A. Pengertian Puasa
Puasa dalam bahasa arab adalah shaum dan bentuk pluralnya adalah shiyam. Secara ilmu bahasa, shaum berart al-imsak yang berarti ‘menahan’. Sedangkan menurut istilah syariah, shaum itu berarti : Menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual dan hal-hal lain yang membatalkannya sejak subuh hingga terbenam matahari dengan niat ibadah.
Puasa adalah ibadah yang bukan hanya diperintahkan Allah Subhanahu Wata‘ala kepada umat Nabi Muhammad saja, namun juga kepada umat-umat sebelum beliau.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 183)
Namun ada beberapa aturan teknis yang berbeda. Misalnya, Nabi Daud as dahulu diperintahkan puasa bukan hanya pada bulan Ramadhan saja melainkan sepanjang tahun untuk seumur hidup. Hanya saja puasanya selang seling sehari puasa dan sehari tidak. Sedangkan puasa yang disyariatkan kepada Nabi Zakaria, Yahya, Maryam dan Isa as tidak boleh berbicara, selain tidak boleh makan dan minum. Sebagaimana yang telah difirmankan di dalam Al-Quran Al-Karim. Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah:
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا
“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”.(QS. Maryam : 26)
B. Syariat Puasa
Kepada ummat Nabi Muhammad SAW, kewajiban berpuasa hanya di bulan Ramadhan, yaitu satu bulan penuh diantara 11 bulan lainnya dalam setahun. Selama berpuasa, umat Islam diharamkan makan, minum dan berhubungan suami istri. Namun boleh berbicara. Kewajiban puasa bulan Ramadhan disyariatkan pada tanggal 10 Sya‘ban di tahun kedua setelah hijrah Nabi SAW ke Madinah.
Sesudah diturunkannya perintah penggantian kiblat dari masjidil Al-Aqsha ke Masjid Al-Haram.
Semenjak itulah Rasulullah SAW menjalankan puasa Ramadhan hingga akhir hayatnya sebanyak sembilan kali dalam sembilan tahun. Puasa Ramadhan adalah bagian dari rukun Islam yang lima.
Oleh karena itu mengingkari kewajiban puasa Ramadhan termasuk mengingkari rukun Islam. Dan pengingkaran atas salah satu rukun Islam akan mengakibatkan batalnya ke-Islaman seseorang. Sedangkan kewajiban puasa Ramadhan didasari olel Al-Quran, As-Sunah dan Ijma‘.
1. Al-Qur’an
Allah telah mewajibkan umat Islam untuk berpuasa bulan Ramadhan dalam Al-Qur’an Al-Karim.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaiman telah diwajibkan kepada umat sebelummu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-Baqarah : 183)
2. As-Sunnah
Hadits Nabi SAW : Islam dibangun atas lima, syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji ke baitullah bila mampu. (HR. Bukhari : 7 dan Muslim : 45).
Hadits Nabi SAW : Dari Thalhah bin Ubaid ra bahwa seseorang datang kepada Nabi SAW dan bertanya,” Ya Rasulullah SAW , katakan padaku apa yang Allah wajibkan kepadaku tentang puasa ?” Beliau menjawab,”Puasa Ramadhan”. “Apakah ada lagi selain itu ?”. Beliau menjawab, “Tidak, kecuali puasa sunnah”.(HR. Bukhari : 46, Muslim : 11, Abu Daud : 39 dan An-Nasa`i 4/119)
3. Al-Ijma‘
Secara ijma‘ seluruh umat Islam sepanjang zaman telah sepakat atas kewajiban puasa Ramadhan bagi tiap-muslim yang memenuhi syarat wajib puasa.
Penentuan Awal Ramadhan
Islam mengenal sistem penanggalan qamariyah, bukan syamsiyah. Keduanya dibedakan dari cara penghitungannya. Sistem penanggalan qamariah dihitung berdasarkan peredaran bulan (qamar), sedangkan sistem kalender syamsiyah dihitung berdasarkan peredaran matahari. Sesungguhnya bila untuk menetapkan hitungan bulan, yang tepat memang kalender qamariayah. Satu bulan adalah masa yang dibutuhkan oleh satelit bumi itu untuk mengelilingi bumi. Lamanya adalah 29 hari atau 30 hari ukuran bumi. Sedangkan kalender syamsiyah lebih tepat digunakan untuk mengukur tahun. Sebab satu tahun adalah waktu yang dibutuhkan bumi yang kita huni ini untuk mengelilingi matahari. Lamanya adalah 365 ¼ hari ukuran bumi.
Maka bulan-bulan dalam sistem kalender syamsiyah yang berjumlah 12 itu hanya merupakan hasil pembagian saja, tidak merupakan hasil real dari masa edar bulan terhadap bumi. Sehingga kita mendapati jumlah harinya tidak pasti, kadang 31 hari, kadang 30 hari, kadang 29 hari atau bisa juga hanya 28 hari. Maka ketika kita berbicara masalah nama bulan sebagai ukuran waktu, sistem kalender qamariyah memang lebih tepat. Untuk menentukan awal Ramadhan, ada dua cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW yaitu :
1. Ru‘yatul hilal
Yaitu dengan cara memperhatikan terbitnya bulan di hari ke 29 bulan Sya‘ban. Pada sore hari saat matahari terbenam di ufuk barat. Apabila saat itu nampak bulan sabit meski sangat kecil dan hanya dalam waktu yang singkat, maka ditetapkan bahwa mulai malam itu, umat Islam sudah memasuki tanggal 1 bulan Ramadhan. Jadi bulan Sya‘ban umurnya hanya 29 hari bukan 30 hari. Maka ditetapkan untuk melakukan ibadah Ramadhan seperti shalat tarawih, makan sahur dan mulai berpuasa.
2. Ikmal
Ikmal atau menggenapkan umur bulan Sya‘ban menjadi 30 hari. Tetapi bila bulan sabit awal Ramadhan sama sekali tidak terlihat, maka umur bulan Sya‘ban ditetapkan menjadi 30 hari (ikmal) dan puasa Ramadhan baru dilaksanakan lusanya. Perintah untuk melakukan ru‘yatul hilal dan ikmal ini didasari atas perintah Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Abu Hurairah ra. :
“Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya‘ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ikhtilaful Matholi‘
Ada perbedaan pendapat tentang ru‘yatul hilal, yaitu apakah bila ada orang yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya atau tidak ? Atau hanya berlaku bagi negeri dimana dia tinggal ? Dalam hal ini para ulama memang berbeda pendapat :
Pendapat pertama adalah pendapat jumhur ulama Mereka (jumhur) menetapkan bahwa bila ada satu orang saja yang melihat bulan, maka semua wilayah negeri Islam di dunia ini wajib mengikutinya. Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul matholi‘, yaitu bahwa mathla‘ (tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Pendapat Kedua adalah pendapat Imam Syafi‘i ra. Beliau berpendapat bahwa bila ada seorang melihat bulan, maka hukumnya hanya mengikat pada negeri yang dekat saja, sedangkan negeri yang jauh memeliki hukum sendiri. Ini didasarkan pada prinsip ihktilaful matholi‘ atau beragamnya tempat terbitnya bulan. Ukuran jauh dekatnya adalah 24 farsakh. Jarak 1 farsakh itu 3 mil.
Dengan hitungan meter, 1 farsakh adalah 5.544 meter. Jadi 24 farsakh sama dengan 5.544 x 24 = 133,057 km. Jadi hukumnya hanya mengikat pada wilayah sekitar jarak itu. Sedangkan diluar jarak tersebut, tidak terikat hukum ruk‘yatul hilal. Untuk sekedar diketahui bahwa jarak ini berbeda dengan jarak bolehnya qashar shalat yaitu 16 farsakh. Dalam ukuran meter sama dengan 89 km. (lihat Dr. Wahbah Az-Zhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu jilid 1 halaman 142)
Dasar pendapat ini adalah hadits Kuraib dan hadits Umar, juga qiyas perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika.
Hisab / Penghitungan
Sedangkan metode penentuan awal bulan qamariyah berdasarkan ilmu hisab tidak dilakukan di masa Rasulullah SAW. Baru sepeninggal beliau ada sebagian kalangan yang mencoba menggunakan sistem penghitungan. Meski tidak ada contoh praktek langsung dari Rasulullah SAW, namun kalangan yang menggunakan sistem hisab mendasarkan pendapatnya kepada sebuah makna hadits.
Dari Ibni Umar ra bahwa beliau berkata,:Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka kadarkanlah”. (HR Bukhari – Shahih Bukhari kitabus-Shaum no. 1767)
Lafaz “kadarkanlah, kira-kirakanlah” atau “ukurlah” mereka tafsirkan sebagai dasar perintah untuk menggunakan metode hisab sebagai penentu awal bulan qamariyah. Oleh mereka yang menggunakan rukyat, tafsirnya bukan demikian, melainkan genapkanlah hitungan bulan sya‘ban menjadi 30 hari, sebagai bunyi hadits lainnya. Penggunaan Hisab Untuk Menentukan Waktu Shalat
Kalangan yang mendukung hisab sering mengatakan bahwa kalau hisab tidak diperkenankan, maka bagaiman dengan jadwal waktu shalat. Bisa dikatakan hampir semua orang menggunakan jadwal waktu shalat yang berdasarkan hisab untuk menentukan waktu shalat. Lalu mengapa tidak boleh menggunakan hisab untuk menentukan awal Ramadhan? Masalah Ini bisa dijawab bahwa penentuan waktu awal Ramadhan punya karakteristik yang berbeda dengan penentuan waktu shalat. Khusus untuk penentuan waktu shalat, Rasulullah SAW tidak memberi perintah secara khusus untuk melihat bayangan matahari atau terbenamnya atau terbitnya atau ada tidaknya mega merah dan seterusnya. Karena tidak ada perintah khusus untuk melakukan rukyat, sehingga penggunaan hisab khusus untuk menetapkan waktu-waktu shalat tidak terlarang dan bisa dibenarkan. Sedangkan untuk penentuan awal puasa, dalilnya jelas dan tegas untuk melihat. “Mulailah puasa dengan melihat bulan dan mulailah mengakhiri puasa dengan melihat hilal.”
Syarat Puasa
Syarat puasa terbagi menjadi dua macam. Pertama adalah syarat wajib puasa, dimana bila syarat-syarat ini terpenuhi, seeorang menjadi wajib hukumnya untuk berpuasa. Kedua adalah syarat syah puasa, dimana seseorang syah puasanya bila memenuhi syarat-syarat itu.
