Aisyah berkata, bahwa tangan Rasulullah Muhammad SAW tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita sekalipun
Assaalmu alaikum Wr. Wb.
Saya sangat sulit menjaga hijab antar muhrim dan bukan murim, terutama dikala lebaran tiba. Biasanya kami keluarga besar berkumpul untuk bersilatuhrahim. Terus terang kami kesulitan membuat mereka mengerti bahwa sebagai muslimah saya tidak boleh berjabat tangan dengan orang yang bukan muhrim. Terkadang saya tidak sanggup menahan untuk tidak berjabat tangan dengan adik sepupu atau kakak sepupu yang dulu sudah seperti saudara sekandung. Semua ini menjadikan saya bingung.
Pertanyaan saya, bagaimana sikap saya seharusnya?
Jawab:
Dalam kondisi di mana sebagian besar kaum muslimin masih memerlukan banyak tambahan pengetahuan tentang hukum Islam, memang dapat dipahami adanya kondisi sulit untuk bersikap yang lebih baik. Begitu pula terkait sikap Islami sebagaimana yang anda alami yaitu terkait dengan masalah jabat tangan dengan lawan jenis.
Pada dasarnya budaya asal Yaman – sebagaimana dikatakan Anas ibn Malik dalam riwayat al-Bukhari - itu adalah budaya yang sangat baik dan diakui secara syariat.
Nabi bersabda:" Tidak ada dua orang muslim yang berjumpa kemudian berjabat tangan, kecuali keduanya diampuni sebelum berpisah" (HR. Turmdzi dan Abu Dawud) Namun menjadi masalah yang sangat menarik, sebab pertemuan kedua telapak tangan itu tidak terjadi hanya sesama jenis laki-laki dengan laki-laki atau wanita dengan wanita, tetapi juga antara dua jenis manusia tersebut. Untuk itu diperlukan kajian yang cukup komprehensif walaupun singkat.
Saya memandang sangat tepat bila kajian ini diawali dengan landasan yang telah disepakati ulama:
Pertama, Islam membolehkan pelampiasan hasrat biologis – baik berupa “pendahuluan” dengan berbagai bentuknya, maupun “inti”nya- hanya kepada lawan jenis yang telah halal secara syariat suami (untuk wanita), istri atau budak perempuan (bagi laki-laki). Selain itu adalah haram. Maka dari itu jabat tangan dengan lawan jenis yang disertai dengan syahwat –ditandai dengan adanya reaksi pada alat kelamin- atau potensial terjadinya fitnah hati (membayangkan perbuatan maksiat) maupun aksi (merealisasikan maksiat), maka jelas haram hukumnya; baik lawan jenis tadi mahram maupun bukan, kecil maupun dewasa, bahkan walaupun dengan sesama jenis. Jabat tangan disertai keduanya hanya dibenarkan dengan suami atau istri.
Kedua, menjabat tangan lawan jenis yang masih mahram dengan kondisi terbebas dari dua unsur pengharam – syahwat dan fitnah – di atas adalah boleh. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, I, 13950)
Ketiga, dengan syarat yang sama, menjabat tangan anak kecil adalah boleh.
Adapun jabat tangan tanpa disertai dua unsur tersebut atau di luar ketiganya, maka inilah yang menjadi wilayah perbedaan pandangan ulama yang dapat diperinci sebagai berikut:
Wanita atau pria yang tua renta, yang telah kehilangan hasrat untuk menikah. Madzhab Maliki dan Syafi’i menyatakan, bahwa mereka tetap haram untuk dijabat tangannya. Adapun madzhab Hanafi dan Hambali menyatakan bahwa hukumnya boleh. Hal ini didukung oleh ulama kontemporer Yusuf al-Qardhawi disebabkan adanya kondisi aman dari syahwat dan fitnah. Pendapat ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu (al-Ikhtiar al-Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155.).
