Bagi kaum muslimin yang “hobi” melakukan ziarah kubur, hampir
dipastikan mereka juga memiliki agenda untuk melakukan tawassul. Ritual
doa melalui perantara ini sepertinya telah menjadi menu wajib dari
rangkaian kegiatan ziarah kubur. Sayang, perbuatan tawassul itu
mayoritas menjurus kepada amalan syirik
yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketika diingatkan, mereka
menolak dengan keras karena mereka ternyata juga punya “dalil”. Apa saja
“dalil” mereka itu dan bagaimana bantahannya?
Sebagai lanjutan dari pembahasan tawassul yang disyariatkan pada
edisi lalu, kali ini akan dibahas tentang tawassul yang dilarang.
Kedua, tawassul yang diharamkan dan tidak disyariatkan oleh Allah.
Yaitu bertawassul kepada Allah I dengan sesuatu yang bukan sebagai
wasilah atau dengan sesutu yang tidak ditetapkan oleh syariat sebagai
wasilah dan bentuk tawassul ini ada dua:
1. Tawassul kepada Allah I dengan sesuatu yang tidak ada syariatnya.
Tawassul semacam ini di haramkan. Contohnya, bertawassul dengan jah
(kedudukan) seseorang yang memiliki kedudukan di sisi Allah I atau
tawassul dengan dzat seseorang. Perbuatan ini menjadi bid’ah dari satu
sisi dan syirik (kecil-red) dari sisi yang lain:
- Bid’ah karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh para shahabat
Rasulullah n kepada diri Rasul baik di saat beliau masih hidup, terlebih
setelah beliau meninggal.
- Syirik (kecil, red) dari sisi menjadikan sesuatu perantara atau
sebab yang tidak pernah ditentukan oleh Allah I, maka hal ini termasuk
dari kesyirikan kepada Allah I.
2. Tawassul kaum musyrikin dengan berhala dan patung-patung, dan juga
seperti tawassul para pengagung kuburan dengan wali-wali mereka yakni
sesungguhnya mereka meminta-minta langsung kepada ahli kubur atau
berhala dengan dalih bertawassul dan ini adalah tawassul syirik akbar.
Pertanyaan
1. Bagaimana hukum bertawassul dengan seseorang yang shalih?
Jawaban terhadap pertanyaan ini ada rinciannya yaitu:
a. Bila bertawassul dengan doa mereka kepada Allah I dengan cara
meminta agar dia mendoakan dirimu kepada Allah I, maka hal ini
diperbolehkan di dalan syariat dan telah dilakukan oleh para shahabat
Rasulullah n kepada beliau dan telah dilakukan pula oleh Umar bin
Al-Khaththab kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muththalib z.
b. Bila bertawassul dengan kedudukan mereka dan dzat mereka maka ini
termasuk dari kesyirikan(kecil, red) dari satu sisi dan kebidahan dari
sisi yang lain, sebagaimana di atas.
2. Bagaimana hukum bertawassul kepada Rasulullah n?
Bertawassul dengan Rasulullah n termasuk dari sederetan fitnah yang besar, dan jawaban terhadap pertanyaan ini adalah:
a. Bila bertawassul dengan keimanannya kepada beliau maka hal ini
termasuk dari ibadah kepada Allah I dan disyariatkan oleh-Nya. Contohnya
dengan mengatakan: “Ya Allah dengan imanku kepada Nabi-Mu aku
memohon-Mu…
b. Bila tawassul dengan doa beliau artinya datang kepada beliau
semasa masih hidup lalu meminta agar didoakan kepada Allah I, maka hal
ini adalah diperbolehkan sebagaimana di atas adapun setelah wafatnya
maka tidak boleh bertawassul melainkan dengan mengikuti dan mengimani
beliau.
c. Bila tawassul dengan kedudukan dan dzat beliau baik disaat beliau
hidup atau setelah wafatnya maka hal ini termasuk dari kebid’ahan.
Beberapa Permasalahan Penting
Setelah mengetahui jenis-jenis tawassul baik yang disyariatkan ataupun
yang mengundang murka Allah, ada beberapa permasalahan penting yang
harus dipahami:
1. Bahwa ahli kebatilan tidak akan berdiam diri dan ridha, membiarkan
kaum muslimin kembali kepada ajaran Rasulullah n dan mengamalkannya di
tengah masyarakat yang menjadi mangsa mereka. Sehingga mereka berusaha
dengan segala cara untuk menghadapi segala kemungkinan pembaharuan
akidah dengan cara apapun juga, walaupun dalam waktu yang cukup lama.
