يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (١٠٢)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan memerankan Islam.
Kata taqwa sebagaimana secara umum diartikan dengan “menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi dari segala yang dilarangNya". Juga berarti memelihara diri dari segala macam dosa-dosa yang mungkin terjadi. Dalam kaidah ilmu tafsir ia adalah termasuk lafadz musytarok fihi. Artinya suku kata yang memiliki banyak jurusan pengertian, sesuai dengan kedudukan atau konteksnya dalam suatu ayat atau kalimat.
Dalam al Quran banyak dijumpai suku kata ini, dan kita dapat mengambil dua contohnya yang dapat menggambarkan secara lebih rinci maksud dari taqwa tersebut. Pertama dalam Surah an Nur ayat 52,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ (٥٢)
Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan.
Arti dari يَخْشَ adalah takut terhadap sesuatu yang pantas untuk ditakuti dan sedikit berbeda bobotnya dengan kata خَافُوا (takut atau khawatir) yang bobotnya lebih ringan dari kata yahsya. Maka maksud dari taqwa pada ayat di atas adalah bukti atau manifestasi dari rasa takut kepada Allah.
Kedua, dalam surah Ali Imran ayat 131,
وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ (١٣١)
Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.
Dari dua ayat ini dapatlah diambil suatu makna bahwa taqwa dimaksudkan antara lain sikap waspada; hati-hati; memelihara diri; sadar diri; atau sadar hukum. Untuk mendapat gambaran yang mudah dari sikap berhati-hati ini, kita dapat mengambil suatu contoh aktivitas rutin yang dilakukan sebagian manusia, yaitu berhati-hati dalam mengemudikan kendaraannya.
Sebelum melakukan suatu perjalanan, seorang driver yang baik tentu mempersiapkan segala hal menyangkut diri dan kendaraannya. Dalam perjalanannya ia akan selalu bersikap waspada dan mentaati rambu-rambu jalan. Dengan demikian tentu kemungkinan besar ia dan penumpangnya insyaAllah akan selamat di tujuan.
Demikianlah seharusnya sikap setiap pengendara, sehingga dengan sikapnya yang benar ini bukan saja memelihara diri dan penumpangnya, namun termasuk sesama pengguna jalan lainnya. Manusia tentu berhak membuat aturan dan sangsi hukum terhadap segala sesuatu yang merupakan ciptaannya seperti kendaraan tadi, karena hal ini termasuk permasalahan dunia yang dibenarkan dalam ajaran Islam. Namun sebaliknya terhadap sesuatu yang bukan ciptaan manusia tapi ciptaan Allah maka tentu manusia tidak berhak membuat aturan hukum dan sangsinya.
Manusia adalah salah satu makhluq ciptaan Allah, maka Dia telah menetapkan semua aturan untuk kemaslahatannya. Aturan ini pun telah final dan disempurnakanNya dan dinamakanNya Dinul Islam. Dalam Islam yang sumbernya hanya dua yaitu Al Quran dan al Hadits, terdapat perintah, larangan, dan petunjuk hidup. Semua itu adalah “rambu-rambu” yang wajib ditaati oleh setiap hamba Allah yang berusaha mendapat predikat taqwa dariNya. Jika manusia membangkang tentu akan mendapat sangsi dariNya, baik di dunia, terlebih di akhirat kelak akibat kedholiman manusia sendiri yang tidak mau menempatkan dirinya secara benar selaku makhluq.
Salah satu contoh aplikatif dari seorang hamba yang menepati kaidah taqwa adalah bagaimana dirinya berinteraksi secara benar terhadap sesama manusia, khususnya terhadap saudara muslimnya. Dalam Surah Al Hujurat ayat 11 – 12, Allah memberikan batasan-batasan yang mesti jauhi oleh hambaNya berusaha menepati ketaqwaan kepadaNya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (١١)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (١٢)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah fasiq sesudah iman, dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Setidaknya ada tujuh larangan dalam ayat di atas, yaitu larangan merendahkan bagi lelaki dan perempuan, menghinakan diri, memberi gelar buruk, fasiq, prasangka, tajasus, dan ghibah (menggosip).
1. Saling Merendahkan
Ada beberapa faktor alasan bagi seseorang yang suka merendahkan saudara muslimnya, yaitu merasa lebih mulia karena perbedaan ras suku bangsa, ilmu, harta, bendera kelompok atau organisasi. Sikap rasialisme merupakan ciri khas ummat Yahudi yang merasa Bani Israil paling mulia sehingga berhak menindas semua bangsa lain. Namun Allah mematahkan faham sesat mereka ini :
قُلْ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ هَادُوا إِنْ زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٦)وَلا يَتَمَنَّوْنَهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ (٧)قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (٨)
Katakanlah: "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa Sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, Maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar". Dan mereka tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. dan Allah Maha mengetahui akan orang-orang yang zalim.
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (Qs. Al Jumuah : 6-8)
Maka wajar jika ummat yahudi selalu menjadi pelopor kerusakan di muka bumi hingga saat ini.
Faktor selanjutnya adalah masalah ilmu dan harta. Lazim kita saksikan bagaimana sikap manusia terhadap orang – orang yang tidak mengenyam bangku sekolah dan tidak bergelar, mereka akan dipandang rendah derajatnya. Meskipun terkadang mereka yang dipandang tidak intelek ini, justru memiliki keahlian lebih dan kemuliaan akhlaq. Sehingga wajar dunia pendidikan kita banyak jadi ajang untuk mengejar status sosial dan jabatan semata, bukan untuk membangun ummat. Banyak kaum intelektual - apalagi alumni perguruan luar negeri yang sekular telah tercuci otaknya sehingga senang menjadi antek-anteknya asing (kafir) dengan menjual aset negerinya dan tega menindas saudara sebangsanya sendiri.
