Pasar Kalian Tidak Seperti Ini…


Judul tulisan ini saya ambilkan dari penggalan hadits Sunan Ibnu Majah (hadits no 2224) yang bunyi lengkapnya adalah : Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam pergi ke pasar Nabith, lalu beliau memperhatikannya dan bersabda: "Pasar kalian tidak seperti ini". Lalu beliau pergi ke suatu pasar (yang lain) kemudian memperhatikannya dan bersabda: "Pasar kalian tidak seperti ini (juga)". Kemudian beliau kembali ke pasar ini dan mengelilinginya, lalu bersabda: "Inilah pasar kalian, maka janganlah dikurangi (hak dan timbangan, atau berlaku curang) dan janganlah dibebani dengan pajak".

Ini adalah pelajaran menarik tentang suatu proses yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam dalam mempersiapkan pasar bagi kaum Muslimin. Beliau memperhatikan dahulu pasar-pasar  yang sudah ada, setelah beliau melihat sendiri tidak ada pasar-pasar tersebut yang kondusif bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan perdagangan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam – maka beliau memutuskan untuk menyiapkan pasar bagi kaum Muslimin yang kemudian  dalam sejarah dikenal sebagai Pasar Madinah.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam datang ke Madinah memang sudah ada beberapa pasar, di antaranya adalah pasar Habasyah yang khusus untuk jual beli budak, pasar Zibalah, pasar Bani Qainuqa' atau pasar Jisr, pasar Mazahim dan pasar Shafshaf.

Pasar Bani Qainuqa' adalah pasar terbesar dan teramai aktivitasnya, pasar ini dimiliki dan dikelola oleh kaum yahudi. Karena dalam kendali yahudi, sulit bagi kaum muslimin untuk memajukan perdagangannya di pasar ini, bahkan banyak di kalangan Sahabat yang dahulunya merupakan pedagang sukses di Mekah seperti Abdurrahman bin 'Auf yang awalnya terpaksa berdagang di pasar ini juga terkendala oleh para pedagang dan pengelola pasar yang yahudi ini.

Itulah sebabnya kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam memutuskan untuk menyiapkan pasar bagi kaum Muslimin. Karakter atau aturan dari pasar bagi kaum Muslimin ini berdasarkan hadits tersebut diatas ada dua yaitu : "fala yuntaqashanna" dan “fala yudhrabanna”. Sulit mencari terjemahannya yang pas dalam bahasa Indonesia, tetapi kurang lebih yang pertama berarti “jangan mencuranginya , mengurangi timbangan, mempersempit (mendirikan bangunan di dalamnya, membatasi akses orang lain) dan berbagai kecurangan lainnya”.  Yang kedua berarti “jangan membebaninya (dengan pajak dan sejenisnya)”.

Penafsiran hadits ini diperkuat oleh apa yang dilakukan Umar Ibn Khattab ketika menjadi Muhtasib (pengawas pasar) menggantikan peran Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam, Umar melarang orang membangun bangunan di pasar, menandai tempatnya, atau mempersempit jalan masuk ke pasar. Bahkan dengan tongkatnya Umar  menyeru “enyahlah dari jalan” kepada orang-orang yang menghalangi orang lain masuk ke pasar. Kemudian Umar mempertegas dasar-dasar pengelolaan pasar bagi kaum muslimin ini dengan pernyataannya yang terkenal “Pasar itu menganut ketentuan masjid, barang siapa datang terlebih dahulu di satu tempat duduk, maka tempat itu untuknya sampai dia berdiri dari situ dan pulang kerumahnya atau selesai jual belinya”. Tidak ada yang meng-kapling shaf di Masjid, maka demikian pula di pasar.

Berbekal hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam dan apa yang dilakukan oleh Umar Ibn Khattab tersebut diatas yang kemudian menjadi ciri khas pasar bagi kaum muslimin yaitu kesamaan atau kebebasan akses untuk berjualan di pasar bagi seluruh kaum Muslimin (tidak dikapling oleh pihak yang mampu/kuat saja) dan tidak adanya beban-beban yang memberatkan seperti pajak dan sejenisnya; maka kinipun kita bisa meniru Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam dalam melakukan observasi ke pasar-pasar yang ada di jaman modern ini, sebelum kita tiru pula bagaimana nantinya Pasar Madinah bisa kita hidupkan kembali.

