarjih salah satu nash. Keempat, jika tidak bisa dilakukan, maka dilakukan takhyir [17] dan kelima dengan jalan menggugurkan kedua nash tersebut sebagai dasar beramal menurut sifat qath'i dan dzanni-nya.
2. Pendapat Terkuat dalam Menolak Pertentangan
Dengan mencermati penjelasan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz ats-Tsalis, kendatipun penjelasannya sangat singkat (hlm. 490-495), bahwa metode yang beliau lakukan dalam menolak pertentangan adalah berturut-turut: jama' (kompromisasi), nasakh (menghapus ketentuan hukum suatu dalil), dan selanjutnya tarjih (mengunggulkan salah satu dalil). Selain pendapat yang paling kuat, pendapat ini juga merupakan pendapat jumhur ulama hadits dan ulama fikih [18].
Dalam hal ini, jama' lebih didahulukan dari pada nasakh dan tarjih. Alasannya karena, mengompromikan dua dalil yang terlihat saling bertentangan adalah lebih baik dari pada menggugurkan salah satunya. Masih menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, maka yang pokok untuk suatu dalil adalah mengamalkan bukan mengabaikan. Artinya, menjadikan untuk mengamalkan keduanya sekaligus adalah lebih utama dibanding mengabaikan salah satu dari keduanya [19].
Adapun perihal nasakh lebih didahulukan dari pada tarjih, di kalangan ahli ushul tidak ada perbedaan, termasuk ulama-ulama madzhab Hanafiyah maupun Syafi'iyah. Nasakh berarti mengamalkan dalil yang menasakh dan meninggalkan dalil yang dinasakh. Tarjih berarti mengamalkan dalil yang diunggulkan dan meninggalkan dalil yang tidak diunggulkan. Akan tetapi, nasakh adalah produk (ketetapan) dari Allah Swt., sedangkan tarjih hasil ketetapan para mujtahid (manusia). Oleh karena itu, jelaslah bahwa ketetapan Allah lebih utama dari pada ketetapan menusia.
Hanya saja, perlu menjadi catatan bahwa tarjih hanya ada pada dalil-dalil yang bersifat dzanni, dan tidak boleh terjadi pada dalil-dalil yang bersifat qath’i, karena tidak akan terjadi pertentangan di antara dalil-dalil yang qath’i [20]. Pendapat al-Alamah asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ini selaras dengan pendapat ulama-ulama madzhab Syafi'iyah, namun berbeda dengan pendapat ulama-ulama madzhab Hanafiyah –yang dalam hal ini ulama kontemporer Dr. Muhammad Wafaa-pun lebih menguatkan pendapat madzhab Hanafiyah. Hal ini menunjukkan sikap konsistensi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam pendapatnya, bahwa pertentangan itu sebetulnya tidak pernah terjadi pada dalil-dalil qath'i.
Hakikat dan Metode al-Jam'u
Secara bahasa, al-jam'u adalah mengumpulkan atau menyatukan hal-hal yang berbeda atau sesuatu yang tercerai-berai. (خمع المتفرّق) artinya mengumpulkan sebagian dari sesuatu yang tercerai berai pada bagian yang lain. (المجموع) artinya kumpulan dari berbagai hal, sekalipun tidak seperti sesuatu yang tunggal (sama) [21].
Adapun pengertian al-jam'u menurut istilah adalah sebagai berikut:
التّوفيق بين الدّليلين المتعارضين على وجه يزيل تعارضهما
"Menyelaraskan atau menyesuaikan dua dalil yang saling bertentangan dengan suatu cara yang dapat menghindarkan pertentangan tersebut."
Berikut ini, penulis akan menuturkan sebagian keadaan yang mengharuskan pengamalan di antara dua dalil.
1) Apabila Rasulullah Saw. mengerjakan suatu perbuatan kemudian pada kesempatan lain beliau mengerjakan perbuatan lainnya yang berlawanan dengan yang pertama. Pada kasus seperti ini menunjukan bahwa aktivitas tersebut hukumnya ibahah. Contohnya adalah hadits yang dikeluarkan oleh at-Thabrani di dalam (kitab) al-Ausath: "Bahwa suatu ketika ada jenazah yang melewati Ibnu Abbas dan Hasan bin Ali, kemudian salah satu di antara keduanya berdiri sedang yang lainnya duduk. Orang yang berdiri berkata kepada orang yang duduk: ‘Bukankah Rasulullah saw ketika dilewati jenazah suka berdiri? Orang yang duduk menjawab: ‘Benar, tetapi beliau juga pernah tidak berdiri (duduk)". [22]
Dari peristiwa itu kita bisa memahami adanya hukum, yaitu mubah untuk berdiri dan duduk ketika melihat jenazah lewat.
