Nama besar Imam Syâf’i rahimahullah sudah tidak asing lagi di telinga
masyarakat. Ketokohan beliau sudah tidak diperselisihkan umat Islam.
Hanya saja, umat sepertinya lebih mengenal beliau sebagai pakar hukum
Islam dan peletak dasar Ilmu Ushul Fiqih, sementara aspek kehidupannya
yang lain, - bahkan yang lebih penting – belum banyak terekspos di
tengah khalayak.
Sisi aqidah Imam Syâfi'i rahimahullah– yang berpijak pada aqidah Salafus
Shaleh, aqidah para Sahabat Radhiyallahu anhum yang belajar dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung - belum banyak diulas,
termasuk juga dalam hal ini, pemaparan celaan dan bantahan beliau
rahimahullah terhadap beberapa aliran –menyimpang- yang menunjukkan
jauhnya aliran tersebut dari jalan yang lurus. Sebenarnya komentar
miring beliau rahimahullah terhadap pemikiran dan golongan itu jelas
akan mengguratkan makna yang lebih mendalam dan membekaskan pelajaran
penting bagi para pengikut madzhab. Dengan demikian, umat akan menjauhi
aliran-aliran yang telah diingkari imam mereka. Dikhawatirkan,
jangan-jangan ada sebagian orang yang mengikuti madzhab salah satu dari
mereka justru berideologi atau membela pemikiran aliran-aliran yang
diingkari dan dibantah Imam Syâfi'i rahimahullah. Dan kenyataannya, ada
ungkapan berbunyi, “Aku bermadzhab Syâfi' i dalam fiqih, asy’ari dalam
aqidah, sufi dalam akhlak”. (?!).
Berikut ini beberapa bantahan, komentar miring dan bantahan Imam Syâfi’i t terhadap beberapa aliran yang ada di masa itu.
IMAM SYAFI’I RAHIMAHULLAH MENCELA SUFI
Aliran Sufi, penyebarannya begitu meluas di banyak negeri Muslim. Tidak
diketahui secara pasti siapa yang mulai menggagasnya pertama kali. Yang
jelas, dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : ““Nama
Sufi belum ada pada tiga kurun pertama (umat Islam). Istilah itu baru
muncul setelah itu”. (Majmû Fatâwâ 11/5).
Awalnya, penampilan zuhud dominan pada para pengikut Sufi. Pembersihan
jiwa dan hati serta menjauhkan diri dari dunia menjadi tujuan mereka.
Namun dalam perjalanannya, muncul penyelewengan dan penyimpangan dalam
aqidah dan aspek lainnya, seperti diyakininya aqidah wihdatul wujûd,
bermunculannya tarekat-tarekat Sufi dengan ragam wirid dan tata cara
ibadahnya melekat pada aliran Sufi. Aliran ini mulai menunjukkan
hakekatnya pada abad ketiga hijriyah. Dan yang ‘menarik’, tokoh-tokoh
pembesar Sufi pada abad ketiga dan keempat semuanya berasal dari Persia,
tidak ada satu pun yang berasal dari suku Arab.
Sikap umat Islam terhadap Sufi dan ajarannya terbagi menjadi dua pihak,
mendukung Tasawuf dan mengamalkan ajarannya. Yang kedua, menolak ajaran
tersebut dan menjauhinya serta memperingatkan umat darinya. Bagaimana
sikap seorang Muslim terhadap ajaran Tasawuf ini?.
Timbangan seorang Muslim untuk menganalisa dan menilai sesuatu adalam
Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila
dicermati, fenomena yang telah disebut di muka, keyakinan aqidah
wihdatul wujud yang diyakini pembesar Sufi seperti Ibnu Arabi, banyaknya
tarekat yang masing-masing ternyata memiliki ajaran-ajaran khusus yang
berbeda dari tarekat lainnya sesuai dengan apa yang diajarkan Syaikh
tarekat, sudah cukup menjadi bukti bahwa golongan ini tidak berada di
atas jalan yang lurus. Apalagi bila ditambah dengan kebiasaan bertawasul
kepada orang mati, dan mengadakan acara dan ibadah yang sama sekali
tidak pernah diperintahkan oleh Nabi umat Islam, Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam .
Maka tak mengherankan bila seorang Imam Syâfi'i rahimahullah mencela dan
membantah aliran ini. Pandangan Imam Syâfi'i rahimahullah dan celaan
beliau terhadap aliran ini dan para pengikutnya telah tercatat rapi
dalam kitab-kitab yang menulis biografi beliau.
Yang menarik, Imam Syâfi'i rahimahullah pernah melontarkan pernyataan ketika beliau memasuki negeri Mesir yang berbunyi :
خَلَفْتُ بِالْعِرَاقِ شَيْئًا أَحْدَثَهُ الزَّناَدِقَةُ يُسَمُّوْنَـهُ التَّـغْبِيْرَ يُشْغِلُوْنَ بِهِ النَّاسَ عَنِ الْقُرْآنِ
“Aku tinggalkan di (negeri) Irak sesuatu yang diada-adakan oleh kaum
zindiq yang mereka sebut dengan taghbiir. Dengan itu, mereka melalaikan
orang-orang dari al-Qur`ân” [Manâqibu asy-Syâfi’i , karya al-Baihaqi
1/173].
