Mengakhiri kontroversi Qunut Subuh

Apakah senantiasa berqunut subuh adalah Sunnah?  Siapakah yang mengatakan bahwa qunut termasuk Sunnah Aba’d yang ditambal dengan sujud [sahwi,pent] dan yang tidak menambalnya berarti kurang.
Apakah hadits: “Rasulullah Senantiasa berqunut hingga berpisah dengan dunia” termasuk hadits Sohih? Apakah hadits tersebut terkait qunut tersebut? Bagaimana pendapat Ulama tentang hal tersebut? Bagaimana hujjah mereka masing-masing? Jika ingin melakukan qunut nazilah apakah boleh berdoa dengan apapun yang ia inginkan?.[1]

Segala Puji bagi Rabb semesta alam.

Telah tetap dalam sohih dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam : “bahwasanya beliau berqunut selama Sebulan mengutuk bani ri’lin, dzakwan, dan Ushayyah” kemudian beliau meninggalkannya.[2] Hal itu beliau lakukan karena mereka telah membantai para Qurra dari kalangan Sahabat.

Telah tetap juga dari beliau bahwa Ia Qunut tidak beberapa lama setelah kejadian tersebut setelah perjanjian Hudaibiyah dan penaklukkan khaibar dengan mendoakan sahabat-sahabatnya yang merupakah orang-orang  lemah ketika mereka berada di Mekkah. Beliau berkata pada Qunutnya: Ya Allah selamatkanlah Al Walid bin Walid, Ayyash bin Abi Rabiah, Salamah bin Hisyam, dan orang-orang mukmin yang lemah. Ya Allah keraskanlah siksamu atas Mudhor dan jadikanlah bagi mereka kemarau seperti kemaraunya yusuf[3].

Dalam qunutnya, beliau mendoakan orang-orang mukmin dan melaknat  orang-orang kafir dan hal tersebut dilakukan ketika Sholat fajar.

Telah diriwiyatkan dalam sohih bahwa beliau juga pernah Qunut pada waktu maghrib, isya, dan zuhur. Dalam kitab sunan diriwayatkan juga bahwa beliau pernah melakukan qunut pada waktu Ashar. Hal ini menyebabkan kaum muslimin berselisih tentang qunut menjadi 3 Pendapat;

Pertama

Qunut itu mansukh. Maka tidak disyariatkan lagi karena nabi Shallallahu alaihi Wasallam pernah melakukan qunut kemudian meninggalkannya sedangkan meninggalkan itu berarti  memansukh perbuatan seperti halnya beliau pernah berdiri untuk Jenazah kemudian ia duduk maka duduknya tersebut adalah pemansukh berdiri. Inilah pendapat segolongan ulama dari penduduk iraq seperti Abu Hanifah dan lainnya

Kedua

Qunut itu disyariatkan untuk selalu dilaksanakan dan selalu melakukan qunut di waktu [sholat] fajar merupakan kesunnahan.

Sebagian dari mereka Mengatakan bahwa qunut tersebut sunnah dilakukan sebelum ruku’ setelah Qiraah secara sirr dan harus menggunakan lafadz berikut ;

اللهم إنا نستعينك إلى آخرها و اللهم إياك نعبد – إلى آخرها
Ini adalah pendapat Imam Malik.

Sebagian lagi mengatakan bahwa qunut itu sunnah dilakukan setelah ruku secara jahr. Dianjurkan juga melakukan qunut dengan doa al Hasan Bin Ali yang diriwayatkan dari nabi Shallallahu alaihi Wasallam. Yaitu[4]:
[ اللهم اهدني فيمن هديت [ إلى آخره
Sekalipun begitu kadang-kadang mereka membolehkan untuk melakukan qunut sebelum maupun sesudah ruku.

Mereka melakukan qunut dengan berhujjah pada firman Allah Taala:

حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين
Artinya: Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'(qunut). (QS al Baqarah:238)

Mereka mengatakan bahwa alwustha adalah [sholat] fajar oleh karena itu mereka melakukan qunut pada sholat tersebut. Namun kedua alasan diatas lemah.

Pendapat pertama : telah tetap berdasarkan nash-nash yang sohih dari nabi Shallallahu alaihi Wasallam bahwa wustha itu adalah sholat Ashr. Ini adalah perkara yang tidak diragukan lagi berdasarkan maksud hadits-hadits yang matsur. Oleh karena itu ulama hadits dan lainnya telah sepakat sekalipun para sahabat dan ulama memiliki beberapa pendapat. Sesungguhnya mereka berpendapat sesuai ijtihad mereka.