Dalam skala mikro, saya sempat melakukan observasi di pasar sekitar saya yang disebut pasar Modern atau Mal dan juga pasar ‘Kaget’ yang muncul setiap hari Ahad. Di mal yang saya kunjungi misalnya, saya mau menyewa salah satu unit yang kiranya cocok untuk jualan pakaian yang diproduksi anak perempuan saya. Ini mal bukan di pusat kota Jakarta, ini mal di kota-kota pinggiran Jakarta. Yang mengejutkan saya adalah biaya sewa rata-rata yang diatas Rp 320,000/m2 per bulan (termasuk service charge). Kalau anak perempuan saya membutuhkan tempat sekitar 60 m2 untuk berjualan misalnya, maka dibutuhkan uang sewa sekitar Rp 19.2 juta per bulan atau Rp 230 juta/tahun ! – siapa pemula yang kuat membayarnya ?.

Dari mahalnya biaya sewa untuk tempat seperti ini, bisa kita bayangkan – bagaimana kita bisa mengangkat ekonomi umat kebanyakan seperti kita – bila untuk berdagang di tempat yang layak saja kita harus kaya dahulu, sehingga mampu menyewa tempat-tempat tersebut ?.

Seandainya toh kita punya uang untuk menyewanya; belum tentu kita bisa menyewanya pula oleh kendala yang lain lagi yang sangat pro orang kaya/pengusaha besar. Di lain kesempatan saya datang ke mal yang sama; melihat unit-unit di lantai dasar di deretan restoran dengan nama besar – franchise internasional – masih ada beberapa yang kosong (sampai hari ini juga masih kosong) , saya mencoba menyewa tempat tersebut untuk exercise project restaurant dari program Pesantren Wirausaha Daarul Muttaqiin; apa yang dikatakan oleh sales girl dari mal tersebut ke saya sungguh mengusik saya – dia bilang tempat di prime area di deretan restaurant franchise internasional tersebut – hanya diperuntukkan bagi restaurant-restaurant yang sudah punya nama besar.  Ketika dia bertanya ke saya di mana saja out let restaurant yang sudah saya punya – maka tentu saja saya belum punya; ini justru baru belajar untuk yang pertama.

Kemudian saya lihat ada peluang lain, yaitu di pasar kaget yang muncul setiap hari Ahad tidak jauh dari rumah saya; saya mencoba ngajari pegawai laki-laki saya agar mampu meningkatkan taraf hidup dengan berjualan di pasar kaget tersebut. Dia pandai berjualan, hanya dengan berdiri di pasar kaget tersebut dia bisa berjualan banyak produk. Namun ketika saya minta dia mencari tempat yang agak baik dan leluasa sehingga bisa jualan dagangan yang lebih banyak lagi, ternyata apa yang terjadi ?, semua tempat sudah di ‘kapling’ oleh masing-masing pedagang. Jadi di pasar kaget sekalipun akses pasar ini tidak leluasa karena telah melembaganya system ‘kapling’ – yang entah duitnya lari kemana.

Seperti halnya kendala dalam skala mikro; skala makro di perdagangan global – masalahnya kurang lebih sama. Negara yang miskin sulit sekali menyaingi negara-negara yang lebih dahulu mapan, karena tanpa kita sadari negara-negara kaya tersebut juga telah meng-kapling pasarnya masing-masing. Bahkan dengan canggihnya mereka mampu mengkapling otak kita agar pro dengan produk-produk mereka – bukan produk kita sendiri.

Setelah 65 tahun merdeka misalnya, kita masih meng-impor 99.5% kapas untuk industri tekstil dalam negeri. Mengapa demikian ?, Karena pikiran kita sudah ‘dikapling’ oleh mereka bahwa bahan alami tekstil ya kapas. Meskipun negeri ini tidak bisa memproduksi kapas sekalipun (hanya 0.5 % saja dari kebutuhan yang bisa kita hasilkan sendiri) – ya pokoknya harus kapas, harus impor hampir keseluruhannya-pun jadilah asal dapat kapas !.

Seandainya saja kita bisa berpikir out of the box sejak awal kemerdekaan, bahwa untuk bahan alami tekstil adalah serat; tetapi serat tidak harus kapas. Maka berbagi riset dan pengembangan di negeri ini insyaAllah sudah akan menghasilkan bahan alami tekstil yang bahkan lebih baik dari kapas karena mendekati serat sutra – kita bisa gunakan serat gedebog pisang misalnya.

