Rukun Islam Dan Prinsip-Prinsip Akhlaq (Bagian ke-1)

أركان الإسلام ومبادئ الأخلاق

Rukun Islam Dan Prinsip-Prinsip Akhlaq
Shalat
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – Rasulullah telah menjelaskan tujuan utama diutusnya beliau menjadi rasul dan minhaj yang jelas melalui sabdanya,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُِتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq mulia.” (HR. Malik).
Seolah-olah risalah yang alirannya telah ditentukan di dalam sejarah kehidupan, si pembawanya telah mengerahkan segenap tenaga untuk memancarkan sinarnya dan mengumpulkan orang di sekitarnya. Tidak lebih dari sekadar memberi dukungan terhadap kemuliaan mereka dan menyinari kesempurnaan yang telah berkibar di depan mereka agar mereka berjalan menuju risalah itu dengan jelas dan gamblang.
Dan sabdanya:
“الدين حسن الخلق”
“Agama adalah akhlaq yang baik.” (HR. Hakim).
Begitu pentingnya akhlaq dalam Islam seakan tidak ada ajaran agama kecuali akhlaq. Oleh karena itu akhlaq menjadi landasan hidup dan  pijakan dalam  berbicara, bersikap dan berperilaku, sebagai mana firman Allah:
وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ [٦٨:٣]
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam)
Rukun Islam yang lima sangat erat kaitannya dengan akhlaq; dua kalimat syahadat, shalat, zakat, shaum, dan hajji tidak dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai akhlaq. Setiap rukun dari rukun Islam yang lima harus berdampak positif pada perubahan perilaku dan gaya hidup seorang muslim.
Dan ibadah yang disyariatkan Islam adalah sebagai pilar-pilar keimanan bukan sekadar ritual semu yang menghubungkan antara manusia dengan alam gaib yang misterius. Memberinya dengan berbagai amal serba samar dan gerak-gerik tanpa makna. Tidak, sekali lagi tidak, berbagai kewajiban yang dibebankan Islam kepada setiap muslim merupakan latihan yang berulang-ulang agar  terbiasa dengan akhlaq yang benar dan senantiasa komitmen dengan akhlaq tersebut apapun kondisi yang dialaminya.
Ia tak ubahnya seperti senam yang sangat diminati orang. Dengan melakukannya secara kontinyu ia berharap agar badannya sehat dan hidupnya sejahtera.
1. Syahadatain dan akhlaq
Mengucapkan dua kalimat syahadat bukan kegiatan formalitas untuk menjadi muslim akan tetapi lebih jauh dan lebih dalam dari itu adalah bukti keyakinan yang kuat dan kejujuran yang sempurna serta keikhlasan yang mendalam dalam menerima Islam sebagai system hidup. Oleh karena itu Rasulullah menegaskan barang siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan hati yang jujur maka ia masuk surga.
مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Tidak ada seorang hamba yang mengucapkan laa ilaaha illallah kemudian mati dengan komitmen padanya melainkan ia masuk surga” (HR. Bukhari)
وَمَنْ لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِهِمَا غَيْرَ شَاكٍّ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang menghadap Allah dengan dua kalimat syahadat tanpa meragukannya sedikit pun maka ia masuk surga” (HR. Ahmad)
Dari dua hadits di atas sangat jelas bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat bukan hanya sekadar ucapan lisan akan tetapi disertai dengan keyakinan, kejujuran hati dan komitmen untuk menjalankan tuntutannya dengan benar dan ikhlas.
2. Shalat dan akhlaq
Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah Al-Muthahharah menyingkap hakikat ini. Shalat wajib misalnya, saat Allah memerintahkan melaksanakannya Dia juga menjelaskan hikmahnya.
Allah berfirman,
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ [٢٩:٤٥]
Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-‘Ankabuut: 45)
Menjauhkan diri dari keburukan dan mensucikan diri dari semua perkataan serta amal buruk adalah hakikat shalat. Nabi meriwayatkan dari Rabbnya,
إِنَّمَا أَتَقَبَّلُ الصَّلاةَ مِمَّنْ تَوَاضَعَ بِهَا لِعَظَمَتِي ، وَلَمْ يَسْتَطِلْ عَلَى خَلْقِي ، وَلَمْ يَبِتْ مُصراً عَلَى مَعْصِيَتِي وَقَطَعَ النَّهَارَ فِي ذِكْرِي ، وَرَحِمَ الْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالأَرْمَلَةِ ، وَرَحِمَ المُصَابَ
“Sesungguhnya Aku menerima shalatnya seseorang yang tawadhu’ karena keagungan-Ku, tidak sombong terhadap makhluk-Ku, tidak terus-menerus melakukan maksiat terhadap-Ku, menghabiskan siangnya untuk berdzikir kepada-Ku, menyayangi orang miskin, ibnu sabil, dan janda, serta menyantuni orang yang terkena musibah.” (Al-Bazzar).
(hdn)

No comments:

Post a Comment