1. Syarat Wajib
Syarat wajib maksudnya adalah hal-hal yang membuat seorang menjadi wajib untuk melakukan puasa. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi pada diri seseorang, maka puasa Ramadhan itu menjadi tidak wajib atas dirinya. Meski kalau dia mau, dia tetap diperbolehkan untuk berpuasa. Diantara syarat-syarat yang mewajibkan seseorang harus berpuasa antara lain yaitu :
• Baligh
Anak kecil yang belum baligh tidak wajib puasa. Namun orang tuanya wajib melatihnya berpuasa ketika berusia 7 tahun. Bahkan bila sampai 10 sudah boleh dikenakan sanksi. Sebagaimana ketika melatih anak-anak untuk shalat.
Rasulullah SAW bersabda : Dari Ibnu Amr bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Perintahkan anak-anak kamu untuk mengerjakan shalat ketika berusia 7 tahun dan pukullah mereka karena tidak menegakkan shalat ketika berusia 10 tahun.(HR. Abu Daud dan Hakim dan dishahihkan dalam Al-Jamius Shaghir).
Meski demikian, secara hukum anak-anak termasuk yang belum mendapat beban / taklif untuk mengerjakan puasa Ramadhan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :
Dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Telah diangkat pena dari tiga orang : Dari orang gila hingga waras, dari orang yang tidur hingga terjaga dan dari anak kecil hingga mimpi. (HR. Ahmad : 1/155-158, Abu Daud : 4401 dan Tirmizy : 1423).
• Berakal
Orang gila tidak wajib puasa bahkan tidak perlu menggantinya atau tidak perlu mengqadha‘nya. Kecuali bila melakukan sesuatu secara sengaja yang mengantarkannya kepada kegilaan, maka wajib puasa atau wajib menggantinya. Hal yang sama berlaku pada orang yang mabuk, bila mabuknya disengaja. Tapi bila mabuknya tidak disengaja, maka tidak wajib atasnya puasa.
• Sehat
Orang yang sedang sakit tidak wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Namun dia wajib menggantinya di hari lain ketika nanti kesehatannya telah pulih. Allah SWT berfirman :
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah : 185).
Jenis penyakit yang membolehkan seseorang tidak menjalankan kewajiban puasa Ramadhan adalah penyakit yang akan bertambah parah bila berpuasa. Atau ditakutkan penyakitnya akan terlambat untuk sembuh.
• Mampu
Allah hanya mewajibkan puasa Ramadhan kepada orang yang memang masih mampu untuk melakukannya. Sedangkan orang yang sangat lemah atau sudah jompo dimana secara pisik memang tidak mungkin lagi melakukan puasa, maka mereka tidak diwajibkan puasa. Allah SWT berfirman :
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin..” (QS. Al-Baqarah : 184)
• Tidak dalam perjalanan (bukan musafir)
Orang yang dalam perjalanan tidak wajib puasa. Tapi wajib atasnya mengqadha‘ puasanya. Dalam hadits Rasulullam SAW disebutkan :
Bahwa Hamzah Al-Aslami berkata,”Ya Rasulullah, Aku kuat tetap berpuasa dalam perjalanan, apakah aku berdosa ?”. Rasulullah SAW menjawab,”Itu adalah keringanan dari Allah Ta‘ala, siapa yang berbuka maka baik. Dan siapa yang lebih suka berpuasa maka tidak ada dosa”.(HR. Muslim :1121 dan An-Nasai 4/187).
2. Syarat Syah
Yang dimaksud dengan syarat syah adalah semua hal yang membuat ibadah puasa menjadi syah hukumnya. Bila salah satu syarat ini tidak ada, maka ibadah itu tidak syah hukumnya. Sedangkan syarat wajib adalah hal-hal yang bila terpenuhi pada diri seseorang, puasa menjadi wajib atas dirinya.
Sedangkan syarat syah adalah syarat yang harus dipenuhi agar puasa yang dilakukan oleh seseorang itu menjadi syah hukumnya di hapadan Allah SWT.
• Niat
Bila seseorang berpuasa tapi lupa atau tidak berniat, maka puasanya tidak syah. Maksudnya puasa wajib bulan Ramadhan atau puasa wajib nazar atau puasa wajib qadha‘. Namun bila puasa sunnah, maka niatnya tidak harus sejak terbit fajar, boleh dilakukan di siang hari ketika tidak mendapatkan makanan.
• Beragama Islam
Puasa orang bukan muslim baik kristen, katolik, hindu, budha atau agama apapun termasuk atheis tidak syah. Bila mereka tetap berpuasa, maka tidak mendapatkan balasan apa-apa.
• Suci dari haidh dan nifas
Wanita yang mendapat haidh dan nifas, bila tetap berpuasa, maka puasanya tidak syah.
• Pada hari yang dibolehkan puasa
Bila melakukan puasa pada hari-hari yang dilarang, maka puasanya tidak syah bahkan haram untuk dilakukan.
Rukun Puasa
Puasa itu mempunyai dua rukun yang menjadi inti dari ibadah tersebut. Tanpa kedua hal itu, maka puasa menjadi tidak berarti. Yaitu niat dan menahan dari segala yang membatalkan puasa.
A. Niat
Niat adalah azam (berketatapan) di dalam hati untuk mengerjakan puasa sebagai bentuk pelaksanaan perintah Allah SWT dan taqarrub (pendekatan diri) kepada-Nya.
Dari Umar bin Al-Khattab ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya semua amal itu tergantung niatnya“. (HR. Bukhari : 1, Muslim : 1407, Abu Daud : 2201, Tirmizy: 1647 dan Ibnu Majah : 4227).
Kedudukan niat ini menjadi sangat penting untuk puasa wajib. Karena harus sudah diniatkan sebelum terbit fajar. Dan puasa wajib itu tidak syah bila tidak berniat sebelum waktu fajar itu.
Dari Hafshah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Barang siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Tirmidzy : 730, An-Nasa`i : 4/197, Ibnu Majah : 1700 dan Ahmad : 6/287).
Berbeda dengan puasa sunnah yang tidak mensyaratkan niat sebelum terbit fajar. Jadi boleh berniat puasa meski telah siang hari asal belum makan, minum atau mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dari Aisyah RA. Berkata, Rasulullah SAW datang kepadaku pada suatu hari dan bertanya, “Apakah kamu punya makanan ?”. Aku menjawab,”Tidak”. Beliau lalu berkata,”Kalau begitu aku berpuasa”.
(HR. Muslim : 1154 Abu Daud : 2455 dan Tirmizy : 733)
Apakah niat itu harus dilakukan setiap malam atau bisa dilakukan di awal ramadhan saja?
Para ulama berbeda pendapat :
1. Jumhur Ulama : Harus Setiap Malam
Menurut jumhur ulama, niat itu harus dilakukan pada setiap malam yang besoknya kita akan berpuasa secara satu per satu. Tidak bisa digabungkan untuk satu bulan.
Logikanya adalah karena masing-masing hari itu adalah ibadah yang terpisah-pisah dan tidak satu paket yang menyatu. Buktinya, seseorang bisa berniat untuk puasa di suatu hari dan bisa berniat tidak puasa di hari lainnya.
Oleh karena jumhur ulama mensyaratkan harus ada niat meski tidak perlu dilafazkan pada setiap malam hari bulan ramadhan.
2. Kalangan Fuqaha Al-Malikiyah : Boleh Niat Untuk Satu Bulan
Sedangkan kalangan fuqaha dari Al-Malikiyah mengatakan bahwa tidak ada dalil nash yang mewajinkan hal itu. Bahkan bila mengacu kepada ayat Al-Quran Al-Kariem, jelas sekali perintah untuk berniat puasa satu bulan secara langsung dan tidak diniatkan secara hari per hari.
Ayat yang dimaksud oleh Al-Malikiyah adalah :
…Siapa yang menyaksikan bulan (Ramadhan) itu hendaklah dia berpuasa…(QS. Al-Baqarah : 185)
Menurut mereka, ayat Al-Quran Al-Kariem sendiri menyebutkan bahwa hendaklah ketika seorang mendapatkan bulan itu, dia berpuasa. Dan bulan adalah isim untuk sebuah rentang waktu.
Sehingga berpuasa sejak hari awal hingga hari terakhir dalam bulan itu merupakan sebuah paket ibadah yang menyatu.
Dalam hal ini mereka membandingkannya ibadah haji yang membutuhkan masa pengerjaan yang berhari-hari. Dalam haji tidak perlu setiap hari melakukan niat haji. Cukup di awalnya saja seseorang berniat untuk haji, meski pelaksanaannya bisa memakan waktu seminggu.
B. Imsak (menahan)
Imsak artinya menahan dari makan, minum, hubungan seksual suami istri dan semua hal yang membatalkan puasa, dari sejak fajar hingga terbenamnya matahari. Allah SWT berfirman :
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqarah : 187)
Yang dimaksud dengan benang putih dan benang hitam adalah putihnya siang dan hitamnya malam
Jadi imsak ini dimulai sejak mulai masuknya waktu shubuh hingga terbenamnya matahari. Sedangkan istilah imsak yang sering kita dengar selama bulan Ramadhan berbeda dengan imsak dalam kontek rukun puasa.
Istilah Imsak
Istilah imsak yang sering digunakan selama ini sebenarnya hanyalah tanda waktu bahwa sebentar lagi waktu shubuh akan segera menjelang, sehingga kita harus segera bergegas atau bersiap-siap untuk tidak makan, minum atau apapun yang akan membatalkan puasa. Namun sebenarnya secara hukum, meski waktu imsak sudah menjelang, masih dibolehkan untuk makan dan minum. Sebab waktu puasa yang sebenarnya adalah pada saat waktu shubuh datang, bukan waktu imsak.
Bila Jadwal Shubuh Tidak Normal
Ada wilayah tertentu di muka bumi yang mengalami perputaran jadwal siang dan malam yang tidak seimbang. Seperti di belahan bumi utara atau selatan yang ekstrim, atau daerah kutub. Bila ada wilayah yang mengalami siang selama 24 jam dalam sehari pada waktu tertentu dan sebaliknya mengalami malam selama 24 jam dalam sehari, maka dalam hal ini masalah jadwal puasa dan juga shalatnya memang menjadi titik perbedaan. Secara umum, kita bisa membaginya menjadi tiga pendapat.
1. Pendapat Pertama : Ikut Wilayah Terdekat
Waktu shalat dan puasanya disesuaikan dengan jadwal puasa dan shalat wilayah yang terdekat dengannya dimana masih ada pergantian siang dan malam setiap harinya.
Pendapat ini didukung oleh Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami pada jalsah ketiga hari Kamis 10 Rabiul Akhir 1402 H betepatan dengan tanggal 4 Pebruari 1982 M. Selain itu juga merupakan ketetapan dari Hai`ah Kibarul Ulama di Mekkah al-Mukarramah Saudi Arabia nomor 61 pada tanggal 12 Rabiul Akhir 1398 H.
