Oleh :
Fadhilatusy Syaikh ’Abdullah bin Jibrin
Pertanyaan: Bagaimana cara memandikan jenazah itu? Dan bagaimana cara mengkafaninya?
Jawab: Memandikan
jenazah adalah fardhu kifayah. Dan yang paling utama melakukannya,
adalah seseorang yang sudah diwasiati oleh si mayit untuk itu. Setelah
itu kerabatnya yang terdekat, kemudian siapa saja yang masih ada
hubungan rahim dengannya.
Seorang
lelaki boleh memandikan istrinya, dan seorang istri boleh memandikan
suaminya. Wanita juga boleh memandikan anak kecil lelaki yang belum
berumur tujuh tahun. Dan seorang lelaki boleh memandikan perempuan kecil
yang belum berumur tujuh tahun.
Tetapi
seorang wanita tidak boleh memandikan lelaki, meski ia mahramnya
sendiri. Dan seorang lelaki tidak boleh memandikan wanita, meski wanita
itu adalah ibu atau putrinya, ia hanya boleh mentayamumi mereka dengan
debu.
Seorang
muslim tidak boleh memandikan orang kafir, dan tidak pula mempersiapkan
apapun dalam kematiannya. Ia hanya boleh menimbunnya ke dalam tanah
jika tidak ada seorang kafirpun yang menguburnya.
Jika
kita hendak memandikan jenazah, maka jenazah itu harus ditutup auratnya
jika berumur lebih dari tujuh tahun. Yang ditutupi adalah daerah antara
pusar hingga lutut. Kemudian ia melepaskan seluruh bajunya, dan
menutupinya dari pandangan orang lain. Yakni jenazah itu diletakkan di
dalam rumah yang beratap, atau jika memungkinkan, jenazah tersebut
dimandikan di dalam tenda.
Kemudian
wajah sang mayit kita tutup. Tidak boleh ada orang lain hadir dalam
pemandian ini, selain seseorang yang membantu kita dalam proses
pemandian. Disini niat adalah syarat. Sedang mengucapkan basmalah adalah
suatu kewajiban. Setelah itu kita mengangkat kepalanya hingga mendekati
posisi duduk. Kita memijit perutnya pelan-pelan, pada saat ini kita
banyak-banyak menyiramkan air, juga perlu mengasapi ruangan dengan kayu
gaharu jika dikawatirkan ada sesuatu yang keluar dari perutnya.
Lalu
kita membelitkan kain ke tangan kita untuk membersihkan jenazah tadi
dan menggosok-gosok kedua kemaluannya. kita tidak boleh menyentuh aurat
jenazah yang sudah berumur tujuh tahun keatas kecuali dengan penghalang.
Dan lebih utama jika tidak menyentuh seluruh anggota tubuh lainnya
kecuali dengan sarung tangan atau kain yang dibelitkan ke tangan kita.
Setelah
itu, kita membelitkan sepotong kain pada kedua jari untuk membersihkan
gigi-gigi, dan kedua lobang hidungnya, tanpa memasukkan air ke dalam
mulut atau hidung. Kemudian kita membasuhi seluruh anggota wudhunya.
Kemudian
kita menyiapkan air yang bercampur daun bidara atau bercampur sabun
pembersih. Lalu kita membersihkan kepala, serta jenggotnya dengan busa
air tersebut. Dan membasuh sekujur tubuhnya dengan sisa air tadi.
Kemudian kita membasuh bagian samping kanan, lalu samping yang kiri,
dimulai dari kulit lehernya. Kemudian bahu hingga akhir telapak kakinya.
Lalu
kita membalikkannya sembari membasuh tubuhnya. Kita mengangkat sisi
bagian kanannya sambil membasuh punggung dan pantatnya. Lalu membasuh
sisi bagian kiri juga seperti itu. Kita tidak boleh menelungkupkan
jenazah di atas wajahnya. Setelah itu kita menyiramkan air ke sekujur
tubuhnya.