2) Apabila Rasulullah mengatakan suatu perkataan, kemudian melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perkataannya, maka perbuatan tersebut khusus (ditujukan) bagi Rasul, sedangkan perkataannya merupakan penjelasan bagi kita. Contohnya, diriwayatkan dari Qais bin Harits, dia berkata: Aku telah masuk Islam sedangkan aku memiliki delapan istri. Kemudian aku datang kepada Rasul saw dan aku menceritakan tentang istri-istriku. Lalu Rasul bersabda: Engkau harus memilih empat orang dari mereka [23]. Sementara itu, telah dinyatakan secara shahih bahwa Rasulullah Saw. menikahi sembilan orang istri [24]. Maka hal ini menunjukkan bahwa mengumpulkan (menikahi) lebih dari empat orang istri adalah khusus bagi Rasul.
3) Apabila Rasulullah mengatakan suatu perkataan, kemudian mengatakan perkataan lain yang kelihatannya bertentangan dengan perkataan yang pertama, maka harus ada upaya mengompromikan di antara kedua perkataan tersebut dengan cara yang memungkinkan. [25]
4) Apabila terdapat lafadz yang mujmal dan dijelaskan oleh Rasulullah saw dengan perkataan dan perbuatan yang (tampaknya saling) bertentangan [26].
5) Al-Muhkam dan al-Mutasyabih. Singkatnya, bahwa muhkam adalah induk bagi mutasyabih. [27]
Hakikat dan Metode Nasakh
Secara bahasa nasakh berarti menghilangkan atau memindahkan; dan mengubah suatu perkara dari satu keadaan. Adapun secara istilah, berarti seruan (khithab) Syari' (Allah) yang melarang berlangsungnya suatu hukum dari seruan (khitab) Syari' yang sebelumnya.
Perlu diketahui bahwa nasakh berlaku bagi hukum, tidak bagi bacaan. Sebagai contoh, hukum tentang wasiat kepada kedua orang tua telah dinasakh, akan tetapi ayat tersebut tetap senantiasa dibaca. Begitu juga hukum-hukum lainnya yang di-nasakh. Adapun nasakh terhadap bacaan maka tidak ada dalilnya sedikitpun. Tidak adanya merupakan dalil atas ketidakbolehannya. Hadits-hadits yang membicarakan tentang topik ini adalah hadits ahad yang tidak bisa dijadikan pegangan dalam masalah akidah (ushul).
Secara ringkas, macam-macam nasakh dapat dibagi menjadi empat macam. Pertama, me-nasakh hukum dari seruan Allah tetapi tidak diganti dengan hukum yang lainnya [28]. Kedua, nasakh dengan mengganti hukum yang lebih ringan. Seperti ketetapan satu orang mukmin yang sabar berhadapan dengan sepuluh musuh (diganti) menjadi seorang melawan dua musuh [29]. Ketiga, nasakh, mengganti hukum dengan hukum lain yang sebanding. Seperti menasakh hukum wajibnya (shalat) menghadap ke Baitul Maqdis dengan kewajiban menghadap ke Ka’bah [30]. Keempat, nasakh, mengganti hukum dengan (hukum) yang lebih berat. Pada permulaan Islam, hukuman bagi pezina adalah mengurungnya di rumah dan memberikan kekerasan (hukuman). Kemudian di-nasakh dengan hukum yang telah diketahui, yakni didera 100 kali [31].
Hakikat at-Tarjih
Secara bahasa, kata at-tarjih (الترجيح) adalah bentuk masdar dari kata dasar (رجح) artinya mengunggulkan sesuatu dengan yang lebih condong padanya dan memenangkannya. Jika dikatakan (رجحت الشيىء) artinya adalah saya mengutamakan atau menguatkan sesuatu. Juga bisa berarti al-mizaan yarjuhu --bisa juga dibaca yarjahu (lebih berat hingga miring ke salah satu sisinya) [32].
