Islam di Kazakhstan Giatkan Kembali Aktivitas Keagamaan


Sejak konstitusi 1995 menetapkan asas negara sekuler, pertumbuhan Islam melambat.

Perkembangan Islam terus berhembus di Kazakhstan. Negara pecahan Uni Soviet yang terletak di Asia Tengah itu dalam beberapa tahun belakangan semakin gencar menerapkan nilai-nilai, prinsip dan praktik keislaman dalam berbagai bidang kehidupan, setelah sempat mengendur.

Sejak menjadi negara independen awal tahun 1990-an, semangat keislaman di tengah masyarakat sebenarnya tak pernah surut. Ini merupakan imbas setelah mereka mengalami penekanan di era komunis Soviet sebelumnya.

Begitu lepas dari pengaruh Moskow, upaya untuk menggiatkan aktivitas keagamaan segera dilakukan, semisal pembinaan masjid dan sekolah agama dengan bantuan keuangan dari Turki, Mesir, dan Arab Saudi. Keduanya berkembang pesat di negara multietnis ini.

Pada 1991, 170 buah masjid telah difungsikan, dan lebih dari separuhnya adalah masjid yang baru dibangun. Terdapat pula sekitar 230 komunitas Muslim yang aktif di Kazakhstan.Edisi Alquran pertama dalam bahasa Kazakhs yang didasarkan pada alfabet Cyrillic, juga diterbitkan di Almaty (ibu kota negara sebelum pindah ke Astana) pada 1992. Pun perguruan tinggi Islam banyak didirikan, terutama untuk mengkaji literatur-literatur Arab.

Semakin banyak negara Islam yang bersimpati dan memberikan bantuan demi tegaknya Islam di Kazakhstan. Pembangunan Pusat Kebudayaan Islam pada 1993 di Almaty, misalnya, didanai dari bantuan luar negeri sebesar 10 juta dolar. Akan tetapi, meski Islam berkembang cukup baik, dan penduduk Muslim menjadi mayoritas, sejatinya Islam bukanlah dasar negara di Kazakhstan.

Konstitusi yang dikukuhkan pada 1995 menyebutkan bahwa Kazakhstan adalah negara sekuler. Setelah itu, geliat Islam melambat. Kazakhstan tak banyak menghadirkan aspek-aspek Islam di masyarakat. Pelajaran agama tidak lagi wajib diterapkan di sekolah-sekolah.

Akibatnya, pengetahuan masyarakat Islam Kazakhstan pada prinsip-prinsip agama, terbilang minim. Ghirah mereka dalam praktik keislamaan menunjukkan kondisi yang sama.Islam akhirnya dianggap sebagai agama formalitas. Ini dibuktikan dari polling yang pernah dilakukan terhadap sejumlah mahasiswa di Shymkent, Kazakhstan Selatan.

Hasilnya cukup memprihatinkan. Hanya empat persen dari mereka yang aktif di masjid, 18 persen hanya datang sekali atau dua kali dalam sepekan, 32 persen sekali atau dua kali dalam setahun, dan 44 persen tidak lebih sekali dalam setahun. Meski demikian, seiring perkembangan zaman, hal-hal tersebut perlahan berubah. Pemerintah dan masyarakat kini kembali bertekad menggerakkan sarana-sarana keagamaan secara fundamental.

Sejak 2009, telah ada kewajiban untuk memberikan mata pelajaran agama di sekolah, yang sebelumnya diajarkan secara sukarela. Pun siswa harus mengikuti pelajaran tersebut, sesuai agama masing-masing.

Pelajaran agama diajarkan oleh guru-guru yang punya keahlian khusus di bidang ini, dan mencakup 'seluruh agama serta sejarahnya.' Menurut Serik Irsaliyevas, juru bicara Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan, kebijakan itu bertujuan untuk lebih mempromosikan toleransi beragama. ''Dasar-dasar toleransi agama harus dibentuk sejak dini,'' papar Serik Irsaliyevas. ''Sebaliknya, kami tidak ingin mendorong munculnya fanatisme agama.''

Terobosan lainnya yakni dalam bidang keuangan. Beberapa bulan lalu, parlemen Kazakhstan telah meratifikasi perjanjian antara pemerintah dengan pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) untuk mendirikan bank Islam di negara tersebut. Ini akan menjadi yang pertama, sebuah institusi keuangan Islam beroperasi di Kazakhstan. Dan tidak tanggung-tanggung, dana yang dikucurkan mencapai angka 100 juta Dirham UEA.

Nantinya, bank Islam tersebut berkedudukan di Ibu Kota Astana dan Almaty. Dengan berdirinya bank ini, diharapkan mampu menggerakkan roda perekonomian serta menarik investor asing untuk menanamkan modalnya.

Di lingkup masyarakat hal serupa tak kalah gencar. Ada keinginan untuk merevitalisasi institusi-institusi Islam. Mereka yang dianggap sebagai pemimpin agama, semakin dihormati dan mendapat pengakuan. Semangat kembali menggerakkan kegiatan dan aktivitas keislaman bergema di mana-mana. Mulai dari pemuka masyarakat, agama, bahkan politisi kerap mengangkat isu ini.

Menteri Luar Negeri Marat Tahzin pernah mengatakan, perlunya menerapkan norma Islam dalam keseharian, mempelajari sejarahnya, budaya serta peninggalan-peninggalannya. Perubahan-perubahan tadi pada akhirnya membangkitkan harapan akan tumbuhnya kesadaran beragama yang lebih luas.

