Arti tabattul (membujang), Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:
"Tabattul di sini ialah menjauhkan diri dari wanita dan tidak menikah
karena ingin terus beribadah kepada Allah."[1]
Hadits-hadits yang melarang hidup membujang cukup banyak, di antaranya:
1. Hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dari Sa’ad bin Abi Waqqash
Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menolak hal itu pada ‘Utsman bin Mazh’un. Seandainya beliau membolehkan
kepadanya untuk hidup membujang, niscaya kami membujang."[2]
2. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia
menuturkan: "Aku mengatakan: 'Wahai Rasulullah, aku adalah seorang
pemuda dan aku takut memberatkan diriku, sedangkan aku tidak mempunyai
sesuatu untuk menikahi wanita.' Tetapi beliau mendiamkanku. Kemudian aku
mengatakan seperti itu lagi kepada beliau, tapi beliau mendiamkanku.
Kemudian aku mengatakan seperti itu lagi, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: 'Wahai Abu Hurairah, pena telah kering dengan apa
yang engkau temui (alami); mengebirilah atau tinggal-kan.'"[3]
Syaikh Mushthafa al-‘Adawi berkata -mengomentari sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam: "Mengebirilah atau tinggalkan"-: "Ini seperti firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
‘Maka barangsiapa yang (ingin) beriman hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang (ingin) kafir biarlah ia kafir.' [Al-Kahfi/18: 29]
Dan ayat ini bukannya membolehkan kekafiran."[4]
Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ditemui oleh Sa’id bin
Hisyam seraya bertanya kepadanya: "Aku ingin bertanya kepadamu tentang
hidup membujang; bagaimana menurutmu?" Ia menjawab: "Jangan lakukan!
Bukankah engkau mendengar Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
‘Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan...’ [Ar-Ra’d/13:
38]
Oleh karena itu, janganlah engkau hidup membujang."[5]
Tidak Ada "Kepasturan (Kerahiban)" Dalam Islam.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menuturkan: “Aku menjenguk Khuwailah binti
Hakim bin Umayyah bin Haritsah bin al-Auqash as-Salamiyyah, dan dia
adalah isteri 'Utsman bin Mazh'un.” Ia melanjutkan: “Ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kondisi tubuhnya yang buruk,
beliau bertanya kepadaku: ‘Wahai ‘Aisyah, apa yang memperburuk kondisi
Khuwailah?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, ia seorang wanita yang
mempunyai suami yang selalu berpuasa di siang hari dan bangun malam
(untuk shalat). Ia seperti orang yang tidak mempunyai suami. Oleh
karenanya, ia membiarkan dirinya dan menyia-nyiakannya.’ Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan kepada ‘Utsman
bin Mazh’un (agar ia datang menghadap). Ketika dia datang kepada beliau,
maka beliau bertanya: ‘Wahai ‘Utsman, apakah engkau membenci Sunnahku?’
Ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, bahkan Sunnahmu yang
aku cari.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya aku tidur, shalat, puasa,
berbuka, dan menikahi beberapa orang wanita; maka bertakwalah kepada
Allah wahai ‘Utsman, karena isterimu mempunyai hak atasmu, tamumu
mempunyai hak atasmu, dan dirimu mempunyai hak atasmu. Oleh karenanya,
berpuasalah dan berbukalah, shalatlah dan tidurlah.'"[6]
Asy-Sya’bi meriwayatkan: Ka’ab bin Sur pernah duduk di sisi ‘Umar bin
al-Khaththab Radhiyallahu anhu, lalu seorang wanita datang seraya
berkata: "Wahai Amirul Mukminin, aku tidak melihat seorang pun yang
lebih baik daripada suamiku. Demi Allah, dia senantiasa beribadah pada
malam harinya dan senantiasa berpuasa pada siang harinya." Mendengar hal
itu ‘Umar memohonkan ampunan untuknya dan memujinya, tetapi wanita ini
merasa malu dan beranjak pulang. Ka’ab berkata: "Wahai Amirul Mukminin,
tidakkah engkau membantu wanita ini (mendapatkan hak) atas suaminya.