2. Pendapat Kedua : Ikut Waktu HIJAZ
Jadwal puasa dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di qutub utara dan selatan.
3. Pendapat Ketiga : Ikut Waktu Negara Islam terdekat
Pendapat lain mengatakan bahwa jadwal puasa dan shalat orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat. Dimana di negeri ini bertahta Sultan / Khalifah muslim.
Pendapat kedua dan ketiga adalah pendapat ulama lainnya diantaranya adalah Dr. Mustafa Az-Zarqa’.
Yang Membatalkan Dan Yang Tidak Membatalkan Puasa
A. Yang Membatalkan Puasa
1. Makan minum secara sengaja
Bila makan dan minum secara sengaja, maka batallah puasanya. Tetapi bila makan dan minum karena lupa, maka tidak membatalkan puasa, asal ketika ingat segera berhenti dari makan dan minum. Sabda Rasulullah SAW
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa lupa ketika puasa lalu dia makan atau minum, maka teruskan saja puasanya. Karena sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari : 1923 dan Muslim : 1155)
Sabda Rasulullah SAW Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,
”Siapa yang berbuka pada saat Ramadhan karena lupa, tidak ada keharusan mengqadha‘ atau membayar kafarah.” (HR. Ad-Daruquthuny : 2/178, Al-Baihaqi : 4/229 dan Al-Hakim :1/430)
2. Hubungan seksual
Hubungan seksual suami istri membatalkan puasa. Dan bila dikerjakan pada saat puasa Ramadhan, maka selain membayar qadha‘ juga diwajibkan membayar kaffarah. Karena hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan termasuk perbuatan yang merusak kesucian Ramadhan itu. Padahal kita diperintahkan pada saat-saat itu untuk menahan segala nafsu dan dorongan syahwat dengan tidak makan, tidak minum dan tidak melakukan hal-hal yang keji dan mungkar. Tetapi justru pada saat yang semulia itu malah melakukan hubungan seksual di siang hari. Karena itu hukumannya tidak hanya mengganti / mengqadha‘ puasa di hari lain, tetapi harus membayar denda / kaffarah sebagai hukuman dari merusak kesucian bulan Ramadhan. Bentuk kaffarah itu salah satu dari tiga hal :
a. Memerdekakan budak
b. Puasa 2 bulan berturut-turut
c. Memberi makan 60 orang miskin.
Sedangkan mencium istri pada bibir telah dijelaskan tidak akan membatalkan puasa. Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang hal ini, beliau menyamakannya dengan berkumur.
Dari Umar bin Al-Khattab ra berkata,"Aku bernafsu maka aku mencium (istriku) sedangkan aku dalam keadaan puasa, maka aku bertanya,"Wahai Rasulullah, hari ini telah melakukan hal yang besar karena aku telah mencium istriku dalam keadaan puasa.". Rasulullah SAW menjawab,"Bagaimana pendapatmu bila kamu berkumur-kumur sedangkan kamu dalam keadaan puasa ?". Aku menjawab,"Ya tidak mengapa". Rasulullah SAW menjawab lagi,"Ya begitulah hukumnya". (HR. Abu Daud- shahih)
Kumur adalah memasukkan air ke dalam mulut untuk dibuang kembali dan hal itu boleh dilakukan saat puasa meski bukan untuk keperluan berwudhu`. Namun harus dijaga jangan sampai tertelan atau masuk ke dalam tubuh, karena akan membatalkan puasa.
Bersetubuh tapi tidak sampai jima ?
Anda berkata bahwa anda bersetubuh tapi tidak sampai jima'. Maksudnya bagaimana ? Bukankah bersetubuh itu adalah jima' ? Atau anda punya pengertian bahwa ada sebuah persetubuhan tanpa jima' ?
Atau barangkali anda ingin mengatakan bahwa anda telah melakukan percumbuan dengan istri namun tidak sampai terjadi penetrasi atau hubungan kelamin. Kalau itu pertanyaan anda, maka para ulama mengatakan bahwa hukum asalnya adalah boleh, asal tidak sampai (inzal) keluarnya mani dan tidak sampai penetrasi.
Namun kita juga mendapatkan riwayat hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melarang seseorang yang sedang puasa untuk mencumbui istrinya tetapi beliau juga pernah membolehkan yang lain untuk melakukannya. Bagaimana hal itu bisa terjadi ?
Ternyata ketika melarang seseorang untuk mencumbui istrinya, pertimbangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah karena orang itu tidak mampu menahan dirinya dari dorongan syahwat, sehingga ditakutkan bahwa percumbuannya itu akan membawanya kepada hal yang lebih jauh seperti hubungan kelamin.
Dan ketika beliau membolehkan orang lain untuk bercumbui istrinya, maka pertimbangannya adalah karena orang tersebut mampu menahan dorongan syahwat dan bisa menguasai diri saat bercumbu. Lebih jelasnya, mari kita baca hadits tersebut :
Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang mencumbui wanita bagi orang yang puasa. Rasulullah SAW lalu memberikan rukhshah (keringanan) bagi orang itu. Kemudian datang lagi yang lainnya tapi nabi melarangnya. Ternyata yang diberi keringanan adalah orang yang sudah tua sedangkan yang dilarang adalah yang masih muda (HR. Abu Daud – shahih)
Bahkan ada atsar yang lebih jelas dari hadits diatas :
Dari Said bin Jubair bahwa seorang bertanya kepada Ibnu Abbas,"Aku baru saja menikah dengan anak pamanku yang sangat cantik dan kami berbulan madu di bulan Ramadhan. Bolehkah aku menciumnya ?". Ibnu Abbas menjawba ,"Bisakah kau kuasai dirimu?". Dia menjawab,"Ya". Ibnu Abbas berkata,"Ciumlah istrimu". Dia bertanya lagi,"Bolehkah aku mencumbuinya ?". Ibnu Abbas menjawba ,"Bisakah kau kuasai dirimu?". Dia menjawab,"Ya". Ibnu Abbas berkata,"Cumbuilah istrimu". Dia bertanya lagi,"Bolehkah aku memegang kemaluannya ?". Ibnu Abbas menjawab ,"Bisakah kau kuasai dirimu?". Dia menjawab,"Ya". Ibnu Abbas berkata,"peganglah ".
Ibnu Hazm berkata bahwa riwayat ini shahih dari Ibnu Abbas dengan syarat dari Bukhari.
Namun bila dalam percumbuan itu sampai terjadi keluarnya mani (inzal) maka para ulama mengatakan bahwa hal itu membatalkan puasa. Karena salah satu hal yang membatalkan puasa adalah keluarnya mani bila dilakukan dengan sengaja, baik dengan cara istimna' (onani) ataupun dengan percumbuan dengan istri. Itulah yang disebutkan oleh ustaz Assayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah jilid 1 halaman 466.
Namun ada juga yang mengatakan bahwa bila percumbuan itu sampai keluar mani (inzal) maka tidaklah membatalkan puasa. Yang itu dikatakan oleh Al-Bani dalam Tamamul Minnah dan juga oleh Asy-Syaukani yang conodng kepada pendapat tersebut. Begitu juga dengan Ibnu Hazm, tokoh dari kalangan zhahiri.
3. Sengaja muntah / Istiqa`
Istiqa‘ atau muntah adalah bila seseorang melakukan sesuatu yang mengakibatkan muntah, maka puasanya batal. Seperti memasukkan jari ke dalam mulut tidak karena kepentingan. Atau membuang lendir dari tenggorokan tetapi malah mengakibatkan muntah. Dan semua pekerjaan lainnya yang pada dasrnya tidak perlu dilakukan tetapi malah mengakibatkan muntah. Semua itu dapat membatalkan puasa karena itu harus dihindari agar tidak melakukannya saat berpuasa. Namun bila muntah karena sebab yang tidak bisa ditolak seperti karena masuk angin atau sakit lainnya, maka puasanya tetap syah. Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,
”Orang yang muntah tidakj perlu mengqadha`, tetapi orang sengaja muntah wajib mengqadha`. (HR. Abu Daud 2380, Tirmizy 720, Ibnu Majah 1676, Ibnu Hibban 3518 dan Al-Hakim 1/426)
4. Murtad
Seseorang yang sedang berpuasa, lalu keluar dari agama Islam atau murtad, maka otomatis puasanya batal. Dan bila hari itu juga dia kembali lagi masuk Islam, puasanya sudah batal. Dia wajib mengqadha puasanya hari itu meski belum sempat makan atau minum. Fiman Allah SWT,
“Bila kamu menyekutukan Allah (murtad), maka Allah akan menghapus amal-amalmu dan kamu pasti jadi orang yang rugi.” (QS Az-Zumar )
5. Keluarnya mani secara sengaja
Melakukan segala sesuatu yang dapat merangsang birahi hingga sampai keluar air mani menyebabkan puasa menjadi batal. Seperti melakukan onani/masturbasi, atau melihat gambar porno baik media cetak maupun film dan internet. Bahkan bila seseorang dalam keadaan puasa lalu berfantasi dan berimajinasi seksual yang mengakibatkan keluarnya mani, maka puasanya batal dengan sendirinya. Termasuk bercumbu antara suami istri yang mengakibatkan keluarnya mani meski tidak melakukan hubungan seksual, maka puasanya batal meski tidak sampai wajib membayar kaffarah. Karena itu sebaiknya hindari semua hal yang merangsang birahi karena beresiko batalnya puasa. Tetapi bila keluar mani dengan sendirinya seperti bermimpi, maka puasanya tidak batal, karena bukan disengaja atau bukan kehendaknya. Sabda Rasulullah SAW, “Telah diangkat pena dari tiga orang ; orang gila hingga waras, orang tidur hingga bangun dan anak kecil hingga baligh.”
6. Mendapat Haidh atau Nifas
Wanita yang sedang berpuasa lalu tiba-tiba mendapat haidh, maka otomatis puasanya batal. Meski kejadian itu menjelang terbenamnya matahari. Begitu juga wanita yang mendapat darah nifas, maka puasanya batal. Ini adalah merupakan ijma‘ para ulama Islam atas masalah wanita yang mendapat haidh atau nifas saat sedang berpuasa.
B. Yang Tidak Membatalkan Puasa
1. Makan dan minum karena lupa
Seseorang yang karena lupa tidak sengaja makan dan minum pada saat puasa, maka ketika dia ingat, wajib menghentikan makan dan minumnya itu. Apa yang telah dimakannya itu tidak membatalkan puasanya meski cukup banyak dan lumayan kenyang. Sabda Rasulullah SAW : “Telah diangkat pena dari umat atas apa yang mereka lupa, anak anak dan orang yang dipaksa.” Sabda Rasulullah SAW : Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang berpuasa lalu makan dan minum karena lupa, maka teruskan puasanya. Sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum.”