Mereka akan memakai senjata-senjata kebatilan untuk membendung kebenaran
dan pengikutnya, seperti dusta, tuduhan keji, menipu, janji-janji
palsu, mencaci-maki, dan sebagainya.
2. Para penyesat selalu mengintai mangsanya, yang bila ada kesempatan
mereka akan mengeluarkan manuver-manuver penyesatan dengan jembatan
syubhat.
3. Betapa banyak dari kaum muslimin termakan manuver-manuver mereka,
sadar atau tidak sadar. Sehingga bukan suatu keanehan lagi bila muncul
dari kaum muslimin pembela-pembela kebatilan, penebar kesesatan. Allah I
berfirman:
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba`: 13)
4. Allah I akan selalu menjaga agamanya dari rongrongan para penyesat
dengan menampilkan para ulama Ahlus Sunnah untuk membendung kejahatan
mereka. Bagaimanapun dan di manapun mereka bersembunyi dengan kebatilan
mereka, niscaya Allah I akan menampilkan sosok ulama yang akan menyeret
mereka agar nampak di hadapan kaum muslimin bahwa ini adalah ahli
kebatilan, berikut kebatilan yang mereka lakukan.
Hal ini sebagai
kebenaran janji Allah di dalam Al Qur`an:
“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan Ad-Dzikr (Al-Qur`an) dan Kami yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)
Tidak ada sekecil apapun kejahatan yang diperbuat di dalam agama-Nya
atau mengatas namakan agama-Nya, melainkan Allah I akan membongkar
kedoknya. Dan tidak ada sekecil apapun makar yang dilakukan oleh ahli
kebatilan secara sembunyi melainkan Allah I akan mengbongkarnya walaupun
mereka akan bersembunyi di lobang-lobang biawak sekalipun. Tidak ada
sesulit apapun syubhat yang mereka lontarkan melainkan Allah I akan
menampakkan kebatilannya. Itulah bentuk rahmat Allah atas
hamba-hamba-Nya yang beriman. Itulah apa yang telah disebutkan oleh
Rasulullah n dalam sebuah sabdanya:
“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, niscaya Allah akan
memberikan kefaqihan di dalam agama, dan sesungguhnya aku adalah sebagai
pembagi (harta shadaqah) dan yang memberi adalah Allah. Terus menerus
(sebagian) dari umat ini (Islam) tegak di atas perintah Allah, tidak
akan membahayakan mereka siapapun yang menyelisihi mereka sampai datang
keputusan Allah.”
Hadits ini diriwayatkan dari sejumlah shahabat Rasulullah n seperti
Mu’awiyah bin Abu Sufyan diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 71,
Muslim no. 1037, dan Ahmad no. 16246, Tsauban, Al-Mughirah bin Syu’bah,
Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, Abu Hurairah,
Mu’awiyah bin Qurrah, Zaid bin Arqam, ‘Imran bin Hushain, Uqbah bin
‘Amir, Abu Umamah g dan selain mereka. Hadits ini diriwayatkan pula oleh
Abu Dawud di dalam Sunan beliau, juga At-Tirmidzi, Ibnu Majah.
Dalam lafadz yang lain, Rasulullah n menjelaskan: “Mereka adalah
golongan yang selalu memperjuangkan kebenaran dan selalu tertolong di
atasnya sampai datang keputusan Allah.” Lalu siapakah yang dimaksud
dengan sekelompok kecil tersebut?
Ibnu Hajar Al-’Asqalani t mengatakan: “Al-Imam Al-Bukhari telah
memastikan bahwa yang dimaksud adalah ulama dan ahli hadits.” Dan
Al-Imam Ahmad t mengatakan: “Kalau bukan ahli hadits yang dimaksud, maka
saya tidak mengetahui siapa mereka.” Al-Qadhi ‘Iyadh t mengatakan:
“Yang dimaksud oleh Ahmad adalah Ahlus Sunnah dan orang-orang yang
mengikuti madzhab mereka.” (Lihat Fathul Bari, 1/200, cet. Darul Hadits,
Mesir)
Di antara syubhat yang dilontarkan oleh ahli kebatilan dalam masalah tawassul adalah sebagai berikut:
Syubhat pertama: “Orang-orang yang membolehkan tawassul dengan jah
(kedudukan) seseorang, kehormatan, dzat dan haknya, berdalil dengan
hadits Anas bin Malik, diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam dua
tempat. Pertama, dalam kitab Al-Istisqa` bab 3 no. 1010 dan di dalam
kitab Fadha`ilush Shahabah bab 11 no. 3710.
