Pengantar Redaksi
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Amanah
kian pudar di zaman sekarang. Utang piutang demikian sering terjadi,
demikian sering pula ada pihak-pihak yang terzalimi. Banyak orang yang
berutang lantas mangkir dari kewajibanmembayar. Amanah memang mudah
diucapkan, namun sulit kala dipraktikkan.
Di zaman yang kejujuran
dan sikap amanah menjadi barang mahal, banyak muamalah utang piutang
yang menuntut adanya jaminan/agunan untuk memberikan rasa aman bagi
pemberi utang (kreditor). Menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai
harta dalam pandangan syariat sebagai jaminan utang, yang memungkinkan
untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari jaminan tersebut,
itulah yang disebut gadai (ar-rahn).
Gadai sendiri pernah dipraktikkan oleh
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Kepada seorang Yahudi,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menggadaikan baju perangnya demi
membeli sedikit gandum. Tidak berarti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam tidak dipercaya jika “sekadar” utang tanpa agunan. Namun,
perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ini mengandung hikmah
yang besar.
Tidak hanya sebagai dalil yang memberi
keabsahan praktik gadai, namun menunjukkan itikad baik beliau sekaligus
kesederhanaan seorang pemimpin umat. Kondisi prihatin dan serba
kekurangan yang semestinya dicontoh oleh kita semua, terutama para
pemimpin atau pejabat pemerintahan.
Sudah mafhum, tabiat manusia adalah suka
menzalimi sesama. Oleh karena itu, Islam pun memagari setiap muamalah
(transaksi) dengan aturan-aturan yang indah agar manusia melakukan
muamalah secara benar, tidak memakan harta orang lain dengan cara yang
batil. Islam mensyariatkan ar-rahn untuk kemaslahatan bersama dan
masyarakat secara luas.
Dengan gadai, orang yang
menggadaikan/pemberi gadai (ar-rahin) tertutupi kebutuhannya tanpa harus
kehilangan harta miliknya. Adapun pemberi utang/pemegang gadai
(al-murtahin), selain mendapat ketenangan dan rasa aman atas haknya, dia
juga mendapatkan keuntungan syar’i apabila memang ia niatkan untuk
mencari pahala dari Allah Subhanahu wata’ala.
Adapun kemaslahatan yang dirasakan
masyarakat, yaitu memperluas interaksi, saling memberikan kecintaan dan
kasih sayang di antara mereka, serta menjauhkan masyarakat dari praktik
bunga yang tidak wajar, ijon, dan praktik riba lainnya.
Gadai, pada asalnya mengikuti (bersifat
accessoir) akad (perjanjian) pokoknya berupa utang piutang. Ketika
terjadi perjanjian utang piutang, barang/objek gadai (marhun) harus
diserahterimakan oleh ar-rahin kepada al-murtahin sejak dilangsungkannya
akad. Serah terima (qabdh) ini bahkan menjadi syarat mutlak
(inbezitstelling) dari gadai. Dengan serah terima tersebut, agunan akan
berada di bawah kekuasaan (secara fisik) al-murtahin.
Namun, agunan dalam syariat gadai adalah
amanat, hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.
Murtahin dalam hal ini hanya mempunyai hak kebendaan, tidak boleh
memanfaatkan atau menyalahgunakan barang gadai. Dengan kata lain, fungsi
marhun adalah untuk menjaga kepercayaan setiap pihak, sehingga murtahin
meyakini bahwa rahin beritikad baik untuk mengembalikan pinjamannya.
Penjualan objek gadai (baik dengan cara
lelang maupun lainnya) hanyalah upaya terakhir yang dilakukan apabila
ada rahin yang wanprestasi (hingga batas waktu yang telah ditetapkan
rahin masih belum melunasi pinjamannya).
Alhasil, Islam sangat menjaga agar
transaksi gadai benar-benar tidak merugikan salah satu pihak, dengan
melarang bunga gadai, mencegah timbulnya biaya-biaya yang tidak
disebutkan dalam akad awal, dan sebagainya. Akad gadai pun dilarang
mengandung syarat fasid, seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan
dapat dimanfaatkan tanpa batas. Islam benar-benar menyeimbangkan hak dan
kewajiban secara indah di tengah mahalnya sifat amanah di tengah umat.
