Harus diyakini oleh setiap muslim, bahwa lafaz-lafaz dzikir dan do’a yang shahih diajarkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam adalah wahyu yang turun dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Sehingga harus diyakini pula bahwa lafaz-lafaz tersebut akan terjaga keasliannya dari berbagai macam perubahan sampai hari kiamat.
Para sahabat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan orang-orang yang mengikuti sahabat dari kalangan Taabi’iin dan Taabi’ut Tabi’iin serta para Imam yang empat, mereka semua telah berjihad dengan segenap usaha untuk menjaga keaslian lafaz-lafaz dzikir dan do’a yang datang dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam. Karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam telah bersabda:
نَضَّرَ اللهُ عَبْدًا سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا، ثُمَّ أَدَّاهَا إِلَى مَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا
“Semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala memberikan cahaya bagi seorang hamba yang mendengar sabdaku kemudian dia membawanya dan menghafalkannya, lalu menyampaikannya kepada orang-orang yang belum mendengarnya.” [al-Musnad: 1/437, 4/80, Jaami'ut Tirmidzi no. 2657, Sunan Ibnu Majah no. 232, di-shahihkan oleh al-'Allamah al-Albani dalam Shahiihul Jaami' no. 6766]LAFAZ NUBUWWAH, TAUQIFIYYAH
Kemudian melalui risalah singkat ini, kami hendak memaparkan bagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam sangat menekankan lafaz-lafaz yang beliau ajarkan dan betapa tingginya semangat para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dalam usaha menjaga lafaz-lafaz do’a dan dzikir yang diajarkan kepada mereka.
Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu anhu:
أَنَّ رَسُوْلُ الله كَانَ يُعَلِّمُهُمْ هَذَا الدُّعَاءَ كَمَا يُعَلِّمُهُمُ السُّوْرَةَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam pernah mengajarkan do’a ini (secara teliti dan fokus) persis sebagaimana (teliti dan fokusnya) beliau r dalam mengajarkan satu surat dari surat-surat al-Qur-an (do’a tersebut adalah):اللّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّم، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ
‘(artinya) Wahai Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari adzab neraka Jahannam, aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah al-Masiih ad-Dajjaal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian.” [Shahih Muslim no. 590]Demikian pula ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam mengajarkan do’a istikhoroh kepada para sahabatnya. Jabir bin ‘Abdillah Radhiallahu anhu menceritakan: “Dulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam mengajarkan kami (para sahabat) do’a istikhoroh sebagaimana beliau Shalallahu ‘alaihi wasalam mengajarkan kami satu surat dari al-Qur-an.” [Shahih Bukhari no. 1162]
al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani dalam Fathul Baari (11/184) menukil ucapan Ibnu Abi Jamroh yang menjelaskan; “bahwa yang dimaksud dengan penyerupaan para Sahabat perihal metode Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dalam mengajarkan do’a, persis sebagaimana beliau mengajarkan al-Qur-aan, adalah dalam hal menjaga huruf-hurufnya, susunan kalimatnya, dan larangan dari menambah ataupun mengurangi do’a tersebut (sebagaimana kita tidak boleh merubah huruf dan susunan kalimat ayat al-Qur-aan)…..[dinukil dari Fiqhul Ad’iyati wal Adzkaar hal. 341]
Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr mengatakan dalam kitabnya Fiqhul Ad’iyati wal Adzkaar (hal. 340):
“(lafaz-lafaz do’a dan dzikir tersebut) telah dipilih oleh Allah untuk Nabi-Nya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasalam, dan Allah telah mengajarkannya kepada beliau Shalallahu ‘alaihi wasalam. Maka beliaupun mempelajarinya dan mengamalkannya dengan sempurna, serta menyampaikannya kepada ummat beliau secara jelas. Kemudian para Sahabat beliau yang mulia, mempelajarinya dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam secara talqin, dengan sebaik-baik talqin. Mereka bersungguh-sungguh dalam mengamalkannya dan memakmurkan waktu dengannya. Kemudian mereka menyampaikannya kepada orang-orang setelah mereka secara sempurna dengan huruf-huruf dan lafaz-lafaznya… ”
DALIL-DALIL DARI SUNNAH
Abu Bakar ash-Shiddiq t pernah berkata kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam:
عَلِّمْنِيْ دُعَاءً أَدْعُوْ بِهِ فِيْ صَلاَتِيْ
“Ajarkanlah aku (wahai Rasulullah r) satu do’a yang aku berdo’a dengannya dalam sholatku.”Lihatlah! Bahkan pembesar sahabat seperti Abu Bakar ash-Shiddiq t juga mendatangi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam secara khusus demi meminta untuk diajarkan lafaz-lafaz do’a dari beliau Shalallahu ‘alaihi wasalam. Padahal seluruh ulama sepakat bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiallahu anhu adalah Wali Allah yang paling berilmu dan paling tinggi maqam-nya setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam.
Sangat mungkin bagi Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiallahu anhu untuk mengarang untaian bait-bait do’a dan dzikir dengan bahasa yang indah, namun itu tidak beliau lakukan, karena meyakini bahwa lafaz do’a yang bersumber dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam adalah yang terbaik tanpa ada tandingannya karena bersumber langsung dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala.
