Arti tabattul (membujang), Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:
"Tabattul di sini ialah menjauhkan diri dari wanita dan tidak menikah
karena ingin terus beribadah kepada Allah."[1]
Hadits-hadits yang melarang hidup membujang cukup banyak, di antaranya:
1. Hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dari Sa’ad bin Abi Waqqash
Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menolak hal itu pada ‘Utsman bin Mazh’un. Seandainya beliau membolehkan
kepadanya untuk hidup membujang, niscaya kami membujang."[2]
2. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia
menuturkan: "Aku mengatakan: 'Wahai Rasulullah, aku adalah seorang
pemuda dan aku takut memberatkan diriku, sedangkan aku tidak mempunyai
sesuatu untuk menikahi wanita.' Tetapi beliau mendiamkanku. Kemudian aku
mengatakan seperti itu lagi kepada beliau, tapi beliau mendiamkanku.
Kemudian aku mengatakan seperti itu lagi, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: 'Wahai Abu Hurairah, pena telah kering dengan apa
yang engkau temui (alami); mengebirilah atau tinggal-kan.'"[3]
Syaikh Mushthafa al-‘Adawi berkata -mengomentari sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam: "Mengebirilah atau tinggalkan"-: "Ini seperti firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
‘Maka barangsiapa yang (ingin) beriman hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang (ingin) kafir biarlah ia kafir.' [Al-Kahfi/18: 29]
Dan ayat ini bukannya membolehkan kekafiran."[4]
Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ditemui oleh Sa’id bin
Hisyam seraya bertanya kepadanya: "Aku ingin bertanya kepadamu tentang
hidup membujang; bagaimana menurutmu?" Ia menjawab: "Jangan lakukan!
Bukankah engkau mendengar Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
‘Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan...’ [Ar-Ra’d/13:
38]
Oleh karena itu, janganlah engkau hidup membujang."[5]
Tidak Ada "Kepasturan (Kerahiban)" Dalam Islam.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menuturkan: “Aku menjenguk Khuwailah binti
Hakim bin Umayyah bin Haritsah bin al-Auqash as-Salamiyyah, dan dia
adalah isteri 'Utsman bin Mazh'un.” Ia melanjutkan: “Ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kondisi tubuhnya yang buruk,
beliau bertanya kepadaku: ‘Wahai ‘Aisyah, apa yang memperburuk kondisi
Khuwailah?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, ia seorang wanita yang
mempunyai suami yang selalu berpuasa di siang hari dan bangun malam
(untuk shalat). Ia seperti orang yang tidak mempunyai suami. Oleh
karenanya, ia membiarkan dirinya dan menyia-nyiakannya.’ Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan kepada ‘Utsman
bin Mazh’un (agar ia datang menghadap). Ketika dia datang kepada beliau,
maka beliau bertanya: ‘Wahai ‘Utsman, apakah engkau membenci Sunnahku?’
Ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, bahkan Sunnahmu yang
aku cari.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya aku tidur, shalat, puasa,
berbuka, dan menikahi beberapa orang wanita; maka bertakwalah kepada
Allah wahai ‘Utsman, karena isterimu mempunyai hak atasmu, tamumu
mempunyai hak atasmu, dan dirimu mempunyai hak atasmu. Oleh karenanya,
berpuasalah dan berbukalah, shalatlah dan tidurlah.'"[6]
Asy-Sya’bi meriwayatkan: Ka’ab bin Sur pernah duduk di sisi ‘Umar bin
al-Khaththab Radhiyallahu anhu, lalu seorang wanita datang seraya
berkata: "Wahai Amirul Mukminin, aku tidak melihat seorang pun yang
lebih baik daripada suamiku. Demi Allah, dia senantiasa beribadah pada
malam harinya dan senantiasa berpuasa pada siang harinya." Mendengar hal
itu ‘Umar memohonkan ampunan untuknya dan memujinya, tetapi wanita ini
merasa malu dan beranjak pulang. Ka’ab berkata: "Wahai Amirul Mukminin,
tidakkah engkau membantu wanita ini (mendapatkan hak) atas suaminya.
Sebab, dia telah menyampaikan keluhannya kepadamu." ‘Umar berkata kepada
Ka’ab: "Putuskanlah perkara di antara keduanya, karena engkau memahami
urusan apa yang tidak aku fahami." Ia mengatakan: "Aku melihat
sepertinya dia seorang wanita bersama tiga isteri lainnya, dan ia
keempatnya. Oleh karenanya, aku memutuskan tiga hari tiga malam di mana
dia (pria ini) beribadah di dalamnya, dan untuknya (wanita ini) sehari
semalam." ‘Umar berkata: "Demi Allah, pendapatmu yang pertama tidak
lebih mengagumkan dari-pada yang terakhir. Pergilah! Engkau menjadi
qadhi (hakim) atas Bashrah. Sebaik-baik qadhi adalah dirimu."[7]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai ‘Abdullah, benarkah apa
yang aku dengar bahwa engkau selalu berpuasa di siang hari dan
mengerjakan shalat malam?" Aku menjawab: "Benar, wahai Rasulullah."
Beliau bersabda: "Jangan engkau lakukan! Berpuasa dan berbukalah, bangun
dan tidurlah, karena tubuh mempunyai hak atasmu, kedua matamu mempunyai
hak atasmu, isterimu mempunyai hak atasmu, dan tamumu mempunyai hak
atasmu. Cukuplah engkau berpuasa tiga hari dalam sebulan, karena engkau
akan mendapatkan pada setiap kebajikan sepuluh kali lipatnya. Jadi, itu
seperti puasa sepanjang masa." Ketika aku bersikeras, maka aku sendiri
yang akhirnya kesulitan. Aku mengatakan: "Wahai Rasulullah, aku masih
memiliki kesanggupan." Beliau bersabda: "Kalau begitu berpuasalah dengan
puasa Dawud Alaihissallam dan jangan menambahnya." Aku bertanya:
"Bagaimana puasa Nabi Allah Dawud Alaihissallam?" Beliau menjawab:
"Separuh masa." ‘Abdullah berkata setelah tua: "Duhai sekiranya aku
menerima keringanan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam."[8]
Al-Marwazi mengatakan: Abu ‘Abdillah -yakni Ahmad bin Hanbal- berkata:
"Hidup membujang sama sekali bukan dari ajaran Islam. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menikahi 14 isteri, dan beliau wafat meninggalkan
sembilan isteri. Seandainya Basyar bin al-Harits menikah, niscaya
urusannya menjadi sempurna. Seandainya manusia tidak menikah, niscaya
tidak ada peperangan, tidak ada haji, dan tidak ada begini dan begitu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah, sedangkan mereka tidak
memiliki apa-apa, dan beliau wafat meninggalkan 9 isteri serta memilih
menikah dan menganjurkan akan hal itu. Beliau melarang hidup membujang.
Barangsiapa yang membenci Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka dia berada di atas selain kebenaran. Ya’qub, dalam kesedihannya,
masih menikah dan mendapatkan anak. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: "Dimasukkan ke dalam hatiku kecintaan kepada para
wanita."[9]
Aku mengatakan kepadanya, diceritakan dari Ibrahim bin Ad-ham bahwa dia
mengatakan: "Sungguh, rasa takut seorang laki-laki yang menanggung beban
keluarga yang berat..." Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku,
tiba-tiba dia (memotongnya serta) berteriak kepadaku dan mengatakan:
'Kita terperangkap di jalan-jalan yang sempit.' Lihatlah -semoga Allah
menyelamatkanmu- apa yang dilakukan oleh Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya." Kemudian dia mengatakan:
"Sungguh tangisan anak di hadapan ayahnya karena meminta roti kepadanya,
itu lebih baik daripada demikian dan demikian. Bagaimana mungkin ahli
ibadah yang membujang bisa menyamai orang yang menikah?"[10]
Syubhat:
Makna Tabattul Dalam Al-Qur-an.
Syaikh Muhammad bin Isma’il berkata: Di antara hal yang patut untuk
disebutkan bahwa al-Qur-an memerintahkan tabattul dalam firman-Nya:
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا
“Sebutlah Nama Rabb-mu, dan bertabattullah (beribadahlah) kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” [Al-Muzzammil/73: 8].
Makna ayat ini adalah perintah agar menggunakan seluruh waktunya untuk Allah dengan ibadah yang ikhlas.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (men-jalankan) agama yang
lurus...” [Al-Bayyinah/98: 5].
Sementara ada larangan tabattul dalam Sunnah. Dan yang dimaksud
dengannya ialah memutuskan hubungan dari manusia dan komunitas, menempuh
jalan kependetaan untuk meninggalkan pernikahan, dan menjadi pendeta di
tempat-tempat sembahyang. Jadi, tabattul diperintahkan dalam al-Qur-an
dan dilarang dalam Sunnah. Kaitan perintah berbeda dengan kaitan
larangan; maka keduanya tidak kontradiktif. Dan Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam hanyalah diutus untuk menjelaskan kepada manusia
tentang apa yang diturunkan kepada mereka.
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu
Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap
Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim, Syarh an-Nawawi (III/549).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5074) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab
an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1086) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3212)
kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1848) kitab an-Nikaah, Ahmad (no.
1517).
Faidah: Apakah boleh mengebiri binatang? Kalangan yang membolehkan
mengebiri binatang berargumen dengan hadits dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau menyembelih dua domba yang dikebiri.
Mereka berkata: “Seandainya mengebiri hewan yang dapat dimakan itu
diharamkan, niscaya beliau tidak menyembelih domba yang dikebiri sama
sekali.” Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni (VIII/ 625): “Mengebiri
hewan diperbolehkan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyembelih dua domba yang dikebiri.” Al-waj' ialah menghancurkan kedua
buah zakar, dan apa yang dipotong kedua zakarnya, atau dicabut, maka ia
seperti dikekang, karena semakna. Karena mengebiri adalah menghilangkan
bagian yang tidak sedap sehingga membuat dagingnya sedap dengan
hilangnya bagian itu dapat memperbanyak dan menggemukkan. Asy-Sya’bi
berkata: "Apa yang bertambah pada daging dan lemaknya lebih banyak
daripada yang hilang darinya. Demikianlah pendapat al-Hasan, ‘Atha’,
asy-Sya’bi, an-Nakha'i, Malik dan asy-Syafi'i, dan saya tidak melihat
perselisiahan di dalamnya.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5076) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1404) kitab
an-Nikaah, Ahmad (no. 3642) lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no.
7832).
[4]. Jaami’ Ahkaamin an-Nisaa’, al-‘Adawi (III/20).
[5]. HR. At-Tirmidzi (no. 1982) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1849)
kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih
Ibni Majah (no. 1499).
[6]. HR. Ahmad (no. 25776), yang di dalamnya terdapat ‘Abdullah bin
Sa’id, ia adalah shaduq, dan para perawi lainnya adalah tsiqat, Abu
Dawud (no. 1369) kitab ash-Shalaah.
[7]. Majmuu’ al-Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXIV/85), al-Mughni (VII/30),
dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa' (VII/80).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 1975) kitab ash-Shaum, Muslim (no. 1159) kitab
ash-Shaum, at-Tirmidzi (no. 770) kitab ash-Shaum, an-Nasa-i (no. 1630)
kitab ash-Shaum, Ibnu Majah (no. 1712) kitab ash-Shaum, Ahmad (no.
6441), ad-Darimi (no. 1752).
[9]. HR. An-Nasa-i (VII/61) dalam ‘Isyratun Nisaa', bab Hubbun Nisaa',
Ahmad (III/128), al-Hakim (II/160) dan ia menilainya sebagai hadits
shahih sesuai syarat Muslim, dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Al-Hafizh
al-‘Iraqi menilai sanadnya baik, dan Ibnu Hajar menilainya sebagai
hadits hasan.