Sedangkan
yang sunnah adalah mengulang tiga kali cara mandi seperti ini, memulai
yang kanan dari setiap sisi tubuhnya, dan terus mengurutkan tangan pada
perutnya pada setiap pemandian. Jika tiga kali pengurutan belum juga
membersihkan perut, maka kita tambah hingga perut itu benar-benar
bersih, meski hal itu kita lakukan hingga tujuh kali. Dan disunnahkan
menghentikan pengurutan ini pada bilangan yang ganjil.
Saat
memandikan, menggunakan air panas adalah sangat dimakruhkan. Demikian
pula dengan membersihkan sela-sela gigi dan menggunakan air dingin,
kecuali saat diperlukan.
Jika
wanita, maka kita mengelabang rambutnya menjadi tiga kali dan kita
letakkan pada bagian belakang kepalanya. Pada pemandian yang terakhir,
kita mencampur airnya dengan kapur barus dan daun bidara. Kecuali jika
sang mayit dalam keadaan ihram dengan ibadah haji atau umrah, maka hal
itu tak perlu dilakukan.
Lalu
kita cukur kumisnya, dan kita potong kukunya jika panjang-panjang.
Kemudian kita handuki. Jika masih keluar sesuatu dari perut, padahal
kita sudah mengurut perutnya sebanyak tujuh kali, maka tempat keluar
kotoran itu kita tutup dengan kapas. Jika kapas tidak mempan, maka kita
menggunakan tanah yang panas. Setelah itu tempat keluarnya kotoran itu
kita bersihkan dan kita wudhui lagi jenazahnya.
Jika
jenazah yang kita mandikan adalah seseorang yang sedang ihram, maka
kita memandikannya tanpa minyak wangi dan tanpa harum-haruman. Tubuhnya
dibersihkan dengan sabun dan daun bidara jika perlu saja. Dan kepalanya
tetap dibiarkan terbuka.
Anak
yang gugur (lahir dalam keadaan mati) jika sudah berumur empat bulan,
juga orang-orang yang sulit dimandikan seperti yang mati terbakar dan
yang hancur lebur, maka ia hanya ditayammumi. Sedang orang yang
memandikan, ia wajib menutupi bagian tubuhnya yang buruk.
Mengkafani
jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah. Untuk kain kafan, kita
mengutamakan membelinya terlebih dahulu dari harta pribadinya, sebelum
kita gunakan untuk melunasi hutang dan tanggungannya yang lain. Jika si
mayit tidak memiliki harta, maka kita mengambil uang untuk membeli kain
kafan itu dari orang yang wajib menafkahinya, yaitu pada saat tak ada
seorangpun yang berderma untuk membelikan kain kafan buat si mayit.
Jenazah
seorang lelaki, dikafani dengan tiga lembar kain putih dari katun atau
semisalnya. Lalu sebagian kain itu dibentangkan atas sebagian yang lain.
Dan sebelumnya kain-kain itu sudah disemprot dengan air, kemudian
diasapi dengan semisal kayu gaharu.
Bagian
paling atas sendiri, kita taruh kain yang terbaik. Lalu kita menebar
harum-haruman diantara kain yang atas ini, dan memberi parfum pada
setiap lembar kain-kain tersebut.
Setelah itu si mayit diletakkan di atasnya, kita mengambil sedikit
harum-haruman lalu ditaruh pada kapas dan diletakkan diantara kedua
pantatnya. Kemudian kita mengikatnya dari atas dengan kain yang terbelah
ujungnya, seperti bentuk celana dalam, yang bisa mengikat erat antara
dua pantat dan kandung kemihnya.
Kemudian
harum-haruman yang masih tersisa kita letakkan pada setiap lobang yang
ada pada wajah dan anggota-anggota wudhunya. Jika kita mengharumi
seluruh tubuhnya, maka itu lebih baik.
Setelah
itu kain paling atas, yang ada di sebelah kanan mayit, ditutupkan pada
bagian kirinya. Dan kain yang disebelah kiri ditutupkan pada bagian
kanannya. Kemudian seperti itu pula kita lakukan pada kain kedua dan
ketiga. Dan kita menjadikan kain yang banyak lebihnya ada di bagian
kepala. Lalu bagian tengah setiap kain itu kita ikat. Ikatan itu baru
dibuka kembali saat jenazah dimasukkan dalam kuburan. Kita juga
dibolehkan, jika mengkafani jenazah lelaki dengan baju, sarung dan
selembar kain.
