Pemahaman terhadap qishâsh selama ini terkadang masih dianggap sebagai
sesuatu yang sangat angker, menakutkan dan tidak manusiawi; sehingga
timbul apa yang dinamakan “Islam phobia”. Padahal Allah Azza wa Jalla
menggambarkan qishâsh dalam firman-Nya:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179]
Imam as-Syaukâni rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan menyatakan:
“Maknanya ialah kalian memiliki jaminan kelangsungan hidup dalam hukum
yang Allah Azza wa Jalla syariatkan ini; karena bila seseorang tahu akan
dibunuh secara qishâsh apabila ia membunuh orang lain, tentulah ia
tidak akan membunuh dan akan menahan diri dari meremehkan pembunuhan
serta terjerumus padanya. Sehingga hal itu sama seperti jaminan
kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Ini adalah satu bentuk sastra
(balâghah) yang tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah Azza wa Jalla
menjadikan qishâsh yang sebenarnya adalah kematian, sebagai jaminan
kelangsungan hidup, ditinjau dari efek yang timbul yaitu bisa mencegah
saling bunuh di antara manusia. Hal ini dalam rangka menjaga keberadaan
jiwa manusia dan kelangsungan kehidupan mereka. Allah Azza wa Jalla juga
menjelaskan ayat ini untuk ulul albâb (orang yang berakal); karena
merekalah orang yang memandang jauh ke depan dan berlindung dari bahaya
yang muncul kemudian. Sedangkan orang yang pandir, berfikiran pendek dan
gampang emosi; mereka tidak memandang akibat yang akan muncul dan tidak
berfikir tentang masa depannya.” [1]
Akibat sikap terburu-buru dan tidak mengerti hakekat syariat yang
ditetapkan Allah Azza wa Jalla, banyak orang bahkan kaum Muslimin yang
belum mau menerima atau bersimpati atas penegakan qishâsh ini. Padahal
pensyariatan qishâsh adalah kemaslahatan bagi manusia.
Syaikh Prof. DR. Shalih bin Fauzân –hafizhahullâh menyatakan:
“Pensyariatan qishâsh berisi rahmat bagi manusia dan penjagaan atas
darah mereka, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ
Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu. [al-Baqarah/2:179]
Sehingga amat buruk orang yang menyatakan bahwa qishâsh itu sesuatu yang
tidak berperikemanusiaan (biadab) dan keras. Mereka tidak melihat
kepada kebiadaban pelaku pembunuhan ketika membunuh orang tak berdosa,
ketika menebar rasa takut di daerah tersebut dan ketika para wanita
menjadi janda, anak-anak menjadi yatim dan hancurnya rumah tangga.
Mereka ini hanya kasihan kepada pelaku kejahatan dan tidak kasihan
kepada korban yang tak berdosa. Sungguh jelek dan dangkal akal mereka.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?
[al-Mâ‘idah/5:50]" [2]
Untuk itu sangat diperlukan penjelasan tentang qishâsh ini agar kaum
Muslimin bisa mengerti keindahan dan rahmat yang ada di dalamnya.
DEFINISI QISHÂSH.
Qishâsh berasal dari bahasa Arab dari kata قِصَا صُ yang berarti mencari
jejak seperti al-Qashâsh. Sedangkan dalam istilah hukum Islam berarti
pelaku kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila membunuh maka
dibalas dengan dibunuh dan bila memotong anggota tubuh maka dipotong
juga anggota tubuhnya.[3]
Sedangkan Syaikh Prof.DR. Shâlih bin Fauzân - hafizhahullâh-
mendefiniskannya dengan: ‘al-Qishâsh adalah perbuatan (pembalasan)
korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti
perbuatan pelaku tadi. [4]
Dapat disimpulkan Qishâsh adalah melakukan pembalasan yang sama atau serupa, seperti istilah “hutang nyawa dibayar nyawa”.