Sebab, dia telah menyampaikan keluhannya kepadamu." ‘Umar berkata kepada
Ka’ab: "Putuskanlah perkara di antara keduanya, karena engkau memahami
urusan apa yang tidak aku fahami." Ia mengatakan: "Aku melihat
sepertinya dia seorang wanita bersama tiga isteri lainnya, dan ia
keempatnya. Oleh karenanya, aku memutuskan tiga hari tiga malam di mana
dia (pria ini) beribadah di dalamnya, dan untuknya (wanita ini) sehari
semalam." ‘Umar berkata: "Demi Allah, pendapatmu yang pertama tidak
lebih mengagumkan dari-pada yang terakhir. Pergilah! Engkau menjadi
qadhi (hakim) atas Bashrah. Sebaik-baik qadhi adalah dirimu."[7]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai ‘Abdullah, benarkah apa
yang aku dengar bahwa engkau selalu berpuasa di siang hari dan
mengerjakan shalat malam?" Aku menjawab: "Benar, wahai Rasulullah."
Beliau bersabda: "Jangan engkau lakukan! Berpuasa dan berbukalah, bangun
dan tidurlah, karena tubuh mempunyai hak atasmu, kedua matamu mempunyai
hak atasmu, isterimu mempunyai hak atasmu, dan tamumu mempunyai hak
atasmu. Cukuplah engkau berpuasa tiga hari dalam sebulan, karena engkau
akan mendapatkan pada setiap kebajikan sepuluh kali lipatnya. Jadi, itu
seperti puasa sepanjang masa." Ketika aku bersikeras, maka aku sendiri
yang akhirnya kesulitan. Aku mengatakan: "Wahai Rasulullah, aku masih
memiliki kesanggupan." Beliau bersabda: "Kalau begitu berpuasalah dengan
puasa Dawud Alaihissallam dan jangan menambahnya." Aku bertanya:
"Bagaimana puasa Nabi Allah Dawud Alaihissallam?" Beliau menjawab:
"Separuh masa." ‘Abdullah berkata setelah tua: "Duhai sekiranya aku
menerima keringanan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam."[8]
Al-Marwazi mengatakan: Abu ‘Abdillah -yakni Ahmad bin Hanbal- berkata:
"Hidup membujang sama sekali bukan dari ajaran Islam. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menikahi 14 isteri, dan beliau wafat meninggalkan
sembilan isteri. Seandainya Basyar bin al-Harits menikah, niscaya
urusannya menjadi sempurna. Seandainya manusia tidak menikah, niscaya
tidak ada peperangan, tidak ada haji, dan tidak ada begini dan begitu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah, sedangkan mereka tidak
memiliki apa-apa, dan beliau wafat meninggalkan 9 isteri serta memilih
menikah dan menganjurkan akan hal itu. Beliau melarang hidup membujang.
Barangsiapa yang membenci Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka dia berada di atas selain kebenaran. Ya’qub, dalam kesedihannya,
masih menikah dan mendapatkan anak. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: "Dimasukkan ke dalam hatiku kecintaan kepada para
wanita."[9]
Aku mengatakan kepadanya, diceritakan dari Ibrahim bin Ad-ham bahwa dia
mengatakan: "Sungguh, rasa takut seorang laki-laki yang menanggung beban
keluarga yang berat..." Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku,
tiba-tiba dia (memotongnya serta) berteriak kepadaku dan mengatakan:
'Kita terperangkap di jalan-jalan yang sempit.' Lihatlah -semoga Allah
menyelamatkanmu- apa yang dilakukan oleh Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya." Kemudian dia mengatakan:
"Sungguh tangisan anak di hadapan ayahnya karena meminta roti kepadanya,
itu lebih baik daripada demikian dan demikian. Bagaimana mungkin ahli
ibadah yang membujang bisa menyamai orang yang menikah?"[10]
Syubhat:
Makna Tabattul Dalam Al-Qur-an.
