Robohnya Surau Kami

Krisis Ulama di Serambi Makkah
Selagi ada ketakutan kehilangan sesuatu yang dicintai, maka sulit untuk mewujudkan harapan itu




Padang-Ranah Minang, khususnya di Padang Panjang terjadi krisis ulama. Padahal, disinilah gudang dan tempat lahirnya ulama-ulama besar, seperti Buya Hamka, Rahmah El Yunusiyyah, Zainuddin Labay El Yunusy, termasuk Imam Zarkasyi (pendiri Gontor-Ponorogo) yang belajar di Perguruan Thawalib-Padang Panjang.

Di kota Serambi Makkah ini pula, muncul pejuang syariat Islam Haji Miskin dibantu Haji Piobang dan Haji Sumanik. Mereka dikenal sebagai Laskar Kaum Paderi.

Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengatakan, Ranah Minang dulu dikenal sebagai gudang ulama, banyak ulama besar yang menimba ilmu di Kota Serambi Makkah ini.

Sebut saja, Imam Zarkasyi, pendiri Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Ketika itu, beliau belajar di Perguruan Thawalib, Padang Panjang Sumatera Barat. Setelah khatam, Imam Zarkasyi pun memindahkan “Thawalib” ke Gontor yang dikenal hingga seluruh Nusantara.

“Surau yang dulu menjadi simbol kekuatan pendidikan Islam kini seolah runtuh. Namun orang awak sendiri membantahnya: tidak runtuh, masih ada sisa-sisanya.

Meminjam Novel AA Navis, ‘Robohnya Surau Kami’ sepertinya menjadi sindiran, bahwa slogan Adat Basandi Syara dan Syara basandikan Kitabullah telah mengalami pergeseran,” ujar Din yang juga Ketua Umum PP Muhammadiyah.

Padang Panjang yang dulu dikenal sebagai gudangnya ulama, kini seakan ditelan zaman. Kenapa Padang Panjang terjadi krisis ulama?

Menurut Pimpinan Pesantren Modern Perguruan Diniyyan Putri, Fauziah Fauzan, boleh jadi ada pergeseran budaya yang begitu kuatnya. Walaupun ada semboyan adat basandi syara dan syara basandi kitabullah, tapi dalam implementasinya, tidak sepenuhnya berjalan.

“Kenapa krisis ulama? Karena lembaga yang mencetak ulama itu juga mengalami penurunan,” tukas Ibu Zizi, begitu beliau akrab disapa.

Lalu kenapa sulit mencetak ulama sekaliber Buya Hamka?

“Selagi ulamanya hubbudun ya (cinta dunia) tak akan bisa melahirkan ulama yang betul-betul ulama. Selagi ada ketakutan kehilangan sesuatu yang dicintai, maka sulit untuk mewujudkan harapan itu.

“Selagi belum bisa mengikuti jejak Nabi Ibrahim dan Ismail mustahil mencetak ulama yang betul-betul warasatun anbiya (pewaris Nabi). Itulah karenanya, para pewaris Nabi harus siap kehilangan orang yang paling dekat dan dicintai. Setidaknya, ini yang perlu kita tanamkan kepada generasi sekarang,” kata Zizi.

Menurut Zizi, kita perlu mendefinisikan kembali makna ulama. Ulama itu siapa? Jangan orang tamat pendidikan agama, ceramah kesana-kemari sudah dikategorikan ulama.

“Yang saya pahami, ulama sebagai pewaris Nabi harus mewarisi apa yang dilakukan seorang Nab saw. Yang jelas, seorang ulama harus merubah paradigma berpikir umat, yakni dari jahiliyah menjadi hidayah, dari yang tidak mengenal Tuhan menjadi mengenal Allah, dan berislam kaffah. Itu yang pertama.”

Kedua, ulama harus membangun peradaban, yakni dengan merubah kultur, membangun militer, politik pemerintahan. Dan ketiga, membangun ekonomi agar umat menjadi sejahtera.

Kita bisa mencontoh apa yang dilakukan walisongo. Setelah diajari bercocok tanam, membangun rumah, umat pun diajari agama. Begitu pula yang tingal di pesisir, umat diajarkan menjadi nelayan dan membuat perahu, lalu diajari agama.