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته
http://asysyariah.com/gadai-mahalnya-amanah-di-tengah-umat.html
Seputar Hukum Gadai
Definisi Gadai
Dalam bahasa Arab, gadai disebut rahn (رَهْن), yang secara bahasa berarti sesuatu yang tetap atau tertahan. Hal ini seperti dalam firman Allah Subhanahu wata’ala :
كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya.” (ath-Thur : 21)
Adapun dalam ilmu fikih, rahn adalah istilah bagi “pemberian harta sebagai jaminan atas suatu utang.” Barang atau harta yang dijadikan gadai juga disebut rahn. (Fathul Bari 5/140, al-Mughni 6/443)
Hikmah dan Tujuan Gadai
Tujuan gadai adalah untuk melunasi utang
dengan nilainya apabila penanggungnya tidak dapat membayarnya. Adapun
hikmah adanya gadai adalah menjaga harta kekayaan dan demi keamanan dari
hilang (ditipu). Ini termasuk rahmat Allah Subhanahu wata’ala
kepada para hamba-Nya, yang membimbing mereka kepada sesuatu yang
mengandung kebaikan bagi mereka. (lihat al-Mughni 6/443 dan
al-Mulakhasal-Fiqhi 2/53)
Hukum Gadai
Hukum gadai adalah jaiz atau boleh, berdasarkan al-Qur’an, al-Hadits, ijma’, dan qiyas. Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِن
كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ
أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ
وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)1.
Akan tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
kalbunya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 283)
Adapun dalam al-Hadits, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
اشْتَرَى رَسُولُ اللهِ -صل الله عليه وسلم- مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
“Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tempo, lalu beliau
menjadikan baju besinya sebagai gadainya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Adapun ijma’, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan bahwa kaum muslimin secara umum sepakat tentang bolehnya gadai. (al-Mughni, 6/444)
Adapun qiyas, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “… Karena gadai adalah sesuatu yang dibutuhkan, baik kebutuhan penggadai/murtahin maupun pegadai/rahin, maka qiyas dan pandangan yang benar menuntut adanya gadai.” (Mudzakkiratul Fiqh)
Dalam Safar Saja atau Boleh Saat Mukim?
Gadai diperbolehkan dalam keadaan mukim
sebagaimana bolehnya dalam keadaan safar, walaupun konteks ayat tersebut
di atas terkait dengan safar. Hal ini tidak lain karena gadai lebih
dibutuhkan dalam keadaan safar karena biasanya saat semacam itu
seseorang sulit mendapatkan saksi atau penulis sehingga membutuhkan
jaminan berupa barang gadaian. Hal ini tidak berarti gadai tidak
dibolehkan di saat mukim apabila mereka memang membutuhkannya.
Dalam Tafsir as-Sa’di disebutkan, “Karena tujuan gadai adalah untuk menjamin kepercayaan, hal itu diperbolehkan baik saat mukim maupun safar. Allah Subhanahu wata’ala
hanya menyebutkan safar (dalam ayat) karena saat semacam itu biasanya
dibutuhkan gadai disebabkan tidak adanya penulis (perjanjian). Ini semua
bilamana pemilik hak tersebut menyukai untuk mencari kepercayaan atas
hartanya. Namun, ketika pemilik harta merasa aman terhadap orang yang
berutang dan menyukai untuk bertransaksi dengannya tanpa gadai,
hendaknya yang punya tanggungan menunaikan utangnya secara utuh tanpa
menzalimi atau mengurangi haknya. ‘Danbertakwalahkepada Allah, Rabb-Nya’
dalam hal menunaikan hak dan membalas orang yang telah berprasangka
baik kepadanya dengan kebaikan pula.”
Perbuatan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
membeli gandum dari orang Yahudi dengan tempo lalu memberinya baju besi
beliau sebagai gadai juga menunjukkan bolehnya gadai dalam keadaan
mukim, karena saat itu beliau berada di Madinah.