“Sesungguhnya ‘Umar bin Al-Khaththab beristisqa` (minta turun hujan)
melalui ‘Abbas bin Abdul Muththalib bila ditimpa musim kering (yang
berakibat terjadinya paceklik). Beliau (‘Umar) berkata: “Ya Allah,
sesungguhnya kami dulu bertawassul dengan Nabi Engkau dan Engkau
menurunkan air hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi
Engkau, maka turunkanlah atas kami hujan, beliau berkata: ‘Lalu turun
hujan buat mereka’.”
Mereka (ahli kebatilan) mengatakan: “Dari hadits ini, ‘Umar bertawassul
dengan jah (kedudukan), dan dia memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah.
Dan tawassul ‘Umar hanya sebatas menyebut nama Al-‘Abbas di dalam doa
beliau dan meminta kepada Allah untuk menurunkan hujan. Ditambah lagi,
para shahabat menyetujui hal itu. Adapun sebab ‘Umar berpaling dari
bertawassul dengan Rasulullah hanyalah sebatas ingin menjelaskan
bolehnya bertawassul dengan “mafdhul” (orang yang lebih rendah
kedudukannya) bersamaan dengan adanya yang lebih afdhal.”
Bantahannya: Pemahaman mereka tentang hadits di atas dengan maksud demikian sangatlah keliru dari banyak sisi:
1. Kaidah di dalam syariat mengatakan bahwa nash-nash itu saling
menjelaskan sebagiannya atas sebagian yang lain. Tidak boleh memahami
sebuah nash dengan melepaskan keterkaitannya dengan nash yang lain.
Berdasarkan hal ini, hadits ‘Umar harus dipahami dengan riwayat-riwayat
yang lain yang menjelaskan tentang tawassul. Dan keterangan
riwayat-riwayat yang banyak tersebut menjelaskan, bahwa para shahabat
Rasulullah n ketika ditimpa oleh paceklik, mereka bertawassul dengan doa
Rasulullah n dengan cara mendatangi beliau ketika masih hidup dan
meminta agar beliau berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan, dan bukan
dengan kepribadian (zat) dan kedudukan beliau yang tinggi di sisi
Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari
shahabat Anas bin Malik z yang shahih:
“Ketika Rasulullah n berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba seseorang
datang lalu berkata: ‘Ya Rasulullah, hujan tertahan (menyebabkan
paceklik). Berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan untuk kami.’
Lalu Rasulullah n berdoa dan hujan turun atas kami, hampir-hampir kami
tidak bisa pulang ke rumah-rumah kami, dan hujan tersebut berlangsung
sampai Jum’at berikutnya. (Anas) berkata: “Orang tersebut atau –yang
selain dia– bangkit dan berkata: ‘Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah
agar Allah memalingkan hujan dari kami.’ Lalu Rasululah n berdoa: ‘Ya
Allah, palingkan hujan itu dari kami dan jangan dijadikan sebagai bahaya
bagi kami.’ Anas berkata: “Sungguh aku menyaksikan gumpalan awan
terpisah-pisah ke arah kanan dan kiri lalu turun hujan untuk mereka
(selain penduduk Madinah), dan hujan tidak turun bagi penduduk Madinah.”
Berarti ucapan ‘Umar:
“Sesungguhnya kami dulu bertawassul dengan Nabi Engkau dan Engkau
menurunkan air hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi
Engkau…”
Dalam ucapan tersebut ada sebuah kata yang terbuang yang dengannya akan
sempurna dan sesuai dengan nash-nash lain yang shahih dan kata yang
terbuang itu harus didatangkan. Dan kata yang terbuang itu ada dua
kemungkinan, pertama: “Kami bertawassul kepada-Mu dengan jah1
(kedudukan) Nabi-Mu dan jah (kedudukan) paman Nabi-Mu”, atau kedua:
“Kami bertawassul kepada-Mu dengan doa2 Nabi-Mu dan dengan doa paman
Nabi-Mu”. Untuk menghukumi mana yang benar dari dua kemungkinan ini,
kita harus kembali kepada As Sunnah dan yang sesuai dengan
riwayat-riwayat yang shahih. Dan yang benar dan sesuai dengan riwayat
yang shahih adalah kemungkinan yang kedua.
