Masjid Raya Pekanbaru Riau Sang Pemersatu


Masjid Raya Pekanbaru sejak lama menjadi tempat sentral masyarakat Riau dalam mengomunikasikan berbagai macam hal. Isu-isu sosial, budaya, bahkan politik yang berseliweran di tengah masyarakat acap kali dibincangkan di sini. Ini menunjukkan betapa pentingnya keberadaan masjid bagi masyarakat Muslim Melayu di Riau.

Penilaian itu disampaikan Marhalim Zaini, budayawan asal Riau, terkait dengan fungsi sosial dan budaya masjid tersebut. Kenyataan bahwa Masjid Raya Pekanbaru selalu ramai dikunjungi jamaah dari berbagai daerah sepertinya tidak menampik apa yang dikatakan Marhalim.

Dalam masyarakat Melayu, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah. Tetapi, juga tempat memelihara kebudayaan dan melanggengkan hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan.

''Masjid memberi ruang yang luas bagi masyarakat untuk menjaga warisan budayanya sehingga masjid begitu dekat dengan mereka. Di Masjid Pekanbaru ini sering diselenggarakan kegiatan kesenian tradisional serta berbagai aktivitas keagamaan,'' jelas Marhalim kepada Republika .

Kuatnya peran sosial dan budaya Masjid Raya Pekanbaru itu dapat dirunut melalui perjalanan sejarahnya. Dengan mencermati aspek historisnya, tampak nilai-nilai budaya dan agama berbaur dalam satu bangunan. Nilai-nilai itu pun masih dipertahankan hingga sekarang.

Ketika pertama kali dibangun oleh Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah pada abad ke-18, tepatnya tahun 1762 M, masjid ini merupakan simbol keberlangsungan 'Tali Terpilin Tiga'. Istilah yang menggambarkan hubungan antara penguasa, ulama, dan ketua adat yang berarti 'tali berpintal tiga'.

Di mana pun komunitas Muslim Melayu berada, wajib hukumnya menjunjung tiga elemen penting dalam dinamika hidupnya, yaitu pemerintahan, agama, dan adat istiadat. Menurut sejarah, pembangunan Masjid Pekanbaru diawali dengan perpindahan pusat pemerintahan Kesultanan Siak Sri Indrapura dari Mempura Besar ke Bukit Senapelan (sekarang disebut Kampung Bukit).

Di pusat kekuasaan baru itu, dibangunlah istana sebagai pusat kekuasaan, masjid sebagai tempat aktivitas keislaman, dan balai kerapatan sebagai wadah ekspresi adat istiadat. Inilah arti dari memelihara keberlangsungan 'Tali Terpilin Tiga' itu.

Dalam acara peresmian bangunan baru ala Melayu atau yang dikenal dengan upacara 'menaiki', istana yang baru selesai dibangun itu diberi nama Istana Bukit; balai kerapatan dinamakan Balai Payung Sakiki; dan masjidnya bernama Masjid Alam yang merujuk pada nama kecil sultan, yaitu Sultan Alamuddin.

Partisipasi masyarakat


Masjid Raya Pekanbaru menyandang gelar sebagai masjid tertua di Kota Pekanbaru. Meski demikian, tidak berarti kondisi fisiknya tua dan rapuh. Justru, sentuhan arsitekturalnya sangat apik. Arsitektur tradisional Melayu menghiasi setiap sudut ruangan. Warna kuning pada dinding-dindingnya tampak dominan. Hal itu memberi kesan bagi masyarakat untuk senantiasa mendekatkan diri pada masjid.

Keindahan masjid yang tampak sekarang ini merupakan hasil dari beberapa kali perbaikan dan renovasi. Namun, bangunan aslinya tetap dipertahankan.Perluasan masjid yang pertama itu diprakarsai oleh Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah, putra Sultan Alamuddin Syah. Pada tahun 1766, Sultan Muhammad Ali naik tahta menggantikan ayahandanya yang wafat pada tahun itu.