[10]. Raudhatul Muhibbiin (hal. 214).
http://almanhaj.or.id/content/3560/slash/0/larangan-hidup-membujang/
Pengertian Akad
Secara bahasa, akad artinya ikatan, mengencangkan,
menjamin, atau perjanjian. Mengikat tali, bahasa arabnya: عَقَدَ
الحَبْلَ . Sesuatu yang terikat disebut ma`qud. (al-Fairuz Abadzi,
al-Qomus al Muhith, Syamilah, kata: عقد)
Dalam pengertian umum, akad artinya sesuatu yang menjadi komitmen seseorang untuk dilakukan atau komitmen seseorang yang menuntut agar orang lain melakukan suatu perbuatan tertentu yang dia inginkan. (al-Jashsas, Ahkam al-Qur`an, Mauqi al-Islam, jilid 5, hlm. 181)
Berdasarkan pengertian ini maka jual-beli, nikah, dan semua transaksi komersial dan ganti rugi bisa disebut akad. Demikian pula sumpah untuk melakukan perbuatan tertentu di masa mendatang juga disebut akad. Karena sumpah termasuk diantara komitmen untuk melakukan sesuatu di masa mendatang.
Kedua, pengertian akad secara khusus
Secara khusus, akad adalah ikatan antara beberapa pihak transaksi melalui ijab dan qabul. (al-Jurjani, at-Ta`rifat, Dar al-Kutub al-Arabi, Beirut, 1405, hlm. 196). Berdasarkan pengertian ini maka sumpah tidak termasuk akad. Demikian pula berjanji untuk diri sendiri, tidak termasuk akad. Istilah akad hanya digunakan untuk transaksi antara beberapa pihak, baik saling mengikat maupun tidak saling mengikat.
Pertama, pembagian akad ditinjau dari keterkaitannya dengan harta, akad dibagi menjadi dua:
Kedua, pembagian akad ditinjau dari konsekwensinya, dibagi dua:
Ditinjau dari adanya khiyar (hak pilih) dan tidak diterimanya hak pilih, akad dibagi menjadi enam:
1. Akad mengikat yang tujuan utama komersial. Ada dua bentuk:
3. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak namun tidak mengikat pihak lainnya. Seperti akad rahn (gadai), yang mengikat bagi pihak rahin (orang yang menggadaikan barang). Sebaliknya, tidak mengikat bagi murtahin (orang yang memberi hutang dengan gadai). Dalam transaksi ini tidak ada hak khiyar. Karena akad bagi murtahin adalah akad jaiz, sehingga dia bisa membatalkan transaksi kapan saja tanpa menunggu persetujuan pihak rahin.
4. Akad jaiz dari semua pihak yang terlibat transaksi. Seperti akad syirkah, mudharabah, ju’alah, wakalah, wadi’ah, atau wasiat. Pada kasus transaksi semacam ini tidak ada hak khiyar karena masing-masing bebas menentukan keberlanjutan transaksi tanpa harus ada persetujuan dari pihak lain.
5. Akad pertengahan antara jaiz dan lazim, seperti musaqah dan muzara`ah. Yang lebih mendekati kebenaran, keduanya adalah akad jaiz. Sehingga tidak perlu ada hak khiyar, karena masing-masing pihak memiliki wewenang untuk membatalkan transaksi tanpa persetujuan pihak lain.
6. Akad lazim, dimana salah satu pihak transaksi tidak terikat. Contoh akad hiwalah. Dalam akad ini tidak ada khiyar, karena pihak yang tidak ditunggu persetujuannya tidak memiliki hak khiyar. Jika dalam akad, pada salah satu pihak transaksi tidak memiliki hak khiyar maka pihak yang lain juga tidak memiliki khiyar. (Al-Mughni, Dar al-Fikr, Beirut, 1405, jilid 4, hlm. 130)
Keempat, akad ditinjau dari tujuannya, dibagi dua:
Kelima, pembagian akad berdasarkan sah dan tidaknya
Akad ditinjau dari hukumnya, apakah diakui secara syariat ataukah tidak dibagi menjadi dua:
Keenam, akad terkait adanya qabdh (serah-terima) dibagi dua:
(Al-Fairuz Abadzi, al-Qomus al Muhith, Syamilah, kata: عقد)
(Al-Jashsas, Ahkam al-Qur`an, Mauqi al-Islam, jilid 5, hlm. 181)
(Al-Jurjani, at-Ta`rifat, Dar al-Kutub al-Arabi, Beirut, 1405, hlm. 196)
(Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 30/200)
(az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qowaid al-Fiqhiyah, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 469)
(Ibnu Qudamah, al-Mughni, Dar al-Fikr, Beirut, 1405, jilid 4, hlm. 130)
(as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadzair, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 25)
Artikel www.Yufidia.com
Sedangkan secara istilah, pengertian akad ada dua:
Pertama, pengertian akad secara umumDalam pengertian umum, akad artinya sesuatu yang menjadi komitmen seseorang untuk dilakukan atau komitmen seseorang yang menuntut agar orang lain melakukan suatu perbuatan tertentu yang dia inginkan. (al-Jashsas, Ahkam al-Qur`an, Mauqi al-Islam, jilid 5, hlm. 181)
Berdasarkan pengertian ini maka jual-beli, nikah, dan semua transaksi komersial dan ganti rugi bisa disebut akad. Demikian pula sumpah untuk melakukan perbuatan tertentu di masa mendatang juga disebut akad. Karena sumpah termasuk diantara komitmen untuk melakukan sesuatu di masa mendatang.
Kedua, pengertian akad secara khusus
Secara khusus, akad adalah ikatan antara beberapa pihak transaksi melalui ijab dan qabul. (al-Jurjani, at-Ta`rifat, Dar al-Kutub al-Arabi, Beirut, 1405, hlm. 196). Berdasarkan pengertian ini maka sumpah tidak termasuk akad. Demikian pula berjanji untuk diri sendiri, tidak termasuk akad. Istilah akad hanya digunakan untuk transaksi antara beberapa pihak, baik saling mengikat maupun tidak saling mengikat.
Rukun Akad
Ada tiga hal penting yang terkait akad:- Pihak yang melakukan akad
- Shighah (pernyataan ijab-qobul)
- Ma`qud `alaihi (Objek akad)
Macam-macam Akad
Akad dibagi menjadi beberapa bentuk, tergantung dari aspek tinjauannya.Pertama, pembagian akad ditinjau dari keterkaitannya dengan harta, akad dibagi menjadi dua:
- Akad maliyah, yaitu semua akad yang melibatkan harta atau benda tertentu. Baik untuk transaksi komersial, seperti jual-beli maupun non komersial, seperti hibah, hadiah. Termasuk juga akad terkait dengan pekerjaan dengan kompensasi tertentu, seperti akad mudharabah, muzara`ah atau musaqah.
- Akan ghairu maliyah, adalah akad yang hanya terkait dengan perbuatan saja tanpa ada kompensasi tertentu. Seperti akad hudnah (perjanjian damai), mewakilkan, wasiat, dll.
Kedua, pembagian akad ditinjau dari konsekwensinya, dibagi dua:
- Akad lazim, adalah akad yang mengikat semua pihak yang terlibat, sehingga masing-masing pihak tidak punya hak untuk membatalkan akad kecuali dengan kerelaan pihak yang lain. Contoh: akad jual-beli, sewa-menyewa, hiwalah, dan semacamnya.
- Akad jaiz atau akad ghairu lazim, adalah akad yang tidak mengikat. Artinya salah satu pihak boleh membatalkan akad tanpa persetujuan rekannya. Contoh: akad pinjam-meminjam, wadi`ah, mewakilkan, dan lain-lain. (Lihat Al-Mantsur fi al-Qowaid al-Fiqhiyah, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 468)
Ditinjau dari adanya khiyar (hak pilih) dan tidak diterimanya hak pilih, akad dibagi menjadi enam:
1. Akad mengikat yang tujuan utama komersial. Ada dua bentuk:
- Akad yang memberi kesempatan untuk khiyar majlis dan khiyar syarat. Misalnya akad jual beli yang tidak dipersyaratkan adanya qabdh (serah terima), transaksi jasa untuk suatu pekerjaan tertentu.
- Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh di tempat transaksi. Seperti transaksi tukar-menukar uang, transaksi salam, dan transaksi tukar menukar barang ribawi. Semua transaksi ini tidak boleh ada khiyar.
3. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak namun tidak mengikat pihak lainnya. Seperti akad rahn (gadai), yang mengikat bagi pihak rahin (orang yang menggadaikan barang). Sebaliknya, tidak mengikat bagi murtahin (orang yang memberi hutang dengan gadai). Dalam transaksi ini tidak ada hak khiyar. Karena akad bagi murtahin adalah akad jaiz, sehingga dia bisa membatalkan transaksi kapan saja tanpa menunggu persetujuan pihak rahin.
4. Akad jaiz dari semua pihak yang terlibat transaksi. Seperti akad syirkah, mudharabah, ju’alah, wakalah, wadi’ah, atau wasiat. Pada kasus transaksi semacam ini tidak ada hak khiyar karena masing-masing bebas menentukan keberlanjutan transaksi tanpa harus ada persetujuan dari pihak lain.
5. Akad pertengahan antara jaiz dan lazim, seperti musaqah dan muzara`ah. Yang lebih mendekati kebenaran, keduanya adalah akad jaiz. Sehingga tidak perlu ada hak khiyar, karena masing-masing pihak memiliki wewenang untuk membatalkan transaksi tanpa persetujuan pihak lain.
6. Akad lazim, dimana salah satu pihak transaksi tidak terikat. Contoh akad hiwalah. Dalam akad ini tidak ada khiyar, karena pihak yang tidak ditunggu persetujuannya tidak memiliki hak khiyar. Jika dalam akad, pada salah satu pihak transaksi tidak memiliki hak khiyar maka pihak yang lain juga tidak memiliki khiyar. (Al-Mughni, Dar al-Fikr, Beirut, 1405, jilid 4, hlm. 130)
Keempat, akad ditinjau dari tujuannya, dibagi dua:
- Akad Tabarru` (akad non komersial). Contoh akad hibah, `ariyah, wadi`ah, wakalah, rahn, wasiat, hutang-piutang, dll
- Akad Mu`awadhat (akad komersial). Contoh: jual beli, salam, tukar-menukar mata uang, ijarah, istishna`, mudharabah, muzara`ah, musaqah, dll.
Kelima, pembagian akad berdasarkan sah dan tidaknya
Akad ditinjau dari hukumnya, apakah diakui secara syariat ataukah tidak dibagi menjadi dua:
- Akad yang sah. Akad dianggap sah jika semua syarat dan rukunnya terpenuhi. Konsekwensi akad yang sah adalah adanya perpindahan hak kemanfaatan dalam sebuah transaksi. Misalnya, dalam akad jual beli yang sah maka konsekwensinya, penjual berhak mendapatkan uang dan pembeli berhak mendapatkan barang.
- Akad yang tidak sah. Kebalikan dari akad yang sah, akad dianggap tidak sah jika tidak diakui secara syariat dan tidak memberikan konsekwensi apapun. Baik karena bentuk transaksinya yang dilarang, seperti judi, riba, jual beli bangkai, dst. Maupun karena syarat atau rukun transaksi tidak terpenuhi, misalnya menjual barang hilang, transaksi yang dilakukan orang gila, dst.
Keenam, akad terkait adanya qabdh (serah-terima) dibagi dua:
- Akad yang tidak dipersyaratkan adanya qabdh di tempat akad. Misalnya akad jual beli secara umum, ijarah, nikah, wasiat, wakalah, hiwalah, dan yang lainnya. Dalam akad jual beli, transaksi jual beli sah jika sudah ada ijab-qabul. Baik sekaligus dilakukan serah terima barang maupun serah terimanya ditunda. Demikian pula akad nikah. Tepat setelah akad, masing-masing telah berstatus suami istri, baik serah terima mahar dilakukan di tempat akad maupun ditunda.
- Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh di tempat transaksi. Akad ini dibagi menjadi beberapa macam:
- Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh untuk dinyatakan sah berpindahnya kepemilikan. Meskipun akadnya dianggap sah sebelum adanya qabdh, namun kepemilikan belum berpindah sampai Seperti hibah, hutang, atau `ariyah (pinjam-meminjam). Dalam transaksi hibah, barang yang hendak dihibahkan tidak secara otomatis pindah kepada orang yang diberi hanya dengan ijab-qabul. Namun disyaratkan adanya penyerahan barang dengan izin orang yang memberi. Demikian pula dalam transaksi hutang-piutang. Kreditur tidak secara otomatis memiliki uang yang dihutangkan dengan sebatas ijab-qabul, sampai dia menerima uang tersebut dari debitur. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Oleh karena itu, andaikan uang yang hendak dihutangkan itu hilang sesudah transaksi namun sebelum dilakukan serah terima, maka uang itu menjadi tanggungan debitur bukan kreditur.
- Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh untuk bisa dinilai sah. Jika tidak ada serah terima di tempat transaksi maka transaksi dianggal batal. Contoh: transaksi tukar-menukar mata uang, tukar-menukar barang ribawi, transaksi salam, mudharabah, musaqah, atau muzara`ah. Ini berdasarkan hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali yang beratnya sama dan tunai”. (HR. Muslim 1584). Untuk jual beli salam (uang dibayar di muka, barang tertunda), mayoritas ulama berpendapat bahwa uang harus sudah diserahkan sebelum berpisah antara penjual dan pembeli. Ini berdasarkan hadis: “Barangsiapa yang ingin melaksanakan transaksi salam maka hendaknya dia tentukan takarannya, timbangannya, dan waktunya”. (HR. Muslim 1604) (Al-Asybah wa an-Nadzair, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 25)
- Akad Nafidz (terlaksana). Akad dianggap nafidz ketika akad tersebut sah dan tidak ada lagi keterkaitan dengan hak orang lain. Contoh akad jual beli yang sempurna. Barang yang dijual tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain, sementara uang yang diserahkan adalah murni milik pembeli. Akad nafidz hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki ahliyatu tasharruf (kemampuan untuk bertransaksi).
- Akad Mauquf (menggantung). Akad mauquf adalah akad yang masih memiliki keterkaitan dengan hak orang lain. Seperti menjual barang orang lain tanpa izin. Mayoritas ulama berpendapat bahwa akad mauquf hukumnya sah, hanya saja konsekwensi akad bergantung pada pemilik barang atau pemilik uang. Sehingga pembeli tidak boleh menerima barang sampai mendapatkan izin dari pemiliknya. Demikian pula penjual tidak boleh menerima uang sampai dia mendapat izi dari pemilik uang. (Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 30/237)
- Akad Muaqqat (terbatas dengan batas waktu tertentu). Akad muaqqat adalah semua akad yang harus dibatasi waktu tertentu. Misalnya: ijarah, musaqah, atau hudnah (perjanjian damai).
- Akad Mutlak (tanpa batas waktu), ada dua bentuk:
- Akad yang tidak boleh dibatasi waktu tertentu. Misalnya: akad nikah, jual beli, jizyah, atau wakaf. Tidak boleh seseorang nikah untuk jangka waktu tertentu. Demikian pula terlarang menjual barang, tetapi untuk jangka waktu tertentu.
- Akad yang boleh dibatasi waktu, namun terkadang tidak membatasi, seperti hutang. Terkadang dibatasi waktu, namun jika kreditur tidak mampu melunasi pada batas waktu yang ditentukan maka wajib ditunggu. (Al-Ashbah wa an-Nadzair, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 29)
(Al-Fairuz Abadzi, al-Qomus al Muhith, Syamilah, kata: عقد)
(Al-Jashsas, Ahkam al-Qur`an, Mauqi al-Islam, jilid 5, hlm. 181)
(Al-Jurjani, at-Ta`rifat, Dar al-Kutub al-Arabi, Beirut, 1405, hlm. 196)
(Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 30/200)
(az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qowaid al-Fiqhiyah, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 469)
(Ibnu Qudamah, al-Mughni, Dar al-Fikr, Beirut, 1405, jilid 4, hlm. 130)
(as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadzair, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 25)
Artikel www.Yufidia.com
Ketika Barat Berbicara Poligami
Ketika saya berada di kota Dublin pada tahun 1956, saya sempat mengunjungi Yayasan Baba Yosua.
Lantas, terjadilah dialog panjang antara saya dengan seorang Baba yang juga ketua yayasan tersebut. Dalam salah satu dialognya, saya berkata padanya,
” Mengapa kalian menuduh Islam dan Nabinya, khususnya dalam buku buku kurikulum, dengan tuduhan yang tidak pantas diucapkan pada masa di mana bangsa bangsa telah saling mengenal dan berbagai budaya saling berinteraksi?”
“Kami bangsa barat, tidak bisa menghormati seorang laki laki yang menikah dengan sembilan wanita,” jawabnya.
Saya bertanya,”Apakah kalian menghormati Nabi Daud dan Nabi Sulaeman?”
“Tentu. Bagi kami, mereka berdua adalah bagian dari nabi nabi bangsa Israel.”
Saya menimpali,”Nabi Daud mempunyai 99 isteri. Kemudian Nabi Daud menikah dengan isteri salah seorang panglimanya untuk melengkapi jumlah isterinya menjadi 100. Seperti yang diterangkan Taurat, Nabi Sulaeman mempunyai 700 isteri dari wanita wanita yang merdeka, dan 30 isteri dari budak budak wanita.
Mereka semua adalah wanita wanita tercantik pada zamannya. Lalu, bagaimana kalian bisa menghormati seorang laki laki yang menikah dengan 100wanita, sementara itu, kalian tidak bisa menghormati laki laki yang hanya menikah dengan Sembilan wanita? Mengapa kalian tidak bisa menghormati laki laki yang menikah dengan Sembilan wanita, delapan di antara mereka adalah janda, kaum ibu, yang sebagiannya di antaranya telah tua usianya, dan hanya seorang yang dinikahi dalam keadaan gadis?”
Sang Baba terdiam, lalu dia berkata,”saya telah salah ucap, maksud saya, kami , bangsa barat tidak bisa menikahi lebih dari satu wanita. Bagi kami, seorang lelaki yang menikah dengan beberapa wanita adalah aneh, atau hanya menuruti syahwat.
Saya berkata padanya, “Lantas , apa pendapat anda tentang Nabi Daud dan Nabi Sulaeman dan Nabi nabi Israel yang lain, hingga Nabi Adam yang mempratekkan poligami?”
Dia terdiam, tak mampu memberikan jawaban.
***
Tidakkah mereka merasa bersalah ketika mencemooh Islam karena alasan poligami?
Tidakkah mereka merasa bahwa poligami hingga empat isteri lebih baik daripada jika tiap malam terus berganti ganti pasangan? Bukankah laki laki yang rela memikul tanggung jawab wanita yang ia gauli lebih baik daripada laki laki yang “lepas tangan?”
Tidakkah mereka merasa bahwa melahirkan sejuta anak melalui pernikahan yang sah lebih baik daripada melahirkan satu anak di luar ikatan pernikahan yang sah?
- DR Mustafa Al Siba’i -
http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/ketika-barat-berbicara-poligami.htm#.UUfNm1E0b7I
Indahnya Islam Manisnya Iman
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد،
Judul tulisan ini mungkin sudah terlalu sering kita dengar, tapi kemungkinan besar sedikit sekali di antara kita (termasuk penulis sendiri) yang benar-benar telah merasakan hakikatnya. Seandainya kita mau jujur pada diri kita sendiri, sampai saat ini sudah berapa lama kita menjadi seorang muslim, sudah berapa banyak amal ibadah yang kita kerjakan, akan tetapi pernahkah kita merasakan kenikmatan dan kemanisan yang hakiki sewaktu kita melaksanakan ibadah tersebut?
Maka kalau hakikat ini belum kita rasakan, berarti ada sesuatu yang tidak beres dalam keimanan kita, ada sesuatu yang perlu dipertanyakan dalam keislaman kita. Karena manisnya iman dan indahnya islam itu bukan sekedar teori belaka, tapi benar-benar merupakan kenyataan yang dirasakan oleh orang yang memiliki keimanan dan ketaatan yang kuat kepada Allah, yang wujudnya berupa kebahagian dan ketenangan hidup di dunia, serta perasaan gembira dan senang ketika beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah . Dan ini merupakan balasan kebaikan yang Allah segerakan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan taat kepada-Nya di dunia, sebelum nantinya di akhirat mereka akan mendapatkan balasan yang lebih baik dan sempurna.
Dalil-dalil yang menggambarkan keindahan islam dan kemanisan iman
Hal ini Allah sebutkan dalam banyak ayat Al Qur-an,di antaranya:
Ayat pertama:
(مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. ِِan Nahl:97).
Ayat kedua:
(وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا
لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ
أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ، الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ)
”Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan berikan kepada mereka (balasan) kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui. (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Rabb saja mereka bertawakkal” (QS. An Nahl:41-42).
Ayat ketiga:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي
فَضْلٍ فَضْلَهُ ))
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)” (QS. Huud:3).
Ayat keempat:
(قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ
وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ)
“Katakanlah:”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Rabbmu.Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas.Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahala bagi mereka dengan tanpa batas (di akhirat)” (QS. Az Zumar:10).
Dalam mengomentari keempat ayat di atas, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Dalam keempat ayat ini Allah menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat([1]).
Kemudian kalau kita mengamati dengan seksama ayat-ayat Al Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah yang mensifati dan menggambarkan ajaran agama islam ini, kita akan dapati bukti yang menunjukkan bahwa agama islam ini Allah turunkan kepada manusia sebagai sumber kebahagian hidup yang hakiki dan ketenangan lahir dan batin bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkannya dengan baik dan benar. Di antara ayat2 Al Qur-an tsb adalah firman Allah :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ))
“Dan Kami turunkan kepadamu kitab ini (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An Nahl:89).
Juga firman Allah :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ
لِلْمُؤْمِنِينَ))
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu (dalam Al Qur-an) pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Yunus:57).
Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa Dia tidaklah menjadikan agama islam ini sebagai beban yang memberatkan dan menyulitkan manusia, Allah berfirman:
(يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu” (Al Baqarah:185).
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ))
“Allah tidak menghendaki untuk menjadikan kesempitan bagi kamu” (Al Maaidah:6).
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ))
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan bagi kamu dalam agama ini suatu kesempitan” (Al Hajj:78).
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat-ayat di atas.
Demikian pula kita dapati hadits-hadits Rasulullah mensifati agama islam ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas. Misalanya, dalam beberapa hadits yang shahih Rasulullah mensifati iman yang sempurna sebagai sesuatu yang manis dan lezat, sebagaimana yang beliau sabdakan dalam hadits shahih riwayat Imam Al Bukhari (1/14) dan Imam Muslim (1/66):
…” ” ثلاث من كن فيه وجد بهن حلاوة الإيمان
”Adatiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman…”
Juga dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim (1/62), beliau bersabda:
”ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد رسولاً”
“Akan merasakan kelezatan iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”.
Imam An Nawawi – semoga Allah merahmatinya – ketika menjelaskan hadits di atas, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah dan tidak menempuh selain jalan agama Islam serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah , tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”([2]).
Sebagaimana kemanisan dan kelezatan iman ini dirasakan langsung oleh Rasulullah sehingga beliau menggambarkan ibadah shalat sebagai sumber kesejukan dan kesenangan hati, dalam sabda beliau :
“وجعلت قرة عيني في الصلاة”
“Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat” (HR. Ahmad 3/128, An Nasa-i 7/61 dll dari Anas bin Malik , dan dishahihkan oleh syaikh Al Albani dalam “Shahihul jaami’”, hal.544).
Makna qurratul ‘ain adalah sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati([3]).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud (2/715) dan Ahmad (5/364) dan dishahihkan oleh syaikh Al Albani, Rasulullah bersabda kepada Bilal :
“Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan (melaksanakan) shalat”.