2. Tawassul secara bahasa dan yang difahami oleh ‘urf (kebiasaan yang
sudah berlangsung) melalui lisan-lisan orang Arab adalah seperti apa
yang telah dipahami dan yang dilakukan oleh para shahabat kepada
Rasulullah n. Bentuknya adalah bila engkau memiliki hajat kepada
seseorang dan orang ini memiliki kedudukan (misalnya) sebagai pimpinan,
lalu engkau mendatangi seseorang yang lebih didengar suaranya oleh
pimpinan tersebut, maka engkau mengutarakan hajatmu kepadanya untuk
disampaikan kepada pimpinan. Demikianlah definisi tawassul di kalangan
orang Arab sejak dahulu. Dan bukan makna tawassul adalah bila kamu
datang kepada pimpinan itu lalu mengatakan: ‘Hai pimpinan, karena jah
(kedudukan) orang tersebut dan dekatnya posisinya di sisimu, maka
tunaikanlah hajatku.’
3. Ucapan mereka (ahli kebatilan): “Bahwa para shahabat merestui perbuatan ‘Umar”
Mereka merestuinya karena memang perbuatan ‘Umar tidak menyelisihi
Sunnah Rasulullah n. Dan jika perbuatan ‘Umar menyelisihi Sunnah
Rasulullah n, niscaya mereka (para shahabat) akan menentang perbuatan
‘Umar. Dan mustahil mereka akan sepakat di dalam kebatilan sedangkan
mereka adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan bagi manusia, menegakkan
amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dan perbuatan ‘Umar sesuai dengan
riwayat-riwayat yang shahih di atas dimana beliau datang kepada
Al-‘Abbas dan meminta agar beliau (Al-‘Abbas) berdoa kepada Allah agar
Dia menurunkan hujan, sebagaimana permintaan yang terjadi di masa
Rasulullah n masih hidup.
Makna hadits ‘Umar di atas telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani
t di dalam kitab beliau Fathul Bari (2/571, cet. Darul Hadits, Mesir):
“Telah dijelaskan oleh Az-Zubair bin Bakkar di dalam kitab Al-Ansab,
tentang sifat doa Al-‘Abbas dalam peristiwa ini dan waktu terjadi hal
itu. Beliau meriwayatkan dengan sanad beliau, di saat ‘Umar bertawassul
dengan Al-’Abbas dalam istisqa`, Al-’Abbas berdoa:
“Ya Allah, sesungguhnya tidaklah turun bala` melainkan karena sebuah dosa
dan tidak akan dihilangkan melainkan dengan bertaubat. Dan kaum itu
telah mendatangiku untuk menyampaikan hajat mereka kepada-Mu karena
kedudukan diriku di hadapan Nabi-Mu, dan ini tangan-tangan kami
berlumuran dengan dosa dan ubun-ubun kami (mengiqrarkan) taubat.
Turunkanlah kepada kami hujan. Kemudian turun hujan dari langit sehingga
bumi menjadi subur dan manusia bisa hidup.”
4. Ucapan ahli kebatilan: “Ini bukti bahwa ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan) Al-‘Abbas.”
Kalau benar ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan) Al-‘Abbas niscaya
beliau tidak akan meninggalkan bertawassul dengan jah Rasulullah n
walaupun beliau telah wafat. Karena bertawassul dengan jah beliau n bisa
dilakukan sekalipun beliau n telah wafat. Dan tentu para shahabat yang
lain akan menegur ‘Umar, kenapa meninggalkan bertawassul dengan jah
Rasulullah n lalu berpaling kepada Al-‘Abbas. Dan sungguh kita
mengetahui semangat para shahabat untuk melakukan sesuatu yang lebih
utama.
5. Mereka mengatakan: “Umar berpaling dari Rasulullah n dalam
bertawassul kemudian menuju Al-‘Abbas, untuk menjelaskan tentang
kebolehan bertawassul dengan yang mafdhul (kurang utama) bersamaan
dengan adanya yang afdhal (lebih utama).”