Pendapat kedua: Qunut itu sebenarnya merupakan senantiasa dalam ketaatan. Ini bisa dilakukan dalam keadaan sujud maupun berdiri. Allah berfirman:
أمن هو قانت آناء الليل ساجدا وقائما يحذر الآخرة
Artinya: (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat (qunut) di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri (QS al Zumar:9)

Kalaulah yang dimaksud dengan ayat diatas adalah senantiasa berdiri sebagaimana dikatakan pada Firman Allah:
يا مريماقنتي لربك واسجدي واركعي
Artinya : Hai Maryam, taatlah (qunutlah) kepada Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ (QS Ali Imran: 42)
 
Maka menafsirkan hal tersebut dengan memanjangkan berdiri untuk berdoa bukan yang lain adalah tidak boleh karena Allah memerintahkannya untuk berdiri dalam ketundukan (qunut). Perintah menuntut pewajiban sedangkan berdiri untuk berdoa yang diperselisihkan tersebut tidak wajib berdasarkan Ijma. Begitu juga berdiri ketika membaca merupakan ketundukan (qunut) kepada Allah. Telah tetap dalam sohih bahwa ketika ayat ini turun mereka memerintahkan untuk diam dan melarang untuk berbicara. Dari sini bisa diketahui bahwa diam itu justeru merupakan ketundukan (qunut) yang diperintahkan.

Diketahui bahwa hal tersebut diwajibkan pada seluruh kegiatan berdiri dan firman Allah Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’(qunut). tidak khusus untuk sholat wustha saja baik itu sholat Fajar maupun Ashar, namun terkait dengan firman Allah sebelumnya: Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Oleh karena itu perintah untuk taat (qunut) disertai dengan perintah untuk memelihara dan memelihara itu mencakup keseluruhan [sholat,pent] maka berdirinya itu juga mencakup keseluruhan [sholat, red]

Mereka juga berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad pada Musnadnya dan al Hakim pada sohihnya :

عن أبي جعفر الرازي عن الربيع بن أنس عن أنس أن النبي صلى الله عليه و سلم ما زال يقنت حتى فارق الدنيا
dari Abi Jja’far al Râzi dari Rabi’ bin Anas bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam senantiasa melakukan qunut hingga berpisah dengan dunia
 
mereka berkata pada hadits lain ثم تركه (Kemudian beliau meninggalkannya) maksudnya adalah meninggalkan untuk melaknat kabilah-kabilah tersebut bukan meninggalkan qunutnya.

Padahal, Tidak bisa ditetapkan qunut menjadi sunnah yang senantiasa dilakukan hanya dengan hadits tersebut. Pensohihan al hakim pun tidak disertai dengan penghasanan at Tirmidzi sedangkan ia banyak sekali mensohihkan  hadits-hadits Maudhu. Al hakim terkenal sebagai orang yang menggampangkan dalam tashih dan hadits ini tidak mengkhususkan qunut sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Ia berkata :

ما قنت رسول الله صلى الله عليه و سلم بعد الركوع إلا شهرا
Artinya: Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam tidak melakukan Qunut setelah ruku  kecuali sebulan[5]

Ini adalah hadits yang tegas dari Anas bahwa Rasulullah tidak melakukan qunut setelah ruku kecuali sebulan. Batallah tafsiran tersebut.

Qunut sebelum ruku mungkin bisa dimaksudkan lama berdiri sebelum ruku’ baik saat tersebut ada doa tambahan atau tidak oleh karena itu lafadznya tidak menunjukkan qunut doa. Ada kelompok yang menganjurkan untuk selalu melakukan qunut pada sholat lima waktu dengan berhujjah bahwa nabi shallallahu alaihi wasallan pernah melakukan qunut pada sholat-sholat tersebut dan tidak membedakan antara yang biasa maupun yang insidentil. Ini adalah pendapat yang menyimpang.

Pendapat ketiga

Nabi Shallallahu alaihi Wasallam melakukannya disebabkan oleh sesuatu yang terjadi kemudian meninggalkannya ketika tidak ada sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu melakukan qunut disunnahkan ketika ada sesuatu yang terjadi (nawazil). Pendapat ini dipegang oleh fuqaha dari kalangan ahli hadits dan dinukil dari khulafâ al Rasyidin. Semoga Allah meridhai mereka.

