Melahirkan Pemimpin

Setelah tiga tahun memusatkan dakwah kepada orang-orang terdekat dan terbatas, Rasulullah saw. membuat terobosan besar. Dakwah harus menjangkau masyarakat yang lebih luas dan gemanya harus lepas menembus batas-batas primordial. Inilah permulaan fase dakwah yang sering disebut dalam literatur-literatur sejarah sebagai dakwah terbuka. Fase ini ditandai dengan seruan Allah swt., “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat terdekatmu”. (QS. asy-Syu`ara’: 214).

Selain memuat perintah agung ini, surah asy-Syu`ara’ sebelumnya juga mengajarkan kepada Rasulullah saw. dan generasi muslim yang dibangunnya, hikmah-hikmah besar dari perjalanan panjang para Nabi dalam menyampaikan dakwah mereka. Dan, kisah Musa as. bersama Bani Isra’il adalah salah satunya.

Musa as. adalah salah seorang nabi terbesar yang diutus Allah swt. dengan misi yang sangat berat, karena harus berhadapan dengan tiran terbesar sepanjang masa, Fir`aun. Misi ini semakin berat karena Musa as. juga harus menghadapi masyarakat yang telah kehilangan jati diri, inferior, pragamatis dan hanya tahu bagaimana cara mengiyakan retorika sang tuan besar dan menyenangkannya, seperti dijelaskan Al-Qur’an, “Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya –dengan perkataan itu—lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (QS. az-Zukhruf: 54).

Kekuasaan Fir`aun akhirnya berhasil diruntuhkan. Fir`aun sendiri tenggelam dan mati ditelan gulungan ombak raksasa bersama seluruh bala tentaranya. Keruntuhan ini tidak lepas dari rangkaian mukjizat yang ‘pertunjukannya’ lebih didominasi aksi individu Musa as. di depan khalayak, terutama Bani Isra’il. Akan tetapi, menghancurkan Fir`aun hanyalah sebuah mukadimah dari misi berikutnya yang jauh lebih penting, yaitu membangun kembali puing-puing peradaban risalah Ibrahim as. di Palestina.

Membangun masyarakat atau peradaban, adalah karya kolektif yang menuntut pengorbanan bersama dan tidak dapat mengandalkan kehebatan aksi individu. Jika hal ini diabaikan maka cita-cita bersama masyarakat tersebut akan gagal. Inilah yang berlaku pada Bani Isra’il. Mental inferior yang diwarisi dari lingkungan masyarakat Fir`aun dan cara pandang yang salah tentang hakikat mukjizat, membuat mereka enggan berjuang dan malah mengandalkan ‘kehebatan individu’ Musa as. untuk kembali menghadiahkan kemenangan. “Hai Musa, kami tidak akan pernah memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di sana, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja.” (QS. al-Ma’idah: 24).

Ada pesan yang sangat mahal dalam kisah ini. Sehebat apapun seorang pemimpin, mustahil dapat mencapai kejayaan bersama masyarakat yang sakit atau tidak siap. Kejayaan baru akan diraih jika masyarakat, seperti diungkapkan Malik Bennabi dalam Milad Mujtama` (Kelahiran sebuah Masyarakat), telah mampu melebur orientasi-oreintasi materialistik dalam bingkai idealisme luhur, sehingga terbentuklah lingkungan sosial yang kondusif untuk mengatasi setiap permasalahannya.

Untuk itulah, Allah swt. mengisolasi Bani Isra’il selama 40 tahun. Isolasi yang disebut Al-Qur’an sebagai at-Tiih ini bukan semata-mata hukuman bagi Bani Isra’il yang menolak berjuang, melainkan rentang masa yang dibutuhkan Musa as. untuk melahirkan masyarakat atau generasi baru di lingkungan gurun yang serba sederhana dan terbatas, tapi terbebas dari belenggu tradisi dan karakter fir`aunistik yang jelas-jelas telah membuat generasi tua mereka gagal.

Musa as. sendiri wafat di masa at-Tiih ini dan tidak sempat melihat hasil karyanya. Tapi generasi baru yang dipersiapkannya telah lahir. Dan, merekalah yang kemudian berhasil masuk ke Palestina dengan kemenangan yang gemilang dibawah pimpinan Yusya` bin Nun. Demikian dinyatakan Ibnu Katsir dalam at-Tafsir berdasarkan keterangan Ibnu Abbas ra.

Di sini, Al-Qur’an seakan hendak mengatakan kepada kita, bahwa yang kita butuhkan adalah sebuah masyarakat yang siap, bukan seorang pemimpin yang hebat. Artinya, jika ingin umat ini bangkit, maka kita harus lebih mencurahkan segenap potensi untuk menyiapkan masyarakat, karena masyarakat yang siap sudah pasti akan melahirkan pemimpin yang hebat dan sukses.

Itulah sunnatullah yang tidak pernah berubah sepanjang masa, “Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” (QS. al-Ahzab: 62). Sunnatullah inilah yang saat ini sangat mendesak untuk kita pahami dan kuasai bersama, bahwa pemimpin hebat itu "dilahirkan" dari sebuah proses panjang yang menuntut konsistensi dan kesabaran, bukan "dicari" dalam siklus lima tahunan!

Oleh Asep Sobari

http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1367:melahirkan-pemimpin&catid=45:tafakur&Itemid=163

No comments:

Post a Comment