Atau dalam riwayat lain, beliau mengatakan:
تَرَكْتُ بَغْدَادَ وَقَدْ أَحْدَثَ الزَّناَدِقَةُ فِيْهَا شَيْئًا يُسَمُّوْنَـهُ السَّمَاعَ
“Aku tinggalkan (kota) Baghdad, sedang orang-orang zindiq (waktu itu)
telah mengadakan sesuatu yang baru (dalam agama) yang mereka sebut
dengan istilah samâ’ ”
Makna zindiq adalah orang yang sudah rusak agamanya. Dan orang-orang
zindiq yang beliau maksud adalah kalangan mutashawwifah (para penganut
Tasawuf). Sementara yang beliau maksud dengan taghbîr atau samâ` ialah
nyanyian dan senandung yang mereka dendangkan.
Beliau memasuki Mesir pada tahun 199H. Pernyataan beliau itu menunjukkan
bahwa samaa’ merupakan perkara baru dalam Islam yang tidak dikenal
sebelumnya oleh umat Islam.
Imam Syâfi'i rahimahullah mengingkari mereka dengan menyatakan:
أَسَاسُ التَّصَوَّفِ الْكَسَلُ
"Asas tasawuf adalah kemalasan" [al-Hilyah karya Abu Nu’aim al-Ashbahâni 9/136-137].
Beliau juga mencela mereka dengan berkata:
لاَ يَكُوْنُ الصُّوْفِيُّ صُوْفِياًّ حَـتَّى يَكُوْنُ فِيْهِ أَرْبَعُ خِصَالٍ : كَسُولٌ أَكُوْلٌ شَؤُوْمٌ كثَيْرُ الْفُضُولِ
Seseorang tidak akan menjadi Sufi (tulen) kecuali setelah empat perkara
ada padanya: sangat malas, banyak makan, sangat pesimis, dan banyak
melakukan hal yang tidak perlu”. (Manâqibu asy-Syâfi’i karya al-Baihaqi
2/207).
Imam al-Baihaqi rahimahullah dengan sanadnya meriwayatkan dari Yûnus bin
'Abdil A’lâ rahimahullah , ia berkata, “Aku mendengar (Imam) Syâfi'i
rahimahullah menyatakan:
لَوْ أَنَّ رَجُلاً تَـصَوَّفَ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ لَمْ يَأْتِ عَلَيْهِ الظُّهْرُ إِلاَّ وَجَدْتَـهُ أَحْمَقَ
“Kalau ada orang menjadi Sufi di pagi hari, maka tidaklah datang waktu
Zhuhur kecuali orang tersebut akan engkau jumpai menjadi manusia yang
dungu”. [Manâqib Syâfi'i karya Imam al-Baihaqi 2/207]
Ini mengisyaratkan kepada hasil cuci otak ala Sufi. Seorang penganut
Sufi (seorang murid) wajib mengagungkan Syaikhnya (dan orang-orang yang
dianggap sudah mencapai derajat ‘wali’) secara berlebihan. Ajaran dan
doktrin apapun harus diterima oleh murid dengan secara penuh, meski
bertentangan dengan akal sehat dan ajaran syariat. Ketaatan seorang
‘murid’ kepada gurunya adalah bak jenazah yang sedang dimandikan oleh
orang.
Simaklah cerita yang yang cukup pantas disebut dungu orang yang
mempercayainya. Disebutkan dalam Karâmâtul Auliyâ (2/367), seorang
‘wali’ mampu mengkhatamkan al-Qur`an 360 ribu kali dalam sehari semalam
(24 jam)!?. Jika akal masih sehat belum teracuni oleh pengagungan yang
melampaui batas terhadap orang yang disebut ‘wali’ pastilah akan menolak
fakta ini tertulis dalam kitab karomah para wali. Jika sehari semalam
adalah 24 jam yang berarti 1440 detik. Maka ‘wali’ yang bersangkutan
mampu mengkhatamkan 250 kali dalam semenit. !? Ini mustahil.
Beberapa pernyataan Imam Syâfi'i ini sudah cukup memadai untuk
menggambarkan dan memberikan penilaian terhadap aliran Sufi dan ajaran
tasawuf. Ia bukanlah ajaran yang baik bagi umat Islam. Apalagi muncul
dari seorang peletak dari Ilmu Ushul Fiqih yang mengetahui syariat Islam
secara mendalam.
Semoga Allâh Azza wa Jalla mengembalikan umat Islam kepada pengagungan
terhadap petunjuk Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallâhu a'lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
http://almanhaj.or.id/content/3917/slash/0/aliran-sufi-diingkari-imam-syfii-rahimahullah/
No comments:
Post a Comment