Begitupun masalah harta yang juga dijadikan ukuran kemuliaan sehingga kebanyakan manusia lebih senang bergaul, mendengar dan taat kepada si kaya dibanding si miskin yang membawa kebenaran. Harta menjadi jalan dan tujuan untuk merengkuh jabatan dan memenuhi ambisi nafsu buruknya.
Perbedaan yang bukan prinsip (aqidah) dari beberapa kelompok pejuang – pejuang Islam, serta perbedaan kelompok pengkajian terkadang juga menjadi alasan untuk saling merendahkan. Sikapashobiyah atau kebanggaan kelompok dapat membawa kepada sifat dan sikap takabur, merasa paling benar dan hebat. Mereka yang terjangkit penyakit taashub ini mudah sekali menghakimi saudara sendiri, sedang pribadi – pribadi kita sendiri belum tentu siap dan mau diadili dengan hukum Allah.
2. Menghinakan diri
وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ (dan janganlah menghinakan dirimu)
Allah telah menetapkan mukmin bersaudara, maka menghinakan saudara muslim berarti menghinakan diri sendiri. Selain itu kedudukan mukmin adalah mulia di sisi Allah, seperti tercantum dalam Surah Ali Imran 139,“ kamu adalah paling mulia jika kamu beriman ”. Oleh karena itu kita dilarang menghinakan diri di hadapan kaum kafir.
Bentuk menghinakan diri ini antara lain tidak percaya diri atau minder terhadap jati diri selaku muslim dengan menggunakan aturan hidup dari Allah dan rasulNya, tapi bangga berkiblat kepada sistem hidup kafirin. Sedangkan Islam adalah Dinul Hayah, di dalamnya meliput seluruh sendi peri kehidupan manusia. Dalam Dinul Islam antara lain mencakup sistem peribadahan, kepemimpinan, pendidikan, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Tujuan penerapan aturan Islam adalah untuk kemaslahatan hamba Allah di dunia dan akhirat sedangkan Allah tidak mengambil manfaat apapun dari hambaNya. Berbeda dengan sistem hidup buatan manusia yang berorientasi untuk duniawiyah saja, itupun mengandung banyak kemudharatan didalamnya.
3. Memberi panggilan yang buruk
Dalam keseharian mungkin kita pernah bercanda dengan sesama, namun secara tak sadar memanggil teman kita dengan sebutan yang jelek. Atau dapat pula karena dalam kondisi emosional terkadang manusia memaki-maki seseorang dengan nama-nama hewan. Hal ini dalam hadits rasulullah dilarang dilakukan. Dikhawatirkan justru perangai buruk hewan tersebut kembali kepada orang yang memaki tersebut.
Gelar atau panggilan dapat kita sandangkan kepada saudara kita selama yang bersangkutan tidak merasa berkeberatan atau justru merasa senang dengan panggilan tersebut. Seperti gelar yang diberikan Rasulullah kepada sahabatnya Abu Hurairah yang arti lughowinya “bapak dari kucing”. Hal ini karena Abu Hurairah suka membawa kucing piaraannya.
Terkadang suatu kata yang aslinya bermakna sangat baik, dapat dikonotasikan negatif menurut cara pandang seseorang karena faktor kebenciannya terhadap orang lain atau kelompok lain. Akibatnya dapat memunculkan perselisihan dalam ummat Islam. Misalnya seseorang yang berada dalam wadah perjuangan dalam Islam tertentu memanggil kelompok lainnya dengan perspektif negatif. Maka kadang dijumpai ucapan “itu orang muhammadiyah, NU, salafi, wahabi”, dan sebagainya dengan makna yang menyimpang, seolah-olah mereka yang berbeda “pakaian” dalam perjuangan bukan bagian dari saudaranya. Inilah perilaku ashobiyah yang tidak pada tempatnya karena tidak bertujuan untuk saling menasihati dalam kebenaran.
Adapun terhadap kelompok yang memang sudah jelas menyimpang dalam segi aqidah maka dapat dibenarkan kita menyebutkan kekafiran mereka. Seperti contoh kelompok ahmadiyah dan nabi-nabi palsu, liberalisme, syiah rafidhah atau sekte-sekte pluralisme.
Dalam Surah Ali Imran ayat 104, dinyatakan :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (١٠٤)
dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Secara tersirat lafadz وَلْتَكُنْ yang menggunakan harfu lam lil istianah yang bermakna “anjuran yang menyangatkan”, memerintahkan kepada ummat Islam yang belum terwadahi dalam hidup berjamaah mengorganisasikan diri mereka dalam suatu wadah gerakan Islam ( أُمَّةٌ ). Dimana wadah ini tujuannya untuk menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dalam suatu sistem organisasi yang rapi, sehingga diharapkan memudahkan dalam pelaksanaan tujuan tersebut.
Adanya berbagai kelompok perjuangan Islam (tandhim) ini bukanlah gambaran berpecah belahnya ummat. Namun lebih tepat sebagai “pembagian atau pendelegasian tugas” dalam dakwah dan jihad, sebelum tegaknya naungan yang satu bagi ummat ini, yaitu Daulah Islam yang telah dijanjikan Allah dan rasulNya. Disinilah perlunya interaksi (ta’aruf) antara tandhim yang memperjuangkan tegaknya Islam untuk saling melayani, menopang, dan bekerjasama, bukan untuk saling menjelekkan sesama saudara muslim. Seperti gambaran ayat 13 Surat Al Hujurat :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan berkelompok/ kabilah supaya kamu saling ta’aruf. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
…insyaAllah berlanjut
www.al-ulama.net
No comments:
Post a Comment