Argumentasi ini juga didukung oleh riwayat seorang ahli tafsir yaitu al-Suddy yang mendapati pengakuan istri Hudzaifah yang merasa tidak ada masalah berkaitan dengan tindakannya menyuruh budak prianya mengecat rambut tuannya itu.
Tindakan itu jelas menghendaki adanya persentuhan antar keduanya. Untuk ini saat ditanya al-Suddy, istri Hudzaifah berkata:" Wahai anakkku, sesungguhnya aku termasuk al-qawa’id (perempuan-perempuan tua yang telah terhenti dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin lagi. Sungguh dalam hal ini Allah telah berfirman sebagaimana yang kamu ketahui” (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, VI,84 sebagai penjelasan surat al-Nur:60).
Wanita yang belum termasuk dalam kategori tua sebagaimana di atas, maka umumnya ulama menyatakan hukumnya adalah haram. Hanya saja dasar pendapat itu adalah qiyas (analogi) kepada perintah menahan pandangan jalang yang terdapat pada surat al-Nur: 30-31.
Argumentasi itu juga didukung hadis-hadis berikut.
Pertama, keyakinan Aisyah r.a yang tercermin dalam perkataan beliau:
“Demi Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali hanya dengan ucapan, “Sungguh aku telah membaiatmu atas hal tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 4891 dan Muslim no. 4811).
Kedua, sabda Nabi ketika dimintai untuk dijabat tangannya dalam baiat:“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita. Ucapanku kepada seratus wanita tidak lain seperti ucapanku kepada seorang wanita.” (HR. Malik 2/982/2, An-Nasa`i dalam ‘Isyratun Nisa` dari As-Sunan Al-Kubra 2/93/2, At-Tirmidzi, dll. Lihat Ash-Shahihah no. 529).
Ketiga, sabda beliau: “Sunguh bila kepala salah seorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 20/210 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu).
Tetapi sungguh ada hadis yang lebih shahih dari pada dua hadis terakhir dan lebih definitive dan aplikatif dari pada hadis yang pertama serta menjadikan qiyas tidak berlaku -setidaknya secara umum-, yaitu Dari Anas bin Malik r.a., dia berkata bahwa Rasulullah SAW. menemui Ummu Haram binti Milhan. Lantas ia menjamu makan Rasulullah SAW. Saat itu, Ummu Haram di bawah (istri) Ubadah bin Shamit. Rasulullah SAW. berkunjung ke rumah wanita tersebut. Lantas wanita tersebut menjamu makan Rasulullah SAW. dan menyisir rambut beliau. Kemudian Rasulullah SAW. tertidur, dan ketika bangun beliau tersenyum . …. (HR Bukhari dan Muslim) al-Bukhari mengulang hadis ini dalam enam bab, sedangkan Muslim dalam dua bab. Kedua dalam kitab al-Adab al-Bukhari juga meriwayatkan hadis dari Anas Ibn Malik, ia berkata:” "Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah SAW., lalu membawanya pergi ke mana ia suka."
Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata: "Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah SAW, maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya pergi ke mana ia suka."
Kesimpulannya adalah bahwa pengharaman itu tidak berlaku mutlak, sebaliknya dalam kondisi seseorang betul-betul merasa yakin aman dari syahwat dan fitnah, maka boleh baginya menjabat tangan lawan jenis yang bukan mahram. Namun tentu hendaknya hal itu tidak dilakukan kecuali karena ada kebutuhan, misalnya berjumpa dengan kerabat non mahram yang sudah lama tidak bertemu padahal telah terjalin hubungan kekeluargaan yang cukup baik. Dan kondisi saat ini, demi lebih menjaga kebersihan hati, sebaiknya jabatan tangan itu dihindari. Sebab meninggalkan sesuatu tidak harus karena haram, sementara melakukan sesuatu harus diyakini halal. Dan jangan sampai pula kesuksesan Ramadhan terkotori dengan kemaksiatan saat lebaran.
Wallahu a’lam.www.hidyatullah.com]
No comments:
Post a Comment