Contoh lain adalah impor tepung terigu atau gandum yang mencapai 100% darti kebutuhan negeri ini, lha wong gandum tidak tumbuh di isini. Memang para pakar kita sedang mengupayakan agar gandum (yang sesungguhnya merupakan tanaman sub-tropis) bisa ditanam di negeri tropis kita ini dengan belajar dari India dan membawa bibit hard wheat yang konon bisa tumbuh di daerah-daerah tertentu di Indonesia dengan ketinggian diatas 800 m dari permukaan laut; namun pertanyaannya adalah mengapa harus bersusah payah dengan  gandum  yang aslinya adalah tanaman sub-tropis?. Lantas dimana makanan asli bangsa ini yang dahulu kita pelajari di SD  bahwa selain makan nasi dari beras, bangsa ini punya sumber bahan pangan lain seperti tepung gaplek, sagu, jagung,  dan sumber tepung yang tidak kalah enaknya dibandingkan dengan terigu seperti tepung garut atau arerut. Bahkan di jaman ini juga banyak potensi lain untuk menggantikan terigu (minimal sebagiannya) seperti MOCAF (Modified Cassava flour), tepung pisang dlsb. ?.

Kita tidak swasembada dalam kebutuhan kapas dan gandum dalam contoh diatas; karena memang oleh para pemasar global kita telah dijadikan pasar raksasa yang sudah terlalu lama mereka nikmati – mereka tentu tidak ingin kita bisa menggantikan dua kebutuhan tersebut diatas dengan hasil karya kita sendiri.

Wal hasil, secara mikro maupun makro – umat Islam yang penduduknya mayoritas di negeri ini hanya menjadi target pasar bagi sebagian kecil penduduk yang bisa mengakses pasar; dan dalam perdagangan global kitapun hanya dijadikan target yang bahkan selama 65 tahun merdeka belum sempat berpikir lain untuk bisa swasembada dalam beberapa kebutuhan hajat hidup  seperti kapas dan gandum tersebut diatas.

Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam melihat pasar-pasar yang ada di jaman kita sekarang,  baik yang mikro maupun yang makro , maka kemungkinan besarnya beliau akan bersabda yang sama “Pasar Kalian Tidak Seperti Ini…”; namun beliau tidak ada di sekitar kita, dan nampaknya belum ada pemimpin negeri ini dari tingkat pusat mapun daerah yang peduli terhadap kebutuhan kaum Muslimin untuk memiliki pasar sendiri sebagaimana pedulinya Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam terhadap umatnya – maka siapa lagi yang bisa membangun pasar bagi kaum Muslimin ini selain kita-kita sendiri ?.

Untuk itulah gagasan mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam dalam pendirian pasar ini terus kami gulirkan dan sosialisaikan di berbagai kalangan. Lumayan banyak yang mulai tertarik untuk ikut memikirkannya dan siap berkontribusi dalam project Pasar Madinah yang kami canangkan. Bagi Anda yang tertarik bergabung dalam acara vision sharing project ini dapat pula joint di event tanggal 25 September 2010 ini yang sudah kami umumkan sebelumnya di event facebook GeraiDinar. Dengan Collective Intelligence kita bersama, insyallah bisa kita pecahkan dan implementasikan prinsip-prinsip "fala yuntaqashanna" ,  “fala yudhrabanna” dan pengelolaan pasar yang mengikuti ketentuan pengelolaan masjid – yang paling sesuai dan applicable di zaman modern ini.

Sambil kita berusaha melahirkan kembali Pasar Madinah yang diharapkan bisa memberi peluang luas bagi penduduk mayoritas negeri ini untuk bisa berdagang dan mentas dari kemiskinan, bagi yang sudah mampu berdagang di berbagai pasar yang ada juga tidak perlu menunggu lahirnya Pasar Madinah untuk berdagang secara maksimal dengan menerapkan nilai-nilai Islam dalam meraih kejayaan ekonomi umat.  Untuk inipun kita bisa belajar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam dengan para sahabatnya.

Dalam Shahih Bukhari Ibnu ‘Abbas Radliallahu ‘Anhuma berkata : “ Ukazh, Majannah dan Dzul Majaz adalah nama-nama pasar di jaman Jahilliah. Ketika Islam datang mereka (kaum muslimin) seakan-akan merasa berdosa bila tetap berdagang di pasar-pasar tersebut. Maka turunlah firman Allah Ta’ala di Al Qur’an surah Al –Baqarah ayat 198 : ‘Tidak ada dosa bagi kalian  jika mencari rizki Rabb kalian...’ Ini dilakukan selama musim haji, menurut Ibnu ‘Abbas Radliallahu ‘Anhuma.”