Demikian pula para shahabat Rasulullah y dan para ulama ahlus sunnah yang mengikuti petunjuk mereka juga merasakan kemanisan iman ini dalam diri mereka, sebagaimana yang Allah gambarkan dalam Al Qur-an tentang kesempurnaan iman para shahabat y dalam firman-Nya:
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ
وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ
وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ))
“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS. Al Hujuraat:7).
Dalam hadits shahih riwayat Al Bukhari (1/7) tentang kisah dialog antara Abu Sufyan dan raja Romawi Hiraql, di antara pertanyaan yang diajukan oleh Hiraql kepada Abu Sufyan: Apakah ada diantara pengikut (sahabat) Nabi itu (Nabi Muhammad ) yang murtad (meninggalkan) agamanya karena dia membenci agama tersebut setelah dia memeluknya? Maka Abu Sufyan menjawab: Tidak ada. Kemudian Hiraql berkata: Memang demikian (keadaan) iman ketika kemanisan iman itu telah masuk dan menyatu dalam hati manusia.
Kemudian atsar dari para ulama ahlus sunnah yang menunjukkan hal ini banyak sekali, di antaranya sebuah atsar yang sering dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah merahmatinya – dalam beberapa kitab beliau, seperti “Miftahu daaris sa’aadah”, “Al Waabilish shayyib” dan “Ad Daa-u wad dawaa’”, yaitu ucapan salah seorang ulama: “Seandainya para raja dan pangeran mengetahui (kenikmatan hidup) yang kami rasakan (dengan memahami dan mengamalkan agama Allah ), niscaya mereka akan berusaha merebut kenikmatan tersebut dari kami dengan pedang-pedang mereka”. Juga ucapan yang masyhur dari Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah merahmatinya – yang dinukil oleh murid beliau Ibnul Qayyim dalam kitabnya “Al Waabilush shayyib” (1/69), Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti”. Makna “surga di dunia” ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah (dengan memahami nama2 dan sifat2-Nya dengan baik dan benar) serta selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allah satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya yang sekaligus merupakan qurratul ‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allah ([4]).
Bahkan dalam kitab “Al Waabilsh shayyib” ini, Ibnul Qayyim menyebutkan kisah nyata gambaran kenikmatan hidup yang dialami guru beliau, Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah – ولا أزكي على الله أحدا –, yang kenikmatan ini justru semakin nampak pada diri beliau sewaktu beliau sedang mengalami siksaan yang berat dan celaan dari musuh-musuh beliau, karena membela dan mendakwahkan aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Ibnul Qayyim berkata: “Dan Allah yang maha mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Taimiyyah). Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah ), yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi bersamaan dengan itu semua (aku mendapati) beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Dan kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat), maka dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”([5]).
Beberapa kesalahpahaman dan jawabannya
Setelah kita merenungkan dan menghayati dalil-dalil dari Al Qur’an, As Sunnah dan keterangan dari para ulama di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup yang hakiki hanyalah dirasakan oleh orang yang mengisi hidupnya dengan keimanan dan ketaatan kepada Allah , sebagaimana sebaliknya, orang yang berpaling dari keimanan dan ketaatan kepada Allah , maka dia pasti akan merasakan kesengsaraan dan kesempitan hidup di dunia, sebelum nantinya di akhirat dia mendapatkan azab yang sangat pedih. Allah berfirman:
(وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى)
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sengsara (di dunia), dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. Thaaha:124).
Dengan ini juga kita mengetahui kelirunya penilaian kebanyakan orang jahil bahwa orang yang beriman dan bertakwa itu akan sengsara dan menderita hidupnya di dunia, karena mereka menyangka bahwa kebahagiaan itu diukur dengan banyaknya harta dan kemewahan dunia yang dimiliki seseorang. Penilaian semacam ini tidak lebih dari penilaian orang-orang yang dicela oleh Allah dalam firman-Nya:
يَعْلَمُونَ ظَاهِراً مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ))
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS. Ar Ruum:7).
Adapun ujian dan cobaan yang mesti dialami oleh orang yang beriman dan bertakwa di dunia ini dalam mempertahankan keimanan mereka, seperti yang disebutkan dalam banyak hadits2 yang shahih, diantaranya sabda Rasulullah : “Orang yang paling banyak mendapatkan ujian/cobaan (di jalan Allah ) adalah para Nabi kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan) dan orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan), (setiap) orang akan diuji sesuai dengan (kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau agamanya kuat maka ujiannya pun akan (makin) besar, kalau agamanya lemah maka dia akan diuji sesuai dengan (kelemahan) agamanya, dan akan terus-menerus ujian itu (Allah ) timpakan kepada seorang hamba sampai (akhirnya) hamba tsb berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa (sedikitpun)” HR at-Tirmidzi (no. 2398), Ibnu Majah (no. 4023), Ibnu Hibban (7/160), al-Hakim (1/99) dan lain-lain, dishahihkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh Al Albani dalam “Silsilatul ahaadits ash-shahiahah” (no. 143). Apa yang disebutkan dalam hadits-hadits tsb sama sekali tidak bertentangan dengan keterangan yang kami sampaikan di atas, karena kalau kita renungkan hikmah-hikmah yang agung dari ujian dan cobaan tsb, kita dapati bahwa semua itu justru memberikan kebaikan dan manfaat yang besar bagi orang-orang yang beriman dalam menambah keimanan dan semakin mendekatkan diri mereka kepada Allah , karena di antara hikmah-hikmah tersebut adalah: Allah menjadikan cobaan tsb untuk membersihkan dan menghapuskan dosa-dosa hamba-Nya yang beriman (seperti yang diisyaratkan dalam hadits di atas), juga untuk semakin menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan mereka kepada Allah , dan masih banyak hikmah-hikmah yang lain, untuk lebih lengkapnya silahkan baca hikmah-hikmah ujian yang diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Igatsatul lahfaan min mashaayidisy syaithaan” (2/187-195).
Kiat untuk meraih kemanisan iman
Kemudian, dari penjelasan di atas timbul satu pertanyaan, yang kemungkinan juga ada di benak pembaca tulisan ini, yaitu: kalau memang iman itu hakikatnya manis dan islam itu hakikatnya indah, mengapa kebanyakan dari kita belum merasakan hal itu ketika melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah , terlebih lagi ibadah-ibadah yang dianggap berat oleh kebanyakan orang, seperti shalat malam, puasa sunnah, bersedekah dll? Mengapa kebanyakan dari kita masih merasakan berat dan susah ketika melaksanakan ibadah-ibadah tsb? Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami akan mengemukakan satu contoh agar kita mudah memahami masalah ini. Kalau misalnya kita membayangkan suatu makanan yang kita anggap paling enak dan lezat, yang rasa enak dan lezatnya makanan ini disepakati oleh semua orang yang sehat dan berakal, misalanya saja: sate dan gulai kambing muda (atau terserah antum yang membaca tulisan ini, makanan apa saja yang dianggap paling enak dan lezat), seandainya makanan ini kita hidangkan dihadapan seorang yang sedang sakit demam atau sariawan, atau minimal kurang enak badan, kira-kira apa yang akan dilakukannya terhadap makanan tsb? Apakah dia akan menyantapnya sampai habis seperti kalau makanan tsb kita hidangkan di hadapan orang yang sehat (bahkan mungkin dia minta tambah lagi)? Jawabnya tentu saja tidak, karena sebagian dari organ tubuhnya kurang sehat dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka dia tidak bisa merasakan enak dan lezatnya makanan tersebut. Dan dalam hal ini tentu saja yang kita permasalahkan dan perlu diperbaiki adalah kondisi orangnya dan bukan makanan tersebut. Demikian pula hal ini berlaku pada ibadah-ibadah yang Allah syariatkan kepada kaum muslimin, kenikmatan dan kelezatan ibadah-ibadah tersebut hanya akan dirasakan oleh orang yang benar-benar sehat dan sempurna keimanannya, adapun orang yang kurang sehat imannya karena masih ada penyakit dalam hatinya, maka diapun belum bisa merasakan kenikmatan dan kemanisan tsb, dan dalam hal ini berarti yang tidak beres dan perlu diperbaiki adalah hati dan keimanan orang tersebut bukan ibadah-ibadah itu sendiri. Oleh karena itu yang harus dilakukannya adalah berusaha keras dan berjuang untuk menyembuhkan dan menghilangkan penyakit tersebut, dengan cara memaksa diri untuk melakukan terapi untuk mengobati penyakit hati/iman tersebut – yang terapi ini telah dijelaskan oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah , dan insya Allah akan kami sebutkan ringkasannya –, agar nantinya setelah penyakit hati tersebut sembuh dan imannya telah sehat, barulah dia akan merasakan kenikmatan dan kemanisan ketika beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah .
Adapun terapi untuk mengobati penyakit hati/iman tersebut, maka ini telah dijelaskan secara lengkap dalam Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah , Allah mensifati kitab-Nya Al Qur-an sebagai syifa (obat/penyembuh) dalam firman-Nya:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَاراً))
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS. Al Israa’:82).
Juga dalam ayat lain Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ
لِلْمُؤْمِنِينَ))
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu (dalam Al Qur-an) pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada (hati) serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Yuunus:57).
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah menggambarkan bahwa petunjuk yang beliau bawa dari Allah berfungsi untuk menghidupkan dan menyembuhkan penyakit hati manusia, sebagaimana hujan yang Allah turunkan ke bumi untuk menghidupkan dan menumbuhkan tanah yang gersang dan tandus, dari Abu Musa Al Asy’ari , bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya permisalan dari petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan (yang baik) yang (Allah ) turunkan ke bumi…” (HSR Al Bukhari 1/42 dan Muslim 4/1787).
Maka untuk membersihkan dan mensucikan jiwa serta mengobati penyakit hati, caranya tidak lain adalah dengan mengamalkan petunjuk dan syariat Allah dalam Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah lahir dan batin, bukan dengan cara-cara bid’ah (yang diada-adakan) yang ditetapkan oleh orang/kelompok tertentu yang hanya berdasarkan mimpi, khayalan, bisikan jiwa, akal atau perasaan dan sama sekali tidak bersumber dari Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah , seperti cara-cara dan wirid-wirid bid’ah yang dibuat-buat oleh kelompok-kelompok tarekat sufiyah dan lain-lain. Karena syariat islam ini adalah syariat yang lengkap dan sempurna, yang menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin dalam urusan agama mereka, terlebih lagi masalah yang penting seperti masalah pensucian jiwa dan pengobatan penyakit hati ini. Untuk lebih jelasnya pembahasan masalah ini, silahkan merujuk keterangan para ulama ahlus sunnah dalam masalah ini, seperti Ibnul Qayyim dalam beberapa kitab beliau, misalnya kitab “Igatsatul lahfan”, “Ad Da-u wad dawaa’ “, “Miftahu daaris sa’aadah, Al waabilush shayyib” dan kitab-kitab lainnya. Juga Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali telah menulis kitab khusus untuk menjelaskan masalah penting ini dengan judul “Manhajul anbiyaa’ fi tazkiyatin nufuus” (Metode para Nabi dalam pensucian jiwa).
Kemudian secara ringkas, berdasarkan pengamatan terhadap ayat-ayat Al Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah , Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa terapi untuk menyembuhkan penyakit hati tersimpul dalam tiga macam cara penyembuhan, yang beliau istilahkan dengan “madaarush shihhah” (ruang lingkup penyembuhan), dan ketiga macam cara inilah yang diterapkan oleh para dokter dalam mengobati pasien mereka. Tiga macam cara penyembuhan tersebut adalah:
1). Hifzhul quwwah (memelihara kekuatan dan kondisi hati), yaitu dengan memperbanyak melakukan ibadah dan amalan shaleh untuk meningkatkan keimanan, seperti mambaca Al Qur-an dengan menghayati kandungan maknanya, berzikir, mempelajari ilmu agama yang bermanfaat, utamanya ilmu tauhid, dan lain-lain.