Alasan ini adalah batil dari banyak sisi:
1. Tawassul yang benar/ syar’i kepada Rasulullah n setelah wafat
beliau merupakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Dan bagaimana
mereka akan pergi ke makam Rasulullah n lalu menjelaskan keadaan mereka
dan meminta kepada beliau, agar beliau berdoa kepada Allah supaya
dibebaskan dari bala` yang menimpa, sementara Rasulullah n telah
menghadap Allah? Karena memang tidak diperbolehkan itulah, sehingga
‘Umar bertawassul dengan doa paman Rasulullah n, Al-‘Abbas. Bila hal itu
diperbolehkan setelah wafat beliau dan ‘Umar meninggalkan hal demikian,
berarti ‘Umar meninggalkan Sunnah Rasulullah n. Dan tidak mungkin hal
itu terjadi pada diri orang terbaik umat Rasulullah n setelah Abu Bakr
z.
2. Manusia dengan fitrah yang ada pada diri mereka, ketika ditimpa
oleh malapetaka yang dahsyat, tentu akan mencari sebab yang lebih kuat
untuk segera terselesaikan darinya, dan akan mencari wasilah yang lebih
besar dan afdhal agar segera terbebaskan dari malapetaka tersebut. Dan
jika tawassul dengan jah Nabi n diperbolehkan, kenapa ‘Umar harus
mencari yang mafdhul (kurang afdhal) dan meninggalkan yang afdhal?
3. Taruhlah bahwa terbetik pada diri ‘Umar untuk bertawassul kepada
Allah melalui Al-‘Abbas dengan tujuan untuk menjelaskan hukum fiqih yang
mereka duga yaitu: “Menjelaskan tentang kebolehan bertawassul dengan
yang mafdhul bersamaan dengan adanya yang afdhal,” apakah hal itu juga
akan terbetik pada diri Mu’awiyah dan Ad-Dhahhak bin Qais di saat
keduanya bertawassul dengan doa seorang tabi’in yang memiliki kemuliaan,
Yazid bin Al-Aswad Al-Jurasyi, dan tidak mencukupkan dengan apa yang
dilakukan oleh ‘Umar? Tentu ini adalah alasan yang berlebihan.
4. Di dalam kisah ‘Umar tersebut ada sebuah rahasia yang mungkin perlu diperhatikan yaitu:
“Sesungguhnya ‘Umar bila terjadi musim kemarau, beliau melakukan istisqa’ dengan meminta Al-‘Abbas untuk berdoa.”
Ucapan ini menjelaskan bahwa ‘Umar sering melakukan yang serupa setiap
kali terjadi musim kemarau yang panjang. Dan kalau untuk menjelaskan
hukum fiqih di atas, niscaya ‘Umar tidak akan melakukannya
berulang-ulang dan cukup melakukannya satu kali.
Syubhat kedua: Mereka berdalil dengan hadits yang dikeluarkan oleh
Al-Imam Ahmad dan selain beliau dengan sanad yang shahih dari ‘Utsman
bin Hunaif bahwa seseorang buta mendatangi Rasulullah n dan berkata:
“Seorang buta mendatangi Rasulullah n lalu berkata: ‘Doakanlah buatku
agar Allah menyembuhkanku.’ Rasulullah n bersabda: “Kalau kamu
menghendaki, aku akan mendoakan buatmu dan bila kamu menghendaki aku
akan menahan doa tersebut dan itu lebih baik buatmu.’ Di dalam sebuah
riwayat: ‘Kalau kamu mau, kamu bersabar maka itu lebih baik buatmu.’ Dia
berkata: ‘Berdoalah.’ Lalu Rasulullah n menyuruhnya untuk mengambil air
wudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua rakaat dan dia
berdoa dengan doa ini: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan
aku menghadap-Mu dengan (doa) Nabi-Mu Muhammad Nabi rahmah. Hai
Muhammad, sesungguhnya aku menghadap Allah dengan (doa) mu dalam semua
hajatku lalu tertunaikan buatku. Ya Allah, terimalah syafaatnya
(Nabi-Mu) bagiku. Ya Allah terimalah doaku agar Engkau mengabulkan
syafaatnya buatku’. Maka orang tersebut melakukannya dan dia sembuh.”3
Mereka mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bolehnya seseorang
bertawassul di dalam doanya dengan jah (kedudukan) Rasulullah n atau
selain beliau dari orang-orang yang shalih, karena di dalamnya beliau
mengajarkan kepada orang buta tersebut agar bertawassul dengan beliau di
dalam doanya dan dia melakukannya, kemudian dia sembuh.”