Sudah barang tentu berdagang di pasar yang tidak dikelola secara Islami akan dijumpai banyak kendala bagi kaum Muslimin yang berusaha menerapkan syariah dalam bermuamalah di pasar-pasar tersebut, oleh karenanya upaya untuk melahirkan kembali nilai-nilai dan system pengelolaan Pasar Madinah perlu ada yang merintisnya.  Setidaknya upaya ini kita mulai, biarlah Allah sendiri yang menuntunnya sampai kemana hasilnya kelak.

Semoga kelak kitapun bisa meniru Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam dalam berucap kepada saudara-saudara kita kaum Muslimin : “….Inilah pasar kalian, maka janganlah dikurangi (hak dan timbangan, atau berlaku curang) dan janganlah dibebani dengan pajak”. Amin

http://geraidinar.com/index.php?option=com_content&view=article&id=481:pasar-kalian-tidak-seperti-ini&catid=34:enterpreneurship&Itemid=86 

Pengungkit Mobilitas Vertikal Massal Bernama Pasar...

Dalam tulisan saya tanggal 8 Juli 2010 lalu saya sudah meng-ulas cara kerja tuas atau pengungkit yang kita pelajari sejak SMP. Sekarang kita akan menggunakan pengungkit tersebut untuk mengangkat beban yang sangat berat di negeri ini – yaitu beban kemiskinan. Setelah 65 tahun merdeka ternyata rata-rata penduduk negeri ini  belum berhasil melampaui garis pembatas kemiskinan hakiki yaitu nishab zakat, bahkan ada kecenderungan memburuk dalam sepuluh tahun terakhir.

Sebelumnya saya jelaskan dahulu apa yang saya maksud dengan mobilitas vertikal atau vertical mobility ini. Mobilitas vertikal yang saya maksud dalam tulisan ini intinya adalah pergerakan status sosial seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat, atau juga disebut social mobility tetapi saya fokuskan yang bersifat vertikal. Lebih khusus lagi adalah dalam hal kemakmuran yang dapat diukur dengan pendapatan per kapita dlsb.

Dari masa ke masa memang terjadi mobilitas vertikal ini bagi sekelompok orang di negeri ini. Ketika saya kecil tahun 1970-an misalnya, pendorong utama mobilitas vertikal di negeri ini adalah pendidikan. Ketika satu demi satu kakak-kakak saya menyelesaikan pendidikan sarjananya, maka spontan kehidupan kami di kampung meningkat drastis. Para insinyur dan dokter yang lulus pada tahun-tahun tersebut seolah memiliki jaminan pekerjaan yang bagus dan gaji yang sangat memadai, sehingga mampu mengangkat taraf hidup bukan hanya dirinya sendiri – tetapi juga taraf hidup keluarga besarnya.

Tiga puluh tahun kemudian, pendidikan ini tidak lagi cukup untuk menjadi pengungkit mobilitas vertikal bagi yang mengenyamnya. Tidak sulit untuk menemukan sarjana menganggur kini dari bidang pendidikan apapun di negeri ini, karena jumlah mereka yang berjibun. Bukan berarti pendidikan tidak lagi penting, tetapi pendidikan saja tidaklah cukup, harus ada effort lain yang bersifat internal maupun eksternal.

Sejak era reformasi pasca pemilu 1999 ada bentuk baru mobilitas vertikal di negeri ini yang dinikmati oleh segelintir elit politik dari pusat sampai daerah. Sudah menjadi pengetahuan umum kini bahwa menjadi politikus apalagi yang berhasil menduduki posisi anggota legislative atau eksekutif dari tingkat pusat maupun daerah,  adalah cara tercepat untuk meningkatkan status sosial selama dasawarsa terakhir - setelah Indonesia melaksanakan tiga kali pemilu dengan jumlah partai yang banyak.

Di sebuah sekolah yang gerbangnya berhadapan dengan gerbang komplek rumah saya misalnya; kini sangat banyak mobil-mobil kelas mewah berseliweran setiap pagi dan sore karena antar jemput murid-murid sekolah tersebut. Berbeda dengan sekolah elit di Jakarta Selatan yang di dominasi anak-anak pengusaha dan para professional, kemewahan yang nampak dari mobil antar jemput sekolah yang kini menjadi elit dekat rumah saya tersebut didominasi oleh anak-anak para politikus.

Bila pendidikan tinggi bisa menjadi pengungkit mobilitas vertikal sejumlah besar penduduk negeri ini 3 - 4 dasawarsa lalu, kini pendidikan tingga saja nampaknya belum cukup untuk mengangkat status sosial secara massal. Jalur lain seperti jalur politik tersebut diatas memang efektif, tetapi pintu yang satu ini sangat sempit dan hanya bisa dilalui oleh segelintir orang saja.