“Jadi yang diajari bukan hanya ilmu agama, tapi cara hidup. Apa gunanya membaca al- Qur’an, kalau tidak bisa mendapatkan mahisah dan bagaimana memulai hidup. Apa yang terjadi sekarang adalah ‘ulama’ selalu rewel, mana honor saya sebagai penceramah. Ini menunjukkan dia hidup dari ceramah. Karena itu dia bukan ulama, hanya tukang ceramah. Inilah yang menjadi problem kita sekarang,” tutur Ibu Zizi.

Oleh ; Adhes Satria
http://sabili.co.id/index.php/200903211320/Liputan/Robohnya-Surau-Kami-1.htm

Bukan Malah Larut dalam Romantisme

Setidaknya terus mempertahankan generasi muda Minang agar tetap meramaikan surau untuk mengaji

Padang-Hal lain juga diungkapkan Sekretaris Pesantren Terpadu Serambi Mekkah, Ustadz Irwandi, betapa krisis ulama terjadi karena banyak luluan pesantren, begitu masuk IAIN, santri mulai kerasukan virus liberal.

“Kita prihatin, jika ada fenomena, orang tua mulai banyak yang memasukkan anaknya ke sekolah Kristen dengan alasan sarana-prasarananya memadai. Ditambah lagi, ada pesantren di Padang Panjang (Thawalib Gunung) yang kehilangan murid alias sepi, sehingga orang tua Muslim menjadi tak berselera memasukkan anaknya ke pesantren. Mungkin karena fasilitasnya tidak mendukung. Karena itu, saya berharap Padang Panjang harus punya sekolah atau Perguruan Islam yang representative,” kata Irwandi.

Sementara itu diungkapkan Walikota Padang Panjang dr. Suir Syam, tidak benar kalau Padang Panjang tak lagi melahirkan ulama-ulama handal.

Barangkali, kawan-kawan yang lain lebih kencang larinya, seolah kita tertinggal. Nah, dengan moment ijtima’ ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III di Kota Padang Panjang ini, diharapkan bisa lebih memacu para ulama setempat untuk lebih giat belajar, dan mencetak generasi Islam di perguruan-perguruan Islam yang ada.

Sehingga muncul lagi ulama-ulama besar di Padang Panjang, seperti Buya Hamka yang lahir di Maninjau, tapi dibesarkan di Padang Panjang.

“Untuk mengembalikan Padang Panjang sebagai kotanya ulama, tergantung bagaimana lembaga pendidikan yang mencetaknya. “Bagaimana kesungguhan dan itikad baiknya,” kata Suir Syam.

Masyarakat Minang, khususnya di Kota Padang Panjang, tak cukup mengklaim “Kota Serambi Makkah” sudah sesuai dengan slogan idealnya. Sehingga, hanya larut dengan nostalgia masa lalu yang menyebut Padang Panjang pernah melahirkan ulama besar sekaliber Buya Hamka, Imam Zarkasyi, dan Rahman El Yunusiyyah.

Setidaknya ada upaya dari para pendidik, ulama, dan umara agar lebih sinergis untuk mengembalikan Padang Panjang sebagai tempat tujuan para santri belajar mendalami Islam. Paling tidak memberi motivasi, bahwa ulama besar akan muncul kembali di kota ini.

Dibutuhkan niat dan implementasi untuk melakukan perbaikan dan berbenah diri agar Padang Panjang tak sekadar histori dan nostalgia masa lalu.

Sehingga Gontor bukan satu-satunya tujuan santri belajar agama, tapi mereka bisa menjadikan Padang Panjang sebagai pilihannya. Perguruan Diniyyan Puteri, Perguruan Thawalib, Kauman Muhammadiyah bisa menjadi alternatif lahirnya ulama-ulama besar yang disegani.

Tantangan yang dihadapi ulama Minang sekarang ini adalah menjaga semboyan “Adat basandi syarak, syarak besandi kitabullah” agar tidak luntur.

Setidaknya terus mempertahankan generasi muda Minang agar tetap meramaikan surau untuk mengaji, sehingga kemaksiatan dan kristenisasi dapat terbentengi, akidah Islam pun terjaga.

Disinilah peran ulama, umara, dan masyarakat perlu bekerjasama agar Minangkabau tak kehilangan laskar-laskar Paderi yang gigih memperjuangkan syariat Islam.

http://sabili.co.id/index.php/200903211321/Liputan/Robohnya-Surau-Kami-2.htm

No comments:

Post a Comment