Adapun
yang disunnahkan pada jenazah seorang wanita, ia harus dikafani dalam
lima kain. Sarung untuk menutupi aurat, kerudung untuk menutup kepala,
baju gamis yang dilobangi tengahnya untuk memasukkan kepala dari lobang
tersebut, kemudian dua lembar kain yang ukurannya seperti kain kafan
jenazah lelaki.
Sedangkan yang wajib untuk kafan jenazah laki-laki dan perempuan, adalah satu lembar kain yang bisa menutupi seluruh tubuhnya.
******
Pertanyaan: Siapa sajakah yang diwajibkan untuk mengurusi jenazah?
Jawab: Kepengurusan
jenazah diwajibkan atas sanak kerabatnya. Adapun biaya kepengurusannya,
seperti kain kafan, wangi-wangian, upah penggalian kubur, upah
penggotongan jenazah –jika yang menggotongnya perlu dibayari-, demikian
pula dengan upah orang yang memandikan, maka ini semua diambil dari
harta pribadi sang mayit. Ini lebih didahulukan ketimbang membayar
hutang dan membayar tanggungan lainnya.
Jika
si mayit tidak memiliki harta, maka wajib bagi orang yang diharuskan
menafkahinya untuk membayar semua biaya di atas. Tetapi jika ada
seseorang yang menyumbang untuk biaya kepengurusan jenazah tersebut,
maka hal ini dibolehkan, meski seandainya si mayit meninggalkan banyak
harta yang melimpah.
Jika
sanak kerabat saling berselisih, setiap orang ingin menanggung
kepengurusan, pemandian, dan pengkafanan, maka didahulukan seseorang
yang paling dekat hubungan rahim terhadap sang mayit. Hal ini jika si
mayit tidak meninggalkan wasiyat kepada siapapun.
Tapi, seandainya si mayit berwasiyat kepada seseorang tertentu, dia berkata misalnya, “Tidak boleh memandikanku kecuali si fulan.” Maka si fulan yang diberi wasiyat itulah yang berkewajiban memandikannya.
Namun,
jika si mayit tidak memberi wasiyat seperti yang diterangkan di atas,
maka lebih diutamakan yang paling dekat, dari ayahnya, kemudian
putranya, kemudian yang paling dekat, dan yang paling dekat. Allahu
a`lam.
******
Pertanyaan: Lelaki
dan wanita manakah dari kerabat jenazah yang berhak memandikan jenazah,
baik jenazah itu laki-laki ataupun perempuan? Karena kami melihat
beberapa lelaki masuk ke tempat pemandian jenazah, tak peduli apakah itu
jenazah lelaki, perempuan, sanak kerabat, ataupun jenazah orang asing.
Apakah tindakan seperti ini dibenarkan?
Jawab: Jenazah
lelaki hanya dimandikan oleh kaum lelaki. Tetapi boleh bagi wanita
untuk memandikan suaminya. Sedangkan jenazah wanita, hanya dimandikan
oleh kaum wanita. Tetapi boleh bagi seorang lelaki untuk memandikan
istrinya. Sebab dua orang suami istri, masing-masing dari mereka boleh
memandikan yang lainnya. Karena Ali bin Abi Thalib Radhiyallohu ‘anhu telah memandikan istrinya, yaitu Fatimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Demikian pula dengan Asma` binti Umais Radhiyallohu ‘anha, ia telah memandikan suaminya, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallohu ‘anhu.
Adapun
selain suami istri, maka tidak boleh bagi para wanita untuk memandikan
kaum lelaki, dan tidak boleh pula bagi kaum lelaki untuk memandikan kaum
perempuan. Setiap jenis kelamin hanya memandikan yang sama dengan
jenisnya. Dan masing-masing dari dua jenis ini tidak boleh melihat aurat
yang lain. Kecuali anak kecil yang belum tamyiz,
maka tidak mengapa untuk memandikannya, baik yang memandikan itu kaum
lelaki dan perempuan. Karena anak kecil itu tidak ada aurat baginya.