Secara istilah, tarjih bermakna (تقديم المجتهد احد الدليلين المتعارضين على الاخر), yakni pengutamaan (mendahulukan) seorang mujtahid terhadap salah satu dari dua dalil yang saling bertentangan berdasarkan sesuatu yang dapat mengunggulkannya agar dapat dalil tersebut diamalkan [33].
Tarjih hanya ada pada dalil-dalil yang bersifat dzanni, dan tidak boleh terjadi pada dalil-dalil yang bersifat qath’i, karena tidak akan terjadi pertentangan di antara dalil-dalil yang qath’i.
Adapun yang dimaksud dengan kekuatan dalil adalah kekuatan dalil dari sisi (1) urut-urutan kekuatannya, (2) dan dari sisi tingkatan kredibilitas dalil dalam proses istidlal pada setiap jenis dalil-dalil dzanni.
Dari sisi urut-urutan kekuatan dalil; al-Quran lebih kuat dibandingkan dengan sunnah, meskipun mutawatir. Sunnah mutawatir lebih kuat dari pada ijma'. Ijma' yang diriwayatkan secara mutawatir lebih kuat dari pada hadits ahad. Khabar ahad lebih kuat dibandingkan dengan qiyas jika 'illat-nya didapatkan dengan cara dilalah, istinbath, atau qiyas. Jika 'illatnya didapatkan dengan cara shurahah (jelas), maka urutan kekuatannya tergantung dari dalil yang menjadi sandaran 'illat tersebut. Jika 'illatnya diambil dari al-Quran, maka hukumnya mengikuti hukum al-Quran. Jika 'illatnya diambil dari sunnah, maka hukumnya mengikuti hukum sunnah. Jika 'illatnya diambil dari ijma', maka hukumnya mengikuti hukum ijma'. [34]
Dari sisi tingkat kredibilitas dalil dalam proses istinbath, dapat dirinci sebagai berikut;
1) Tarjih di antara beberapa dalil, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Atha bin Khalil, memiliki mekanisme yang sangat kompleks. Mulai dari melihat derajat kontradiksi dari sisi kekuatan dan keumuman di antara dua dalil; kekuatan dalil sisi sanad; kekuatan dalil dari sisi matan, baik ketika dihubungkan dengan hukum maupun dihubungkan pada dilalah matan dalam dua dalil; dan tarjih di antara penunjukkan lafadz-lafadz dalam satu dalil. [35] Hanya saja, pada kesempatan ini, penulis hanya akan memfokuskan pada kekuatan dalil yang dinisbahkan kepada sunnah, baik kekuatan dari sisi sanad, matan, maupun makna (madlul).
2) Tarjih dalil sunnah dari sisi sanad dapat diringkas sebagai berikut;
(1) Kekuatan sanad yang disandarkan pada kekuatan perawinya. Perawi langsung lebih kuat dibandingkan perawi tidak langsung. Sebab, perawi langsung lebih memahami apa yang diriwayatkannya dari pada perawi yang tidak secara langsung terlibat dalam masalah tersebut. Misalnya, riwayat Abu Rafi' yang menyatakan, bahwa Nabi Saw. menikahi Maimunah saat beliau Saw. bertahallul; lebih kuat dibandingkan riwayat Ibnu 'Abbas ra. yang menuturkan bahwa Rasulullah Saw. menikahi Maimunah saat ihram. Sebab, Abu Rafi' ra. menjadi safir (mediator) di antara keduanya, sekaligus menjadi penerima nikahnya Maimunah dari Rasulullah Saw. [36] Atas dasar itu, hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih paham (faqih) harus lebih dikuatkan dibanding dengan perawi yang tidak paham (faqih) [37]. Perawi yang meriwayatkan hadits berdasarkan hafalan lebih dikuatkan dari pada perawi yang meriwayatkan hadits melalui tulisan. Sebab, hafalan lebih terhindar dari kesamaran (syubhat), dibandingkan dengan tulisan [38]. Hadits yang diriwayatkan secara masyhur lebih dikuatkan dibandingkan hadits yang tidak masyhur. [39]
(2) Kekuatan sanad yang disandarkan kepada kekuatan riwayat itu sendiri. Khabar mutawatir lebih dikuatkan dibandingkan dengan khabar ahad [40]. Khabar musnad lebih diunggulkan dibandingkan khabar mursal. Sebab, khabar musnad seluruh jatidiri perawinya diketahui, sedangkan khabar mursal ada perawi yang tidak diketahui jatidirinya. [41]
