Sebut saja namanya Ucup, dia adalah seorang mahasiswa semester I di
Universitas ternama di kota Bandung. Suatu malam setelah melihat hasil
jerih payahnya selama satu semester dengan penuh bangga, dia menelpon
ibunya yang ada di kampung guna melaporkan hasil ujian.
Setelah
mendaftar paket hemat telepon malam, dia pun menelpon ibunya. Lalu
terjadilah tanya jawab mengenai kabar antara sang anak dan sang ibu yang
saling merindu satu sama lain. Sang ibu kemudian berinisiatif
menanyakan mengenai hasil ujian anak sulungnya tersebut. Si Ucup dengan
senyum sumringah dan nada suara bangga mengatakan, “Buk, Ucup semester
ini dapet nilai Tiga Koma Tujuh Lima lho…!”
Dengan ekspresi kaget
bak aktris sinetron sang ibu mengatakan, “Apaaaa…..!!! Susah payah ibuk
sama bapak banting tulang peras keringat siang dan malam biar bisa
transferin kamu tiap bulan, kok kamu cuman dapet Tiga koma cup… Dulu
waktu SMA kamu bisa dapet Delapan bahkan Sembilan, kok sekarang tiga
koma nak…”
#tiba2hening
Cerita di atas adalah salah
satu fenomena di mana tidak terjadinya komunikasi yang efektif antara
sang anak dan ibunya. Sang anak menggunakan bahasa yang tidak dimengerti
oleh ibunya yang -mohon maaf- notabene orang kampung untuk menyampaikan
hasil perkuliahannya selama satu semester. Sang ibu hanya paham nilai
tertinggi itu adalah 10.
Para aktivis dakwah juga berpotensi
mengalami hal yang sama seperti sang anak di atas saat berdakwah kepada
masyarakat. Mungkin karena ingin tampak alim, menguasai ilmu, faqih dan
fasih, kita menggunakan bahasa tingkat tinggi yang membuat masyarakat
menganga tanda tak paham dan garuk-garuk kepala tanda tak mengerti. Atau
tanpa memikirkan bagaimana kondisi usia, strata pendidikan, obyek
dakwah, kita dengan seenaknya melontarkan pernyataan-pernyataan tertentu
yang menyebabkan berbagai macam tafsiran dari mereka.
Agar nampak
intelek, kita biasanya menggunakan kata-kata hasil serapan bahasa
asing, mengganti kata “perubahan” dengan “transformasi”, kata
“kemunduran” dengan “degradasi”, kata “ujian” dengan “evaluasi”, kata
“pilihan” dengan “opsi”, kata “berlebihan” dengan “over” dan masih banyak lagi. Mirip-mirip kasus Vicky “artis dadakan” yang tenar di televisi beberapa saat yang lalu.
Agar terlihat alim di depan mente yang baru belajar Islam, para mentor ada yang menggunakan kata-kata berbahasa Arab, seperti ana, antum, afwan, syukron, naam dan lain sebagainya. Bisa jadi adik mente dengan polosnya menjawab saat ditanya, “bagaimana menurut antum?”. “Di sini gak ada yang bernama antum kak!”.
Rasulullah
SAW bersabda: “Aku diperintahkan untuk sederhana dalam berbicara,
sebab sederhana dalam berbicara adalah suatu kebaikan.” (HR. Abu Daud
dalam bab Al-Adab)
Kita selayaknya mencontoh
Rasulullah SAW yang bahasanya dalam berdakwah mudah dimengerti dan
dipahami mulai dari kalangan budak miskin jelata sampai kaisar Romawi
dan raja Persia. Bahkan dengan bahasa yang sederhana namun menyentuh
bisa menyebabkan jalan hidayah bagi orang lain.
Ummul Mu’minin,
Aisyah RA berkata, “Sesungguhnya perkataan Rasulullah SAW cukup jelas
dan mudah dimengerti oleh setiap pendengarnya”. (H.R. Abu Dawud dalam
bab Al-Adab)
Teringat kisah Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani -penulis kitab Bulughul Maram- yang pernah diceritakan
dengan apik oleh Ustadz Salim A. Fillah dalam suatu kajian. Al kisah,
Ketika Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menjadi Qadhi di Mesir, beliau
yang sedang berdinas dengan keretanya pernah dicegat seorang Yahudi
penjual minyak dan ter (aspal cair) dalam perjalanan. Si Yahudi berkata:
“Nabimu mengatakan bahwa dunia ini penjara bagi orang mukmin dan surga
bagi orang kafir, tapi ku lihat dirimu hidup mewah berkecukupan
sementara aku begitu nestapa dalam kepapaan. Apa ini tidak terbalik?”
Ibnu
Hajar tersenyum bijak mendengarnya, dan beliau pun menjawab: “Dunia
adalah penjara bagi orang mukmin seperti kami, karena di akhirat kami
mendapatkan kenikmatan agung yang jauh lebih baik dari ini, yang tiada
akan putus selamanya. Sementara, dunia ini adalah surga bagi kalian
karena di akhirat kalian akan mendapatkan kehinaan, siksa, dan
kenestapaan abadi jauh lebih mengerikan daripada yang kau alami saat
ini”. Seketika itu juga si Yahudi-pun bersyahadat dan masuk Islam. Ibnu
Hajar yang menggunakan pakaian mewah tanpa memperhatikan kotor dan
dekilnya si Yahudi, langsung memeluknya dalam dekapan ukhuwah.
Tanpa
menggunakan dalil yang berbelit-belit dan penjelasan yang bertele-tele,
singkat tapi padat, Ibnu Hajar berhasil menjadi jalan hidayah bagi si
Yahudi miskin. Bagaimana dengan kita, yang sering menyampaikan banyak
taushiyah namun sayang kering akan hikmah. Sering menyampaikan materi
tapi sayang miskin isi.
Selayaknya kita sebagai da’i bisa
menguasai diri dengan memilih kata-kata yang mudah dicerna dan dipahami
ketika berhadapan dengan masyarakat yang strata pendidikan ataupun
usianya berbeda dengan dirinya. Kita sebaiknya menyampaikan sesuai
dengan ilmu dan pemahaman yang ada pada dirinya tanpa melebih-lebihkan
atau memfasih-fasihkannya.
Dalam berdakwah kita ingin, masyarakat
sebagai obyek dakwah kita mendapatkan pencerahan dan hidayah lewat kita,
Salah sedikit saja kita dalam menyampaikan, bisa menyebabkan obyek
dakwah menjauh dan menjadi antipati terhadap kita.
“Ajaklah
manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik. Dan
debatlah mereka dengan cara yang paling baik. Sungguh Tuhanmu lebih
mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan orang-orang yang mendapat
petunjuk”. (QS. An-Nahl: 125)
No comments:
Post a Comment