DASAR PENSYARIATAN
Qishâsh disyariatkan dalam al-Qur‘ân dan Sunnah serta ijmâ’. Di antara dalil dari al-Qur‘ân adalah firman Allah Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي
الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنثَىٰ
بِالْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ
بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن
رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ
أَلِيمٌ وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang
sangat pedih dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
[al-Baqarah/2:178-179]
Sedangkan dalil dari Sunnah di antaranya adalah hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرٍ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل
Siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan,
bisa memilih diyât dan bisa qishâsh (balas bunuh).[HR al-Jamâ’ah]
Sedangkan dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah dengan lafazh:
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرٍ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَقْتُلَ
Siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia mempunyai dua pilihan, bisa memilih memaafkannya atau bisa membunuhnya. [5]
Ayat dan hadits di atas menunjukkan wali (keluarga) korban pembunuhan
dengan sengaja memiliki pilihan untuk membunuh pelaku tersebut (qishâsh)
bila menghendakinya, bila tidak, bisa memilih diyât dan pengampunan.
Pada asalnya pengampunan lebih utama, selama tidak mengantar kepada
mafsadat (kerusakan) atau ada kemashlahatan lainnya.[6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menguatkan bahwa tidak boleh
memberikan maaf pada qatlu al-ghîlah (pembunuhan dengan memperdaya
korban).[7]
Sedangkan Ibnu al-Qayyim rahimahullah ketika menyampaikan kisah
al-‘Urayinin menyatakan: ‘Qatlu al-ghîlah menuntut pelakunya harus
dibunuh secara had (hukuman), sehingga tidak bisa gugur dengan sebab
ampunan dan tidak pandang kesetaraannya (mukâfaah). Inilah pendapat
penduduk Madinah dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Ahmad
dan yang dikuatkan oleh Syaikh (Ibnu Taimiyah - pen) dan beliau
rahimahullah berfatwa dengannya.’[8]
HIKMAH PENSYARIATAN QISHÂSH
Allah al-Hakîm menetapkan satu ketetapan syariat dengan hikmah yang
agung. Hikmah-hikmah tersebut ada yang diketahui manusia dan ada yang
hanya menjadi rahasia Allah Azza wa Jalla. Demikian juga dalam qishâsh
terdapat banyak hikmah, di antaranya:
1. Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan
menumpahkan darah orang lain. Karena itu Allah Azza wa Jalla sebutkan
dalam firman-Nya:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal,supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179]
2. Mewujudkan keadilan dan menolong yang terzhalimi dengan memberikan
kemudahan bagi wali korban untuk membalas pelaku seperti yang
dilakukannya kepada korban. Karena itulah Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا
Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan. [al-Isrâ‘/17:33]
3. Menjadi sarana taubat dan pensucian dari dosa yang telah
dilanggarnya, karena qishâsh menjadi kaffârah (penghapus) dosa
pelakunya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sabdanya:
تُبَا يِعُونِيِّ عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوْا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ
تَسْرِقُوْا وَلاَ تَزْنُوْاوَلاَ تَقْتُلُوْاأَوْلاَدَكُمْ
وَلاَتَأْتُوْابِبُهتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيْكُمْ
وَأَرْجُلِكُمْ وَلاَ تَعْصُوْا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ
فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوْقِبَ
فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا
فَسَتَرَهُ اللَّهُ فَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَا قَبَهُ
وَإِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ
Kalian harus berbai'at kepadaku untuk tidak berbuat syirik, tidak
mencuri dan tidak berzina, tidak membunuh anak kalian, tidak melakukan
kedustaan dan berbuat durhaka dalam hal yang ma`ruf. Barangsiapa di
antara kalian menunaikannya maka pahalanya ada pada Allah dan siapa yang
melanggar
sebagiannya lalu dihukum di dunia, maka hukuman itu sebagai penghapus
baginya dan siapa yang melanggarnya lalu Allah tutupi; maka urusannya
diserahkan kepada Allah. Bila Ia kehendaki maka mengadzabnya dan bila Ia
menghendaki maka mengampuninya'. [Muttafaq 'alaihi].