******
Pertanyaan: Apakah benar jika seorang wanita mengurus pemandian anak kecil lelaki di bawah umur tujuh tahun?
Jawab: Hal
ini dibolehkan, karena anak kecil lelaki tidak mempunyai aurat.
Sebagaimana seorang ibu boleh mengurus kebersihannya di waktu kecil.
Sang ibu mencebokinya dan langsung menyentuh kemaluannya padahal anak
kecil itu hidup. Karena hal itu memang diperlukan. Juga karena Ibrahim
putra Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ia dimandikan oleh para wanita, seperti disebutkan para ulama fiqih dalam kitab Al-Ahkam (pembahasan mengenai hukum-hukum).
Para
ulama fiqih juga menyebutkan bahwa perempuan kecil di bawah umur tujuh
tahun, kaum lelaki boleh mengurus pemandiannya. Boleh menyentuh auratnya
dan langsung melihat kemaluannya. Meski lebih diutamakan jika yang
memandikannya adalah kaum wanita. Tetapi kebutuhan mendesak,
kadang-kadang mengharuskan kaum lelaki untuk melakukannya. Allahu a`lam.
******
Pertanyaan: Apakah perhiasan seorang wanita yang meninggal, wajib dilepaskan sebelum ia dikuburkan?
Jawab: Benar!
Hal itu adalah wajib. Karena melepas perhiasan tidaklah merusak badan
sang wanita dan tidak pula berpengaruh padanya. Maka untuk perhiasan
yang ada di tangan, tidak ada pengaruh ketika melepasnya. Demikian pula
dengan perhiasan yang ada di lengan, telinga, dan hidung. Semua
perhiasan ini jika dilepas, tidaklah berpengaruh terhadap wanita yang
meninggal ini.
Karena
itu maka wajib melepas semua perhiasan itu darinya dan tidak dibiarkan
terkubur bersamanya. Sebab membiarkan perhiasan itu terkubur bersamanya,
berarti kita sama dengan menghancurkan harta. Padahal orang yang hidup
lebih membutuhkan perhiasan-perhiasan itu, seharusnya orang hidup itulah
yang menjadi pemiliknya.
******
Pertanyaan: Jika seorang jenazah dalam mulutnya terdapat gigi emas, apakah gigi itu diambil sebelum ia dikubur, atau dibiarkan saja?
Jawab: Jika
mencabutnya memang mudah, karena si mayit sewaktu hidup biasa mencabut
gigi tersebut, juga dengan mencabutnya ini tidak bakal merusak mulut
atau berpengaruh padanya, maka harus dilakukan adalah mencabut gigi emas
itu darinya. Sebab gigi emas itu mempunyai nilai, dan orang yang hidup
lebih berhak untuk memilikinya.
Tetapi
jika dikawatirkan, seandainya gigi itu dicabut maka mulutnya terus
terbuka, atau membuat pemandangannya semakin menakutkan, maka yang
paling baik adalah menghindari pencabutan. Karena yang kita perhatikan,
banyak dari para jenazah, yang seandainya orang-orang yang memandikan
itu membuka langit-langit mulutnya, mereka tidak bisa menutupnya
kembali, dan mulut itu tetap menganga.
Dan
yang serupa dengan mulut adalah mata. Karena sering kita perhatikan,
jika mata si mayit terbuka dan terus dibiarkan terbuka hingga meninggal
dunia, maka mata itu akan terus terbuka dan tidak bisa ditutup.
Berdasarkan
hal ini, maka sangat diharuskan bagi siapapun yang menghadiri saat-saat
sekarat seseorang, untuk segera memejamkan kedua matanya sebelum ia
meninggal dunia, atau saat meninggal dunia. Demikian pula ia harus
menutup mulutnya, sehingga mulut itu terus tertutup dan mata terus
terpejam. Allahu a`lam.
******
Pertanyaan: Saat
memandikan jenazah, apakah kita disyariatkan untuk membersihkan kumis,
bulu ketiak, bulu kemaluan dan kuku-kukunya, ataukah kita membiarkannya
begitu saja?