2). Al Himyatu ‘anil mu’dzi (menjaga hati dari penyakit-penyakit lain), yaitu dengan cara menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan-penyimpangan syariat lainnya, karena perbuatan2 tsb akan semakin memperparah dan menambah penyakit hati.
3). Istifragul mawaaddil faasidah (menghilangkan/membersihkan bekas-bekas jelek/noda-noda hitam dalam hati yang merusak, sebagai akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan), yaitu dengan cara beristigfar (meminta pengampunan) dan bertaubat dengan taubat yang nashuh (ikhlas dan bersungguh-sungguh) kepada Allah ([6]).
Dan tentu saja selama proses penyembuhan penyakit hati ini seorang muslim membutuhkan kesungguhan dan usaha keras untuk menundukkan dan memaksa hawa nafsunya agar bisa melaksanakan cara-cara penyambuhan di atas, artinya, sebelum dia mencapai kesempurnaan iman, yang dengan itu dia akan merasakan kemanisan dan kelezatan iman, di awal perjalanannya menempuh jalan Allah ini, dia mesti merasakan kepahitan dan kesusahan terlebih dahulu dalam proses penyembuhan penyakit hati/imannya, dan dia harus berusaha keras dan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mengamalkan cara-cara penyembuhan tsb agar proses penyembuhan penyakit hati tsb berlangsung dengan baik dan sempurna, sebagaimana orang sakit yang tidak bisa merasakan nikmatnya makanan lezat, kalau dia benar-benar ingin sembuh, maka dia harus berusaha dan memaksa dirinya untuk meminum obat yang rasanya pahit dan getir secara teratur, dan mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk menjaga kondisinya meskipun makanan tsb terasa pahit di lidahnya dan susah ditelan misalnya. Proses inilah yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah :
“حجبت الجنّة بالمكاره و حجبت النار بالشهوات”
“Jannah (surga) itu dikelilingi (ditutupi) dengan perkara-perkara yang susah dan tidak disenangi oleh nafsu manusia, sedangkan neraka itu dikelilingi dengan perkara-perkara yang disenangi oleh nafsu syahwat manusia” (HR. Al Bukhari 5/2379 dan Muslim 4/2174 dari Abu Hurairah ).
Yang perlu diingat dan dicamkan di sini, bahwa rasa berat dan kesusahan ini hanyalah dirasakan diawal/permulaan menempuh jalan mencapai ridha Allah , yaitu selama proses penyembuhan dan pengobatan penyakit hati berlangsung, karena hal ini memang Allah jadikan untuk menguji kesungguhan dan kesabaran seorang hamba dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan-Nya , yang kemudian setelah Allah mengetahui kesungguhan dan kesabaran hamba tsb – dan Allah maha mengetahui segala sesuatu – barulah setelah itu Allah memberikan taufik dan hidayahnya kepada hamba tsb, dengan menghilangkan penyakit hatinya dan menganugrahkan kesempurnaan dan kemanisan iman kepadanya. Dan hidayah yang Allah berikan tsb tergantung dari besar/kecilnya kesabaran dan kesungguhan seorang hamba dalam menempuh jalan Allah ini. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ))
“Dan orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh (dalam menundukkan hawa nafsu) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami berikan hidayah kepada mereka (dalam menempuh) jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al ‘Ankabuut:69).
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah ketika mengomentari ayat di atas berkata: “(Dalam ayat ini) Allah menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari Allah ) adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya”([7]).
Rasulullah juga mengisyaratkan makna ayat di atas dalam sabda beliau : “orang yang berjihad/berjuang dengan sungguh-sungguh (yang sebenarnya) – dalam riwayat lain: jihad/perjuangan yang paling utama – adalah orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah – dalam riwayat lain: dalam ketaatan kepada Allah –” (HR. Ahmad 6/21,22, Ibnu Hibban 11/203 dll, dishahihkn oleh syaikh Al Albani dalam “Shahihul jaami’ ” 1/201 dan 1/1163).
Imam Ibnul Qayyim ketika menjelaskan proses pencapaian kebahagian yang hakiki dan kemanisan iman, yang diawali dengan kesusahan dan kepahitan, beliau berkata: “…Kebahagian (kemanisan iman) ini, meskipun pada permulaannya tidak lepas dari berbagai macam kesusahan, penderitaan dan perkara-perkara yang tidak disenangi oleh hawa nafsu, dan sesungguhnya nafsu manusia itu kalau dipaksa dan ditundukkan untuk menempuh jalan Allah ini dalam keadaan suka atau tidak, serta dipaksa untuk bersabar menghadapi kesusahan dan beratnya rintangan (yang menghalanginya), (hal itu pada akhirnya nanti) akan membawanya kepada taman-taman yang indah, tempat yang penuh kebahagiaan dan kedudukan yang mulia…”([8]). Beliau juga berkata: “Kalaulah bukan karena kejahilan (ketidaktahuan) mayoritas manusia akan kemanisan dan kelezatan iman, serta agungnya kedudukan ini, maka pasti mereka akan saling memerangi untuk memperebutkan hal tsb dengan pedang-pedang mereka, akan tetapi (memang Allah ) menghijabi (menutupi) kemanisan iman tersebut dengan perkara-perkara yang tidak disukai oleh nafsu manusia, sebagaimana mayoritas manusia juga dihalangi/ditutupi (untuk merasakan kemanisan iman tsb) dengan hijab kejahilan, dengan tujuan agar Allah memilih dan mengkhususkan siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya untuk mencapai kedudukan ini dan merasakan kemanisan iman, dan Allah maha memiliki karunia yang agung”([9]).
Kerancuan dan jawabannya
Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, kami ingin menyampaikan dan mendudukkan makna sebuah hadits, yang barangkali hadits ini oleh kebanyakan orang dianggap bertentangan dengan penjelasan dan nukilan-nukilan yang kami sampaikan di atas. Hadits tersebut adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/2272) dll dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”. Penafsiran yang benar dari hadits ini ada dua – seperti kata Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Badaai’ul fawaaid” (3/696) –, yaitu:
1. Orang yang beriman di dunia ini, keimanannya yang kuat menghalangi dia untuk memperturutkan nafsu syahwat yang diharamkan oleh Allah , sehingga dengan keadaan ini seolah-olah dia hidup dalam penjara. Atau dengan kata lain: dunia ini adalah tempat orang yang beriman memenjarakan hawa nafsunya dari perbuatan2 yang diharamkan oleh Allah , berbeda dengan orang kafir yang hidup bebas memperturutkan nafsu syahwatnya. Penafsiran ini juga disebutkan oleh Imam An Nawawi dalam “Syarh shahih Muslim” (18/93). Penafsiran pertama ini maknanya kurang lebih sama dengan keterangan dan nukilan2 yang kami sampaikan di atas tentang kesusahan dan kepahitan yang dialami oleh seorang hamba pada tahapan awal perjalanannya menuju ridha Allah untuk mencapai kesempurnaan dan kemanisan iman.
2. Makna: “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”, adalah jika dibandingkan dengan keadaan/balasan orang yang beriman dan orang kafir di akhirat nanti, karena orang yang beriman itu meskipun hidupnya di dunia paling senang dan bahagia, tetap saja keadaan tsb seperti penjara jika dibandingkan dengan besarnya balasan kebaikan dan kenikmatan yang Allah sediakan baginya di surga di akhirat kelak. Dan orang kafir meskipun hidupnya di dunia paling sengsara dan menderita, tetap saja keadaan tsb seperti surga jika dibandingkan dengan pedihnya balasan kejelekan dan siksaan yang Allah akan timpakan kepadanya di neraka di akhirat nanti. Penafsiran ini juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam tulisan beliau “Qaa’idatun fil mahabbah” (Hal. 175), dan dalam tulisan tsb beliau juga mejelaskan bahwa makna hadits ini sama sekali tidak bertentangan dengan kebahagian hakiki dan kemanisan iman yang dirasakan oleh orang yang beriman di dunia ini, seperti keterangan dan nukilan2 yang kami sampaikan di atas.
Kedua penafsiran di atas juga disebutkan oleh Al Munawi dalam kitab beliau “Faidhul Qadiir” (3/546), kemudian beliau menyebutkan suatu kisah yang terjadi pada seorang ulama ahli hadits yang sangat terkenal, Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalaani, ketika Ibnu Hajar menjabat sebagai hakim agung di Mesir, suatu ketika Ibnu Hajar melewati sebuah pasar dengan penampilan yang indah dan menunggangi kendaran yang bagus, maka tiba-tiba datang menemui beliau tanpa izin seorang yahudi penjual minyak panas, dalam keadaan pakaiannya kotor berlumuran minyak, dan penampilannya pun sangat buruk dan dekil. Lalu orang yahudi tersebut langsung memegang tali kekang hewan tunggangan Ibnu Hajr dan berkata: Wahai syaikhul islam (gelar untuk Ibnu Hajar)! Kamu menyangka bahwa Nabi kalian (Nabi Muhammad ) pernah bersabda: “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”, maka penjara macam apa yang saat ini kamu rasakan (dengan keadaanmu yang serba cukup seperti ini), dan surga macam apa yang saat ini aku rasakan (dengan keadaanku yang serba memprihatinkan seperti ini)? Maka Ibnu Hajar menjawab: (Keadaanku ini) jika dibandingkan dengan kenikmatan besar yang Allah sediakan bagiku di akhirat nanti, maka seakan-akan saat ini aku (hidup) di penjara, dan (keadaanmu ini) jika dibandingkan dengan azab besar dan pedih yang Allah sediakan bagimu di akhirat nanti, maka seakan-akan saat ini kamu (hidup) di surga. Kemudian (dengan sebab itu) orang yahudi tersebut masuk islam.
Penutup
Pembahasan masalah ini adalah pembahasan yang sangat luas, dan jika ada di antara pembaca yang menginginkan pembahasan yang lebih lengkap tentang masalah ini, silahkan merujuk kepada kitab-kitab yang kami jadikan referensi dalam tulisan ini dan kitab-kitab para ulama ahlus sunnah lainnya.
Kami menyadari bahwa mestinya banyak kekurangan dalam tulisan ini karena kurangnya ilmu dan terbatasnya kemampuan kami untuk merangkai kata-kata yang indah dan mudah dipahami pembaca.
Tujuan kami menulis pembahasan ini tidak lain adalah untuk memberikan motivasi dan dorongan kepada kita semua untuk semakin bersemangat dan bersungguh-sungguh menuntut ilmu agama yang bermanfaat([10]) yang bersumber dari Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah berdasarkan pemahaman para ulama ahlus sunnah, kemudian berusaha untuk mengamalkan ilmu tersebut dengan baik dan benar, karena inilah satu-satunya jalan untuk mencapai dan meraih semua kebaikan dan keutamaan yang Allah janjikan bagi hambanya di dunia dan di akhirat, termasuk kebaikan dan keutamaan yang berupa kemanisan dan kelezatan iman.
Ibnul Qayyim berkata: semua sifat (baik) yang dengannya Allah memuji hambanya dalam Al Qur-an adalah buah dan hasil dari ilmu (yang bermanfaat), dan semua sifat (jelek) yang Allah cela dalam Al Qur-an adalah buah dan hasil dari kejahilan([11]).
Dalam sebuah atsar yang shahih dari sahabat Rasulullah yang mulia, ‘Ali bin Abi Thalib ([12]), ketika beliau menjelaskan keutamaan orang yang berilmu dan fungsi ilmu tersebut dalam membawa mereka meraih kesempurnaan dan kemanisan iman, beliau berkata:”… Ilmu itu membawa mereka (dengan tanpa mereka sadari) untuk merasakan hakikat (kesempurnaan dan kemanisan) iman, sehingga mereka merasakan ringan dan mudah (melaksanakan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah ) yang semua ini dirasakan berat oleh orang-orang yang melampaui batas (sehingga lalai dari ilmu), dan mereka merasa senang dan suka (melakukan amalan2 shaleh dan ketaatan kepada Allah ) yang semua ini tidak disukai oleh orang-orang yang jahil…”.