(3) Kekuatan sanad yang disandarkan pada waktu periwayatan. Perawi hadits yang meriwayatkan hadits ketika telah baligh, lebih dikuatkan dari pada perawi yang meriwayatkan hadits ketika belum baligh. [42]
(4) Kekuatan sanad yang disandarkan pada cara periwayatan. Hadits yang telah disepakati kemarfu'annya lebih dikuatkan dari pada hadits yang masih diperselisihkan kemarfu'annya. [43] Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw. lebih dikuatkan dari pada hadits yang diriwayatkan bil makna. [44]
(5) Kekuatan sanad yang disandarkan pada waktu diturunkannya sebuah hadits (khabar). Hadits yang bersifat muthlaq tanpa tarikh atau disebutkan sejarahnya lebih dikuatkan dibandingkan hadits yang bertarikh lebih awal. Sebab, hadits muthlaq yang tidak disebutkan tarikhnya disamakan dengan hadits yang tarikhnya belakangan [45]. Hadits yang diriwayatkan pada akhir-akhir masa kehidupan Rasulullah Saw. lebih dikuatkan. Demikian pula hadits yang diriwayatkan pada saat menjelang wafatnya Rasulullah lebih dikuatkan dari pada khabar muthlaq. [46]
3) Kekuatan khabar dari sisi matan (redaksi) dapat dirinci sebagai berikut:
(1) Jika salah satu khabar berisikan perintah, sedangkan yang lain berisikan larangan, maka larangan lebih dikuatkan dari pada perintah. Sebab, kebanyakan larangan ditujukan untuk menghindari mafsadat (kerusakan), sedangkan kebanyakan perintah ditujukan untuk mewujudkan suatu mashlahat. Menolak mafsadat mesti didahulukan dari pada mengambil mashlahat; "Dar`u al-mafaasid muqaddam 'ala jalb al-Mashaalih". [47]
(2) Kadang kala suatu khabar mengandung perintah, sedangkan yang lain memubahkan (membolehkan). Dalam kondisi semacam ini, khabar yang memubahkan lebih diunggulkan dibandingkan yang mengandung perintah. Sebab, khabar yang memubahkan akan mengalihkan tuntutan atau perintah ke arah kemubahan. Sedangkan beramal dengan khabar yang berisikan perintah pasti akan menelantarkan secara menyeluruh dalil yang memubahkan. Padahal, mengamalkan dua dalil itu lebih utama dari pada mengabaikan atau menelantarkan salah satu dalil. [48]
(3) Kadang-kadang salah satu khabar tersebut mengandung perintah sedangkan yang lain mengandung informasi belaka (khabar). Dalam kondisi semacam ini, khabar harus dikuatkan daripada perintah. Sebab, dilalah yang ditunjukkan oleh khabar lebih kuat dibandingkan perintah. Oleh karena itu, khabar tidak bisa dinasakh, sedangkan perintah boleh dinasakh (dihapus). [49]
(4) Khabar yang pertama berisikan larangan, sedangkan yang kedua berisikan kemubahan. Khabar yang memubahkan harus dikuatkan dibandingkan khabar yang melarang; sebagaimana sebab dikuatkannya kemubahan atas perintah. [50]
(5) Khabar yang pertama berisikan larangan, sedangkan yang kedua hanya mengandung khabar (informasi) belaka. Khabar harus dikuatkan dibandingkan perintah. [51]
(6) Kekuatan matan yang disandarkan kepada lafadz khabar. Khabar yang lafadznya menunjukkan pengertian hakiki (hakikat) harus dikuatkan dari pada khabar yang menunjukkan pengertian majaz [52]. Lafadz yang mengandung hakikat syar'iyyah, harus dikuatkan dibandingkan lafadz yang mengandung hakekat lughawiyyah (pengertian bahasa) dan hakekat 'urfiyyah (pengertian kebiasaan). Sebab, Nabi Saw. diutus untuk menyampaikan dan menjelaskan syariat. Khabar yang mengandung 'illat hukum lebih dikuatkan daripada khabar yang tidak mengandung 'illat hukum. Sebab, khabar yang mengandung 'illat lebih kuat ditinjau dari sisi tasyri'iy (pensyari'atan) [53].