Dalam proses pergadaian ada beberapa
istilah yang harus kita ketahui terlebih dahulu, karena istilah-istilah
tersebut akan kerap terulang. Selain itu, istilah-istilah tersebut
perlu dipahami dengan tepat agar kita dapat memahami masalah dengan
benar. Di antara istilah-istilah tersebut adalah:
Menggadai : menerima
barang sebagai tanggungan uang yang dipinjamkan kepada pemilik barang
tersebut. Contoh, “Siapa yang menggadai sawahmu?” Dalam ungkapan bahasa
Arab, irtahana (اِرْتَهَنَ)
Menggadaikan :
menyerahkan barang sebagai tanggungan utang. Contoh, “Ia menggadaikan
gelang dan kalung istrinya untuk berjudi.” Dalam ungkapan bahasa Arab, arhana (اَرْهَنَ)
Bergadai : meminjam
uang dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan. Contoh, “Ia terpaksa
bergadai untuk membayar kontrak rumahnya.” Dalam ungkapan bahasa Arab,
rahana (رَهَنَ)
Pegadai : orang yang bergadai. Dalam ungkapan bahasa Arab, rahin (رَاهِنٌ)
Penggadai: orang yang menggadai. Contoh, “Para penggadai itu makin menjerat petani.” Dalam bahasa Arab, murtahin ( مُرْتَهِنٌ ). (lihat dan al-Mu’jamul Wasith)
(oleh : al Ustadz Qomar Suaidi, Lc.)
http://asysyariah.com/seputar-hukum-gadai.html
Persyaratan antara Rahin dan Murtahin
1. Syarat antara rahin dan murtahin dalam rahn, syarat sah dan syarat fasid
Persyaratan yang terjadi antara kedua belah pihak pada barang gadaian
dibagi menjadi dua, syarat yang sahih (benar) dan syarat yang fasid
(rusak/batal).
Syarat sahih, misalnya, salah satunya memberikan syarat
bahwa barang gadaian diamanatkan kepada seorang jujur yang dia
tentukan, atau dua orang, atau sekelompok orang.
Atau ia mempersyaratkan, nanti yang menjualnya adalah orang yang jujur tersebut di saat jatuh tempo dan rahin
tidak dapat membayar. Kata Ibnu Qudamah, “Kami tidak mengetahui adanya
perbedaan pendapat tentang sahnya hal ini.” Atau, ia mensyaratkan bahwa
yang menjualnya nanti adalah penggadai/ murtahin. Ini juga sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik, ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
Sementara itu, asy-Syafi’i memandang tidak sah pada syarat yang terakhir
ini. Yang rajih adalah pendapat pertama, dengan alasan bahwa selama
boleh mewakilkan kepada selain murtahin, boleh pula mewakilkan kepada
murtahin, sebagaimana penjualan barang-barang yang lain.
- Agar barang gadaian tidak dijual ketika jatuh tempo dan tidak bisa bayar.
- Agar utang tidak dilunasi dengan nilai dari barang itu.
- Tidak boleh dijual saat dikhawatirkan rusak.
- Barang dijual berapa pun harganya.
- Tidak dijual selain dengan harga yang diridhai oleh rahin.
- Agar rahin punya hak khiyar (pilih).
- Akad rahn tidak menetap padanya.
- Rahn dibatasi waktu tertentu.
- Sehari menjadi barang gadaian, sehari tidak.
- Rahn/barang gadaian harus berada di tangan rahin.
- Rahin/pegadai boleh memanfaatkannya.
- Murtahin/penggadai memanfaatkannya.
- Apabila rusak, ditanggung murtahin.
- Apabila rusak, ditanggung oleh orang yang diamanati.
Ini semua adalah syarat yang rusak, karena di antaranya ada syarat yang
bertentangan dengan maksud akad pergadaian atau tidak sejalan dengan
akad pergadaian, serta tidak memerhatikan maslahat barang gadaian
tersebut.
Termasuk syarat yang rusak adalah apabila jatuh tempo dan rahin tidak mampu bayar, maka barang menjadi milik murtahin, dan telah dibahas sebelum ini.