Terakhir, kami menutup tulisan ini dengan berdo’a dan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan agung, serta sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan sempurna agar Dia menganugrahkan kepada kita semua taufik dan hidayah-Nya untuk bisa meraih kesempurnaan dan kemanisan iman, dan menjadikan kita semua tetap istiqamah di jalan-Nya yang lurus sampai kita menghadap-Nya nanti, Aamiin.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Rasulullah , 17 Shafar 1427 H
Abdullah bin Taslim Al Buthoni
([1]) Al waabilush shayyib (hal. 67)
([2]) Syarh shahih Muslim, karya Imam An Nawawi (2/2).
([3]) Lihat “Fatul Qadiir”, karya Imam Asy Syaukaani (4/129)
([4]) Lihat “Al Waabilush shayyib” (hal. 69)
([5]) “Al Waabilush shayyib” (hal. 70)
([6]) Lihat kitab “Igatsatul lahfan” (1/16-17).
([7]) Al Fawa-id (hal. 59)
([8]) Miftahu daaris sa’adah (1/108).
([9]) Miftahu daris sa’aadah (1/109)
([10]) Insya Allah U kami akan menulis pembahasan khusus tentang ilmu
yang bermanfaat dan syarat-syarat untuk mendapatkannya.
([11]) Miftahu daaris sa’aadah (1/115)
([12]) Atsar ini dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam “Miftahu daaris
sa’adah” (1/123), dan beliau juga menukil ucapan Al Khatiib Al Baghdadi
yang mengatakan bahwa hadits (atsar) ini adalah hadits yang hasan, dan
termasuk hadits yang paling bagus maknanya dan paling indah susunan
kata-katanya. Atsar ini juga dishahihkan oleh para ulama lainnya.
http://manisnyaiman.com/indahnya-islam-manisnya-iman/
http://manisnyaiman.com/indahnya-islam-manisnya-iman/
Menyorot Shalat Arba’in di Masjid Nabawi
Pada
umumnya, para jamaah haji dijadwalkan untuk mengunjungi kota Madinah
sebelum atau sesudah penyelenggaraan ibadah haji. Mereka sangat
bersemangat berkunjung ke Madinah meski ziarah ini tidak ada hubungannya
dengan ibadah haji. Hal ini tidak aneh karena Madinah memiliki
kedudukan yang tinggi dalam sejarah penyebaran Islam. Ke tempat inilah
Nabi Muhammad berhijrah untuk kemudian menghabiskan umur beliau dalam
menyemai dakwah Islam di
sana. Maka meski ibadah haji tetap sah tanpa ziarah ke Madinah, para
jamaah haji selalu merasa ada yang kurang jika tidak berkunjung ke sana.
Di antara ibadah yang biasa dilakukakan para jamaah haji selama di kota
ini adalah shalat arba’in di Masjid Nabawi. Tulisan ini
mencoba menelisik beberapa segi dari ibadah ini agar para pembaca bisa
mengetahui kedudukannya dalam Islam.
Keutamaan Shalat di Masjid Nabawi
Shalat di Masjid Nabawi tidaklah seperti shalat di masjid lain. Allah telah menyematkan padanya keutamaan yang besar, sebagaimana Allah telah melebihkan sebagian amalan di atas sebagian yang lain. Hadits berikut dengan tegas menjelaskan hal ini:
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda : “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram. ” (HR. al-Bukhari no.1190 dan Muslim no. 505)
Sungguh keutamaan yang besar! Ini berarti satu kali shalat fardhu di sana lebih baik dari shalat fardhu yang kita lakukan dalam dua ratus hari. Maka sungguh merugi orang yang sudah sampai di Madinah tapi tidak sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan besar ini. Hadits yang muttafaq ‘alaih sehingga tidak diragukan lagi keshahihannya ini sudah cukup sebagai penggelora semangat kita dan kita tidak butuh lagi hadits-hadits yang lemah.
Apa itu Shalat Arba’in?
Arba’in atau arba’un dalam bahasa Arab berarti empat puluh. Yang dimaksud dengan shalat arba’in adalah melakukan shalat empat puluh waktu di Masjid Nabawi secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama imam. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madinah selama minimal 8 hari agar bisa menjalankan shalat arba’in.
Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan.” (HR. Ahmad no. 12.583 dan ath-Thabrani dalam al-Ausath no. 5.444)
Hadits ini dihukumi shahih oleh beberapa ulama seperti al-Mundziri , al-Haitsami dan Hammad al-Anshari[1] berdasarkan dimasukkannya Nubaith bin Umar dalam kitab ats-Tsiqat oleh Ibnu Hibban. Padahal Nubaith ini tidak dikenal (majhul),dan para ulama hadits menjelaskan bahwa Ibnu Hibban memakai standar longgar dalam kitab ini, yaitu memasukkan orang-orang yang majhul dalam kelompok rawi yang terpercaya (tsiqah).
Perlu direnungkan, bagaimana amalan dengan pahala sebesar ini tidak populer di kalangan sahabat dan hanya diriwayatkan oleh satu sahabat lalu oleh satu tabi’i yang tidak dikenali dan tidak memiliki riwayat sama sekali –tidak dalam hadits shahih maupun dha’if- kecuali hadits ini?[2]
Maka sesungguhnya penshahihan ini tidak bisa diterima, dan pendapat yang melemahkan hadits ini adalah pendapat yang –wallahu a’lam- lebih kuat, dan ini adalah pendapat Syaikh al-Albani, Bin Baz, Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan Lajnah Daimah (Komisi Tetap Fatwa di Arab Saudi).[3] Pembahasan lebih dalam mengenai takhrij hadits dan perbedaan para ulama seputar keshahihan hadits ini bisa ditelaah di tulisan lain dalam mabhats ini.
Beberapa Catatan Tentang Praktek Shalat Arba’in
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan seputar amalan ini, di antaranya:
1- Kadang-kadang terjadi pelanggaran sunnah yang sudah jelas untuk mengejar pahala amalan yang masih diperselisihkan ini. Saat musim haji, di Masjid Nabawi kita bisa dengan mudah melihat banyak orang yang berlarian saat mendengar iqamat dikumandangkan. Hal ini mereka lakukan untuk mengejar takbiratul ihram bersama imam. Padahal Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan kita untuk mendatangi masjid dengan tenang dan melarang kita untuk tergesa-gesa saat hendak shalat. Beliau bersabda:
“Jika kalian mendeng ar iqamat, berjalanlah untuk shalat dengan tenang dan wibawa, jangan terburu-buru, shalatlah bersama imam sedapatnya, dan sempurnakan sendiri bagian yang tertinggal.” (HR. al-Bukhari no.636 dan Muslim no. 154, dan ini adalah lafazh al-Bukhari)
2- Sebagian orang tidak lagi bersemangat untuk shalat di Masjid Nabawi setelah menyelesaikan arba’in. Hal ini bisa mudah dilihat di penginapan para jamaah haji menjelang kepulangan dari Madinah. Panggilan adzan yang terdengar keras dari hotel-hotel yang umumnya dekat dari Masjid Nabawi tidak lagi dijawab sebagaimana hari-hari sebelumnya saat program arba’in belum selesai. Jika kita melihat kondisi para jamaah haji setelah sampai di negeri masing-masing, kita bisa melihat kondisi yang lebih memprihatinkan lagi. Adakah ini karena keyakinan mereka bahwa mereka telah bebas dari neraka dan kemunafikan setelah menyelesaikan program arba’in? Jika demikian, maka amalan yang masih diperselisihkan ini telah memberikan dampak buruk atau dipahami secara salah. Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim –salah satu ulama yang ikut menshahihkan amalan ini- berkata, “Perlu diketahui bahwa tujuan dari arba’in adalah membiasakan dan memompa semangat shalat jamaah. Adapun jika setelah pulang orang meninggalkan shalat jamaah dan meremehkan shalat, maka ia sungguh telah kembali buruk setelah sempat baik.” [4]
3- Sebagian orang memaksakan diri untuk menginap di Madinah untuk waktu lama, sedangkan mereka tidak memiliki bekal yang memadai. Padahal mereka perlu menyewa penginapan dan menyediakan kebutuhan hidup yang lain. Sebagian orang yang kehabisan bekal akhirnya mengemis di Madinah demi mengejar keutamaan arba’in.[5]
Adapun jamaah haji Indonesia, insyaallah tidak mengalami hal ini karena biaya hidup di Madinah sudah masuk dalam paket biaya pelaksanaan ibadah haji yang harus dibayarkan sebelum berangkat.
Di samping itu, jika ada bekal dan waktu berlebih, lebih baik jika digunakan untuk memperbanyak ibadah di Makkah dan Masjidil Haram yang jelas memiliki keutamaan lebih besar.
4- Barangkali ada jamaah haji yang memaksakan diri untuk tetap shalat di Masjid Nabawi saat sedang saat keras demi mengejar keutamaan arba’in. Semangat ibadah tentu sangat dianjurkan, namun jika sampai membahayakan kesehatan, maka hal ini menjadi tidak boleh. Dalam beberapa kasus, saya melihat bahwa memforsir tenaga secara berlebihan selama perjalanan haji adalah salah satu faktor penyebab banyaknya kematian para jamaah haji. Sayangnya hal ini kadang terjadi dalam ibadah yang tidak kuat dalilnya, seperti mengulang-ulang umrah saat di Makkah. Sementara sebagian jamaah lain justru sakit saat ibadah utama (haji) tiba waktunya, karena sebelumnya sudah terforsir untuk ibadah-ibadah seperti ini.
5- Bagi para jamaah haji wanita, shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat di Masjid Nabawi. Mari kita perhatikan hadits berikut ini:
Dari Ummu Humaid –istri Abu Humaid as-Sa’idi-bahwa ia telah datang kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata, “Aku sudah tahu itu, dan shalatmu di bagian dalam rumahmu lebih baik bagimu dari shalat di kamar depan. Shalatmu di kamar depan lebih baik bagimu dari shalat di kediaman keluarga besarmu. Shalatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu dari shalat di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalat di masjidku.” Maka Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan masjid di bagian rumahnya yang paling dalam dan paling gelap, dan ia shalat di situ sampai bertemu Allah. (HR. Ahmad no. 27.090, dihukumi hasan oleh Ibnu Hajar)
Kita sudah mengetahui besarnya keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Namun bagi para wanita, shalat di rumah mereka tetap lebih baik bagi mereka dibanding shalat di Masjid Nabawi, bahkan di Masjidil Haram. Semakin tersembunyi tempat shalat, itu semakin baik bagi mereka. Para jamaah haji wanita perlu meneladani Ummu Humaid yang begitu menaati sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan selalu shalat di rumah. Tidak seperti sebagian jamaah haji wanita yang kadang sampai shalat di jalan-jalan kota Makkah karena masjid-masjid penuh. Mereka bersemangat tinggi tapi tidak didasari ilmu agama yang memadai.
Ada Arba’in Lain
Selain arba’in di atas ada arba’in dengan bentuk lain dengan dalil yang lebih shahih, yaitu hadits berikut:
Dari Anas bin Malik, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barang siapa yang shalat karena Allah empat puluh hari secara berjamaah tanpa ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan. (HR ar-Tirmidzi no. 241, dihukumi hasan oleh al-Albani, dan al-‘Iraqi mengatakan: para rawinya tsiqah)[6]
Dibanding arba’in yang di atas, arba’in ini memiliki beberapa perbedaan, yaitu:
1- Jumlah bilangan shalatnya dua ratus shalat dalam empat puluh hari. Bandingkan dengan empat puluh shalat dalam delapan hari! Karenanya, sebagian orang yang pernah mencoba mengamalkannya mengalami kesulitan yang cukup besar, kira-kira sebanding dengan besarnya pahala yang dijanjikan.