Jawab: Saat
memandikan jenazah, kita disyariatkan membersihkan kumis, demikian pula
dengan bulu ketiak, dan kuku-kuku. Adapun rambut kemaluan, maka
pendapat yang sahih, bahwa rambut itu dibiarkan saja tidak diutak-atik
karena ia adalah aurat. Dan aurat itu tidak boleh disentuh setelah
pemiliknya meninggal dunia. Bahkan tidak halal bagi kita untuk menyentuh
auratnya baik ia hidup atau mati.
******
Pertanyaan: Apa yang kita lakukan terhadap bulu kumis, bulu ketiak, dan kuku yang diambil dari orang mati?
Jawab: Rambut
dan kuku-kuku, dibungkus bersama si mayit dalam sebuah tas kecil, atau
bungkusan lainnya, kemudian dikubur bersama si mayit. Dan boleh pula
membuangnya di tanah bersama sampah-sampah yang lain, sama seperti
rambut orang hidup tanpa ada rasa jijik dan lain sebagainya.
******
Pertanyaan: Ada
seorang lelaki meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Badannya
terluka sangat parah, seandainya dimandikan, air akan merusak seluruh
tubuhnya. Maka apa yang harus kami lakukan?
Jawab: Jenazah
ini dimandikan semampunya saja. Jika air bisa disiramkan ke sekujur
tubuh dan tidak berpengaruh padanya, maka kita harus menyiramkan air ke
tubuhnya tanpa menggosok-gosok. Tetapi jika sang jenazah keluar otaknya,
ususnya terburai, atau potongan dagingnya kocar-kocir, maka disini kita
hanya memandikan bagian tubuh yang bisa dimandikan, sedang yang lain
cukup diusap saja.
******
Pertanyaan: Saat memandikan anak kecil, apakah kita wajib menutup auratnya atau tidak?
Jawab: Anak
kecil yang berumur di bawah tujuh tahun, ia tidak memiliki aurat baik
laki-laki atau perempuan. Karena itu kita tidak wajib menutupi
sesuatupun dari anggota tubuhnya saat memandikan. Tetapi jika jenazah
itu lebih dari tujuh tahun, maka kita wajib menutupi anggotanya yang
diantara pusar hingga lutut.
******
Pertanyaan: Bolehkah kita mengkafani mayit dengan selain kain putih?
Jawab: Boleh, tetapi yang lebih baik adalah mengkafaninya dengan kain putih. Karena disebutkan dalam sunan Abi Dawud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((اِلْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ))
“Pakailah
untuk baju kalian kain-kain yang putih, karena kain putih adalah
sebaik-baik baju kalian, dan kafanilah dengannya orang-orang yang mati
dari kalian.”
******
Pertanyaan: Berapakah jumlah tali yang kita ikatkan pada kafan sang mayit?
Jawab: Yang disebutkan dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebanyak tujuh ikatan. Sudah
masuk padanya ikatan pada kepala dan ikatan pada kedua kaki. Tetapi
ikatan ini boleh lebih dari itu sesuai dengan kebutuhan.
******
Pertanyaan: Ada
seorang muslim yang membunuh muslim lainnya, kemudian sang muslim
pembunuh ini diberi hukuman bunuh juga. Pertanyaan kami, apakah muslim
yang pembunuh ini jika sudah dibunuh, ia harus dimandikan dan dishalati?
Jawab: Benar, ia harus dimandikan dan dishalati. Sebab ia tidak keluar dari lingkaran agama Islam.
******
Pertanyaan: Apakah seseorang yang bunuh diri harus dimandikan dan dishalati?
Jawab: Seseorang
yang bunuh diri, ia tetap dimandikan, dishalati, dan dikubur di
pekuburan kaum muslimin. Karena ia hanya berbuat maksiat dan tidak
kafir. Sebab bunuh diri hanyalah sebuah kemaksiatan bukan suatu
kekafiran. Maka, jika ada seseorang yang melakukan bunuh diri
–mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari perbuatan ini-, ia tetap dimandikan, dishalati, dan dikafani.
