Jualan Nasi Padang di Pinggir Rel
Siang itu, di kawasan Pisangan Lama Jakarta Timur, cuaca begitu panas. Dua kompor minyak tengah menyala, memanggang semur jengkol dan telor bulat. Apinya bergoyang ke kiri dan ke kanan, mengikuti arah angin yang keluar masuk lewat jendela.
Di hadapan kompor, aneka lauk dalam baskom sudah matang. Ada ayam gulai, rendang, daging, ati ampela, ikan teri, kentang, dan sambal balado. Beberapa bumbu dan lauk masih mentah, menanti giliran masuk kuali. Emang nggak takut kebakaran, Uni, masak di dalam kamar?
“Abis mau gimana lagi, nggak ada tempat lain seh…” Uni Ratna (50) tersenyum.
Kedua tangan Uni Ratna nyaris tak pernah berhenti bergerak. Begitu semur jengkol matang, tangannya menjinjing panci berisi air, lalu meletakannya di atas kompor. Semenit kemudian memotong cabai, lantas mengulek kemiri. Satu pekerjaan selesai, pekerjaan lain sudah menunggu sentuhan tangannya.
Dua kompor itu dibiarkan terus menyala hingga semua masakan matang. Kamar Uni jadi penuh asap dan aroma pedas makanan menyebar. Sementara suara televisi 14 inc–lima jengkal dari kompor—ikut menyemarakan kerja Uni sejak siang hingga ba’da Maghrib itu. Tidak ada orang yang membantunya memasak.
“Linda (23) jadi tukang jahit di Medan. Erwin (22) bantu-bantu orang dagang pakaian di Jatinegara. Desi (20) kerja cleaning service, pulangnya malam. Fadli (17) kuli bangunan, pulangnya nggak tentu. Rahma (15) sekolah di Medan, dibiayai keponakan Bapak. Nur Hasanah (11) lagi main…” Uni mengurai satu persatu aktivitas anaknya.
Kalau suami Uni, dimana?
“Suami (Alimin) meninggal dua tahun lalu, hari Senin, usai sholat Dhuha…” Uni mengela napas panjang, sejenak berhenti mengaduk bumbu.
Uni Ratna bersama keempat anaknya tinggal di kamar kontrakan lantai dua. Untuk menujunya harus melewati tangga dan lorong sempit nan gelap. Atapnya dari seng bekas pagar bangunan. Dindingnya dari kayu triplek sisa dengan lantai papan. Ukurannya 4x3 meter persegi.
Semua perabotan milik Uni –termasuk peralatan dagang dan memasak—ada di situ: kompor, kuali, panci, dandang, ember, galon, ulekan, piring, mangkok, gelas, lemari baju, dan kasur. Benar-benar sumpek!
“Anak-anak tidurnya di sini. Tapi di sini nggak ada kipas angin, jadi panas.”
Di wilayah Pisangan Lama II, RT 010/001, Jakarta Timur, Uni Ratna cukup dikenal. Selain ceplas ceplos, murah senyum dan enerjik, perempuan kelahiran Padang Pariaman ini gampang akrab dengan siapa saja.
Uni bercerita, dirinya menginjakkan kaki di Jakarta bersama suami dan keempat anaknya sejak 15 tahun lalu. Mulanya ia numpang di rumah saudara dan berjualan jajanan khas Padang: kue sarikaya, wajik, lopis, lebak bugis, dan ketan hitam. Karena dari hari ke hari sepi pembeli, usahanya pun bangkrut.
Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah yang dialami Uni. Selang sebulan, ia diusir saudaranya. Uni bersama anaknya hidup menggelandang dijalanan ibukota. Tak lama kemudian, suaminya mengalami gangguan penglihatan hingga akhirnya sama sekali tak dapat melihat.
“Suami sudah nggak bisa nyari duit lagi. Uni dan anak-anak jadi pemulung. Tidurnya di pinggir jalan. Anak-anak suka nangis, minta makan. Uni nggak ada duit. Akhirnya sehari-hari mereka cuma minum air putih.”
Pelan-pelan Uni mengumpulkan uang dari hasil mulung. Uangnya lantas dipakai berjualan cabai, bawang, dan tomat di pasar. Namun, itu tak bertahan lama lantaran kehabisan modal. Uni tak menyerah begitu saja. Berbekal uang pinjaman, Uni dapat berjualan peyek dan keripik. Sayang, lagi-lagi usahanya harus gulung tikar gara-gara selalu merugi.
Prinsip Uni, pantang bagi para perantau untuk meminta atau mengemis. Ia sama sekali tidak ingin merepotkan saudara maupun kerabatnya. Maka, kembali memulung menjadi pilihan hidup selanjutnya, meski terasa sangat pahit.
Kegigihan dan perjuangan Uni menghidupi anak-anak dan suaminya yang buta mengundang keprihatian Ketua RT. Uni diminta menceritakan kisah hidupnya, lalu Pak RT yang menuliskannya. Pak RT berniat mengirimkan keluh kesah Uni ke Dompet Dhuafa.
“Uni sampai lari-lari ke kantor pos untuk mengantar surat itu,” kenangnya, dua tahun lalu.
Tiga hari kemudian, Dompet Dhuafa menyambangi Uni sembari membawa bantuan sembako dan modal usaha. Secara perlahan Uni bangkit. Kini saban malam, mulai lepas Isya hingga pukul 02.00 dini hari, Uni berjualan nasi padang di pinggir rel kereta, 500 meter dari Stasiun Jatinegara.
“Alhamdulillah, Uni sudah bisa menyekolahkan anak bungsu. Minggu kemarin, Dompet Dhuafa memberikan bantuan gerobak dagang. Uni senang sekali…” ujarnya. (LHZ/Dompet Dhuafa)
http://www.eramuslim.com/hikmah/dhuafa/jualan-nasi-padang-di-pinggir-rel.htm
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment