Mengapa Partai Islam Melegalkan Tahlil, Yasinan dan Maulid Nabi?

Assalamualaikum wa rohmatullohi wa barakatuh..

Ba''da tahmid wa sholawat
Ustadz yang semoga selalu diberikan ke istiqomahan dalam upaya mencerdaskan ummat. Berdasarkan beberapa berita yang ada bahwa aktifitas politik dari sebuah partai Islam yang pada awalnya dikenal sebagai kumpulan orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur''an dan Sunnah dalam pemahaman salafus sholih, tapi sekarang cenderung lebih mengikuti maunya (tradisi ) masyarakat.

Yang pada awalnya ingin mencerdaskan ummat tapi sekarang terkesan memelihara (melegitimasi ) kesalahan yang ada di tengah masyarakat. Cont: Dalam sebuah acara resmi partai digelar acara baca yasin dan tahlil serta pembacaan riwayat maulid.
Mohon penjelasannya tentang kegiatan tersebut sehingga saya bisa tercerahkan.
Jazakallahu khoir

jawaban

Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sekali lagi kami menerima ''komplain'' atas tindak-tanduk partai di mana kami tidak menjadi penentu kebijakan di dalamnya. Jelas kami pada hakikatnya bukan orang yang pihak yang pantas dijadikan tujuan pertanyaan. Pertanyaan seperi ini seharusnya langsung ditanyakan kepada partai yang bersangkutan.

Namun pertanyaan seperti ini masih saja masuk ke dalam database kami, bingung juga menjawabnya.

Maka kalau pun menjawab, apa yang kami jawab tentunya tidak ada kaitannya dengan arah kebijakan partai yang dimaksud. Yang kami jawab hanyalah seputar pandangan syariah terhadap masalah yasinan, tahlil dan maulid nabi SAW. Lepas dari urusan partai dan kebijakannya.

Masalah Esensi dan Masalah Khilafiyah

Umumnya kita memahami ajaran Islam terdiri dari wilayah yang merupakan esensi, yaitu berupa rukun iman dan rukun Islam. Di mana bila kita mengingkari rukun-rukun itu atau memahaminya dengan cara yang salah, maka terancam gugur keimanan kita.

Selebihnya, ada wilayah yang memang diberikan keluasan untuk berbeda pendapat. Dan keberagaman paham dan pola ritual ibadah di tengah tubuh umat Islam adalah sebuah keniscayaan. Dan di antara keniscayaan itu termasuk di dalamnya adalah urusan baca Yasin, tahlil dan riwayat Maulid.

Memang harus diakui bahwa masalah yasinan, tahlilan dan maulidan ini memang mencakup wilayah perbedaan pendapat yang sangat ekstrim. Di tengah masyarakat berkembang beberapa pandangan yang berbeda. Ada yang yang mewajibkan, menyunnahkan, memubahkan, memakruhkan hingga yang mengharamkan.

Tentu saja masing-masing pihak datang tidak sekedar dengan kesimpulan akhirnya. Mereka bahkan datang dengan sekian banyak hujjah, istidlal, argumentasi serta latar belakang manhaj fiqihnya.
Ini sangat berbeda bila kita masuk ke wilayah yang esensial, seperti masalah kewajiban shalat, zakat, puasa dan haji. Semua orang sepakat akan kewajiban itu. Juga semua orang sepakat bahwa judi itu haram, berzina juga haram, korupsi juga haram.

Maka kalau ada partai Islam mengajarkan bahwa shalat tidak wajib, puasa tidak wajib, zakat tidak wajib, barulah partai itu munkar. Bila ada partai yang mengaku Islam tapi menghalalkan zina, judi, korupsi atau hal-hal yang sudah disepakati ulama sebagai keharaman, barulah partai itu partai yang jahat dan maksiat.

Tapi ketika yang dipermasalahkan adalah wilayah khilafiyah, kita memang tidak bisa melakukan komplain, karena memang wilayah itu masih abu-abu, setidaknya belum jadi kesepakatan ulama tentang keharamannya.

Maka suka atau tidak suka, itulah realita umat Islam.