Yang rajih adalah tidak batal, hanya syaratnya yang batal. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (lihat al-Mughni, 6/505—507, 510)
2. Sepakat untuk menyerahkan rahn kepada seseorang yang dipercaya atau lebih
Ini termasuk kesepakatan yang diperbolehkan. Orang tersebut menjadi wakil murtahin dalammengqabdh
barang gadaian tersebut. Ini adalah pendapat Atha’, Thawus, Malik,
asy-Syafi’i, dan yang lain. Apabila diamanatkan kepada dua orang,
keduanya harus menjaga rahn sesuai dengan amanat. Ketika orang yang
diamanati menyatakan ketidaksanggupan, harus diterima. (al-Mughni, 6/470—472)
Apabila kedua belah pihak juga sepakat bahwa orang yang diamanatilah
yang menjual barang tersebut apabila telah jatuh tempo, ini adalah
kesepakatan atau persyaratan yang sah menurut Abu Hanifah, Malik, dan
asy-Syafi’i. Ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
4. Apabila sekelompok orang menggadaikan sebuah barang Ibnu Hazm rahimahullah
berkata, “Apabila sekelompok orang bergadai dan menggadaikan barangnya
kepada seseorang, atau (sebaliknya) seseorang bergadai dan menggadaikan
barangnya pada sekelompok orang, siapa saja dari kelompok tersebut yang
melunasi utangnya, lepaslah bagiannya dari barang gadaian tersebut.
Adapun bagian teman-temannya tetap menjadi barang gadaian sesuai dengan
nilainya.
Demikian pula apabila satu orang yang bergadai tersebut melunasi
utangnya kepada sebagian kelompok tersebut namun belum kepada yang
lainnya, hak orang yang dilunasi atas barang gadaian tersebut berarti
hilang. Dengan demikian, senilai itu pula hak kembali kepada pegadai,
sedangkan yang lain masih tetap sebagai barang yang tergadai pada para
penggadai tersebut.” (al-Muhalla, 8/107)
Para fuqaha berpendapat bahwa akad pergadaian tidak terbatalkan dengan
kematian salah satu dari kedua orang yang berakad setelah barang gadaian
itu tetap statusnya sebagai barang gadaian.
Apabila pegadai meninggal dunia, ahli warisnya mewakilinya dan barang
tersebut tetap di tangan murtahin atau ahli warisnya. Barang gadaian
tidak lepas melainkan dengan dilunasinya utang atau dilepaskannya oleh
penggadai/ murtahin, maka murtahin lebih berhak atas barang gadaian itu
dan harganya apabila dijual selama masa hidup rahin atau setelah
wafatnya. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyahal-Kuwaitiyyah, melalui program asy-Syamilah 7/32)
Namun, tampaknya Ibnu Hazm menyelisihi mereka. Beliau mengatakan,
“Apabila rahin atau murtahin meninggal dunia, akad pergadaian menjadi
batal, dan barang gadaian tersebut wajib dikembalikan kepada rahin atau
ahli warisnya….” (al-Muhalla, 8/100)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah membuat bab dalam masalah ini
dengan judul “Bab apabila rahin dan murtahin berselisih dan semacamnya,
bukti-bukti adalah kewajiban pendakwa dan sumpah adalah kewajiban
terdakwa yang mengingkari.”
Maksudnya, apabila pendakwa memiliki bukti yang dapat diterima secara
syar’i, hal itu menjadi patokan dalam menentukan hukum. Namun, apabila
pendakwa tidak dapat mendatangkan bukti dan terdakwa ingin
mengingkarinya, terdakwa cukup bersumpah. Lalu beliau menyebutkan hadits
dari Ibnu Abi Mulaikah,
كَتَبْتُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَكَتَبَ إِلَيَّ أَنَّ النَّبِيَّ -صل الله
عليه وسلم- قَضَى أَنَّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
“Aku menulissuratkepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau menulis pula (jawabannya) kepadaku bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam memutuskan bahwa sumpah itu kewajiban orang yang tertuduh.”
Demikian pula hadits Abu Wail, bahwa Abdullah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
مَنْ
حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَسْتَحِقُّ بِهَا مَالاً وَهْوَ فِيهَا فَاجِرٌ،
لَقِيَ اللهَ وَهْوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيقَ
ذَلِكَ {إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللهِ وَأَيْمَانِهِمْ
ثَمَنًا قَلِيلاً –فَقَرَأَ إِلَى– عَذَابٌ أَلِيمٌ{
“Barangsiapa bersumpah dengan sebuah sumpah yang menjadikan dirinya
berhak atas suatu harta padahal sumpahnya palsu, dia akan berjumpa
dengan Allah dalam keadaan Allah marah
kepadanya. Lalu Allah menurunkan ayat yang membenarkannya (artinya),
‘Sesungguhnya orang -orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan
sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak
mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata
kepada mereka, tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat, dan
tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih’.” (Ali Imran: 77)
صَدَقَ،
لَفِيَّ وَاللهِ أُنْزِلَتْ، كَانَتْ بَيْنِي وَبَيْنَ رَجُلٍ خُصُومَةٌ
فِي بِئْرٍ فَاخْتَصَمْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ -صل الله عليه وسلم-:
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ -صل الله عليه وسلم- شَاهِدُكَ أَوْ يَمِينُهُ
قُلْتُ: إِنَّهُ إِذًا يَحْلِفُ وَلاَ يُبَالِي. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ-صل
الله عليه وسلم- مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَسْتَحِقُّ بِهَا مَالاً هُوَ
فِيهَا فَاجِرٌ، لَقِيَ اللهَ وَهْوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ. فَأَنْزَلَ
اللهُ تَصْدِيقَ ذَلِكَ، ثُمَّ اقْتَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ: {إِنَّ الَّذِينَ
يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلاً – إِلَى –
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ{
“Benar beliau. Dalam urusanku -demi Allah- ayat ini turun. Dahulu antara
aku dan seseorang ada pertikaian dalam urusan sebuah sumur. Kami
mengadukannya kepada Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam,
maka beliau mengatakan,‘Saksimu atau sumpahnya.’ Aku menjawab,‘Kalau
begitu, dia akan bersumpah dan tidak akan peduli.’ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
berkata,‘Barangsiapa bersumpah dengan sebuah sumpah yang menyebabkan
dirinya berhak atas sebuah harta padahal sumpahnya palsu, ia akan
berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala dalam keadaan Allah Subhanahu wata’ala marah kepadanya.’ Allah Subhanahu wata’ala
lalu menurunkan ayat yang membenarkan hal itu.” Lalu beliau membacaayat
ini (artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya
dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka
itu tidak mendapat bagian (pahala) diakhirat, dan Allah tidak akan
berkata-kata kepada mereka, tidak akan melihat kepada mereka pada hari
kiamat, dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang
pedih.” (Ali Imran: 77)
Maksud al-Bukhari rahimahullah adalah memahamkan hadits ini
sesuai dengan keumumannya, menyelisihi pendapat yang mengatakan bahwa
perbedaan dalam hal pergadaian, yang diterima adalah pendapat murtahin
selama (nilai utang yang diklaimnya) tidak melebihi nilai barang
gadaian. Demikian kata Ibnu Hajar rahimahullah. (Fathul Bari, 5/145)
Dengan demikian, kaidah pemutusan perselisihan dalam hal ini secara
garis besar sama dengan perselisihan dalam masalah lain. Untuk melihat
pendapatpendapat para ulama secara lebih luas bisa dirujuk pada kitab
al-Mughni (6/524).
Abul Harits menukil dari al-Imam Ahmad rahimahullah tentang
masalah barang gadaian yang ada dalam kekuasaannya selama
bertahun-tahun. Ia telah putus asa untuk mengetahui para pemiliknya.
Kata al-Imam Ahmad rahimahullah, “Ia menjualnya dan menyedekahkan sisanya.” Tampak dari riwayat ini bahwa penggadai mengambil haknya terlebih dahulu. (al-Mughni: 6/534-535)
Ada pula riwayat lain dari beliau yang dipahami bahwa murtahin tidak mengambil haknya. Adapun apabila dia membawa urusannya kepada hakim lalu hakim menjualnya dan memberikan haknya kepadanya, itu pun boleh. (al-Mughni, 6/535)
http://asysyariah.com/persyaratan-antara-rahin-dan-murtahin.html
Hukum-Hukum Barang Gadaian Selama Dalam Status Digadaikan
1. Biaya barang gadaian/rahin ditanggung oleh pegadai/rahin
Pembiayaan barang gadaian ditanggung
oleh pegadai/rahin, mulai makannya, pakaiannya, tempat tinggal atau
penyimpanannya, penjaganya, pengawetannya, hingga apa saja yang
memerlukan pembiayaan. Ini adalah pendapat Malik dan asy-Syafi’i.