(HR. Bukhari : 1923 dan Muslim : 1155).
Namun wajib yang melihat untuk mengingatkan orang yang makan ketika berpuasa karena lupa.
2. Keluar mani dengan sendirinya
Bila pada saat puasa seseorang tidur dan dalam tidurnya itu dia bermimpi yang mengakibatkan keluarnya mani, maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Namun bila secara sengaja melakukan hal-hal yang dapat membangkitkan birahi baik melalui fikiran (imajinasi) atau melihat atau mendengarkan hal-hal yang merangsang birahinya hingga mengakibatkan keluarnya mani, maka hal itu membatalkan puasa. Karena semua itu termasuk dalam kategori sengaja. Termasuk bila melalukan onani pada saat puasa.
3. Memakai celak mata
Boleh memakai celak mata (alkuhl) pada saat puasa dan tidak membatalkannya. Karena Rasulullah SAW juga pernah menggunakannya pada saat berpuasa.
Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah SAW memakai celak mata dalam keadaan berpuasa”.(HR. Abu Daud : 2378).
4. Berbekam
Berbekam atau hijamah adalah salah satu bentuk pengobatan dimana seseorang diambil darahnya untuk dikeluarkan penyakit. Metode ini dikenal di negeri Arab dan beberapa negeri lainnya. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah berbekam dalam keadaan ihram dan pernah pula berbekam dalam keadaan puasa.(HR. Bukhari dan Ahmad). Namun mazhab Hambali berpendapat bahwa berbekam itu membatalkan puasa.
5. Bersiwak
Bersiwak atau membersihkan gigi tidak membatalkan puasa. Namun menurut Imam Asy-Syafi‘i, bersiwak hukumnya makruh bila telah melwati waktu zhuhur hingga sore hari. Alasan yang dikemukakan beliau adalah hadits Nabi yang menyebutkan : Bau mulut orang yang puasa lebih harum di sisi Allah dari aroma kesturi. Sedangkan bersiwak atau menggosok gigi akan menghilangkan bau mulut. Namun bila bau mulut mengganggu seperti habis makan makanan berbau, maka sebaiknya bersiwak.
6. Kumur dan istinsyak
Kumur adalah memasukkan air ke dalam mulut untuk dibuang kembali. Sedangkan istinsyak adalah memasukkan air ke dalam lubang hidung untuk dibuang kembali. Keduanya boleh dilakukan saat puasa meski bukan untuk keperluan berwudhu‘. Namun harus dijaga jangan sampai tertelan atau masuk ke dalam tubuh, karena akan membatalkan puasa.
7. Mandi dan berenang
Mandi, berenang atau memakai pakaian yang dibasahi agar dingin tidak membatalkan puasa. Begitu juga mengorek kuping atau memasukkan batang pembersih ke dalam telinga. Semua itu tida termasuk yang membatalkan puasa
8. Kemasukan asap atau debu
Kemasukan asap dan debu, kemasukan lalat atau sisa rasa obat ke dalam mulut tidak membatalkan puasa, asal sifatnya tidak disengaja dan bukan bikinan. Semua itu tidak membatalkan puasa karena tidak mungkin menghindar dari hal-hal kebetulan seperti itu.
9. Copot gigi, telinga kemasukan air
Orang yang copot giginya tanpa sengaja dan kemasukan air di telinga tidak batal puasanya
10. Janabah dan bercumbu
Jatuhnya seseorang kepada kondisi janabah tidak membatalkan puasanya, kecuali bila sengaja. Karena itu bila mimpi basah di siang hari bulan ramadhan dan tetap dalam keadaan junub hingga siang hari, tidak membatalkan puasa. Bercumbu dengan istri tidak membatalkan puasa selama tidak sampai keluar mani. Begitu juga menciumnya atau memeluknya tidak membatalkan puasa.
11. Suntik
Dalam kondisi sakit, terkadang pasien harus disuntik dengan obat, maka suntikan obat itu tidak membatalkan puasa. Berbeda dengan impus, maka impus membatalkan puasa, karena hakikat impus adalah memasukkan makanan ke dalam tubuh.
12. Menghirup aroma wangi
Boleh menghirup atau mencium aroma wangi dari parfum atau wangi-wangian dan tidak membatalkan puasa.
13. Memakai obat tetes mata
Meski obat tetes mata itu masuk ke dalam mata, namun dilihat dari arah masuknya, cairan obat itu tidak masuk ke bagian dalam tubuh (lambung atau perut). Obat tetes mata adalah sejenis obat luar seperti obat lainnya seperti kompres, plester, obat luka dan lainnya. Bila seorang yang berpuasa menggunakan obat tetes mata, maka tidak akan membatalkan puasanya.
14. Obat Semprot Asma
Obat asma yang disemprotkan bagi penderita asma bila digunakan oleh orang yang puasa, juga tidak termasuk yang membatalkan puasa. Sebab secara teknis, jauh dari kriteria makan atau minum yang membatalkan puasa.Sehingga penggunaanya buat orang yang sedang puasa tidaklah membatalkan puasanya.
Hal ini juga difatwakan oleh Syeikh Abdullah bin Baz, salah seorang tokoh ulama di Saudi Arabia. Dalam salah satu fatwanya, beliau menegaskan kebolehan penggunaan obat semprot ini bagi penderita asma, dalam keadaan berpuasa.
15. Mencicipi Makanan
Seorang yang sedang puasa, boleh mencicipi rasa suatu makanan, asalkan langsung dibuat seketika itu juga. Dalam hal ini, belum dikatakan sebagai memakan makanan, karena tidak ditelan masuk ke dalam perut. Makanan yang dicicipi hanya dirasakan dengan lidah saja, kemudian dibuang bersama dengan ludah itu.
Masalah ini nyaris mirip dengan orang yang berkumur-kumur, yaitu memasukkan air ke dalam mulut namun segera dikeluarkan lagi. Juga sama dengan orang yang melakukan istinsyaq dan istintsar, yaitu memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya. Perbuatan inni termasuk sunnah wudhu' dan boleh dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa.
Hal-hal Yang Membolehkan Tidak Berpuasa Ramadhan
Dalam keadaan tertentu, syariah membolehkan seseorang tidak berpuasa. Hal ini adalah bentuk keringanan yang Allah berikan kepada umat Muhammad SAW. Bila salah satu dari keadaan tertentu itu terjadi, maka bolehlah seseorang meninggalkan kewajiban puasa.
1. Safar (perjalanan)
Seorang yang sedang dalam perjalanan, dibolehkan untuk tidak berpuasa. Keringanan ini didasari oleh Firman Allah SWT :
Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari lain (QS Al-Baqarah: 85)
Sedangkan batasan jarak minimal untuk safar yang dibolehkan berbuka adalah jarak dibolehkannya qashar dalam shalat, yaitu 47 mil atau 89 km. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa perjalanan itu telah dimulai sebelum mulai berpuasa (waktu shubuh). Jadi bila melakukan perjalanan mulai lepas Maghrib hingga keesokan harinya, bolehlah dia tidak puasa pada esok harinya itu. Namun ketentuan ini tidak secara ijma‘ disepakati, karena ada sebagian pendapat lainnya yang tidak mensyaratkan jarak sejauh itu untuk membolehkan berbuka.
Misalnya Abu Hanifah yang mengatakan bahwa jaraknya selama perjalanan tiga hari tiga malam. Sebagian mengatakan jarak perjhalan dua hari. Bahkan ada yang juga mengatakan tidak perlu jarak minimal seperti apa yang dikatakan Ibnul Qayyim.
Meski berbuka dibolehkan, tetapi harus dilihat kondisi berat ringannya. Bila perjalanan itu tidak memberatkan, maka meneruskan puasa lebih utama. Dan sebaliknya, bila perjalanan itu memang sangat berat, maka berbuka lebih utama. Demikian pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi`i dan Malik. Sedangkan Ahmad mengatakan bahwa berbuka dalam perjalanan lebih utama. Berbeda dengan keringanan dalam menjama‘ atau mengqashar shalat dimana menjama‘ dan mengqashar lebih utama, maka dalam puasa harus dilihat kondisinya.
Meski dibolehkan berbuka, sesungguhnya seseorang tetap wajib menggantinya di hari lain. Jadi bila tidak terlalu terpaksa, sebaiknya tidak berbuka. Hal ini ditegaskan dalam hadits Rasulullah SAW:
Dari Abi Said al-Khudri RA. Berkata,”Dulu kami beperang bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan. Diantara kami ada yang tetap berpuasa dan ada yang berbuka. …Mereka memandang bahwa siapa yang kuat untuk tetap berpuasa, maka lebih baik.” (HR. Muslim : 1117, Ahmad : 3/12 dan Tirmizy : 713)
2. Sakit
Orang yang sakit dan khawatir bila berpuasa akan menyebabkan bertambah sakit atau kesembuhannya akan terhambat, maka dibolehkan berbuka puasa. Bagi orang yang sakit dan masih punya harapan sembuh dan sehat, maka puasa yang hilang harus diganti setelah sembuhnya nanti. Sedangkan orang yang sakit tapi tidak sembuh-sembuh atau kecil kemungkinannya untuk sembuh, maka cukup dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya.
3. Hamil dan Menyusui
Wanita yang hamil atau menyusui di bulan Ramadhan boleh tidak berpuasa, namun wajib menggantinya di hari lain. Ada beberapa pendapat berkaitan dengan hukum wanita yang haidh dan menyusui dalam kewajiban mengganti puasa yang ditnggalkan.
• Pertama, mereka digolongkan kepada orang sakit. Sehingga boleh tidak puasa dengan kewajiban menggadha‘ (mengganti) di hari lain.
• Kedua, mereka digolongkan kepada orang yang tidak kuat/mampu. Sehingga mereka dibolehkan tidak puasa dengan kewajiban membayar fidyah.
• Ketiga, mereka digolongkan kepada keduanya sekaligus yaitu sebagai orang sakit dan orang yang tidak mampu, karena itu selain wajib mengqadha‘, mereka wajib membayar fidyah.
Pendapat terahir ini didukung oleh Imam As-Syafi‘i RA. Namun ada juga para ulama yang memilah sesuai dengan motivasi berbukanya. Bila motivasi tidak puasanya karena khawatir akan kesehatan / kekuatan dirinya sendiri, bukan bayinya, maka cukup mengganti dengan puasa saja. Tetapi bila kekhawatirannya juga berkait dengan anak yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya, maka selain mengganti dengan puasa, juga membayar fidyah.