Lalu apa yang diajarkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq? Beliau mengajarkan do’a yang ringkas namun nilainya jauh lebih besar di sisi Allah daripada sya’ir-sya’ir do’a buatan manusia yang panjangnya sampai ratusan baris. Do’a tersebut adalah:
اللَّهُمَّ إنِّيْ ظَلَـمْتُ نَفْسـِيْ ظُلْمًا كَثِيْرًا وَلاَ يَغْفِـرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِيْ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِيْ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku dengan kezhaliman yang banyak, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka ampunilah aku, maghfirah datang dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku, sesugguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” [Shahih Bukhari no. 834, Shahih Muslim no. 2705]al-Barraa’ bin ‘Aazib menceritakan bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam pernah besabda kepadanya sebagaimana termaktub dalam Shahih Bukhari (no. 247) dan Shahih Muslim (no. 2710) :
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وَضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الأَيْمَنِ ، وَقُلِ اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِى إِلَيْكَ ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِى إِلَيْكَ ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِى إِلَيْكَ ، رَهْبَةً وَرَغْبَةً إِلَيْكَ ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِى أَنْزَلْتَ ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ . فَإِنْ مُتَّ مُتَّ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُولُ » فَقُلْتُ أَسْتَذْكِرُهُنَّ وَبِرَسُولِكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ. قَالَ « لاَ ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ »
”Jika engkau hendak tidur, maka wudhu-lah terlebih dahulu sebagaimana engkau ber-wudhu untuk sholat. Kemudian berbaringlah dengan sisi tubuhmu yang kanan, dan ucapkanlah (do’a yang artinya)
‘Ya Allah, aku menyerahkan jiwaku kepada-Mu, dan aku limpahkan urusanku kepada-Mu, dan aku sandarkan kembali punggungku (bertawakkal) kepada-Mu, dengan penuh harap dan cemas pada-Mu, tidak ada tempat bersandar dan tidak pula tempat keselamatan dari (adzab)-Mu kecuali hanya pada-Mu. Aku beriman dengan kitab-Mu yang Engkau turunkan, dan dengan Nabi-Mu yang Engkau utus.’
Jika engkau (wahai Barraa’) diwafatkan pada malam tersebut, maka (sungguh) engkau diwafatkan di atas fitrah. Maka jadikanlah do’a tersebut sebagai kalimat terakhir yang engkau ucapkan (sebelum tidur).
Maka aku berkata, ‘Aku akan mengucapkannya dengan lafaz (وَبِرَسُولِكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ). Lantas Nabi (melarang) seraya mengatakan, ‘Tidak, akan tetapi ucapkan (وَبِنَبِيِّكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ).”
al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani menjelaskan dalam Fathul Baari (11/112), bahwasanya penolakan Nabi r terhadap al-Barraa’ yang hendak mengganti lafaz (وَبِنَبِيِّكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ) dengan lafaz (وَبِرَسُولِكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ), menunjukkan bahwa lafaz do’a tersebut bersifat tauqifiyyah (bersumber dari wahyu). Maka wajib untuk menjaga lafaz-lafaznya sebagaimana lafaz yang datang dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam.
al-Barraa’ tidaklah meniatkan perubahan lafaz tersebut kecuali kebaikan. Dalam benaknya, akan lebih pantas jika kata “wabi-Nabiyyika” diganti dengan kata “wabi-Rasuulika”, karena setiap Rasul sudah pasti seorang Nabi, dan tidak setiap Nabi adalah Rasul, inilah yang lebih pantas untuk memuliakan Rasulullah menurut benaknya. Akan tetapi dalam lafaz do’a tersebut terdapat banyak rahasia dan hikmah yang mendalam, salah satunya adalah sebagai ujian bagi kita, apakah kita benar-benar jujur, dan tulus dalam berkomitmen mengikuti (ittiba’) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam.
BAGAIMANA SIKAP PARA SALAF?
Imam at-Tirmidzi dan al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu anhu bahwasanya beliau pernah mendengar seseorang bersin, lantas orang tersebut membaca tahmid dengan tambahan shalawat setelahnya:
الْحَمْدُ لله وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ
Lantas Ibnu Umar Radhiallahu anhu menegur orang tersebut dengan ucapannya:مَا هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُوْلُ اللهِ، بَلْ قَالَ: إذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَـحْمَدِ اللهِ، وَلَـمْ يَقُلْ: وَلْـيُصَلِّ عَلَـى رَسُوْلُ اللهِ
“Bukan demikian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam, mengajarkan kami. Akan tetapi beliau bersabda: ‘Jika salah seorang di antara kalian bersin, maka ucapkanlah Alhamdulillaah. Beliau Shalallahu ‘alaihi wasalam tidak mengatakan: ‘dan ber-shalawat-lah kepada Rasulullaah Shalallahu ‘alaihi wasalam’” [Shahih, Irwaa-ul Gahliil: 3/245, dinukil dari Fiqhul Ad’iyati wal Adzkaar hal. 343]SEDERHANA DALAM DO’A, NAMUN MENCAKUP SEMUA
Do’a yang terbaik di mata sunnah adalah do’a yang lafaznya datang dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam, sederhana, namun mencakup semua hajat hamba.
Diriwayatkan bahwasanya Abdullah bin Mughaffal t pernah mendengar anaknya berdo’a: “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu istana putih di sisi kanan surga, jika masuk ke dalamnya”
Maka Abdullah bin Mughaffal t berkata: “Wahai anakku, (cukup bagimu) minta kepada Allah surga, dan berlindunglah kepada-Nya dari neraka (jangan mengada-ngada dalam do’a), karena aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
سَيَكُوْنُ فِيْ هَذِهِ الأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُّوْنَ فِيْ الطُّهُوْرِ وَالدُّعَاءِ
“Akan ada pada ummat ini suatu kaum yang melampaui batas dalam berdo’a dan bersuci.” (Shahih, lih. Shahih Abu Dawud no. 87, dinukil dari Fiqhul Ad’iyati wal Adzkaar hal. 344)
***
Disarikan oleh Redaksi dari: Karya tulis: Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr
Judul: Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar (2/340-344),
Cetakan Wakaf Syaikh Ibrahim ibn Hamd al-Waqish
Tahun 1423 H
http://alhujjah.com/wp/?p=81
No comments:
Post a Comment