2- Arba’in ini pelaksanaannya tidak terbatas pada Masjid Nabawi, tapi bisa dilakukan di masjid manapun di atas muka bumi ini.
Di akhir pembahasan ini, saya ingin mengajak para peziarah kota Madinah untuk tidak melewatkan sebuah peluang pahala besar selama di Madinah, yakni sebuah amalan yang tidak hanya akan bermanfaat selama musim haji saja, tapi diharapkan bisa menerangi sisa kehidupan mereka yang akan datang. Hal ini termaktub dalam hadits berikut:
Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barang siapa mendatangi masjidku ini, tidak datang kecuali untuk kebaikan yang ingin dia pelajari atau dia ajarkan, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Dan barang siapa datang untuk selain itu, maka ia laksana orang yang hanya memandang barang orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 227, dihukumi shahih oleh al-Albani)
Memandang barang orang lain maksudnya adalah ia seperti orang yang masuk ke pasar, tapi tidak menjual atau membeli, dan hanya memandang barang orang lain sehingga tidak mendapatkan apa-apa. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Masjid Nabawi adalah suqul ‘ilmi (pasar ilmu), dan selayaknya bagi orang yang masuk ke dalamnya untuk berdagang ilmu, baik dengan menuntut ilmu atau mengajarkannya.[7]
Jika anda paham bahasa Arab, anda bisa belajar langsung kepada para ulama di Masjid Nabawi. Jika tidak, anda bisa membawa kitab untuk dibaca, berdiskusi atau membaca al-Quran dan terjemahnya. Atau menghadiri pengajian berbahasa Indonesia yang mulai tahun ini insyaallah akan dibuka di kursi-kursi resmi dalam Masjid Nabawi dan diampu para mahasiswa senior di Universitas Islam Madinah. Yang penting setiap langkah anda dari penginapan menuju Masjid Nabawi tidak lepas dari niat mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, agar pahala jihad tidak luput dari anda.
Musim haji selain menjadi musim ibadah juga merupakan titik temu para ulama dan penuntut ilmu. Para jamaah haji yang ingin melipatgandakan keuntungan mereka menimba ilmu dari para ulama haramain atau para ulama yang datang dari berbagai penjuru dunia, kemudian mendakwahkannya di negeri masing-masing. Mereka menjadi duta dakwah sebagaimana dahulu para sahabat meninggalkan tanah suci yang mereka cintai untuk menebar hidayah. Atau jika tidak mendakwahkannya secara luas, paling tidak mereka mengenal Islam yang murni langsung dari sumbernya dan bermanfaat untuk mereka dan keluarga mereka, dan ini sungguh keuntungan yang tidak sedikit.
Khatimah
Dari paparan di atas, jelaslah bagi kita keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Keutamaan ini sangat cukup memotivasi kita untuk melakukan shalat jamaah sebanyak mungkin di Masjid Nabawi. Lemahnya hadis arba’in, ditambah adanya praktek-praktek yang salah sebagaimana telah dijelaskan di atas membuat kita tidak memerlukannya. Semoga Allah membimbing kita dan kaum muslimin untuk berilmu sebelum beramal, dan membimbing kita semua kepada apa yang Dia cinta dan ridhai. Amin.
Referensi:
Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, MA (Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah)
Artikel Muslim.Or.Id
Dari artikel 'Menyorot Shalat Arba’in di Masjid Nabawi
Keutamaan Shalat di Masjid Nabawi
Shalat di Masjid Nabawi tidaklah seperti shalat di masjid lain. Allah telah menyematkan padanya keutamaan yang besar, sebagaimana Allah telah melebihkan sebagian amalan di atas sebagian yang lain. Hadits berikut dengan tegas menjelaskan hal ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: «صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا
سِوَاهُ، إِلاَّ المَسْجِدَ الحَرَامَ»
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda : “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram. ” (HR. al-Bukhari no.1190 dan Muslim no. 505)
Sungguh keutamaan yang besar! Ini berarti satu kali shalat fardhu di sana lebih baik dari shalat fardhu yang kita lakukan dalam dua ratus hari. Maka sungguh merugi orang yang sudah sampai di Madinah tapi tidak sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan besar ini. Hadits yang muttafaq ‘alaih sehingga tidak diragukan lagi keshahihannya ini sudah cukup sebagai penggelora semangat kita dan kita tidak butuh lagi hadits-hadits yang lemah.
Apa itu Shalat Arba’in?
Arba’in atau arba’un dalam bahasa Arab berarti empat puluh. Yang dimaksud dengan shalat arba’in adalah melakukan shalat empat puluh waktu di Masjid Nabawi secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama imam. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madinah selama minimal 8 hari agar bisa menjalankan shalat arba’in.
Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
«مَنْ صَلَّى فِي
مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً، لاَ يَفُوتُهُ صَلاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ
بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ
النِّفَاقِ»
“Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan.” (HR. Ahmad no. 12.583 dan ath-Thabrani dalam al-Ausath no. 5.444)
Hadits ini dihukumi shahih oleh beberapa ulama seperti al-Mundziri , al-Haitsami dan Hammad al-Anshari[1] berdasarkan dimasukkannya Nubaith bin Umar dalam kitab ats-Tsiqat oleh Ibnu Hibban. Padahal Nubaith ini tidak dikenal (majhul),dan para ulama hadits menjelaskan bahwa Ibnu Hibban memakai standar longgar dalam kitab ini, yaitu memasukkan orang-orang yang majhul dalam kelompok rawi yang terpercaya (tsiqah).
Perlu direnungkan, bagaimana amalan dengan pahala sebesar ini tidak populer di kalangan sahabat dan hanya diriwayatkan oleh satu sahabat lalu oleh satu tabi’i yang tidak dikenali dan tidak memiliki riwayat sama sekali –tidak dalam hadits shahih maupun dha’if- kecuali hadits ini?[2]
Maka sesungguhnya penshahihan ini tidak bisa diterima, dan pendapat yang melemahkan hadits ini adalah pendapat yang –wallahu a’lam- lebih kuat, dan ini adalah pendapat Syaikh al-Albani, Bin Baz, Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan Lajnah Daimah (Komisi Tetap Fatwa di Arab Saudi).[3] Pembahasan lebih dalam mengenai takhrij hadits dan perbedaan para ulama seputar keshahihan hadits ini bisa ditelaah di tulisan lain dalam mabhats ini.
Beberapa Catatan Tentang Praktek Shalat Arba’in
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan seputar amalan ini, di antaranya:
1- Kadang-kadang terjadi pelanggaran sunnah yang sudah jelas untuk mengejar pahala amalan yang masih diperselisihkan ini. Saat musim haji, di Masjid Nabawi kita bisa dengan mudah melihat banyak orang yang berlarian saat mendengar iqamat dikumandangkan. Hal ini mereka lakukan untuk mengejar takbiratul ihram bersama imam. Padahal Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan kita untuk mendatangi masjid dengan tenang dan melarang kita untuk tergesa-gesa saat hendak shalat. Beliau bersabda:
«إِذَا سَمِعْتُمُ
الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ
وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا
فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا»
“Jika kalian mendeng ar iqamat, berjalanlah untuk shalat dengan tenang dan wibawa, jangan terburu-buru, shalatlah bersama imam sedapatnya, dan sempurnakan sendiri bagian yang tertinggal.” (HR. al-Bukhari no.636 dan Muslim no. 154, dan ini adalah lafazh al-Bukhari)
2- Sebagian orang tidak lagi bersemangat untuk shalat di Masjid Nabawi setelah menyelesaikan arba’in. Hal ini bisa mudah dilihat di penginapan para jamaah haji menjelang kepulangan dari Madinah. Panggilan adzan yang terdengar keras dari hotel-hotel yang umumnya dekat dari Masjid Nabawi tidak lagi dijawab sebagaimana hari-hari sebelumnya saat program arba’in belum selesai. Jika kita melihat kondisi para jamaah haji setelah sampai di negeri masing-masing, kita bisa melihat kondisi yang lebih memprihatinkan lagi. Adakah ini karena keyakinan mereka bahwa mereka telah bebas dari neraka dan kemunafikan setelah menyelesaikan program arba’in? Jika demikian, maka amalan yang masih diperselisihkan ini telah memberikan dampak buruk atau dipahami secara salah. Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim –salah satu ulama yang ikut menshahihkan amalan ini- berkata, “Perlu diketahui bahwa tujuan dari arba’in adalah membiasakan dan memompa semangat shalat jamaah. Adapun jika setelah pulang orang meninggalkan shalat jamaah dan meremehkan shalat, maka ia sungguh telah kembali buruk setelah sempat baik.” [4]
3- Sebagian orang memaksakan diri untuk menginap di Madinah untuk waktu lama, sedangkan mereka tidak memiliki bekal yang memadai. Padahal mereka perlu menyewa penginapan dan menyediakan kebutuhan hidup yang lain. Sebagian orang yang kehabisan bekal akhirnya mengemis di Madinah demi mengejar keutamaan arba’in.[5]
Adapun jamaah haji Indonesia, insyaallah tidak mengalami hal ini karena biaya hidup di Madinah sudah masuk dalam paket biaya pelaksanaan ibadah haji yang harus dibayarkan sebelum berangkat.
Di samping itu, jika ada bekal dan waktu berlebih, lebih baik jika digunakan untuk memperbanyak ibadah di Makkah dan Masjidil Haram yang jelas memiliki keutamaan lebih besar.
4- Barangkali ada jamaah haji yang memaksakan diri untuk tetap shalat di Masjid Nabawi saat sedang saat keras demi mengejar keutamaan arba’in. Semangat ibadah tentu sangat dianjurkan, namun jika sampai membahayakan kesehatan, maka hal ini menjadi tidak boleh. Dalam beberapa kasus, saya melihat bahwa memforsir tenaga secara berlebihan selama perjalanan haji adalah salah satu faktor penyebab banyaknya kematian para jamaah haji. Sayangnya hal ini kadang terjadi dalam ibadah yang tidak kuat dalilnya, seperti mengulang-ulang umrah saat di Makkah. Sementara sebagian jamaah lain justru sakit saat ibadah utama (haji) tiba waktunya, karena sebelumnya sudah terforsir untuk ibadah-ibadah seperti ini.
5- Bagi para jamaah haji wanita, shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat di Masjid Nabawi. Mari kita perhatikan hadits berikut ini:
عَنْ أُمِّ حُمَيْدٍ
امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي
أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ، قَالَ: «قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ
الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي
حُجْرَتِكِ، وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ،
وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ،
وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي
مَسْجِدِي» ، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى
شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى
لَقِيَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Ummu Humaid –istri Abu Humaid as-Sa’idi-bahwa ia telah datang kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata, “Aku sudah tahu itu, dan shalatmu di bagian dalam rumahmu lebih baik bagimu dari shalat di kamar depan. Shalatmu di kamar depan lebih baik bagimu dari shalat di kediaman keluarga besarmu. Shalatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu dari shalat di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalat di masjidku.” Maka Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan masjid di bagian rumahnya yang paling dalam dan paling gelap, dan ia shalat di situ sampai bertemu Allah. (HR. Ahmad no. 27.090, dihukumi hasan oleh Ibnu Hajar)
Kita sudah mengetahui besarnya keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Namun bagi para wanita, shalat di rumah mereka tetap lebih baik bagi mereka dibanding shalat di Masjid Nabawi, bahkan di Masjidil Haram. Semakin tersembunyi tempat shalat, itu semakin baik bagi mereka. Para jamaah haji wanita perlu meneladani Ummu Humaid yang begitu menaati sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan selalu shalat di rumah. Tidak seperti sebagian jamaah haji wanita yang kadang sampai shalat di jalan-jalan kota Makkah karena masjid-masjid penuh. Mereka bersemangat tinggi tapi tidak didasari ilmu agama yang memadai.
