Banyak Anak, Siapa Takut?

Keluarga berencana kembali digencarkan. Paranoid pada generasi Islam?

Belakangan ini program pembatasan angka kelahiran kembali digalakkan. Alasannya, untuk memperbaiki kualitas hidup, meningkatkan kesejahteraan dan menjamin kecukupan sumber daya alam bagi seluruh umat manusia.


Di Indonesia, program Keluarga Berencana (KB) yang digeber sejak 1970-an, pernah sukses besar di era Orde Baru, hingga menekan angka kelahiran sampai 2,6 anak per wanita. Berbagai penghargaan dunia disematkan atas keberhasilan ini. Namun, angka 2,6 dinilai masih belum ideal. Dengan slogan “dua anak cukup, laki-laki dan perempuan sama saja,” keluarga-keluarga Indonesia kembali dipaksa mengikuti proyek mematikan ini. Ada apa?

Rekayasa Keji

KB di Indonesia, merupakan salah satu agenda internasional dalam mengendalikan populasi. Ini setelah Indonesia meratifikasi hasil International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo 1994. Salah satu agenda penting itu adalah pengendalian jumlah penduduk.
Sejak 1970-an, proyek ini terus berjalan. Program KB dikemas dengan tujuan seolah-olah mulia, yakni meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan keluarga. Logikanya, dengan semakin beratnya beban ekonomi saat ini, jumlah anak yang sedikit akan lebih terjamin kesejahteraannya dibanding banyak anak.

Argumen tersebut berangkat dari Teori Malthus yang dianggap sebagai bapak kependudukan oleh Barat. Dikatakannya, pertumbuhan pangan ibarat deret hitung, sementara pertumbuhan penduduk ibarat deret ukur. Artinya, pertumbuhan penduduk jauh lebih banyak dibanding pertumbuhan pangan. Sehingga, jika pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan maka akan terjadi ledakan penduduk di mana jumlah pangan yang ada tidak akan mencukupi untuk seluruh umat manusia.

Ketika teori menyesatkan ini diterapkan di Barat, dampaknya sungguh membahayakan. Problem sosial muncul, berupa rendahnya angka fertilitas dan tingginya penduduk usia tua. Negara Barat terancam kekurangan SDM usia produktif karena rendahnya angka kelahiran generasi penerus. Fenomena ini terjadi di Jerman, Italia, dan Spanyol. Bahkan di Asia terjadi di Korea dan Jepang.

Di sisi lain, karena kekurangan SDM produktif, negeri-negeri Barat akhir-akhir ini diserbu imigran dari negeri-negeri Islam, khususnya Timur Tengah. Kaum imigran Muslim ini menjadi pemasok terbesar bagi tenaga kerja di sana. Kehadiran imigran dengan ajaran Islamnya, sangat mengkhawatirkan Barat. Terlebih dengan banyaknya generasi yang mereka lahirkan. Bukan tidak mungkin, 10, 20 atau 30 tahun ke depan, pemegang kendali perekonomian di Barat akan jatuh ke tangan para imigran Muslim ini. Hal itu bisa terjadi jika proses regenerasi di Barat tidak menunjukkan perbaikan.

Ini bukan masalah remeh bagi Barat, melainkan ancaman besar. Barat pun menyadari bahwa pengendalian penduduk adalah langkah keliru. Kini, mereka justru mendorong para wanita agar mau hamil dan melahirkan. Iming-iming fasilitas menggiurkan diberikan agar angka natalitas kembali menggeliat.

Sebaliknya, rekayasa pengendalian ledakan penduduk dialihkan sasarannya menuju negara-negara dunia ketiga (baca: Muslim). Tujuan sesungguhnya adalah: menghentikan ledakan penduduk Muslim.

Pentingnya Regenerasi

Proses regenerasi adalah faktor terpenting bagi eksistensi sebuah keluarga, suku, komunitas, negara dan bahkan sebuah peradaban. Jika proses regenerasi terhenti, yang terjadi adalah hilangnya sebuah keluarga, suku, negara dan bahkan peradaban itu.

Karena itu, Islam sangat memikirkan proses regenerasi ini dengan sudut pandang jauh ke depan. Pasalnya, pentingnya regenerasi bukan hanya demi eksistensi sebuah keluarga, namun juga demi eksistensi sebuah masyarakat Muslim, negeri Islam dan bahkan eksistensi ajaran Islam itu sendiri. Maka, tak heran bila Rasulullah Saw mengajarkan agar umatnya memperbanyak keturunan, termasuk melalui jalan poligami. Juga, menganjurkan kaum laki-laki untuk menikahi wanita yang subur.