Kazakhstan menjadi satu-satunya negara di Asia Tengah yang konstitusinya tidak memberikan perlakuan khusus bagi agama Islam. Hal ini tak lepas dari pertimbangan domestik dan kebijakan luar negeri pemerintahan Presiden Nursultan Nazarbayev.

Bermula pada 1990, Nazarbayev memutuskan keluar dari keanggotaan di Dewan Muslim Asia Tengah, lembaga keagamaan yang diakui oleh penguasa komunis Soviet. Dia lantas membentuk negara berasaskan Islam, serta mengukuhkan lembaga mufti, otoritas agama tertinggi negara.

Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, muncul kondisi kehati-hatian pada dua negara Islam tetangga, yakni Iran dan Afghanistan. Karenanya, pada 1993 para perancang konstitusi menetapkan pelarangan partai politik berbasis agama. Kebijakan itu dikukuhkan pada konstitusi 1995, sekaligus memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan pengawasan ketat terhadap organisasi keagamaan asing di negara tersebut.

Meski begitu, Kazakhstan tidak lantas mengendurkan hubungan dengan negara-negara Islam. Mereka, misalnya, giat menjalin kerja sama dalam bidang ekonomi, khususnya dengan negara di kawasan Teluk mengingat besarnya potensi investasi yang bisa diperoleh.

Kazakhstan pun bersedia menerima status pengamat pada lembaga Economic Corporation Organization, yang beranggotakan negara-negara Islam. Selain itu, langkah penting juga coba ditempuh dalam rangka menjembatani hubungan antara Kristen Barat dan Islam Timur.

Hal ini, antara lain, ditunjukkan dengan kunjungan pertama Presiden Nazarbayev ke Kota Suci Makkah, yang kemudian dilanjutkan bertemu Paus Yohannes II di Vatikan. yus/berbagai sumber

Islamisasi Sejak Abad ke-9


Sejarah Kazakhstan tak lepas dari dominasi bangsa asing. Silih berganti masing-masing penguasa mengendalikan wilayah tersebut dan memberikan pengaruh besar terhadap aspek sosial, kultural, agama, ekonomi, dan sebagainya di masyarakat setempat.

Sejak abad ke-6 Masehi, bangsa Turki telah menguasai Kazakhstan. Mereka menanamkan pengaruh selama lebih kurang dua abad, untuk selanjutnya digantikan oleh bangsa Arab. Pada masa kekuasaan Arab inilah, untuk pertama kalinya Islam diperkenalkan kepada masyarakat Kazakhstan.

Proses Islamisasi secara gencar terjadi pada abad ke-9 dan ke-10. Pada abad ini, agama Zoroaster, Kristen, Buddha, dan pagan banyak dianut oleh penduduk Kazakhstan. Islam terus berkembang di kawasan ini, termasuk ketika Dinasti Abbasiyah memegang kendali kekhalifahan. Pengaruh Islam berakhir ketika bangsa Mongol menguasai Kazakhstan pada 1220-an.

Sampai lima abad, Imperium Mongol mengukuhkan dominasinya sebelum akhirnya masuk pengaruh Rusia. Pada awalnya, Islam dibolehkan untuk berkembang, dan bangsa Rusia mengundang banyak ulama untuk berdakwah di tengah bangsa Kazakh yang masih dianggap tidak tahu akhlak dan etika.

Akan tetapi, berangsur terjadi perubahan kebijakan seiring makin kuatnya pengaruh komunis Soviet pada 1936. Maka, dimulailah era penekanan terhadap kebebasan beragama di wilayah-wilayah yang diduduki. Syiar agama praktis terhambat. Aktivitas keagamaan benar-benar dibatasi, institusi Islam banyak yang ditutup.

Belum cukup sampai di situ, pelemahan terhadap agama juga dilakukan dengan pengiriman orang-orang Islam yang terpelajar ke dinas militer Rusia. Mereka yang mencoba membangkitkan semangat keislaman, harus menghadapi konsekuensi berat berupa penangkapan dan pengasingan. Kondisi ini baru berakhir saat runtuhnya Uni Soviet pada 1990.

Satu per satu negara yang dikuasai melepaskan diri, termasuk Kazakhstan. Setelah itu, Islam seakan memperoleh kesempatan kedua untuk berkembang pesat. Islam adalah agama mayoritas di Kazakhstan. Menurut catatan CIA, umat Islam mencakup 47 persen populasi yang berjumlah 16,4 juta jiwa (sensus 2009), 44 persen beragama Kristen Orthodox Rusia, Protestan 2 persen, dan agama lainnya sekitar 7 persen.

Etnis Kazakhstan secara historis merupakan penganut Islam Suni dan mayoritas bermazhab Hanafi. Kebanyakan mereka tinggal di wilayah selatan, dan membuat kawasan itu disebut wilayah Muslim. yus/taq/berbagai sumber

Data Negara

Nama resmi : Republik Kazakhstan
Ibu Kota : Astana
Kota terbesar : Almaty
Lagu kebangsaan : ''My Kazakhstan''
Merdeka : 16 Desember 1991
Luas wilayah : 2,724,900 km2
Jumlah penduduk : 16,4 juta jiwa
Mata uang : Tenge

http://www.republika.co.id/berita/82042/Islam_di_Kazakhstan_Giatkan_Kembali_Aktivitas_Keagamaan

No comments:

Post a Comment