Alasannya, pembiayaan tersebut adalah bagian dari nafkah terhadapnya,
dan barang tersebut tetap berstatus sebagai miliknya. Dalam hal ini ada
sebuah riwayat yang mursal (lemah),
لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
“Barang gadaian tidak boleh ditutup, miliknyalah keuntungannya dan
atasnyalah kerugiannya.” (HR. ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, dan
al-Baihaqi. Lihat Irwa’ul Ghalil no. 1410)
Namun, banyak ulama yang sependapat
dengan kandungan riwayat tersebut karena selaras dengan alasan bahwa
barang itu masih menjadi miliknya, sebagaimana apabila berkembang tetap
miliknya, ketika berkurang dan membutuhkan biaya pun menjadi
tanggungannya. (al-Mughni 6/517, ManarusSabil 2/89, al-Mulakhash
al-Fiqhi 2/55)
Apabila penggadai mengeluarkan biaya, ada dua kemungkinan:
a. Dengan niat sedekah, maka tidak ada hak meminta ganti tentunya.
b. Dengan niat meminta kembali, ini pun ada beberapa macam :
• Dalam keadaan mungkin untuk meminta izin lantas ia tidak memintanya, maka ia tidak boleh meminta ganti rugi karena ini adalah kesalahannya.
• Dalam keadaan mungkin untuk meminta izin dan ia memintanya, maka boleh meminta ganti rugi karena dia di sini ibarat wakil pemilik barang.
• Dalam keadaan tidak mungkin meminta izin karena halangan tertentu yang diterima secara syar’i, maka ia boleh meminta ganti rugi karena diamengeluarkan biaya demi menjaga haknya. Bahkan, ia telah berbuat baik kepadapegadai/rahin.(ManarusSabil, 2/89)
3. Murtahin memanfaatkan barang gadaian/rahn
Untuk menerangkan masalah ini, barang gadaian dibagi menjadi dua keadaan :
Pertama, yang tidak membutuhkan biaya,
seperti rumah dan perhiasan. Barang jenis ini tidak boleh dimanfaatkan
tanpa seizin pegadai/rahin. Bahkan, dengan izin pun tidak boleh
dimanfaatkan apabila itu adalah barang gadaian dari sebuah utang, karena
memanfaatkannya berarti telah mengambil sebuah manfaat dari utangnya.
Sementara itu, kaidah menyebutkan, “Setiap utang yang membawa kepada
pengambilan manfaat, maka itu adalah riba.”
Kedua, yang membutuhkan biaya, maka sama
dengan sebelumnya. Lain halnya apabila dalam bentuk hewan yang
menghasilkan susu dan hewan yang dapat ditunggangi. Para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini.
Sebagian ulama membolehkan pengambilan
manfaat dari susu dan punggungnya walaupun tanpa seizing pegadai/rahin,
selama dia mengeluarkan biaya makan hewan tersebut, maka ia dapat
memanfaatkan seukuran biayanya. Dalam hadits dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الرَّهْنُ
يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian dapat ditunggangi dengan
member biayanya apabila dalam keadaan tergadai, dan susu juga dapat
diminum dengan nafkahnya apabila dalam keadaan tergadai, dan kewajiban
yang menaiki dan meminumnya untuk memberi nafkah.” (Shahih, HR.
al-Bukhari).
Pendapat lain, tidak boleh memanfaatkan
barang gadaian tersebut sama sekali. Ini adalah pendapat Abu Hanifah,
Malik, dan asy-Syafi’i rahimahumullah.
Pendapat pertama lebih kuat, sesuai
dengan teks hadits. Masalah lain, barang gadaian selain yang dapat
diambil susunya atau ditunggangi.
Barang seperti ini bisa dibagi menjadi
dua: (1) hewan atau budak; (2), rumah dan semisalnya. Adapun hewan,
budak, dan sejenisnya, tidak boleh dimanfaatkan menurut pendapat yang
rajih. Abu Bakr al-Atsram mengatakan, “Yang diamalkan adalah tidak boleh
memanfaatkan barang gadaian sedikit pun selain yang dikhususkan oleh
syariat. Sebab, qiyasnya menuntut, tidak boleh memanfaatkan sedikit pun
darinya. Adapun kami membolehkan pemanfaatan hanya pada yang diperah dan
dinaiki karena adanya hadits.”
Pendapat lain membolehkan jika
pemilik/rahin tidak mau menafkahi. Namun, pendapat ini lemah. Adapun
rumah yang butuh pembiayaan, misalnya rumah yang rusak, murtahin tidak
boleh memanfaatkannya walaupun telah memperbaikinya. Sebab, pemiliknya
saja tidak punya kewajiban memperbaiki, sehingga apabila murtahin
memperbaikinya, itu dianggap sedekah.