SYARAT KEWAJIBAN QISHÂSH
Secara umum wali (keluarga) korban berhak menuntut qishâsh apabila telah memenuhi syarat berikut:
1. Jinâyat (kejahatan) nya termasuk yang disengaja. Ini merupakan ijmâ’
para Ulama sebagaimana dinyatakan Ibnu Qudâmah rahimahullah : ‘Para
Ulama berijmâ` bahwa qishâsh tidak wajib kecuali pada pembunuhan yang
disengaja dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara
mereka dalam kewajiban qishâsh karena pembunuhan dengan sengaja, apabila
terpenuhi syarat-syaratnya.[9]
2. Korban termasuk orang yang dilindungi darahnya (‘Ishmat al-Maqtûl)
dan bukan orang yang dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan
pezina yang telah menikah. Hal ini karena qishâsh disyariatkan untuk
menjaga dan melindungi jiwa.
3. Pembunuh atau pelaku kejahatan seorang yang mukallaf yaitu berakal
dan baligh. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: ‘Tidak ada perbedaan
pendapat di antara para Ulama bahwa tidak ada qishâsh terhadap anak
kecil dan orang gila. Demikian juga orang yang hilang akal dengan sebab
udzur, seperti tidur dan pingsan. [10]
4. At-takâfu‘ (kesetaraan) antara korban dan pembunuhnya ketika terjadi
tindak kejahatan dalam sisi agama, merdeka dan budak. Sehingga tidak
diqishâsh seorang Muslim karena membunuh orang kafir; dengan dasar sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَيُقْتَلُ مُسْلِمُ بِكَافِرٍ
Tidaklah dibunuh (qishâsh) seorang Muslim dengan sebab membunuh orang kafir. [11]
5. Tidak ada hubungan keturunan (melahirkan) dengan ketentuan korban
yang dibunuh adalah anak pembunuh atau cucunya, dengan dasar sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَيُقْتَلُ الوَالِدُ بِوَلَدِهِ
Orang tua tidak diqishâsh dengan sebab (membunuh) anaknya.[12]
Sedangkan anak bila membunuh orang tuanya tetap terkena keumuman kewajiban qishâsh.
SYARAT PELAKSANAAN QISHÂSH
Apabila terpenuhi syarat-syarat kewajiban qishâsh seluruhnya, maka masih
perlu dipenuhi lagi syarat-syarat pelaksanaannya. Syarat-syarat
tersebut adalah:
1. Semua wali (keluarga) korban yang berhak menuntut qishâsh adalah
mukallaf. Apabila yang berhak menuntut qishâsh atau sebagiannya adalah
anak kecil atau gila, maka tidak bisa diwakilkan oleh walinya; sebab
dalam qishâsh ada tujuan memuaskan dan pembalasan sehingga wajib
menunggu pelaksanaannya dengan memenjarakan pelaku pembunuhan hingga
anak kecil tersebut menjadi baligh atau orang gila tersebut sadar. Hal
ini dilakukan Mu’âwiyah bin Abi Sufyânz yang memenjarakan Hudbah bin
Khasyram dalam qishâsh hingga anak korban menjadi baligh. Hal ini
dilakukan di zaman para Sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya
sehingga seakan-akan menjadi ijmâ’ di masa beliau. Apabila anak kecil
atau orang gila membutuhkan nafkah dari para walinya, maka wali orang
gila saja yang boleh memberi pengampunan qishaash dengan meminta diyaat,
karena orang gila tidak jelas kapan sembuhnya berbeda dengan anak
kecil.[13]
2. Kesepakatan para wali korban terbunuh dan yang terlibat dalam qishâsh
dalam pelaksanaannya. Apabila sebagian mereka walaupun seorang
memaafkan dari qishâsh maka gugurlah qishâsh tersebut. [14]
3. Dalam pelaksanaannya tidak melampaui batas kepada selain pelaku pembunuhan, dengan dasar firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا
Dan Barangsiapa dibunuh secara zhalim, Maka Sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. Tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan. [al-Isrâ‘/17:33]
Apabila qishâsh menyebabkan sikap melampaui batas maka dilarang
sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Dengan demikian, apabila
wanita hamil akan diqishâsh maka tidak bisa sampai diqishâsh hingga
melahirkan anaknya, karena membunuh wanita tersebut dalam keadaan hamil
akan menyebabkan kematian pada janinnya. Padahal janin tersebut belum
berdosa, Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. [al-An’âm/6:164]
SIAPAKAH YANG BERHAK MELAKUKAN QISHÂSH?