Sesungguhnya Umar Radhiyallahu anhu ketika memerangi kaum Nasrani mengutuk mereka dengan doa qunut yang masyhur :
اللهم عذب كفرة أهل الكتاب إلى آخره

Lafazd tersebut digunakan oleh sebagian orang sebagai sunnah pada qunut Ramadhan padahal [lafadz] qunut tersebut bukan sunnah yang baku baik pada ramadhan maupun selainnya Umar melakukan qunut ketika ada kejadian yang menimpakaum muslimin dan berdoa sesuai dengan lafadz yang sesuai dengan kejadian tersebut seperti juga Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam ketika pertama kali melakukan qunut adalah untuk mengutuk kabilah-kabilah bai Sulaim yang telah membantai para Qurra. Beliau mengutuk mereka dengan kutukan yang sesuai dengan kejadian tesebut kemudian juga beliau melakukan qunut untuk sahabat-sahabatnya yang tertindas. Beliau berdoa dengan doa yang sesuai dengan kejadian atau tujuannya.
dari sini disimpulkan bahwa sunnah rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam dan Khulaf al Rasyidin menunjukkan dua hal:

Pertama : 

doa qunut itu disyariatkan ketika terjadi sebab-sebab yang   menuntutnya bukan sunnah yang senantiasa diamalkan ketika sholat.

Kedua : 

Sesungguhnya doa didalamnya bukanlah doa yang baku lafadznya, namun doa dalam setiap qunut tersebut sesuai dengan kejadiannya seperti doanya nabi Shallallahu alaihi wasallam ketika kali pertama dan kedua melakukan qunut. Begitu juga sesuai dengan doa qunutnya Umar Radiyallahu anhu ketika beliau melakukan salah satu perang dan mendapat ujian lalu beliau melakaukan qunut dengan doa yang sesuai dengan tujuannya. Hal yang menjelaskan pendapat ini adalah kalaulah Nabi Shalllallahu alaihi Wasallam selalu melakukan qunut dan berdoa dengan doa yang baku maka nisscaya kaum muslimin akan menukilnya dari nabi mereka. Hal ini adalah perkara yang cukup menggugah dan menarik minat  untuk menukilnya. Namun mereka yang menukil dari beliau dalam qunutnya justeru mendapat nukilan yang tidak menyenantiasakan qunut dan juga bukan sunnah dengan lafadz yang baku seperti misalnya doa laknat beliau atas orang-orang yang telah membantai sahabat-sahabatnya dan juga doa beliau untuk sahabat-sahabatnya yang tertindas begitu juga mereka telah menukil qunut Umar dan Ali atas orang-orang yang mereka perangi.

Bagaimana mungkin nabi Shallallahu alaihi Wasallam selalu melakukan qunut diwaktu sholat fajar atau selainnya dan berdoa dengan doa yang baku namun tidak ada penukilan dari nabi Shallallahu alaihi wasallam baik  khobar sohih maupun dhaif [tentang lafadznya].? Bahkan para Sahabat Nabi Shallallahu alaihi Wasallam yang paling mengetahui dan paling ingin mengikutinya seperti Ibnu umar dan lain mengingkarinya. Ibnu Umar sampai mengatakan:

“Kami tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengarnya.” Dalam riwayat lain : “Apakah masuk akal apa yang kalian lakukan ini?: kalian berdoa sedangkan kami tidak pernah melihatnya dan mendengarnya”.

Apakah mungkin ada seorang muslim berkata: sesungguhnya nabi Shallallahu alaihi Wasallam selalu melakukan qunut, sementara  Ibnu Umar bersaksi: “Kami tidak pernah melihat dan mendengarnya?!”
Begitu juga  sahabat selain ibnu umar yang menganggap hal tersebut sebagai perbuatan baru yang bid’ah[6].

Bijak dalam khilaf

Setelah panjang lebar menjelaskan tidak disyariatkannya mendawamkan Qunut diwaktu subuh beliau kemudian menyoroti tindakan terkait perbedaan pendapat seputar qunut dan memberikan solusi yang melapangkan dada dan menyatukan hati.