Sayangnya, seringkali buat masing-masing pihak, perbedaan pandangan seperti itu terkadang sudah jadi harga mati. Yang satu ngotot dengan anggapannya bahwa perbuatan itu mutlak haram, wajib diberantas, bid''ah, dan bla bla bla.

Dan yang satunya lagi juga ngotot tidak mau mundur barang selangkah pun. Pokoknya kudu tahlil, baca Yasin dan baca Maulid. Mendingan cerai dari pada tidak melakukannya. Mendingan kehilangan mertua dari pada tidak tahlilan.

Bahkan kalau ada seorang calon mantu mau melamar anak pak Haji, ternyata pak Haji kemudian tahu bahwa calon mantunya ternyata tidak tahlilan, anti maulid dan seterusnya, belum apa-apa lamaran sudah ditolak mentah-mentah.

Maka apa yang Anda angkat ini memang ''barang panas'', di mana kalau kita coba iseng mengungkit dan mempermasalahkan hal itu sama saja dengan bikin perkara dengan sesama umat Islam sendiri secara internal.

Insya Allah ke depan selama mentalitas kita masih suka meributkan hal-hal seperti ini, kita masih tetap akan berantem terus tiap hari dengan sesama umat Islam. Ibarat meributkan pepesan kosong, tidak jelas ujungnya, tidak jelas awalnya.

Dan satu hal yang paling mengenaskan, kenyataan bahwa musuh-musuh Islam masih akan sangat terbantu dengan kekurang-cerdasan sikap mental kita ini.

Umat Islam Miskin Produktifitas Hoby Saling Tikam

Di tengah kehancuran dan perpecahan umat yang sudah sangat akut ini, rasanya sangat tidak produktif kalau kita masih saja berkubang dengan urusan khilafiyah yang tidak akan ada garis finishnya.

Sementara umat lain sibuk berproduksi hingga menguasai nyaris seluruh kebutuhan hidup kita, mulai dari makanan, minuman, perkakas dan semua produk kebutuhan hidup kita, kita sendiri ternyata masih saja sibuk cakar-cakaran dengan sesama muslim. Kita sendiri masih asyik berkutat dengan kertas lusuh yang sudah usang dan ketinggalan zaman.

Sementara kekuatan asing datang ke negeri kita dengan niat menjajah dan menjarah kekayaan alam, mulai dari minyak bumi, batu bara, gas alam, hingga urusan sample virus, ternyata kita sedang asyik mengepruk kepala saudara kita sendiri dengan sebongkah batu keashabiyahan, ternyata kita masih saja sibuk menusuk ulu hati dan jantung saudara kita sendiri dengan belati khilafiyah yang karatan.

Sementara jaringan pers yahudi dunia bekerjasama dengan antek-antek mereka di negeri kita mendirikan Gerakan Syahwat Merdeka, ternyata kita sedang asyik menguliti daging saudara kita sendiri untuk dimakan mentah-mentah. Soemanto pun kalah sadis dengan apa yang kita lakukan.

Belajar Menerima Khilafiyah di Tengah Umat

Satu hal yang sekiranya perlu untuk kita pikirkan saat ini adalah bagaimana kita bisa menerima realita bahwa masalah khilafiyah itu memang ada, bukan sekedar diada-adakan.

Keberadaan urusan khilafiyah ini bukan karena adanya hawa nafsu dan berangkat dari kebodohan, sebaliknya justru datang dari kemampuan para ulama dalam mengistimbat hukum syariah.

Sudah bukan zamannya lagi bila kita masih berkutat dengan kebekuan berpikir ala kelompok dan elemen umat. Sudah zamannya sekarang ini kita lebih meningkatkan wawasan dan menjalin dialog yang positif dari keberagaman umat.

Sayang sekali, ternyata mental-mental seperti ini kadang menjadi faktor penghambat dari kebangkitan Islam. Semoga ke depan nanti, kita bisa lebih bisa menerima pluralisme dalam memahami pandangan syariah selama dalam koridor yang tidak melanggar kaidah yang dibenarkan.

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Ahmad Sarwat, Lc
sumber

No comments:

Post a Comment