4. Lanjut Usia
Orang yang sudah lanjut usia dan tidak kuat lagi untuk berpuasa, maka tidak wajib lagi berpuasa. Hanya saja dia wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya itu. Firman Allah SWT
“Dan bagi orang yang tidak kuat/mampu, wajib bagi mereka membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin.” (QS Al-Baqarah)
5. Lapar dan Haus yang sangat
Islam memberikan keringanan bagi mereka yang ditimpa kondisi yang mengharuskan makan atau minum untuk tidak berpuasa. Namun kondisi ini memang secara nyata membahayakan keselamatan jiwa sehingga makan dan minum menjadi wajib. Seperti dalam kemarau yang sangat terik dan paceklik berkepanjangan, kekeringan dan hal lainnya yang mewajibkan seseorang untuk makan atau minum.
Namun kondisi ini sangat situasional dan tidak bisa digeneralisir secara umum. Karena keringanan itu diberikan sesuai dengan tingkat kesulitan. Semakin besar kesulitan maka semakin besar pula keringanan yang diberikan. Sebaliknya, semakin ringan tingkat kesulitan, maka semakin kecil pula keringanan yang diberikan.
Allah SWT telah berfirman :
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 173).
Ini mengacu pada kaidah fiqih yang berbunyi :
Bila tingkat kesulitan suatu masalah itu luas (ringan), maka hukumnya menjadi sempit (lebih berat). Dan bila tingkat kesulitan suatu masalah itu sempit (sulit), maka hukumnya menjadi luas (ringan).
Kedaruratan itu harus diukur sesuai dengan kadarnya (ukuran berat ringannya)
6. Dipaksa atau terpaksa
Orang yang mengerjakan perbuatan karena dipaksa dimana dia tidak mampu untuk menolaknya, maka tidak akan dikenakan sanksi oleh Allah. Karena semua itu diluar niat dan keinginannya sendiri.
Termasuk di dalamnya adalah orang puasa yang dipaksa makan atau minum atau hal lain yang membuat puasanya batal. Sedangkan pemaksaan itu beresiko pada hal-hal yang mencelakakannya seperti akan dibunuh atau disiksa dan sejenisnya. Ada juga kondisi dimana seseorang terpaksa berbuka puasa, misalnya dalam kondisi darurat seperti menolong ketika ada kebakaran, wabah, kebanjiran, atau menolong orang yang tenggelam.
Dalam upaya seperti itu, dia terpaksa harus membatalkan puasa, maka hal itu dibolehkan selama tingkat kesulitan puasa itu sampai pada batas yang membolehkan berbuka. Namun tetap ada kewajiban untuk mengganti puasa di hari lain.
7. Pekerja Berat
Orang yang karena keadaan harus menjalani profesi sebagai pekerja berat yang membutuhkan tenaga ekstra terkadang tidak sanggup bila harus menahan lapar dalam waktu yang lama. Seperti para kuli angkut di pelabuhan, pandai besi, pembuat roti dan pekerja kasar lainnya. Bila memang dalam kondisi yang membahayakan jiwanya, maka kepada mereka diberi keringanan untuk berbuka puasa dengan kewajiban menggantinya di hari lain. Tetapi mereka harus berniat dahulu untuk puasa serta makan sahur seperti biasanya. Pada siang hari bila ternyata masih kuat untuk meneruskan puasa, wajib untuk meneruskan puasa.
Sedangkan bila tidak kuat dalam arti yang sesungguhnya, maka boleh berbuka. Namun wajib menngganti di hari lain serta tetap menjaga kehormatan bulan puasa dengan tidak makan di tempat umum. Selain itu yang bersangkutan harus mengupayakan untuk menyiapkan diri agar bisa berpuasa Ramadhan sejak setahun sebelumnya. Misalnya dengan menabung sedikit demi sedikit agar terkumpul uang demi nafkahnya selama bulan Ramadhan dimana dia tidak bekerja. Sehingga dia bisa ikut berpuasa bersama-sama dengan umat Islam di bulan Ramadhan dengan libur bekerja dan hidup dari uang yang ditabungnya.
Qadha‘, Fidyah dan Kaffarah
Ketika seseorang meninggalkan kewajiban ibadah puasa, maka ada konsekuensi yang harus dikerjakan. Konskuensi itu merupakan resiko yang harus ditanggung karena meninggalkan kewajiban puasa yangtelah ditetapkan. Adapun bentuknya, ada beberapa bentuk, yaitu qadha‘ (mengganti puasa di hari lain), membayar fidyah (memberi makan fakir miskin) dan membayar kaffarah (denda). Masing-masing bentuk itu harus dikerjakan sesuai dengan alasan tidak puasanya.
A. Qadha`
Qadha‘ adalah berpuasa di hari lain di luar bulan Ramadhan sebagai pengganti dari tidak berpuasa pada bulan itu. Yang wajib mengganti (mengqadha‘) puasa di hari lain adalah :
• Wanita yang mendapatkan haidh dan nifas. Mereka diharamkan menjalankan puasa pada saat mendapat haidh dan nifas. Karena itu wajib menggantinya di hari lain
• Orang sakit termasuk yang dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadhan. Karena itu apabila telah sehat kembali, maka wajab menggantinya di hari lain setelah dia sehat.
• Wanita yang menyusui dan hamil karena alasan kekhawatiran pada diri sendiri. Mereka dibolehkan tidak berpuasa karena dapat digolongkan sebagai orang sakit
• Bepergian (musafir). Orang yang bepergian mendapat keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi harus mengganti di hari lain ketika tidak dalam perjalanan.
• Orang yang batal puasanya karena suatu sebab seperti muntah, keluar mani secara sengaja, makan minum tidak sengaja dan semua yang membatalkan puasa. Tapi bila makan dan minum karena lupa, tidak membatalkan puasa sehingga tidak wajib mengqadha‘nya.
Berturut-turut Atau Dipisah-pisah
Jumhur ulama tidak mewajibkan dalam mengqadha‘ harus berturut-turut karena tidak ada nash yang menyebutkan keharusan itu. Sedangkan Mazhab Zahiri dan Al-Hasan Al-Bashri mensyaratkan berturut-turut. Dalilnya adalah hadits Aisyah yang menyebutkan bahwa ayat Al-Quran dulu memerintahkan untuk mengqadha secara berturut-turut. Namun menurut jumhur, kata-kata ‘berturut-turut’ telah dimansukh hingga tidak berlaku lagi hukumnya. Namun bila mampu melakukan secara berturut-turut hukumnya mustahab menurut sebagian ulama. Hutang qadha‘ puasa Ramadhan tahun lalu Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Sebagian fuqoha seperi Imam Malik, Imam as-Syafi‘i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa harus mengqadha‘ setelah Ramadhan dan membayar kaffarah (denda). Perlu diperhatikan meski disebut dengan lafal ‘kaffarah’, tapi pengertiannya adalah membayar fidyah, bukan kaffarah dalam bentuk membebaskan budak, puasa 2 bulan atau memberi 60 fakir miskin.
Ini dijelaskan dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili. Dasar pendapat mereka adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang meninggalkan kewajiban mengqadha‘ puasa hingga Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar‘i seperti orang yang menyengaja tidak puasa di bulan Ramadhan. Karena itu wajib mengqadha‘ serta membayar kaffarah (bentuknya Fidyah).
Sebagian lagi mengatakan bahwa cukup mengqadha‘ saja tanpa membayar kaffarah. Pendapat ini didukung oleh Mazhab Hanafi, Al-Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha‘i. Menurut mereka tidak boleh mengqiyas seperti yang dilakukan oleh pendukung pendapat di atas. Jadi tidak perlu membayar kaffarah dan cukup mengqadha‘ saja.
* * *
2. Fidyah
Fidyah adalah memberi makan kepada satu orang fakir miskin sebagai ganti dari tidak berpuasa. Fidyah itu berbentuk memberi makan sebesar satu mud sesuai dengan mud nabi. Ukuran makan itu bila dikira-kira adalah sebanyak dua tapak tangan nabi SAW. Sedangkan kualitas jenis makanannya sesuai dengan kebiasaan makannya sendiri.
Yang diwajibkan membayar fidyah adalah :
1. Orang yang sakit dan secara umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi.
2. Orang tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi berpuasa.
3. Wanita yang hamil dan menyusui apabila ketika tidak puasa mengakhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya itu. Mereka itu wajib membayar fidyah saja menurut sebagian ulama, namu menurut Imam Syafi‘i selain wajib membayar fidyah juga wajib mengqadha‘ puasanya. Sedangkan menurut pendapat lain, tidak membayar fidyah tetapi cukup mengqadha‘.
4. Orang yang menunda kewajiban mengqadha‘ puasa Ramadhan tanpa uzur syar‘i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang. Mereka wajib mengqadha‘nya sekaligus membayar fidyah.
Ukuran Fidyah
Sebagian ulama seperti Imam As-Syafi‘i dan Imam Malik menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan ukuran mud Nabi SAW.
Sebagian lagi seperti Abu Hanifah mengatakan dua mud gandum dengan ukuran mud Rasulullah SAW atau setara dengan setengah sha‘ kurma ata tepung atau setara dengan memberi makan siang dan makan malam hingga kenyang.
Bila diukur dengan ukuran zaman sekarang ini, satu mud itu setara dengan 675 gram atau 0,688 liter. Sedangkan 1 sha` setara dengan 4 mud . Bila ditimbang, 1 sha` itu beratnya kira-kira 2.176 gram. Bila diukur volumenya, 1 sha` setara dengan 2,75 liter. Lihat Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 1 halaman 143.
Bila Fidyah Belum Dibayarkan Hingga Ramadhan Berikutnya
Kewajiban membayar fidyah harus dibayarkan sebelum masuk bulan Ramadhan tahun berikutnya. Tapi bila sampai Ramadhan tahun berikutnya belum dibayarkan juga, maka sebagian ulama mengatakan bahwa fidyah itu menjadi berlipat. Artinya harus dibayarkan dua kali, satu untuk tahun lalu dan satu lagi untuk tahun ini.
Demikian pendapat Imam As-Syafi‘i. Menurut beliau kewajiban membayar fidyah itu adalah hak maliyah (harta) bagi orang miskin. Jadi jumlahnya akan terus bertambah selama belum dibayarkan. Namun ulama lain tidak sependapat dengan pendapat As-Syafi‘i ini. Seperti Abu Hanifah, beliau mengatakan bahwa fidyah itu cukup dibayarkan sekali saja meski telat dalam membayarnya.
* * *
3. Kaffarah
Kaffarah adalah tebusan yang wajib dilakukan karena melanggar kehormatan bulan Ramadhan. Yang mewajibkan seseorang membayar kaffarah adalah :
a. Berhubungan seksual siang hari bulan Ramadhan.
Para fuqoha telah bersepakat bahwa siapa yang melakukan perbuatan tersebut, wajib membayar kaffarah.
Dari Abi Hurairah ra, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata,”Celaka aku ya Rasulullah”. “Apa yang membuatmu celaka ? “. Aku berhubungan seksual dengan istriku di bulan Ramadhan”. Nabi bertanya,”Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak ? “. “Aku tidak punya”. “Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut ?”.”Tidak”. “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin ? “.”Tidak”. Kemudian duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekjeranjang kurma maka Nabi berkata,”Ambilah kurma ini untuk kamu sedekahkan”. Orang itu menjawab lagi,”Adakah orang yang lebih miskin dariku ? Tidak lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku”. Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda,”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu”.(HR. Bukhari : 1936, Muslim : 1111, Abu Daud 2390, Tirmizy 724, An-Nasai 3115 dan Ibnu Majah 1671)
Adapun batasan hubungan seksual itu adalah bila terjadi persentuhan dua kelamin meski tidak sampai penetrasi atau tidak keluar mani. Hal itu tetap dihitung hubungan seksual yang membatalkan puasa sekaigus mewajibkan membayar kaffarat.
b. Makan dan minum secara sengaja tanpa uzur.
Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Ast-Tsauri. Namun fuqoha lainnya seperti imam As-syafi‘i, Imam Ahmad bin Hanbal serta Ahluz-Zahir mengatakan bahwa makan minum secara sengaja hanya mewajibkan qadha‘ dan tidak perlu membayar kaffarah. Yang mewajibkan bayar kaffarah hanya bila berhubungan seksual suami istri di siang hari bulan Ramadhan. Denda kaffarah itu ada tiga macam, yaitu
1. Memerdekakan budak
2. Puasa 2 bulan berturut-turut
Kewajiban puasa ini adalah sebagai kaffarah dari dirusaknya kehormatan bulan Ramadhan. Selain wajib mengganti hari yang dirusaknya itu dengan puasa di hari lain, ada kewajiban berpuasa 2 bulan berturut-turut sesuai dengan hitungan bulan qamariyah. Syarat untuk berturut-turut ini menjadi berat karena manakala ada satu hari saja di dalamnya dimana dia libur tidak puasa, maka wajib baginya untuk mengulangi lagi dari awal. Bahkan meski hari yang ditinggalkannya sudah sampai pada hitungan hari yang paling akhir dari 2 bulan berturut-turut.
3. Memberi makan 60 fakir miskin
Pilihan ini adalah pilihan terakhir ketika seseorang secara nyata tidak mampu melakukan kedua hal di atas. Maka wajiblah memberi makan 60 orang fakir miskin sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW.
Yang Wajib Membayar Kaffarah
Para fuqoha berbeda pandangan dalam hal ini. Sebagian mengatakan bahwa kewajiban membayar kaffar ini hanya dibebankan kepada laki-laki saja dan bukan pada istrinya, meski mereka melakukannya berdua, tetapi pelakunya tetap saja jatuh pada laki-laki, karena biar bagaimanapun. Karena laki-laki yang menentukan terjadi tidaknya hubungan seksual.
Pendapat ini didukung oleh Imam Asy-Syafi‘i dan Ahli Zahir. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits tentang laki-laki yang melapor kepada Rasulullah SAW bahwa dirinya telah melakukan hubungan suami istri di bulan Ramadhan. Saat itu Rasulullah SAW hanya memerintahkan suami saja untuk membayar kaffarah tanpa menyinggung sama sekali kewajiban membayar bagi istrinya.
Namun sebagian fuqoha lainnya berpendapat bahwa kewajiban membayar kaffarah itu berlaku bagi masing-masing suami istri. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dan lainnya. Sedangkan dalil yang merka gunakan adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan kewajiban suami kepada kewajiban istri pula.
Hubungan Seksual
Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Imam Abu Hanifah dan Imam As-Syafi‘i berpendapat bahwa bila lupa maka dimaafkan dan tidak perlu mengqadha‘ juga tidak perlu membayar kaffarah. Namun Imam Malik berpendapat wajib mengqadha‘ saja tanpa membayar kaffarah. Sedangkan Imam Ahmad dan Ahliz Zahir berpendapat bahwa wajib mengqadha‘ dan wajib pula membayar kaffarah.
Pilihan Jenis Kaffarah
Sebagian ulama berpendapat bahwa kafarah itu harus dikerjakan sesuai dengan urutannya, bukan atas dasar pilihan mana yang paling dia sukai. Jadi yang pertama adalah kewajiban memerdekakan budak. Hal ini sesuai dengan hadits tentang orang yang berhubungan dengan istrinya pada bulan Ramadhan, dimana Rasulullah SAW memerintahkan pertama sekali adalah untuk memerdekakan budak. Ketika dia tidak mampu karena miskin, maka Rasulullah SAW memerintahkan pilihan kedua lalu pilihan ketiga. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah dan Imam As-Syafi‘i serta ulama Kufiyyin. Namun Imam Malik berpendapat bahwa ketiga bentuk kaffarah itu sifatnya pilihan. Silahkan memilih mana yang paling diinginkan untuk melaksanakannya.
Hubungan Suami Istri Berulang-ulang
Para fuqoha sepakat bila melakukan hubungan suami istri berkali-kali dalam satu hari di bulan Ramadhan, maka kewajiban membayar kaffarahnya hanya satu kali saja. Namun bila pengulangan itu dilakukan di hari yang berbeda dan belum membayar kaffarah, maka ada beberapa pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa wajib membayar kaffarah sebanyak hari melakukan hubungan itu. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi‘i.
Pendapat kedua mengatakan bahwa hanya wajib sekali saja membayar kaffarahnya selama dia belum membayar untuk hari sebelumnya itu. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan jamaahnya.
Hal-hal Yang Disunnahkan Dalam Berpuasa
Diantara bentuk ibadah atau pekerjaan yang disunnahkan dalam berpuasa adalah sebagai berikut :
1. Makan sahur dengan mengakhirkannya
Para ulama telah sepakat tentang sunnahnya sahur untuk puasa. Meski demiian, tanpa sahur pun puasa tetap boleh.
Dari Anas ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Makan Sahurlah, karena sahur itu barakah”. (HR Bukhori 1923 dan Muslim 1095) .
Dasarnya lainnya adalah hadits beriut ini dengan sanad jayyid.
Dari al-Miqdam bin Ma‘dikarb dari Nabi SAW. Bersbda, Hendaklah kamu makan sahur karena sahur itu makanan yang diberkati.(HR. An-Nasa‘i : 4/146).
Makan sahur itu menjadi barakah karena salah satunya berfungsi untuk mempersiapkan tubuh yang tidak akan menerima makan dan minum sehari penuh. Selain itu, meski secara langsung tidak berkaitan dengan penguatan tubuh, tetapi sahur itu tetap sunnah dan mengandung keberkahan. Misalnya buat mereka yang terlambat bangun hingga mendekati waktu subuh. Tidak tersisa waktu kecuali beberapa menit saja. Maka tetap disunahkan sahur meski hanya dengan segelas air putih saja. Karena dalam sahur itu ada barakah.
Dari Abi Said al-Khudri RA. “ Sahur itu barakah maka jangan tinggalkan meski hanya dengan seteguk air. Sesungguhnya alah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur. (HR Ahmad : 3:12)
Disunahkan untuk mengakhirkan makan sahur hingga mendekati waktu shubuh.
Dari Abu Zar Al-Ghifari ra. dengan riwayat marfu`,”Umatku masih dalam kebaikan selama mendahulukan buka puasa dan mengakhirkan sahur.(HR. Ahmad : 1/547)”
Di dalam sanad hadits ini adalah Sulaiman bin Abi Utsman yang majhul.
2. Berbuka dengan menyegerakannya
Disunnahkan dalam berbuka puasa untuk menta‘jil atau menyegerakan berbuka sebelum shalat Maghrib. Meski hanya dengan seteguk air atau sebutir kurma.
Dari Sahl bin Saad bahwa Nabi SAW bersabda,”Umatku masih dalam kebaikan selama mendahulukan berbuka.”(HR. Bukhari 1957 dan Muslim 1058)
Dari Anas RA. Berkata bahwa Rasulullah SAW berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat. Bila tidak ada maka dengan kurma. Bila tidak ada maka dengan minum air. (HR. Abu Daud, Hakim dan Tirmizy)
3. Berdoa ketika berbuka
Disunnahkan membaca do‘a yang ma‘tsur dari Rasulullah SAW ketika berbuka puasa. Karena do‘a orang yang puasa dan berbuka termasuk doa yang tidak tertolak.
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Bagi orang yang berpuasa ketika sedang berbuka ada doa yang tak akan ditolak. Tiga orang yang tidak tertolak doanya : Orang puasa hingga berbuka, imam yang adil dan orang yang dizhalimi. (HR. Tirmidzy)
Sedangkan teks doa yang diajarkan Rasulullah SAW antara lain : “Ya Allah, kepada Engkaulah aku berpuasa dan dengan rizki dari-Mu aku berbuka". Doa ini didasarkan oleh sebuah hadits mursal riwayat Abu Daud dan Al-Baihaqy. “Telah hilang haus dan telah basah tenggorakan dan telah pasti balasan Insya Allah.” Lafaz doa ini didasarkan atas hadits Abu Daud 2358 dan An-Nasa`i 3329 serta Al-Hakim : 1/422)
4. Memberi makan orang berbuka
Memberi makan saat berbuka bagi orang yang berpuasa sangat dianjurkan karena balasannya sangat besar sebesar pahala orang yang diberi makan itu tanpa dikurangi. Bahkan meski hanya mampu memberi sabutir kurma atau seteguk air putih saja. Tapi lebih utama bila dapat memberi makanan yang cuup dan bisa mengenyangkan perutnya.
Sabda Rasulullah SAW : Siapa yang memberi makan (saat berbuka) untuk orang yang puasa, maka dia mendapat pahala seperti pahala orang yang diberi makannya itu tanpa dikurangi sedikitpun dari pahalanya. (HR At-Tirmizy, An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaemah).
5. Mandi
Disunnahkan untuk mandi baik dari janabah, haidh atau nifas sebelum masuk waktu fajar. Agar berada dalam kondisi suci saat melakukan puasa dan terlepas dari khilaf Abu Hurairah yang mengatakan bahwa orang yang berhadats besar tidak syah puasanya. Meski demikian, menurut jumhur ulama apabila seseorang sedang mengalami junub dan belum sempat mandi, padahal waktu subuh sudah masuk, maka puasanya syah. Adalah Rasulullah SAW pernah masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena jima‘ bukan karena mimpi, kemudian beliau mandi dan berpuasa.