Ada Arba’in Lain
Selain arba’in di atas ada arba’in dengan bentuk lain dengan dalil yang lebih shahih, yaitu hadits berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ
صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ
الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ
مِنَ النِّفَاقِ.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barang siapa yang shalat karena Allah empat puluh hari secara berjamaah tanpa ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan. (HR ar-Tirmidzi no. 241, dihukumi hasan oleh al-Albani, dan al-‘Iraqi mengatakan: para rawinya tsiqah)[6]
Dibanding arba’in yang di atas, arba’in ini memiliki beberapa perbedaan, yaitu:
1- Jumlah bilangan shalatnya dua ratus shalat dalam empat puluh hari. Bandingkan dengan empat puluh shalat dalam delapan hari! Karenanya, sebagian orang yang pernah mencoba mengamalkannya mengalami kesulitan yang cukup besar, kira-kira sebanding dengan besarnya pahala yang dijanjikan.
2- Arba’in ini pelaksanaannya tidak terbatas pada Masjid Nabawi, tapi bisa dilakukan di masjid manapun di atas muka bumi ini.
Jangan Lewatkan Pahala Jihad di Masjid Nabawi
Di akhir pembahasan ini, saya ingin mengajak para peziarah kota Madinah untuk tidak melewatkan sebuah peluang pahala besar selama di Madinah, yakni sebuah amalan yang tidak hanya akan bermanfaat selama musim haji saja, tapi diharapkan bisa menerangi sisa kehidupan mereka yang akan datang. Hal ini termaktub dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
«مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا، لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ
يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ
الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ»
Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barang siapa mendatangi masjidku ini, tidak datang kecuali untuk kebaikan yang ingin dia pelajari atau dia ajarkan, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Dan barang siapa datang untuk selain itu, maka ia laksana orang yang hanya memandang barang orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 227, dihukumi shahih oleh al-Albani)
Memandang barang orang lain maksudnya adalah ia seperti orang yang masuk ke pasar, tapi tidak menjual atau membeli, dan hanya memandang barang orang lain sehingga tidak mendapatkan apa-apa. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Masjid Nabawi adalah suqul ‘ilmi (pasar ilmu), dan selayaknya bagi orang yang masuk ke dalamnya untuk berdagang ilmu, baik dengan menuntut ilmu atau mengajarkannya.[7]
Jika anda paham bahasa Arab, anda bisa belajar langsung kepada para ulama di Masjid Nabawi. Jika tidak, anda bisa membawa kitab untuk dibaca, berdiskusi atau membaca al-Quran dan terjemahnya. Atau menghadiri pengajian berbahasa Indonesia yang mulai tahun ini insyaallah akan dibuka di kursi-kursi resmi dalam Masjid Nabawi dan diampu para mahasiswa senior di Universitas Islam Madinah. Yang penting setiap langkah anda dari penginapan menuju Masjid Nabawi tidak lepas dari niat mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, agar pahala jihad tidak luput dari anda.
Musim haji selain menjadi musim ibadah juga merupakan titik temu para ulama dan penuntut ilmu. Para jamaah haji yang ingin melipatgandakan keuntungan mereka menimba ilmu dari para ulama haramain atau para ulama yang datang dari berbagai penjuru dunia, kemudian mendakwahkannya di negeri masing-masing. Mereka menjadi duta dakwah sebagaimana dahulu para sahabat meninggalkan tanah suci yang mereka cintai untuk menebar hidayah. Atau jika tidak mendakwahkannya secara luas, paling tidak mereka mengenal Islam yang murni langsung dari sumbernya dan bermanfaat untuk mereka dan keluarga mereka, dan ini sungguh keuntungan yang tidak sedikit.
Khatimah
Dari paparan di atas, jelaslah bagi kita keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Keutamaan ini sangat cukup memotivasi kita untuk melakukan shalat jamaah sebanyak mungkin di Masjid Nabawi. Lemahnya hadis arba’in, ditambah adanya praktek-praktek yang salah sebagaimana telah dijelaskan di atas membuat kita tidak memerlukannya. Semoga Allah membimbing kita dan kaum muslimin untuk berilmu sebelum beramal, dan membimbing kita semua kepada apa yang Dia cinta dan ridhai. Amin.
- Adhwa’ul Bayan fi Idhah al-Qu`ran bil Qur`an, Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi, Darul Fikr.
- Al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41.
- At-Targhib wat Tarhib, al-Mundziri.
- Fadhlul Madinah, Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad.
- Fatawa al-Lajnah ad-Daimah,
- Majma’ az-Zawa`id wa Manba’ al-Fawa`id, al-Haitsami, Maktabah al-Qudsi.
- Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz, Muhammad asy-Syuwai’ir.
- Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih, Abul Hasan al-Mubarakfuri, al-Jami’ah as-Salafiyyah.
- Shahih at-Targhib wat Tarhib, al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
- Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
- Takhrij Ahadits Ihya Ulumiddin, al-Hafizh al-‘Iraqi, Darul ‘Ashimah.
Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, MA (Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah)
Artikel Muslim.Or.Id
[1] Majma’ az-Zawaid 4/8, at-Targhib wat Tarhib 2/139.
[2] Al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41.
[3]
Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah 1/540 no. 364, Majmu’
Fatawa Syaikh Bin Baz 26/285, Fadhlul Madinah hal. 19, Fatawa al-Lajnah
ad-Daimah 4/440.
[4] Adhwa’ul Bayan 8/336.
[5] Al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41.
[6] Shahih at-Targhib wat Tarhib 1/98 no. 409, Takhrij Ahadits Ihya Ulumiddin1/334.
[6] Shahih at-Targhib wat Tarhib 1/98 no. 409, Takhrij Ahadits Ihya Ulumiddin1/334.
[7] Mir’atul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih 2/456.
Dari artikel 'Menyorot Shalat Arba’in di Masjid Nabawi
Ketika Wudhu , Kenapa Harus Menghirup Air ?
Apalagi dengan polusi udara yang disebabkan oleh asap kendaraan bermotor. Hal itu dapat menyebabkan kesehatan terganggu. Karena itu, sebaiknya kita senantiasa menjaga kebersihan hidung dengan cara membersihkannya menggunakan air, yaitu memasukkannya (menghirup) ke dalam hidung kemudian dikeluarkan kembali.
Dalam wudhu disunatkan menghirup air dari hidung dan dikeluarkan lewat mulut. Cara ini adalah penangkal efektif ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), TBC, dan kanker secara dini.
Dalam penelitian yang dilakukan Muhammad Salim, tentang manfaat kesehatan wudhu, dijelaskan, bahwa berwudhu dengan cara yang baik dan benar, maka tubuh seseorang akan terhindar dari segala penyakit. “Sesungguhnya cara berwudhu yang baik adalah dimulai dengan membasuh tangan lalu berkumur-kumur, kemudian mengambil air dan menghirupnya ke dalam hidung lalu mengeluarkannya. Langkah ini dilakukan sebanyak tiga kali dan seterusnya.”
Dan berdasarkan analisisnya, orang-orang yang tidak berwudhu, maka warna hidung mereka memudar dan berminyak, terdapat banyak kotoran dan debu. Ditambahkanya, rongga hidung mereka itu memiliki permukaan yang lengket dan berwarna gelap. Adapun orang-orang yang teratur dalam berwudhu, jelas Salim, permukaan rongga hidungnya tampak cemerlang, bersih, dan tidak berdebu.
Selain itu, kata dia, jumlah kuman tampak lebih banyak terdapat pada rongga hidung orang yang tidak berwudhu, dan itu menjadi tempat pertumbuhan kuman penyakit. Kondisi tersebut, akan mempercepat pertumbuhan dan penularan kuman penyakit lainnya.
Sementara itu, orang-orang yang senantiasa mengerjakan wudhu, maka hidung mereka tampak bersih dari kuman. Bahkan, lanjut Salim, tempat pertumbuhan kuman relatif tidak ada.
Penelitian Muhammad Salim ini juga menjelaskan, bahwa orang yang berwudhu dengan memasukkan air ke dalam rongga hidungnya, kendati hanya sekali, maka hal itu dapat membersihkan hidung dari separoh penyakit.
Selanjutnya, bila memasukkan air ke dalam rongga hidung sebanyak dua kali, maka dapat menambah sepertiga kebersihan. Kemudian, jika memasukkan air sebanyak tiga kali, maka hidung benar-benar bersih dari kuman.
Dari hal yang tampaknya kecil dan bahkan disepelekan, ternyata wudhu mengandung hikmah yang sangat besar manfaatnya bagi kesehatan seseorang. Rasul SAW bersabda: “Sempurnakan wudhu, lakukan istinsyaq, yaitu memasukkan air ke dalam lubang hidung, kecuali jika kamu berpuasa.”
Secara ilmiah telah dibuktikan, besarnya manfaat yang bisa dipetik dari wudhu, terutama dalam hal membersihkan lubang hidung. Logikanya, apabila sekali berwudhu dan melakukan istinsyaq, maka hal itu dapat menjaga kebersihan hidung hingga 3-5 jam. Dan bila kotor lagi, maka dapat dibersihkan dengan wudhu berikutnya.
Lebih tegas lagi, Muhammad Salim menjelaskan, orang yang rajin berwudhu dengan melakukan istinsyaq dan istintsar (mengeluarkan air dari hidung),kemudian melanjutkannya dengan mendirikan shalat, maka hal itu dapat menghilangkan 11 kuman penyakit membahayakan yang ada di dalam lubang hidung, terutama dalam hal gangguan pernafasan, radang paru-paru, panas rumatik, penyakit rongga hidung, dan lain-lain. Sebaliknya, orang yang tidak berwudhu, akan lebih mudah terkena penyakit gangguan pernafasan.
Prof Hembing menambahkan, hidung merupakan reseptor penciuman (sel-sel olfaktoris) yang lebih peka daripada reseptor pengecap (lidah) . Disebutkan, hidung mampu membedakan lebih dari 10 ribu macam bau-bauan.
Saluran nafas atau indera penciuman terdapat di hidung pada lapisan selaput lendir. Indera ini dapat menerima rangsangan berupa bau atau oflaksi oleh sel pembau. Sel pembau mempunyai ujung-ujung berupa rambut halus, yang dihubungkan dengan urat syaraf melalui tulang saringan dan bersatu menjadi urat syaraf elfektori menuju pusat pencium bau di otak. Indera ini dapat membantu indera pengecap (lidah) menaikkan selera makan.
Dan bila seseorang terkena influenza (pilek dan flu), maka indera penciuman akan mengalami gangguan dan akan kurang mampu dalam menerima rangsangan bau. Selain itu, akan berkurang pula selera makannya.
Hembing menambahkan, hidung bisa menjadi alat penyaringan. Di dalam rongga hidung terdapat rambut-rambut yang berfungsi menyaring debu-debu yang akan masuk ke dalam hidung bersama dengan udara. Adanya indera pembau dalam rongga hidung dapat menyebabkan gas yang tidak enak baunya dan tidak berguna bagi tubuh akan dapat dihindari.
Selain itu, tambahnya, hidung juga berfungsi sebagai alat penghangatan. Adanya konka yang permukaannya banyak mempunyai kapiler darah yang menyebabkan udara masuk lewat rongga hidung akan dihangatkan.
Ia menambahkan, banyak manfaat yang dapat dipetik dari ber-istinsyaq danistintsar ini. Setiap kali orang membersihkan dan membasuh hidung, maka kuman penyakit seperti sinusitis, influenza (pilek dan flu), bronchitis, dan lainnya akan hilang. Dan faedah yang bisa diambil dari membasuh hidung ini memiliki makna ganda, yakni untuk kesehatan fisik dan kesehatan jiwa. (Dz/syafik-kerenunik).
http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/ketika-wudhu-kenapa-harus-menghirup-air.htm#.UTvTershM8U
Subscribe to:
Posts (Atom)