Beliau mengatakan:

ولهذا ينبغي للمأموم أن يتبع إمامه فيما يسوغ فيه الاجتهاد فإذا قنت قنت معه وإن ترك القنوت لم يقنت فإن النبي صلى الله عليه و سلم قال :[ إنما جعل الإمام ليؤتم به ] وقال : [ لا تختلفوا على أئمتكم ] وثبت عنه في الصحيح أنه قال : [ يصلون لكم فإن أصابوا فلكم ولهم وإن أخطأوا فلكم وعليهم ] ألا ترى أن الإمام لو قرأ في الأخيرتين بسورة مع الفاتحة وطولهما على الأوليين : لوجبت متابعته في ذلك فأما مسابقة الإمام فإنها لا تجوز
فإذا قنت لم يكن للمأموم أن يسابقه : فلا بد من متابعته ولهذا كان عبد الله بن مسعود قد أنكر على عثمان التربيع بمنى ثم إنه صلى خلفه أربعا فقيل له : في ذلك ؟ ! فقال : الخلاف شر وكذلك أنس بن مالك لما سأله رجل عن وقت الرمي فأخبره ثم قال : إفعل كما يفعل إمامك والله أعلم
“Oleh karena itulah sudah sepatutnya bagi makmum untuk mengikuti imamnya perkara  yang diperkenankan untuk berijtihad. Maka jika imam melakukan qunut, hendaknya dia juga melakukan qunut bersama imam. Dan jika imam tidak melakukan qunuth maka janganlah melakukan qunuth. Dikarenakan Nabi shallallahu alaihi Wasallam bersabda: “”Imam itu dijadikan untuk diikuti.”" Dan beliau bersabda: “”Janganlah kalian menyelisihi imam-imam kalian.”" Dan juga telah shahih dari beliau Shallallahu alaihi Wasallam  bahwa beliau  bersabda: “”Mereka (para imam) shalat untuk kalian, maka jika mereka benar, maka (pahala itu) untuk kalian dan juga untuk mereka, dan jika mereka salah, maka (pahala) bagi kalian dan (dosa) atas mereka.”"

bukankah kalian tahu bahwa seandainya imam membaca surat pada pada dua rakaat terakhir setelah bacaan al-Fatihah dan memanjangkannya lebih dari dua rakaat pertama maka wajib mengikutinya dalam hal yang demikian?!

Adapun mendahului imam, maka itu tidak diperbolehkan. Maka jika imam melakukan Qunut, tidak boleh bagi makmum untuk mendahuluinya, maka dia harus mengikutinya. Oleh karena itulah Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu anhu  pernah mengingkari ‘Utsman (yang melakukan shalat) empat rakaat (dzuhur dan ashar masing-masing empat rakaat,) di Mina, (namun) kemudian dia tetap shalat dibelakang utsman empat rakaat. Ditanyakan kepadanya tentang hal tersebut, dia menjawab: “”Perselisihan itu buruk.”" Demikian pula Anas bin Malik Radiyallahu anhu tatkala ditanya oleh seorang laki-laki tentang waktu melempar (jumrah), maka dia mengabarkan kepadanya. Kemudian Anas Radiyallahu anhu  berkata: “”Lakukankanlah sebagaimana yang diperbuat oleh imam (pemimpinmu)[7]

Pendapat ini berkali-kali dikuatkan oleh Faqihuzzaman Muhammad Bin Sholih al utsaimin dalam berbagai fatwanya.Diantaranya beliau mengatakan:

Jika seorang itu menjadi makmum sedangkan imamnya melakukan qunut shubuh apakah makmum mengikuti imam dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut imam ataukah diam saja?

Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan. Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian, beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.

Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,

“Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)”[8]

Demikianlah sikap dua Imam Agung Ahlisunnah-Syaikhul Islam dan Faqihuzzamân- yang dengan tegas menentukan sikap dan memberikan jalan keluar yang sejuk dan menenangkan bagi kaum Muslimin.
Semoga bermanfaat
Saudaramu: dobdob

[1] al-Fatâwa al-kubrâ (2/245).
[2] Hadits ini telah diriwayatkan oleh Abu Dawud[1], Ibnul Jarud[2], Ahmad[3], al-Hakim dan al-Baihaqi[4]. Dan Imam al-Hakim menambahkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus para da’i agar mereka (kabilah-kabilah itu) masuk Islam, tapi malah mereka membunuh para da’i itu. ‘Ikrimah berkata: Inilah pertama kali qunut diadakan.
Lihat Irwaa-ul Ghalil II/163
[3] Hadits shahih riwayat Ahmad ii/255 dan al-Bukhâri No 4560
[4] Lafadz ini sebenarnya merupakan lafadz qunut witir
[5] Dalam hadits anas lafadznya seperti ini:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَلْعَنُ رِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَوُا اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam melakukan qunût selama sebulan, beliau mengutuk bani Ri’lan, Dzakwân dan ‘Ushoyyah yang telah membangkang terhadap Allôh dan Rasul-Nya” (Muttafaq ‘Alaihi dan lafazh hadits atas adalah lafazh Muslim)