Bantahannya: Sesungguhnya dalil ini menjelaskan jenis tawassul yang
disyariatkan sebagaimana dalam keterangan di atas ,yaitu tawassul dengan
doa beliau. Dan bukti yang menjelaskan demikian di dalam hadits
tersebut banyak sekali dan yang paling penting adalah:
1. Bahwa orang buta itu datang kepada Rasulullah n meminta untuk
didoakan kepada Allah agar disembuhkan dari penyakit yang dideritanya.
Hal ini jelas di dalam ucapannya: , dan bila memaksudkan bertawassul
dengan jah dan dzat Rasulullah n maka dia tidak perlu mendatangi
Rasulullah n.
2. Rasulullah n berjanji untuk mendoakannya. Bersamaan dengan itu,
beliau menasehatinya menuju sesuatu yang lebih utama yaitu bersabar. Dan
inilah makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah n di dalam sebuah
sabda beliau n: “Bila aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya lalu dia
bersabar, niscaya Aku akan menggantikan keduanya dengan surga.”4
3. Terus menerusnya orang buta tersebut meminta kepada Rasulullah n
untuk didoakan, menunjukkan bahwa Rasulullah n mendoakannya dan beliau
adalah sebaik-baik orang di dalam memenuhi janjinya.
4. Di antara doa yang diajarkan kepadanya adalah , dan ucapan ini
mustahil mengandung makna bahwa dia bertawassul di dalam doanya dengan
jah (kedudukan) atau dzat Rasulullah n. Karena makna dari ucapan
tersebut adalah: “Ya Allah, terima syafaatnya buatku”, artinya terimalah
doanya agar aku mendapatkan kesembuhan dan agar penglihatanku kembali.
5. Di antara doa yang diajarkan Rasulullah n kepadanya adalah ,
maksudnya terimalah doaku agar Engkau menerima syafaat Rasulullah n
untukku, artinya terimalah doanya (Rasulullah n ) agar penglihatanku
kembali.
6. Hadits ini diletakkan oleh para ulama dalam bab membicarakan
mu’jizat Rasulullah n dan doa beliau yang mustajab, dan sebagai bukti
kebesaran Allah dengan memperlihatkan keajaiban-keajaiban berkat doa
Rasulullah n, seperti menyembuhkan orang yang sakit. Dan dengan doa
beliau juga, orang yang buta tersebut dikembalikan penglihatannya oleh
Allah. Oleh karena itu, para ulama meletakkan hadits ini dan yang
sepertinya dalam karya tulis mereka pada sebuah bab “Bukti-bukti
kenabian”, sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan selain
beliau. Dari semuanya ini sangat jelas bahwa rahasia kesembuhan orang
tersebut datang dari Allah, kemudian berkat doa Rasulullah n yang
mustajab.
Bila hal ini telah jelas bagi pembaca yang budiman maka sampailah kita
kepada sebuah pengertian, yaitu maksud dari ucapan orang yang buta
tersebut: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku
bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad…” adalah dengan doa
Nabi-Mu Muhammad n.
(Bersambung, Insya Allah)
1 Taqdiran (kemungkinan kata yang terbuang) yang pertama
2 Taqdiran kedua
3 Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad di dalam Musnad 4/138, At-Tirmidzi
no. 3831, Ibnu Majah di dalam Sunan beliau no.1385, Ath-Thabrani 3/2/2
dan Al-Hakim
1/313. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t di dalam kitab Shahih
Sunan At-Tirmidzi 3/183 no. 2832 dan di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah
1/232 no. 1138, dan beliau mengisyaratkan ke dalam kitab beliau
At-Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu hal. 76, Ar-Raudh hal. 661, At-Ta’liq
Ar-Raghif 1/142-242, dan At-Ta’liq ‘Ala Shahih Ibnu Huzaimah 1219. dan
Ad-Darimi no. 2325 dari shahabat Abu Hurairah, dan At-Tirmidzi
mengatakan juga datang dari shahabat ‘Irbadh bin Sariyah.”
http://asysyariah.com/tawassul-syubhat-dan-bantahannya.html
No comments:
Post a Comment