4) Kekuatan khabar ditinjau dari madlul (makna) dapat diringkas sebagai berikut:
(1) Jika salah satu khabar menunjukkan kemudahan, sedangkan yang lain menunjukkan kesukaran; maka, khabar yang maknanya menunjukkan kemudahan lebih dikuatkan dibandingkan khabar yang maknanya memberatkan atau menyukarkan. Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah swt, "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."[TQS. al-Baqarah:185]; dan juga firman Allah swt, "Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan."[TQS. al-Hajj:78] [54]
(2) Jika salah satu khabar menunjukkan pengharaman sedangkan yang lain menunjukkan kemubahan; maka khabar yang maknanya menunjukkan pengharaman lebih dikuatkan dibandingkan khabar yang maknanya menunjukkan kemubahan. Hal semacam ini ditentukan berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Jika yang haram berkumpul dengan yang halal, maka yang haram dimenangkan atas yang halal." Juga didasarkan pada sabda Rasulullah saw, "Tinggalkanlah yang meragukanmu menuju kepada yang tidak meragukanmu." [55]
(3) Jika salah satu khabar menunjukkan pengharaman sedangkan yang lain menunjukkan kewajiban, maka khabar yang menunjukkan pengharaman lebih dikuatkan dari pada yang menunjukkan kewajiban. Sebab, kebanyakan pengharaman ditujukan untuk menghindari mafsadat, sedangkan kewajiban ditujukan untuk meraih manfaat. Padahal, menghindari mafsadat lebih diutamakan daripada meraih maslahat. [56]
(4) Jika salah satu khabar menunjukkan kewajiban, sedangkan yang lain menunjukkan kemubahan, maka khabar yang menunjukkan kewajiban lebih dikuatkan dari pada yang menunjukkan kemubahan. Sebab, meninggalkan kewajiban bisa menjatuhkan pelakunya ke dalam dosa, sedangkan meninggalkan kemubahan tidak menjatuhkan pelakunya ke dalam dosa. Menjauhi dosa lebih diutamakan dari pada perbuatan yang tidak memberikan implikasi apapun. [57]
Inilah beberapa kaedah dasar yang mesti dimengerti sebelum melakukan tarjih di antara dalil-dalil, terutama pentarjihan pada hadits-hadits.
Penutup
Sebagai kesimpulan, bahwa kontradiksi antara dalil-dalil syara bisa terjadi menurut persepsi seorang mujtahid yang bisa ditolak (kontradiksi tersebut) dengan metode al-jam'u, nasakh, dan tarjih. Hal ini semakin membuktikan bahwa ta’adul itu sama sekali tidak terjadi pada dua dalil yang qath’i, juga tidak terjadi antara dalil qath’i dan dalil dzanni, sebab yang qath’i itu lebih di dahulukan dibanding dengan yang dzanni. Adapun ta’aadul diantara dua dalil yang dzanni, yakni antara khabar ahad, maka qiyas yang didasarkan pada logika membolehkannya, namun realitas dalil-dalil menunjukkan bahwa hal tersebut tidak ditemukan ta’adul, atau dengan kata lain bahwa ta’adul itu sama sekali tidak terjadi pada dalil-dalil dzanni. Karena tidak terjadi bahwa orang adil menyampaikan informasi tentang adanya sesuatu sedangkan yang lain menyatakan ketidakadaannya, sementara keduanya sepadan pada semua kondisi, keadaan, dan situasi, kecuali pada satu keadaan yaitu nasakh. Sedangkan nasakh bukan termasuk ta’adul. Atas dasar hal tersebut maka ta’adul juga tidak terjadi pada dalil-dalil yang dzanni. Wallahu a'lam.
Catatan kaki:
1. Hal ini berawal dari kotradiksi antara al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 234 dan surat ath-Thalaq ayat 4.
2. Lihat at-Thabari, Jami'ul Bayan, juz 18, hlm. 143.
3. Untuk pengayaan, bisa juga dicek dalam kitab Jami’ul Ushul fii Ahaadits ar-Rashul karya Al Hafidz Ibn Al-atsir.
4. Lihat Dr. Muhammad Wafaa, Ta'arudh al-adillati as-Syar'iyati min al-Kitabi Wa as-Sunati Wa at-Tarjihu Bainaha, hlm. 9.
5. Lihat Lisaan al-Arab, juz 4, hlm. 2838.
6. Ibid., juz 4, hlm. 2889.
7. Lihat Dr. Muhammad Wafaa, Op.Cit.
8. Lihat al-Asnawi, Syarh al-Asnawi, juz 2, hlm. 207.
9. Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 3, hlm. 491.