Dalam riwayat lain:
قَالَ عَاصِمُ بْنُ سُلَيْمَانَ ِلأَنَسٍ: إِنَّ قَوْمًا يَزْعُمُوْنَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ بِالْفَجْرِ، فَقَالَ: كَذَّبُوْا، وَإِنَّمَا قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا وَاحِدًا يَدْعُوْ عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ
“Artinya : Ashim bin Sulaiman berkata kepada Anas, “Sesungguh-nya orang-orang menyangka bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa qunut dalam shalat Shubuh.” Jawab Anas bin Malik: “Mereka dusta! Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut satu bulan mendo’akan kecelakaan atas satu qabilah dari qabilah-qabilah bangsa ‘Arab.”

Hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Khathib al-Bagh-dadi sebagaimana yang dikatakan oleh al-‘Allamah Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’aad (I/278)

Derajat Hadits.

Derajat hadits ini tidak sampai kepada shahih, karena dalam sanadnya ada Qais bin Rabi’, ia dilemahkan oleh Ibnu Ma’in dan ulama lainnya mengatakan ia tsiqah. Qais ini lebih tsiqah dari Abu Ja’far semestinya orang lebih con-dong memakai riwayat Qais ketimbang riwayat Abu Ja’far, dan lagi pula riwayat Qais ada penguatnya dari hadits-hadits yang sah dari Anas sendiri dan dari para Shahabat yang lainnya.
Sisi lain yang bisa diambil dari riwayat seperti ini adalah indikasi bahwa perselisihan tentang qunut sudah dimulai sejak masa sahabat Ridwanullah alaihim ajmain
[6] Dalam sebuah riwayat disebutkan
عَنْ أَبِيْ مَالِكٍ سَعِيْدٍ بْنِ طَارِقٍ اْلاَشْجَعِيِّ قَالَ قُلْتُ ِلأَبِيْ: يَا أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ هاَهُنَا بِالْكُوْفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِيْنَ فَكَانُوْا يَقْنُتُوْنَ فِي الْفَجْرِ؟ فَقَالَ: أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ.
رواه الترمدى رقم: (402) وأحمد (3/472، 6/394) وابن ماجه رقم: (1241) والنسائي (2/204) والطحاوي (1/146) والطياليسي رقم: (1328) والبيهقي (2/213) والسياق لابن ماجه وقال الترميذي: حديث حسن صحيح وانظر صحيح سنن النسائي رقم: (1035
Dari Abi Malik al-Asyja’i, ia berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di bela-kang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan di belakang ‘Ali di daerah Qufah sini kira-kira selama lima tahun, apakah qunut Shubuh terus-menerus?” Ia jawab: “Wahai anakku qunut Shubuh itu bid’ah!!
Hadits shahih riwayat at-Tirmidzi (no. 402), Ahmad (III/472, VI/394), Ibnu Majah (no. 1241), an-Nasa-i (II/204), ath-Thahawi (I/146), ath-Thayalisi (no. 1328) dan Baihaqi (II/213), dan ini adalah lafazh hadits Imam Ibnu Majah, dan Imam at-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Lihat pula kitab Shahih Sunan an-Nasa-i (I/233 no. 1035) dan Irwaa-ul Ghalil (II/182) keduanya karya Imam al-Albany
Lihat juga di kitab Bulughul Maram no. 289, karya Al-Hafidzh
Sisi lain dari hadits seperti ini juga bisa diambil kesimpulan bahwa perselisihan tentang qunut sudah dimulai sejak masa sahabat Ridwanullah alaihim ajmain
[7] al-Fatâwa al-kubrâ (2/245).
Beliau juga mengulang fatwa yang serupa dalam Majmu’ Fatawa (23/116)
[8] Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/14-16, pertanyaan no 774. beliau memberi pernyataan serupa dalam salah satu khutbahnya yang anda bisa dengar dan lihat transkripnya disini : http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_615.shtml
http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/09/08/mengakhiri-kontroversi-qunut-subuh/

No comments:

Post a Comment