Yang berhak melakukannya adalah yang memiliki hak yaitu para wali
korban, dengan syarat mampu melakukan qishâsh dengan baik sesuai
syariat. Apabila tidak mampu, maka diserahkan kepada pemerintah atau
wakilnya. Hal ini tentunya dengan pengawasan dan naungan pemerintah atau
wakilnya agar dapat mencegah sikap melampai batas dalam pelaksanaannya
dan memaksa pelaksana menunaikannya sesuai syari’at. [15]
Demikian beberapa hukum seputar qishâsh; mudah-mudahan dapat memberikan
pencerahan akan keindahan dan pentingnya menerapkan qishâsh di
masyarakat kita. Wabillâhi taufîq.
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
MARÂJI’:
1. Imam Ibnu Qudâmah, al-Mughni, tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdilmuhsin at-Turki, cetakan ke-2 tahun 1413
H. penerbit Hajar.
2. Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Al-Mulakhash al-Fiqh, cetakan ke-2 tahun 1426 H, Jam’iyah Ihyâ’ at-Turâts al-Islâmi.
3. Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimîn, Asy-Syarhul-Mumti’ ‘Ala
Zâdil-Mustaqni’, cetakan pertama tahun 1428 H, Dâr Ibnul-Jauzi, KSA 14/5
4. Muhammad Nâshirudin al-Albâni, Irwâ’ul-Ghalîl, al-Maktab al-Islâmi. Dll
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430H/2009M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Fathul-Qadîr 1/179 dinukil dari al-Mulakhash al-Fiqh 2/471
[2]. Al-Mulakhas al-Fiqh 2/475
[3]. Asy-Syarhul-Mumti’ 14/34
[4]. Al-Mulakhas al-Fiqh 2/476
[5]. HR at-Tirmidzi no. 1409
[6]. Lihat Al-Mulakhash al-Fiqh 2/473 dan Asy-Syarhul-Mumti’ 14/34
[7]. Al-Mulakhash al-Fiqh 2/473
[8]. Lihat Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’ 7/207
[9]. al-Mughni 11/457
[10]. al-Mughni 11/481
[11]. HR al-Bukhâri no. 111
[12]. HR Ibnu Mâjah no. 2661 dan dishahîhkan al-Albâni dalam Irwâ’ al-Ghalîl no. 2214
[13]. Lihat Al-Mulakhash al-Fiqh 2/476
[14]. Lihat Asy-Syarhul-Mumti’ 14/38
[15]. Lihat Asy-Syarhul-Mumti’ 14/54 dan Al-Mulakhas al-Fiqh 2/478.
http://almanhaj.or.id/content/3121/slash/0
Pasang Iklan → Jasa Promosi → Perbaiki Android → Perbaiki Blackberry → Cara Membuat Blog → Cara Membuat Read More → Cara Membuat Daftar Isi → Ahlus Sunnah Wal Jama'ah → Copas Artikel
ReplyDeleteReview Mobil Proton Indonesia Terbaik → Anizan Alternatif Google Adsense → Pengertian dan Hukum Thaharah