10. Di antara yang berpendapat demikian adalah sebagian ulama di kalangan madzhab Hanafiyah dan selain dari kalangan Hanafiyah seperti Imam al-Ghazali (al-Mustashfa, juz 2, hlm. 395) dan Ibnu Qudamah (Raudhat an-Nadhir, juz 2, hlm. 457)
11. Lihat Kasyf al-Asrar an Ushul al-Bazdawi, juz 3, hlm. 76; Hasyiyat ar-Rahawi ala Syarh al-Manar li Ibn Malik, hlm. 667.
12. Lihat Dr. Muhammad Wafaa, Op.Cit.
13. Rinciannya akan dijelaskan kemudian.
14. Ibid.
15. Ibid.
16. Seperti apabila terdapat dua ayat yang saling bertentangan, maka keduanya tidak boleh diamalkan dan harus mencari hadits sebagai dasar untuk beramal. Apabila hadits tersebutpun bertentangan dengan hadits lainnya, maka keduanya juga harus digugurkan dan mengamalkan pendapat (qaul) sahabat sebagai dasar beramal, bagi yang mengakui qaul sahabat sebagai dalil syara. Atau dengan mengamalkan qiyas jika terdapat qaul sahabat. Sebagai contoh, al-Qur'an surat al-Muzzammil ayat 20 (فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ) dengan al-Qur'an surat al-A'raf ayat 204
(وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ). Ayat pertama dengan sifat 'am (universal)nya menunjukkan kewajiban membaca bagi makmum. Sedangkan ayat kedua, menggugurkan membaca bagi makmum, karena ayat tersebut hanya mewajibkan makmum untuk mendengarkan dan memperhatikan bacaan imam.
Menurut mayoritas ahli tafsir, kedua ayat ini turun dengan berkenaan dengan masalah shalat. Karena kedua ayat ini saling bertentangan, maka harus mencari dalil lain yang kedudukannya lebih rendah sebagai dasar beramal, yaitu hadits. Menurut riwayat Jabir, bahwasannya Rasulullah Saw pernah bersabda: "Barang siapa shalat berjama'ah, maka bacaan imam juga bacaannya." (HR. Thabrani, hadits ini matruk). Menurut ulama-ulama Hanafiyah hadits ini dapat dijadikan dasar hukum sekalipun di antara rawi-rawinya ada yang lemah (dha'if), yaitu Jabir al-Ju'fi. Karena hadits ini diriwayatkan oleh sanad yang banyak dan didukung oleh hadits-hadits lain. Mereka juga berpendapat bahwa hadits ini tidak bertentangan dengan hadits: "Tidak ada shalat kecuali dengan membaca al-Fatihah" (HR. Jama'ah dari Ubadah bin Shamit). Karena maksud hadits ini adalah meniadakan keutamaan shalat (Lihat Hasyiyat ar-Rahawi) bukan menetapkan tidak sahnya shalat.
17. Takhyir dilakukan antara dua nash dzanni yang sudah tidak dapat di-tarjih dan antara dua nash qath'i yang dapat diketahui perbandingannya.
18. Misalnya Imam an-Nawawi (Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, juz 2, hlm. 196-197); Ibnu Shalah (at-Taqyid wa al-Idhah Syarh Muqaddimat Ibnu ash-Shalah, hlm. 244-245); dan al-Hazimi (al-I'tibar li al-Hazimi, hlm. 24-30). Adapun di antara ulama fikih yang menyepakati pendapat ini adalah Al-Ghazali (al-Mustashfa, hlm. 395); Ibnu Qudamah (Raudhat an-Nadhir, hlm. 208); dan Al-Baji (Ihkam al-Fushul fi Ahkam al-Ushul, hlm. 646).
19. Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, Op.Cit. juz 3, hal. 492.
20. Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, Op.Cit. juz 3, hlm. 491.
21. Lihat al-Qamus al-Muhith, hlm. 917.
22. Hadits riwayat At-Thabrani, al-Ausath: 3390
23. Hadits riwayat Abu Daud: 2241; hadits riwayat Ibnu Majah: 1952
24. Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah saw senantiasa menggilir di antara isteri-isterinya yang sebanyak sembilan orang. H.R. Bukhari: 260, 275; H.R. Muslim: 2656. Dari Anas bin Malik dia berkata, tidak pernah tersisa pada waktu sore pada keluarga Muhammad Saw satu sha beras atau biji-bijian padahal Rasul mempunyai sembilan orang isteri; H.R Bukhari: 1928; H.R. Tirmidzi: 1136.