Lantas apa pintu yang luas, yang bisa menjadi pengungkit mobilitas vertikal bagi sebagian terbesar penduduk negeri ini ?. Jawabannya sekali lagi adalah mengikuti sunnah Uswatun Hasanah kita, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam yang kemudian dilanjutkan oleh para Khulafa ur Rasyidin dan para Khalifah sesudahnya. Yaitu antara lain  membuka pasar yang didalamnya umat ini memiliki kesempatan yang sama untuk berjual beli, pasar yang tidak dibebani biaya mahal bagi yang ingin mulai berdagang didalamnya, dan pasar yang pengelolaannya mengikuti pengelolaan masjid, pasar yang kemudian juga kita sebut sebagai Pasar Madinah.

Bagaimana kita yakin kalau pasar (dalam pengertian fisik maupun system) yang adil inilah yang dapat menjadi pengungkit kemakmuran secara massal bagi penduduk negeri ini ?. Ada dua bukti yang meyakinkan untuk ini yaitu yang pertama bukti sejarah, dimana di awal perkembangannya Islam sangat cepat membangun kemakmuran antara lain karena pemimpinnya saat itu secara langsung membuatkan pasar untuk umatnya. Bukti pertama ini tidak bisa dibantah karena keberadaannya begitu banyak tertulis baik dalam hadits maupun kitab-kitab syirah yang terpercaya.

Yang kedua adalah bukti empiris di jaman ini; mengapa misalnya China begitu kuat ekonominya di jaman ini, karena mereka menguasai begitu banyak pasar secara global – baik  untuk produk-produk yang sederhana yang ada di kaki-kaki lima; sampai produk berteknologi tinggi untuk mesin-mesin industri.

Jadi peluang terbesar bagi penduduk negeri ini untuk bisa rame-rame bergerak keatas meningkatkan taraf hidup adalah bila kita buka seluasnya pasar ini. Agar setiap orang bisa berdagang atau berniaga yang merupakan sembilan dari sepuluh pintu rizki, agar bukan hanya yang kaya atau yang kuat yang bisa berdagang – tetapi semua orang harus berkesempatan yang sama untuk bisa berdagang.

Lantas bagaimana agar gagasan menghidupkan kembali Pasar Madinah ini tidak hanya berhenti di gagasan atau wacana, tetapi dapat menjadi realita ?.  Menurut saya salah satu langkahnya (banyak langkah lain)  adalah dengan mengelola collective intelligence dari kita semua yang tertarik atau berminat pada project social business ini.

Alhamdulillah waktu kami melakukan test the water dengan berbagai pihak, rata-rata respon terhadap project ini cukup positif,  dan bahkan pada acara vision sharing yang kami gelar di Cibubur akhir pekan lalu yang hadir melebihi target kami. Maka kami-pun optimis bahwa bila ada yang carry the ball (menindak lanjutinya tahap demi tahap) project ini – insyaallah akan bisa benar-benar terwujud.

Agar benar-benar ada yang menindak lanjuti project ini secara mumpuni, diperlukan team dan organisasi yang kuat yang melibatkan banyak resources. Lantas dalam bentuk apa team atau organisasi tersebut kita bentuk ?, Koperasi-lah yang menurut kami merupakan badan hukum kontemporer yang paling dekat dengan prinsip persamaan hak dan kewajiban dari sejumlah besar anggota  – yang nantinya akan dibutuhkan dalam pengelolaan Pasar Madinah ini.
Maka dalam waktu dekat ini insyaallah kami-pun akan membentuk koperasi yang melibatkan semua pihak yang ingin terlibat dalam project ini. Koperasi ini pula yang dahulu konon digagas para pendiri negeri ini untuk menjadi soko guru perekonomian; maka kini insyaAllah akan kita wujudkan dengan memberi nilai-nilai dari syariat Islam untuk pengelolaan pasar ini.

Bagi Anda yang tertarik untuk terlibat di project ini lebih lanjut, dalam kapasitas apapun – silahkan bergabung dalam Group Pasar Madinah yang telah kami siapkan di facebook dari situs ini.

Semoga Allah memudahkan langkah kita untuk amal shaleh yang diridloiNya.

Oleh Muhaimin Iqbal  
http://geraidinar.com/index.php?option=com_content&view=article&id=488:pengungkit-mobilitas-vertikal-masal-bernama-pasar&catid=39:ekonomi-makro&Itemid=88

No comments:

Post a Comment