Tetapi
wajib bagi pemimpin tertinggi, dan orang-orang yang mempunyai jabatan
penting, untuk tidak menyalatinya. Karena ini sebagai bentuk
pengingkaran dari mereka, sehingga tidak ada seorangpun yang menduga
bahwa para petinggi itu meridhai perbuatan bunuh diri tersebut.
Jadi!
Seorang pemimpin Negara, sultan, hakim, gubernur, atau bupati, jika
mereka tidak menyalati pelaku bunuh diri, sebagai bentuk pengingkaran
dan pemberitahuan kepada para manusia bahwa ini adalah perbuatan yang
salah, maka ini baik sekali. Tetapi kaum muslimin lainnya tetap harus
menyalati pelaku bunuh diri itu.
******
Pertanyaan: Saya
telah memandikan jenazah, tetapi saya tidak mandi setalah itu. Kemudian
saya mengerjakan banyak shalat. Apakah saya berdosa dalam hal ini?
Jawab: Mengenai memandikan jenazah, ada sebuah hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan sanad yang sahih, yaitu sabda beliau yang berbunyi,
((مَنْ غَسَّلَ مَيِّتاً فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ))
“Barangsiapa memandikan orang mati, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan siapapun yang menggotongnya maka hendaknya ia berwudhu.”
Hadits
ini didhaifkan oleh kebanyakan para ulama`. Sedangkan ulama lainnya
mensahihkannya, dan sebagian ulama yang lain memilih berhenti (tawaqquf)
pada matannya.
Para ulama yang memilih tawaqquf ini berkata, “Apa
yang membuat kita harus mandi, karena orang yang memandikan jenazah
tidak melakukan perbuatan apapun yang mengharuskannya mandi.” Sebab itulah mereka memilih untuk tawaqquf pada matannya.
Adapun
para ulama yang mensahihkan hadits ini mereka meyakini bahwa mandi
disini adalah hal yang mustahab. Jadi mereka mengatakan, “Sesungguhnya mandi adalah mustahab bagi orang yang memandikan mayit.”
Sedangkan
sebagian ulama yang lain, mewajibkan berwudhu bagi orang yang
memandikan, jika ternyata ia tidak mandi. Maka mereka berkata, “Mandi
hanyalah sunnah muakkadah, tetapi jika tidak mandi maka ia wajib
berwudhu, wudhu inilah kewajiban yang paling sedikit atasnya.”
******
Pertanyaan: Jika saya membawa jenazah, apakah saya wajib berwudhu atau tidak?
Jawab: Mengenai berwudhu bagi seseorang yang membawa mayit, ada sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((مَنْ غَسَّلَ مَيِّتاً فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ))
“Barangsiapa memandikan orang mati, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan siapapun yang menggotongnya maka hendaknya ia berwudhu.”
Barangkali
maksud hadits di atas, khusus buat orang yang mendekapnya bukan orang
yang membawa jenazah dalam keranda. Sehingga, ketika Abdullah bin Abbas Radhiyallohu ‘anha dan Abdullah bin Umar Radhiyallohu ‘anha membawa jenazah dalam keranda, kemudian dikatakan kepada mereka, “Berwudhulah!”, keduanya menjawab,
((مَا أَتَوَضَّأُ مِنْ حَمْلِ خَشَبَةٍ))
“Saya tidak perlu berwudhu hanya karena membawa kayu.”
Maksudnya,
mereka tidak membawa apapun selain hanya kayu, dan tidak menyentuh
apapun selain kayu belaka. Adapun seseorang yang mendekap jenazah yang
sudah meninggal, yang bisa jadi dalam keadaan tanpa busana, atau mirip
tanpa busana, maka hendaklah ia berwudhu berdasarkan pada hadits di
atas.
Dinukil dari al-Muqorrib li Ahkaamil Jana`iz : 148 Fatawa fil Jana`iz,
penyusun : ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad al-‘Arifi, dimuroja’ah oleh :
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, Penerbit : Dar ath-Thayibah,
Riyadh, 1418 H/1997 M.