Syaikh Muhammad bin Isma’il berkata: Di antara hal yang patut untuk
disebutkan bahwa al-Qur-an memerintahkan tabattul dalam firman-Nya:
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا
“Sebutlah Nama Rabb-mu, dan bertabattullah (beribadahlah) kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” [Al-Muzzammil/73: 8].
Makna ayat ini adalah perintah agar menggunakan seluruh waktunya untuk Allah dengan ibadah yang ikhlas.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (men-jalankan) agama yang
lurus...” [Al-Bayyinah/98: 5].
Sementara ada larangan tabattul dalam Sunnah. Dan yang dimaksud
dengannya ialah memutuskan hubungan dari manusia dan komunitas, menempuh
jalan kependetaan untuk meninggalkan pernikahan, dan menjadi pendeta di
tempat-tempat sembahyang. Jadi, tabattul diperintahkan dalam al-Qur-an
dan dilarang dalam Sunnah. Kaitan perintah berbeda dengan kaitan
larangan; maka keduanya tidak kontradiktif. Dan Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam hanyalah diutus untuk menjelaskan kepada manusia
tentang apa yang diturunkan kepada mereka.
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu
Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap
Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim, Syarh an-Nawawi (III/549).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5074) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab
an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1086) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3212)
kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1848) kitab an-Nikaah, Ahmad (no.
1517).
Faidah: Apakah boleh mengebiri binatang? Kalangan yang membolehkan
mengebiri binatang berargumen dengan hadits dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau menyembelih dua domba yang dikebiri.
Mereka berkata: “Seandainya mengebiri hewan yang dapat dimakan itu
diharamkan, niscaya beliau tidak menyembelih domba yang dikebiri sama
sekali.” Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni (VIII/ 625): “Mengebiri
hewan diperbolehkan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyembelih dua domba yang dikebiri.” Al-waj' ialah menghancurkan kedua
buah zakar, dan apa yang dipotong kedua zakarnya, atau dicabut, maka ia
seperti dikekang, karena semakna. Karena mengebiri adalah menghilangkan
bagian yang tidak sedap sehingga membuat dagingnya sedap dengan
hilangnya bagian itu dapat memperbanyak dan menggemukkan. Asy-Sya’bi
berkata: "Apa yang bertambah pada daging dan lemaknya lebih banyak
daripada yang hilang darinya. Demikianlah pendapat al-Hasan, ‘Atha’,
asy-Sya’bi, an-Nakha'i, Malik dan asy-Syafi'i, dan saya tidak melihat
perselisiahan di dalamnya.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5076) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1404) kitab
an-Nikaah, Ahmad (no. 3642) lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no.
7832).
[4]. Jaami’ Ahkaamin an-Nisaa’, al-‘Adawi (III/20).
[5]. HR. At-Tirmidzi (no. 1982) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1849)
kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih
Ibni Majah (no. 1499).
[6]. HR. Ahmad (no. 25776), yang di dalamnya terdapat ‘Abdullah bin
Sa’id, ia adalah shaduq, dan para perawi lainnya adalah tsiqat, Abu
Dawud (no. 1369) kitab ash-Shalaah.
[7]. Majmuu’ al-Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXIV/85), al-Mughni (VII/30),
dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa' (VII/80).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 1975) kitab ash-Shaum, Muslim (no. 1159) kitab
ash-Shaum, at-Tirmidzi (no. 770) kitab ash-Shaum, an-Nasa-i (no. 1630)
kitab ash-Shaum, Ibnu Majah (no. 1712) kitab ash-Shaum, Ahmad (no.
6441), ad-Darimi (no. 1752).
[9]. HR. An-Nasa-i (VII/61) dalam ‘Isyratun Nisaa', bab Hubbun Nisaa',
Ahmad (III/128), al-Hakim (II/160) dan ia menilainya sebagai hadits
shahih sesuai syarat Muslim, dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Al-Hafizh
al-‘Iraqi menilai sanadnya baik, dan Ibnu Hajar menilainya sebagai
hadits hasan.
[10]. Raudhatul Muhibbiin (hal. 214).
http://almanhaj.or.id/content/3560/slash/0/larangan-hidup-membujang/
No comments:
Post a Comment