Sementara dalam skala negara, masalah regenerasi ini menjadi lebih penting lagi. Sebuah negara yang tidak memikirkan proses regenerasi bisa terancam punah. Spanyol misalnya, salah satu negeri yang terancam 'punah'. Tingkat kelahiran bayi termasuk yang paling rendah di dunia. Rata-rata angka kelahiran perempuan Spanyol adalah 1,12. Jika dari waktu- ke waktu tidak ada bayi lahir di sana, maka dalam jangka panjang penduduk negeri itu akan habis. Peradaban Spanyol pun sudah dipastikan akan lenyap. Hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil.

Karena itu, regenerasi sangat penting. Keluarga Muslim jangan khawatir ketika memiliki banyak anak. Sebab, masing-masing anak digariskan rezekinya oleh Allah SWT. Tak ada alasan enggan punya anak karena takut tak bisa menghidupi. Termasuk, takut anaknya tak bisa sejahtera sehingga mengajak anak-anak bunuh diri seperti akhir-akhir ini dilakukan ibu-ibu yang stres karena tekanan ekonomi.

Bisa kita bandingkan, di negeri-negeri Islam, keluarga-keluarga Muslim dengan banyak anak dapat hidup layak. Contohnya di Afghanistan, Palestina, Iran dan bahkan di Malaysia, ada laki-laki punya 10-20 anak yang dilahirkan dari para istrinya. Hal itu bukanlah hal yang aneh. Bagi mereka, apa yang dilakukan itu adalah mengikuti sunnah Rasulullah SAW yang bangga akan banyaknya jumlah umat Muslim.

Dan, kendati punya anak banyak dan tinggal di negeri konflik, mereka bisa tetap hidup. Tentu hal ini karena keyakinan bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah. Asumsi bahwa banyaknya anak akan mengurangi kualitas hidup, gugur dengan realitas ini.

Itu pula rahasia mengapa umat Islam di negeri-negeri konflik tak pernah habis. Lihat saja, Palestina yang pada 2002 berpenduduk 4,9 juta jiwa, hanya kalah sedikit dibanding jumlah penduduk Israel sekitar 5,1 juta jiwa. Padahal, sejak tanah kelahirannya dirampas 1948, sudah jutaan nyawa warga Palestina melayang.

Mengapa Israel tak pernah bisa menghabisi penduduk Palestina? Seperti pepatah mati satu tumbuh seribu, hal itu dikarenakan regenerasi di Palestina berlangsung cepat. Janda-janda korban perang, dinikahi para mujahidin lain hingga melahirkan banyak keturunan sebagai calon pewaris perjuangan.

Tak heran bila Kantor Pusat Data dan Statistik Palestina memprediksikan, jumlah penduduk Palestina akan mengalahkan Israel sebentar lagi. Pada 2010 jumlah penduduk diperkirakan meningkat hingga 6,2 juta jiwa dan pada 2020 mencapai 8,2 juta jiwa. Sementara jumlah warga Yahudi diperkirakan hanya sekitar 5,7 juta orang pada 2010 dan 6,4 juta jiwa pada 2020. Perbandingan demografi ini sangat mengkhawatirkan Zionis. Merekapun ramai-ramai memberi hadiah kepada kaum wanita Israel yang mau melahirkan anak banyak. Jadi, selain perang fisik, perang demografi pun terus berkecamuk di sana.

Khatimah

Allah SWT menciptakan sumber kekayaan alam lebih dari cukup untuk seluruh penduduk dunia. Keserakahan segelintir manusia, tidak meratanya distribusi kekayaan dan pengelolaan sumber daya alam yang salah adalah sumber ketidak-adilan dan ketidaksejahteraan. Seluruh individu manusia seharusnya sejahtera, jika sumber kekayaan alam dikelola penuh amanah. Sebagaimana ketika Khalifah Umar bin Abdul Azis berkuasa, tak ada satupun umat yang berhak menerima zakat. Subhanallah, itulah yang harusnya terwujud. Jadi, pengendalian polulasi hanyalah ide keji akibat ketamakan kaum kapitalis yang paranoid atas kebangkitan Islam dan umatnya.[] kholda naajiyah

No comments:

Post a Comment