25. Misalnya terkait dengan persaksian. Hadits Rasulullah dalam suatu riwayat mencela seorang saksi yang memberikan kesaksian sebelum diminta. Sedangkan dalam riwayat lain Rasul memuji orang yang bersegera memberikan saksi sebelum diminta. Bentuk komprominya adalah, hadits pertama berkaitan dengan hak di antara manusia, sedangkan hadits kedua jika menyangkut hak Allah.
26. Terkait dengan pelaksanaan haji qiran, apakah pelaksanaan thawaf dan sa'i masing-masing satu kali, atau masing-masing dua kali. (Lihat Atha bin Khalil, Taisir al-Wushul ila al-Ushul, hlm. 280).
27. Seperti at-ta'arudh antara lafadz arjulakum dan arjulikum dalam al-Qur'an surat al-Ma'idah ayat 6.
28. Seperti dalam al-Qur'an surat al-Mujadilah ayat 12-13. Dalam ayat tersebut terjadi nasakh terhadap keharusan memberi sedekah ketika bermunajat kepada Rasulullah. (Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, Op.Cit., juz 3, hlm. 267-272).
29. Yakni antara al-Qur'an surat al-Anfal ayat 65 dan ayat 66.
30. Lihat al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 144.
31. Yakni antara al-Qur'an surat an-Nisa ayat 16-17 dan surat an-Nur ayat 2.
32. Lihat Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hlm. 234.
33. Lihat Dr. Muhammad Wafaa. Op.Cit., hlm. 186.
34. Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, Op.Cit., juz 1, hlm. 240-241.
35. Lihat Atha bin Khalil, Op.Cit., hlm. 281-301.
36. Lihat Imam al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 2, hlm. 360; Atha bin Khalil, Op.Cit., hlm 281-301.
37. Lihat Imam al-Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul, hlm. 276-277; Imam al-Amidiy, Op.Cit., juz 2, hlm. 361; Atha bin Khalil, OP.Cit., hlm 281-301.
38. Lihat al-Amidiy, Op.Cit., juz 2, hlm. 361.
39. Ibid, hlm. 360.
40. Ibid, hlm. 362.
41. Lihat al-Amidiy, Op.Cit., hlm. 362; Atha bin Khalil, Op.Cit., hlm 281-301.
42. Lihat al-Amidiy, Op.Cit. hlm. 361.
43. Lihat al-Amidiy, Op.Cit. hlm. 364; Atha bin Khalil, Op.Cit., hlm 281-301.
44. Lihat al-Amidiy, Op.Cit. hlm. 364; Atha bin Khalil, Op.Cit., hlm 281-301.
45. Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, Op.Cit., juz 1, hlm. 242.
46. Ibid, hlm. 242.
47. Lihat Imam al-Amidiy, Op.Cit., juz 2, hlm. 365
48. Ibid, hlm. 366.
49. Lihat Imam al-Amidiy, Op.Cit., hlm. 366; Atha bin Khalil, Op.Cit., hlm 281-301.
50. Lihat Imam al-Amidiy, Op.Cit., hlm. 366.
51. Lihat Imam al-Amidiy, Op.Cit., hlm. 366; Atha bin Khalil, Op.Cit., hlm 281-301.
52. Lihat Imam al-Amidi, Op.Cit., hlm. 367; Atha bin Khalil, Op.Cit., hlm 281-301.
53. Lihat Imam al-Amidi, Op.Cit., hlm. 370; Taqiyuddin an-Nabhani, Op.Cit., juz 1, hlm. 243.
54. Lihat Imam al-Amidi, Op.Cit., hlm. 375; Atha bin Khalil, Op.Cit., hlm 281-301.
55. Lihat Imam al-Amidi, Op.Cit., hlm. 372; Atha bin Khalil, Op.Cit., hlm 281-301.
56. Lihat Imam al-Amidi, Op.Cit., hlm. 373; Atha bin Khalil, Op.Cit., hlm 281-301.
57. Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, Op.Cit., juz 1, hlm. 244; Atha bin Khalil, Op.Cit., hlm 281-301.
No comments:
Post a Comment