Ide memperluas masjid muncul ketika sebuah pasar yang dibangun oleh Sultan Muhammad Ali berkembang pesat. Para pedagang dari Semenanjung Malaka dan Johor serta daerah-daerah sekitarnya ramai berdatangan ke pasar itu. Jadilah ia salah satu pusat perekonomian terpenting di Sumatra.

Pada tahun 1775, perluasan masjid dimulai dan selesai pada tahun yang sama, tepatnya pada awal bulan Ramadhan. Konon, dalam upacara 'menaiki' masjid yang baru direnovasi itu, masyarakat meramaikannya dengan ritual Petang Megang. Yaitu, ritual mandi di sungai untuk menyucikan diri menyambut datangnya Bulan Ramadhan.

Dalam renovasi dan perbaikan masjid ini, peran serta masyarakat tampak begitu tinggi. Sebagaimana dituturkan Abdul Baqir Zein dalam Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, perbaikan dan perluasan masjid raya ini melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Banyak hal yang diperbaiki, mulai dinding bangunan, tiang masjid, kubah, hingga sebagainya. Untuk tiang saka guru yang terdiri atas empat buah tiang, disediakan oleh Datuk Empat Suku (kepala-kepala adat). Sedangkan, tiang tuanya disediakan oleh Sayid Osman Syahabudin. Sayid Osman adalah menantu Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah yang menjadi imam besar sejak awal berdirinya Masjid Alam.

Sementara itu, elemen masjid lainnya, yakni kubah, disediakan oleh Sultan Muhammad Ali. Kubah melambangkan bahwa sultan adalah pucuk pimpinan dalam pemerintahan; Datuk Empat Suku mencerminkan tiang pemerintahan (pemegang adat); ulama laksana tiang yang menopang jalannya syariat; dan masyarakat umum adalah darah dan daging pemerintahan. Itu semua melambangkan kebersamaan dan kesatuan antara penguasa, ulama, pimpinan adat, dan masyarakat.

Setelah renovasi pertama selesai, masjid yang bernama asli Masjid Alam tersebut menjadi lebih bagus dan besar. Usulan untuk mengganti nama masjid kemudian menggelinding hingga ke telinga Sultan. Maka, disepakatilah untuk memberikan nama tambahan menjadi Masjid Nur Alam.

Nama aslinya tetap dipakai. Hanya ada nama tambahan pada nama sebelumnya, yaitu 'nur' yang berarti 'cahaya'. Nur Alam berarti cahaya bagi semesta. Pemberian nama baru itu bertujuan supaya keberadaan masjid dapat memberikan pencerahan spiritual bagi manusia melalui cahaya ilahiah.

Penambahan elemen masjid


Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ali Jalil Syaifuddin, bagian bangunan Masjid Nur Alam ditambah dengan selasar. Bangunan ini berfungsi untuk tempat duduk para peziarah makam. Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, Sayid Osman Syahabudin, serta keluarga Kesultanan Siak dimakamkan di sekitar masjid.

Elemen lain berupa pintu gerbang dibangun di sebelah timur masjid pada tahun 1940. Gaya lengkung setengah lingkaran tampaknya dipengaruhi oleh arsitektur India dan Persia. Sementara itu, hiasan kaligrafi dan ornamen-ornamen pada dinding gerbang mengingatkan kita pada sejumlah masjid di jazirah Arabia.

Pada pertengahan tahun 1973, terdapat nama baru yang disematkan pada Masjid Nur Alam, yaitu Masjid Raya Pekanbaru. Hingga saat ini, nama yang terakhir itu lebih akrab di telinga masyarakat daripada nama-namanya terdahulu. rid/berbagai sumber


Belum Teroptimalisasi

Ada hal-hal yang menarik dari Masjid Raya Pekanbaru. Di samping bangunan fisiknya yang mengagumkan, terdapat juga aspek historis, kepercayaan, dan kultural yang menyedot perhatian banyak masyarakat. Tak heran jika masjid ini menjadi tujuan wisata sejarah, religius, dan budaya.