Catatan: Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, apabila murtahin memanfaatkan rahn dengan memakainya,
menungganginya (selain cara yang dibolehkan), mengenakan baju gadaian,
menyusukan anak kepadanya (apabila seorang budak wanita), memanfaatkan
hasil lainnya, menempatinya, atau selainnya, hal itu dihitung sebagai
pengurang piutangnya seukuran itu. Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan
bahwa utang pegadai/rahin dianggap terbayar seukuran dengan nilainya,
karena manfaat dari barang gadai tersebut adalah milik pegadai…. (lihat
al-Mughni, 6/509—513)
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
“Tidak boleh bagi pegadai memanfaatkan barang gadaiannya… dan tidak
boleh bertransaksi atasnya, baik menyewakan, meminjamkan, atau selain
keduanya tanpa keridhaan murtahin. Ini adalah pendapat ats-Tsauri.
Adapun menjaga dan memperbaikinya, ini adalah keharusan bagi
rahin.”(al-Mughni, 6/516—517)
Akan tetapi, apabila pegadai/ rahin diberi izin oleh murtahin untuk memanfaatkannya, hal ini diperbolehkan. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm. Dasarnya adalah keumuman hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam,
الرَّهْنُ
يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian ditunggangi dengan
nafkahnya apabila digadaikan, dan susu hewan yang mengeluarkan susu
dapat diminum dengan nafkahnya apabila digadaikan, dan kewajiban yang
menunggangi dan meminum adalah member nafkah.” (Shahih, HR. al- Bukhari
dan yang lain)
Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan
bahwa barang siapa menggadaikan hewan yang dapat diperah dan
ditunggangi, ia tidak dihalangi untuk memerah susunya dan
menungganginya. Namun, tentu pemanfaatan tersebut selama tidak
bermudarat terhadap barang gadaian. (Abhats Hai’ah Kibar Ulama, Bab
“ar-Rahn”)
Globalnya, seluruh perkembangan dan
hasil dari rahn menjadi barang gadaian di tangan pemegang barang gadaian
tersebut, seperti pokoknya. Apabila dibutuhkan untuk dijual maka dijual
bersama pokoknya, baik hasil yang berkembang itu tersambung dengan
pokoknya -seperti kegemukan atau kepintaran-maupun yang terpisah-
seperti penghasilan keterampilan, upah, anak, buah, susu, wol, dan bulu.
Pendapat semacam ini yang diambil oleh an-Nakha’i dan asy-Sya’bi.
Alasannya, hukum gadai telah tetap pada barang tersebut dengan akad dari
pemilik sehingga termasuk di dalamnya perkembangan dan manfaat yang
dihasilkannya, sebagaimana kepemilikan dalam hal pembelian dan
perkembangan itu adalah perkembangan dari barang gadaian tersebut.
(al-Mughni, 6/513)
6. Apabila rahn rusak atau mati
Apabila terjadi kerusakan pada sebagian
barang gadaian, yang masih tersisa tetap menjadi barang gadaian sebagai
jaminan atas seluruh utangnya. Namun, kerusakan selama dalam pegangan
penggadai/murtahin, siapakah yang menanggungnya? Ada dua kemungkinan.
a. Kerusakan tersebut karena kesengajaan
penggadai atau kelalaiannya, maka dia yang menanggungnya. Ibnu Qudamah
rahimahullah berkata, “Apabila murtahin melakukan perusakan pada barang
gadaian atau menyepelekan penjagaan barang gadaian yang berada dalam
pemeliharaannya, dia harus menanggung ganti rugi. Kami tidak mengetahui
adanya perbedaan pendapat dalam hal wajibnya ditanggung penggadai.
Sebab, ini adalah amanat yang ada di tangannya. Ia juga wajib
menggantinya apabila rusak karena kesengajaan atau kelalaiannya,
layaknya sebuah barang titipan (wadi’ah).”
b. Apabila rusak tanpa kesengajaan atau
kelalaiannya, ia tidak wajib mengganti. Kerusakan ini jika terjadi pada
harta pegadai/rahin. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib,
dan dipegangi oleh Atha’, az-Zuhri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Abu Tsaur,
dan Ibnul Mundzir. (al-Mughni, 6/522)
http://asysyariah.com/hukum-hukum-barang-gadaian-selama-dalam-status-digadaikan.html