6. Menjaga lidah dan anggota tubuh
Disunnahkan untuk meninggalkan semua perkataan kotor dan keji serta perkataan yang membawa kepada kefasikan dan kejahatan. Termasuk di dalamnya adalah ghibah (bergunjing), namimah (menagdu domba), dusta dan kebohongan. Meski tidak sampai membatalkan puasanya, namun pahalanya hilang di sisi Allah SWT. Sedangkan perbuatan itu sendiri hukumnya haram baik dalam bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan
Sabda Rasulullah SAW : Siapa yang tidak meninggalkan perkataan kotor dan perbuatannya, maka Allah tidak butuh dia untuk meninggalkan makan minumnya (puasanya). (HR Bukhari, Abu Daud, At-Tirmizy, An-Nasai, Ibnu Majah)
Apabila kamu berpuasa, maka jangan berkata keji dan kotor. Bila ada orang mencacinya atau memeranginya, maka hendaklah dia berkata,”Sungguh aku sedang puasa.” Mengatakan aku sedang puasa dilakukan bila saat itu sedang puasa Ramadhan yang hukumya wajib. Tetapi bila saat itu sedang puasa sunnah, maka tidak perlu mengatakan sedang puasa agar tidak menjadi riya‘. Karena itu cukup dia menahan diri dan mengatakannya dalam hati.
7. Meninggalkan nafsu/syahwat
Ada nafsu dan syahawat tertentu yang tidak sampai membatalkan puasa, seperti menikmati wewangian, melihat sesuatu yang menyenangkan dan halal, mendengarkan dan meraba. Meski pada dasarnya tidak membatalkan puasa selama dalam koridor syar‘i, namun disunnahkan untuk meninggalkannya. Seperti bercumbu antara suami istri selama tidak keluar mani atau tidak melakukan hubungan seksual, sesungguhnya tidak membatalkan puasa. Tetapi sebaiknya hal itu ditinggalkan untuk mendapatkan keutamaan puasa.
8. Memperbanyak shadaqah
Termasuk diantaranya adalah memberi keluasan belanja pada keluarga, berbuat ihsan kepada famili dan kerabat serta memperbanyak shadaqah. Adalah Rasulullah SAW orang yang paling bagus dalam kebajikan. Dan menjadi paling baik saat bulan Ramadhan ketika Jibril as. mendatanginya. Adapun hikmah yang bisa di dapat dari perbuatan ini adalah membesarkan hati kaum muslimin serta memberikan kegembiraan pada mereka sebagai dorongan untuk beribadah kepada Allah SWT.
9. Menyibukkan diri dengan ilmu dan tilawah
Disunnahkan untuk memperbanyak mendalami ilmu serta membaca Al-Quran, shalawat pada Nabi dan zikir-zikir baik pada siang hari atau malam hari puasa, tergantung luangnya waktu untuk melakukannya. Jibril as. mendatangi Rasulullah SAW pada tiap malam bulan Ramadhan dan mengajarkannya Al-Qur’an.
10. Beri‘tikaf
Disunnahkan untuk beri‘tikaf terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Salah satunya untuk mendapatkan pahala lailatul qadar yang menurut Rasulullah SAW ada pada malam-malam 10 terakhir bulan Ramadhan.
Aisyah RA berkata,”Bila telah memasuki 10 malam terakhir bulan Ramadhan, Nabi SAW menghidupkan malam, membangunkan keluarganya (istrinya) dan meninggalkan istrinya (tidak berhubungan suami istri).
Juga disunnahkan untuk membaca pada lailatul qadar doa berikut : Ya Allah, Sungguh Engkau mencintai maaf maka maafkanlah aku.
Puasa Yang Makruh dan Haram
Ada beberapa bentuk ibadah puasa pada waktu tertentu yang hukumnya haram dilakukan, baik karena waktunya atau karena kondisi pelakunya.
1. Hari Raya Idul Fithri
Tanggal 1 Syawwal telah ditetapkan sebagai hari raya sakral umat Islam. Hari itu adalah hari kemenangan yang harus dirayakan dengan bergembira. Karena itu syariat telah mengatur bahwa di hari itu tidak diperkenankan seseorang untuk berpuasa sampai pada tingkat haram. Meski tidak ada yang bisa dimakan, paling tidak harus membatalkan puasanya atau tidak berniat untuk puasa.
2. Hari Raya Idul Adha
Hal yang sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya kedua bagi umat Islam. Hari itu diharamkan untuk berpuasa dan umat Islam disunnahkan untuk menyembelih hewan Qurban dan membagikannya kepada fakir msikin dan kerabat serta keluarga. Agar semuanya bisa ikut merasakan kegembiraan dengan menyantap hewan qurban itu dan merayakan hari besar.
3. Hari Tasyrik
Hari tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah. Pada tiga hari itu umat Islam masih dalam suasana perayaan hari Raya Idul Adha sehingga masih diharamkan untuk berpuasa. Namun sebagian pendapat mengatakan bahwa hukumnya makruh, bukan haram. Apalagi mengingat masih ada kemungkinan orang yang tidak mampu membayar dam haji untuk puasa 3 hari selama dalam ibadah haji.
4. Puasa sehari saja pada hari Jumat
Puasa ini haram hukumnya bila tanpa didahului dengan hari sebelum atau sesudahnya. Kecuali ada kaitannya dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa sunah nabi Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Maka bila jatuh hari Jumat giliran untuk puasa, boleh berpuasa. Sebagian ulama tidak sampai mengharamkannya secara mutlak, namun hanya sampai makruh saja.
5. Puasa sunnah pada paruh kedua bulan Sya‘ban
Puasa ini mulai tanggal 15 Sya‘ban hingga akhir bulan Sya‘ban. Namun bila puasa bulan Sya‘ban sebulan penuh, justru merupakan sunnah. Sedangkan puasa wajib seperti qadha‘ puasa Ramadhan wajib dilakukan bila memang hanya tersisa hari-hari itu saja. Sebagian ulama tidak mengharamkan melainkan hanya memakruhkan saja.
6. Puasa pada hari Syak
Hari syah adalah tanggal 30 Sya‘ban bila orang-orang ragu tentang awal bulan Ramadhan karena hilal (bulan) tidak terlihat. Saat itu tidak ada kejelasan apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum. Ketidak-jelasan ini disebut syak. Dan secara syar‘i umat Islam dilarang berpuasa pada hari itu. Namun ada juga yang berpendapat tidak mengharamkan tapi hanya memakruhkannya saja.
7. Puasa Selamanya
Diharamkan bagi seseorang untuk berpuasa terus setiap hari. Meski dia sanggup untuk mengerjakannya karena memang tubuhnya kuat. Tetapi secara syar‘i puasa seperti itu dilarang oleh Islam. Bagi mereka yang ingin banyak puasa, Rasulullah SAW menyarankan untuk berpuasa seperti puasa Nabi Daud as yaitu sehari puasa dan sehari berbuka.
8. Wanita haidh atau nifas
Wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas diharamkan mengerjakan puasa. Karena kondisi tubuhnya sedang dalam keadaan tidak suci dari hadats besar. Apabila tetap melakukan puasa, maka berdosa hukumnya. Bukan berarti mereka boleh bebas makan dan minum sepuasnya. Tetapi harus menjaga kehormatan bulan Ramadhan dan kewajiban menggantinya di hari lain.
9. Puasa sunnah bagi wanita tanpa izin suaminya
Seorang istri bila akan mengerjakan puasa sunnah, maka harus meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Bila mendapatkan izin, maka boleh lah dia berpuasa. Sedangkan bila tidak diizinkan tetapi tetap puasa, maka puasanya haram secara syar‘i.
Dalam kondisi itu suami berhak untuk memaksanya berbuka puasa. Kecuali bila telah mengetahui bahwa suaminya dalam kondisi tidak membutuhkannya. Misalnya ketika suami bepergian atau dalam keadaan ihram haji atau umrah atau sedang beri‘tikaf. Sabda Rasulullah SAW Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa tanpa izin suaminya sedangkan suaminya ada dihadapannya. Karena hak suami itu wajib ditunaikan dan merupakan fardhu bagi istri, sedangkan puasa itu hukumnya sunnah. Kewajiban tidak boleh ditinggalkan untuk mengejar yang sunnah.
Puasa Yang Disunnahkan
1. Puasa Daud
Bentuknya adalah puasa sehari dan berbuka sehari. Puasa ini termasuk puasa sunnah yang paling afdhal (utama) dibandingkan dengan puasa-puasa sunnah lainnya berdasarkan sabda nabi SAW :
Shalat (sunnah) yang paling dicintai oleh Allah adalah shalat (seperti) Nabi Daud as. Dan puasa (sunnah) yang paling dicintai Allah adalah puasa (seperti) Nabi Daud as. Beliau tidur separuh malam, lalu shalat 1/3-nya dan tidur 1/6-nya lagi. Beliau puasa sehari dan berbuka sehari.
Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Puasalah sehari dan berbukalah sehari. Itu adalah puasanya nabi Daud as dan itu adalah puasa yang paling utama. Aku menjawab,"Aku mampu lebih dari itu". Nabi SAW bersabda,"Tidak ada lagi yang lebih utama dari itu". (HR Bukhari - Shahih Bukhori Juz 2 halaman 697 hadits nomor 1875)
2. Puasa Asyura dan Tasu`a.
Yaitu puasa pada hari kesepuluh dan kesembilan bulan Muharram, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW berikut ini :
Dari Humaid bin Abdir Rahman, ia mendengar Muawiyah bin Abi Sufyan RA berkata:"Wahai penduduk Madinah, dimana ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Ini hari Assyura, dan Alloh tidak mewajibkan shaum kepada kalian di hari itu, sedangkan saya shaum, maka siapa yang mau shaum hendaklah ia shaum dan siapa yang mau berbuka hendaklah ia berbuka"(HR Bukhori 2003)
Juga ada hadits lainnya berikut ini :
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ عَاشُورَاءَ ، فَقَالَ : مَا هَذَا ؟ قَالُوا : يَوْمٌ صَالِحٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِي إسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى ، فَقَالَ : أَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ ، فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: ketika Rasulullah SAW tiba di kota Madinah dan melihat orang-orang Yahudi sedang melaksanakan shaum assyuraa, beliau pun bertanya,"apa ini?". Mereka menjawab:"Ini hari baik, hari di mana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka lalu Musa shaum pada hari itu. Maka Rasulullah SAW menjawab: Aku lebih berhak terhadap Musa dari kalian, maka beliau shaum pada hari itu dan memerintahkan untuk melaksanakan shaum tersebut. (HR Bukhari 2004)
وَعَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ ؛ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ ؛ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ : مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
Dari Aisyah ra berkata,"Hari Asyura' adalah hari yang orang Quraisy Jahiliyah berpuasa di hari itu. Dan Rasulullah SAW berpuasa hari juga di hari itu. Ketika hijrah ke Madinah, beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa di hari itu. Namun ketika puasa Ramadhan diwajibkan, beliau bersabda,"Siapa yang mau silahkan puasa hari Asyura'. Siapa yang mau silahkan tinggalkan saja".
وَعَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : { إنَّ هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ صِيَامُهُ وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ صَامَ ، وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ
Dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan ra berkata,"Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,"Hari ini hari Asyura'. Namun tidak diwajibkan atas kalian untuk berpuasa. Siapa yang mau silahkan puasa, siapa yang tidak mau silahkan tidak berpuasa". (HR. Muttafaqun 'alihi)
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: pada saat Rasulullah SAW melaksanakan shaum Assyura dan memerintah para sahabat untuk melaksanakannnya, mereka berkata: Wahai Rasulullah hari tersebut (assyura) adalah hari yang diagung-agungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani. Maka Rasulullah SAW bersabda: Insya Allah jika sampai tahun yang akan datang aku akan shaum pada hari kesembilannya?. Ibnu Abbas berkata: Rasulullah SAW meninggal sebelum sampai tahun berikutnya (HR Muslim 1134)
Rasulullah SAW bersabda: Shaumlah kalian pada hari assyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Shaumlah kalian sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya? (HR Thahawy dan Baihaqy serta Ibnu Huzaimah 2095)
Adapun keutamaan shaum tersebut sebagaimana diriwayatkan dalam hadits dari Abu Qatadah, bahwa shaum tersebut bisa menghapus dosa-dosa kita selama setahun yang telah lalu (HR Muslim 2/819)
Imam Nawawy ketika menjelaskan hadits di atas beliau berkata: Yang dimaksud dengan kafaraoh dosa adalah penghapus dosa-dosa kecil, akan tetapi jika orang tersebut tidak memiliki dosa-dosa kecil diharapkan dengan shaum tersebut dosa-dosa besarnya diringankan, dan jika ia pun tidak memiliki dosa-dosa besar, Allah akan mengangkat derajat orang tersebut di sisi-Nya.
3. Puasa Hari Arafah dan Tarwiyah
Puasa Arafah yaitu puasa pada tanggal 9 bulan Zul-Hijjah, sedangkan puasa tarwiyah adalah puasa pada tanggal 8 bulan Zul-Hijjah. Puasa sunnah itu berdasarkan dalil berikut :
Puasa hari Arafah itu -ahtasibu alallah- bahwa dia itu menggugurkan dosa setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya (HR. Muslim)
Sedangkan dalil puasa 8 hari bulan Zulhijjah adalah sebagai berikut :
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ : أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صِيَامُ عَاشُورَاءَ ، وَالْعَشْرِ ، وَثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَالرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ - رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ
Dari Hafshah ra berkata,"Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah SAW: [1] Puasa hari Asyura, [2] Puasa 1-8 zulhijjah, [3] 3 hari tiap bulan dan [4] dua rakaat sebelum fajar". (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai).
وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً ، وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً } رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا الْبُخَارِيَّ وَالتِّرْمِذِيَّ
Dari Abi Qatadah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Puasa hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun, yaitu tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya. Puasa Asyura' menghapuskan dosa tahun sebelumnya. (HR. Jamaah kecuali Bukhari dan Tirmizy)
Dari Ibni Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidak ada amal yang lebih dicintai Allah dari hari ini, (yaitu 10 hari bulan Zulhijjah). Mereka bertanya,Ya Rasulullah SAW, dibandingkan dengan jihad fi sabilillah?. Meskipun dibandingkan dengan jihad fi sabililllah. (HR. Jamaah keculai muslim dan Nasai Lihat Nailul Authar : 3/312).
Tidak ada hari dimana Allah SWT membebaskan hamba-Nya dari api neraka dibandingkan hari lain kecuali pada hari Arafah. (HR. Muslim).
4. Puasa 6 Hari Pada Bulan Syawwal
Ketentuan tentang masyru`iyah puasa sebanyak 6 hari di bulan syawwal didasarkan pada Rasulullah SAW yang shahih riwayat Imam Muslim.
عَنْ أَيُّوبَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَذَاكَ صِيَامُ الدَّهْرِ رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا الْبُخَارِيَّ وَالنَّسَائِيُّ
Dari Ayyub Al-Anshari ra bahwa orang yang puasa ramadhan lalu dilanjutkan dengan puasa 6 hari Syawwal, maka seperti orang yang berpuasa setahun (HR. Muslim).
Juga ada hadits lainnya yang juga menguatkan masyru'iyah puasa syawwal, yaitu hadits Tsauban berikut ini :
وَعَنْ ثَوْبَانَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَسِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ ، مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا - رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ
Dari Tsauban ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Puasa ramadhan pahalanya seperti puasa 10 bulan. Dan puasa 6 hari setelahnya (syawwal) pahalanya sama degan puasa 2 bulan. Dan keduanya itu genap setahun). (HR. Ibnu Majah)
Sebagian kalangan Al-Hanafiyah tidak menganggapnya sunnah dan merupakan pendapat menyendiri dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah. Diriwayatkan bahwa Al-Imam Abu Hanifah menghukumi karahah puasa 6 hari syawwal baik berturut-turut maupun tidak berturutan. Sedangkan Abu Yusuf, salah seorang ulama dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa karahahnya hanyalah bila puasa 6 hari syawwal itu dilakukan dengan cara berturut-turut. Sedangkan bila dilakukan dengan tidak berturut-turut, maka tidak makruh.
Namun para ulama Al-Hanafiyah dari kalangan mutaakhirin tidak berpendapat sebagaimana pendapat Al-Imam Abu Hanifah. Mereka sebagaimana pendapat dari mazhab lainnya menyatakan bahwa puasa 6 hari di bulan syawwal itu memang hukumnya sunnah.
Sedangkan jumhur fuqaha (mayoritas ulama fiqih) baik dari kalangan Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah mapun Al-Hanabilah semua sepakat mengatakan bahwa puasa 6 hari di bulan Sawwal itu hukumnya sunnah. Meskipun mereka berbeda pendapat tentang cara melakukannya.
Haruskah dilakukan berturut-turut atau tidak ?
a. Asy-Syafi'iyah dan sebagian Al-Hanabilah
Al-Imam Asy-Syafi'i dan sebagian fuqaha Al-Hanabilah mengatakan bahwa afdhalnya puasa 6 hari Syawwal itu dilakukan secarar berturut-turut selepas hari raya Iedul fithri. Yaitu tanggal 2 hingga tanggal 7 Syawwal. Dengan alasan agar jangan sampai timbul halangan bila ditunda-tunda.
b. Mazhab Al-Hanabilah
Tetapi kalangan resmi mazhab Al-Hanabilah tidak membedakan apakah harus berturut-turut atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh dari segi keutamaan. Dan mereka mengatakan bahwa puasa 6 hari syawwal ini hukumnya tidak mustahab bila yang melakukannya adalah orang yang tidak puasa bulan ramadhan.
c. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan kalangan Al-Hanafiyah yang mendukung kesunnahan puasa 6 hari syawwal mengatakan bahwa lebih utama bila dilakukan dengan tidak berturut-turut. Mereka menyarankan agar dikerjakan 2 hari dalam satu minggu.
d. mazhab Al-Malikiyah
Adapun kalangan fuqaha Al-Malikiyah justru mengatakan bahwa puasa itu menjadi makruh bila dikerjakan bergandengan langsung dengan bulan ramadhan. Yaitu bila langsung dikerjakan mulai pada tanggal2 syawwal selepas hari ?Iedul fithri. Bahkan mereka mengatakan bahwa puasa 6 hari itu juga disunnahkan di luar bulan syawwal, seperti 6 hari pada bulan Zulhijjah.
5. Puasa Ayyamul Biidh
Yaitu puasa pada tanggal 13, 14 dan 15 bulan-bulan hijriyah (qamariyah). Berdasarkan dalil berikut ini :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا أَبَا ذَرٍّ إذَا صُمْتَ مِنْ الشَّهْرِ ثَلَاثَةً فَصُمْ ثَلَاثَ عَشَرَةَ وَأَرْبَعَ عَشَرَةَ وَخَمْسَ عَشَرَةَ- رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ وَالتِّرْمِذِيُّ
Dari Abu Zar Al-Ghifari ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai Aba Zarr, bila kamu puasa tiga hari dalam sebulan, maka puasalah pada tanggal 13, 14 dan 15. (HR. An-Nasai, At-Tirmizy dan Ibnu Hibban)
وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ثَلَاثٌ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَمَضَانُ إلَى رَمَضَانَ فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ- رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُد
Dari Qatadah bin Milhan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk puasa pada hari-hari putih (ayyamul biidh), yaitu tanggal 13, 14 dan 15. Puasa di hari-hari itu seperti puasa selamanya. (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud)
6. Puasa Senin Kamis
Ketentuan tentang masyru‘iyah puasa senin kamis didasarkan pada hadits yang di dalamnya ada komentar Rasulullah SAW, yaitu pada hari senin dan kamis diserahkannya amal manusia.
"Sesungguhnya amal manusia itu diperlihatkan/dilaporkan setiap hari Senin dan Kamis. Lalu Allah mengampuni setiap muslim atau setiap mukimin, kecuali metahajirin. Beliau berkata,akhir dari keduayan (HR. Ahmad dengan sanad shahih).
Rasulullah SAW juga ditanya tentang puasa hari Senin. Beliau menjawab,"Itu hari kelahiranku dan diturunkan wahyu". (HR. Muslim dan Ahmad) .
7. Puasa bulan Sya`ban
Rasulullah saw paling banyak puasa Sunnah di bulan Sya`ban, beliau mencontohkan langsung kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di bulan Syaban, sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah ra berkata: Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Syaban (HR Muslim).
Bulan Sya`ban adalah bulan dimana amal shalih diangkat ke langit. Rasulullah SAW bersabda:
Dari Usamah bin Zaid berkata: Saya bertanya: Wahai Rasulullah saw, saya tidak melihat engkau puasa disuatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya`ban. Rasul saw bersabda,"Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa (Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai dan Ibnu Huzaimah)
Namun, ada hadits lain yang melarang puasa Sya`ban jika sudah masuk setengah bulan menuju Ramadhan. Kecuali yang biasa puasa Senin Kamis. Jadi pada prinsipnya dianjurkan memperbanyak puasa di bulan Sya`ban tapi jangan disamakan dengan bulan Ramadhan.
Sumber : Kampus Syariah
Ust.Ahmad Sarwat.LC
No comments:
Post a Comment