Pada aspek kesejarahan, terdapat makam para sultan dan keluarganya. Keberadaan makam sultan-sultan Siak menggugah kesadaran sejarah masyarakat sekitar. Tabir sejarah yang seolah tertutup kabut modernitas dapat terungkap dengan menyaksikan kembali sepenggal kisah perjalanan Kesultanan Siak. Para jamaah diingatkan bahwa masjid tersebut adalah warisan perjuangan para sultan dalam menyiarkan agama Islam.

Sementara itu, aspek mistisnya (kepercayaan masyarakat--Red) terpancar dari keberadaan sumur di areal masjid. Kedalaman sumur itu kurang lebih enam meter. Airnya dipercaya masyarakat sekitar dapat mendatangkan berkah dari Allah SWT. Sehingga, memberikan banyak manfaat bagi yang menggunakannya. Ada yang menggunakannya untuk melepaskan nazar dan ada pula yang membawanya pulang untuk bermacam keperluan.

Selain sebagai tujuan wisata sejarah dan religius, ada juga pengunjung yang datang untuk meleburkan diri dalam hiruk pikuk 'Ritual Petang Megang'. Dalam suasana penuh sukacita, masyarakat Muslim Melayu Riau menggelar ritual itu untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Ritual serupa juga dilaksanakan oleh orang-orang Melayu di Kepulauan Riau dengan nama Balimau Kasai.

Prosesi ritual diawali dengan shalat Ashar berjamaah di Masjid Raya Pekanbaru satu hari sebelum datangnya bulan puasa. Acara kemudian dilanjutkan dengan ziarah ke pendiri Kota Pekanbaru, Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah, yang lebih populer dengan sebutan Marhum Pekan.

Setelah itu, para peserta acara beramai-ramai menuju ke Sungai Siak dengan berjalan kaki sejauh 1,6 kilometer. Arak-arakan biasanya dimeriahkan dengan iringan musik kompang. Suasana ramai menyelimuti wajah kota selama ritual itu berlangsung. Ketika sampai di Jembatan Siak I, acara mandi bersama di tepian Sungai Siak pun dimulai. Acara mandi bersama ini menandai puncak prosesi Ritual Petang Megang.

Dengan segala potensi yang dimiliki itu, hubungan erat antara masjid dan masyarakat Kota Pekanbaru tidak akan pernah susut. Apalagi, masjid sudah menjadi simbol kebersamaan yang merekatkan hubungan sosial kemasyarakatan.

Marhalim Zaini, budayawan asal Riau, meyakini bahwa pada tahun-tahun yang akan datang, masjid atau surau di Pekanbaru akan tetap ramai pengunjung. Menurutnya, masyarakat Melayu yang identik dengan semangat keislamannya tidak dapat dipisahkan dari masjid.

Sayangnya, kata Marhalim, pemerintah daerah kurang peka terhadap potensi sejarah, budaya, dan pariwisata yang dimiliki Masjid Raya Pekanbaru. ''Sebenarnya, di Riau ini banyak dana, tetapi kurang tepat cara pengelolaannya. Kurang ada kepedulian terhadap warisan sejarah dan budaya,'' katanya.

''Ini bertentangan dengan visi Riau 2020 yang akan menjadi Pusat Peradaban dan Perekonomian Melayu di dunia. Bagaimana mungkin visi itu akan tercapai kalau sistem yang ada tidak mendukung secara baik dan komprehensif,'' pungkas Marhalim. rid/berbagai sumber /kem

http://www.republika.co.id/berita/55531/Masjid_Raya_Pekanbaru_Riau_Sang_Pemersatu

No comments:

Post a Comment