Allah berfirman,
وَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri.” (Qs. an-Nahl:89).
Dan ketika sahabat yang mulia, Salman al-Farisy radhiallahu 'anhu ditanya oleh seorang musyrik,
“Sungguhkah nabi kalian (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar?” Salman menjawab, “Benar, beliau shallallahu 'alaihi wasallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air kecil…” (HR. Muslim, no. 262).
Tidak terkecuali dalam hal ini, masalah yang berhubungan dengan mengatur dan membelanjakan rezeki/penghasilan, semua telah diatur dalam al-Qur'an dan hadits-hadits yang shahih.
Misalnya, tentang keutamaan menginfakkan harta untuk kebutuhan keluarga, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ
“Sungguh, tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari Kiamat nanti), kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampaipun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. al-Bukhari, no. 56 dan Muslim, no. 1628).
Kewajiban Mengatur Pembelanjaan Harta
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat sampai dia ditanya (diminta pertanggungjawaban) tentang umurnya; kemana dihabiskannya, tentang ilmunya; bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2417, ad-Darimi, no. 537, dan Abu Ya'la, no. 7434, dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam as-Shahihah, no. 946 karena banyak jalurnya yang saling menguatkan).
Hadits yang agung ini menunjukkan kewajiban mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari Kiamat nanti manusia akan diminta pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia (Lihat kitab Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyaadhish Shalihin, 1/479).
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya, Allah tidak menyukai bagi kalian tiga perkara…(di antaranya) idha'atul maal (menyia-nyiakan harta)”( HR. al-Bukhari, no.1407 dan Muslim, no. 593).
Arti idha'atul maal (menyia-nyiakan harta) adalah menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah Ta'ala, atau membelanjakannya secara boros dan berlebihan (Lihat kitab an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 3/237).
Antara Pemborosan dan Penghematan yang Berlebihan
Sebaik-baik cara mengatur pembelanjaan harta adalah dengan mengikuti petunjuk Allah Ta'ala, sebagaimana dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Qs. al-Furqan: 67).
Artinya: mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta, sehingga melebihi kebutuhan dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan) (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 3/433).
Juga dalam firman-Nya,
وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Qs. al-Isra': 29).
Imam asy-Syaukani rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Arti ayat ini larangan bagi manusia untuk menahan (hartanya secara berlebihan) sehingga mempersulit dirinya sendiri dan keluarganya, dan larangan berlebihan dalam berinfak (membelanjakan harta) sampai melebihi kebutuhan, sehingga menjadikannnya musrif (berlebih-lebihan/mubazir). Maka, ayat ini (berisi) larangan dari sikap ifrath (melampaui batas) dan tafrith (terlalu longgar), yang ini melahirkan kesimpulan disyariatkannya bersikap moderat, yaitu (sikap) adil (seimbang) yang dianjurkan oleh Allah.” (Kitab Fathul Qadir, 3/318).
Waspadai Fitnah (Kerusakan) Harta!
Perlu diwaspadai dalam hal yang berhubungan dengan pembelanjaan harta, fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta tersebut, sebagaimana yang telah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabda beliau,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.”
Maksudnya, menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang), karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta'ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ
“Sesungguhnya, hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Qs. at-Taghabun: 15) (Lihat kitab Faidhul Qadir, 2/507).
Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat asal nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya (Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Ighatsatul Lahfan, hal. 84 - Mawaaridul amaan), kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah 'Azza wa Jalla.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau, “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas, maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga.” (HR. al-Bukhari, no. 6075 dan Muslim, no. 116).
Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut. Sehingga, tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada akhirnya.” (Kitab Ighatsatul Lahfan, hal. 83-84, Mawaaridul amaan).
Dalam hal ini, salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan), maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan.” (Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Ighatsatul Lahfan, hal. 83 - Mawaaridul amaan).
Zuhud dalam Masalah Harta
Zuhud dalam harta dan dunia bukanlah dengan meninggalkannya, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Ta'ala. Akan tetapi, zuhud dalam harta adalah dengan menggunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah 'Azza wa Jalla, tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta tersebut. Atau dengan kata lain, zuhud dalam harta adalah tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta yang dimiliki, dengan segera menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah Ta'ala.
Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya, “Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)?” Beliau berkata, “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata, 'Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.'” (Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jami'ul 'Ulumi wal Hikam, 2/384).
Salah seorang ulama salaf berkata, “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal, dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan) di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai) maka kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya di akhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu.” (Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jami'ul 'Ulumi wal Hikam, 2/179).
Jangan Lupa Menyisihkan Sebagian Harta untuk Sedekah
Allah Ta'ala berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (Qs. Saba': 39).
Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/713).
Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya.” (HR. Muslim, no. 2588).
Arti “tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Ta'ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hal-hal yang akan merusaknya di dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Ta'ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata.” (Lihat kitab Syarhu Shahihi Muslim, 16/141 dan Faidhul Qadir, 5/503).
Maka, keutamaan besar ini jangan sampai diabaikan oleh keluarga muslim ketika mereka mengatur pembelanjaan harta, dengan cara menyisihkan sebagian dari rezeki yang Allah Ta'ala berikan kepada mereka, untuk disedekahkan kepada fakir miskin.
Harta yang disisihkan untuk sedekah tidak mesti besar, meskipun kecil tapi jika dilakukan dengan ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya, maka akan bernilai besar di sisi Allah Ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Takutlah kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka, walaupun dengan (bersedekah dengan) separuh buah kurma” (HR. al-Bukhari, no. 1351 dan Muslim, no. 1016).
Dalam hadits lain beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik (meskipun) kecil, walaupun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria.” (HR. Muslim, no. 2626).
Dan lebih utama lagi jika sedekah tersebut dijadikan anggaran tetap dan amalan rutin, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta'ala adalah amal yang paling kontinu dikerjakan meskipun sedikit.” (HR. al-Bukhari, no. 6099 dan Muslim, no. 783).
Nasihat dan Penutup
Kemudian yang menentukan cukup atau tidaknya anggaran belanja keluarga bukanlah dari banyaknya jumlah anggaran harta yang disediakan, karena berapapun banyaknya harta yang disediakan untuk pengeluaran, nafsu manusia tidak akan pernah puas dan selalu memuntut lebih.
Oleh karena itu, yang menentukan dalam hal ini adalah justru sifat qana'ah (merasa cukup dan puas dengan rezeki yang Allah Ta'ala berikan) yang akan melahirkan rasa ridha dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)” (HR. al-Bukhari, no. 6081 dan Muslim, no. 120).
Sifat qana'ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Ta'ala sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya, serta (nabi) Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sebagai rasulnya.” (HR. Muslim, no. 34).
Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya (Lihat kitab Fiqhul Asma-il Husna, hal. 81).
Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana'ah dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana'ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta'ala berikan kepadanya.” (HR. Muslim, no. 1054).
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita sifat qana'ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 27 Jumadal ula 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthani, M.A (Mahasiswa S3 Universitas Islam Madinah)
Artikel www.PengusahaMuslim.com
No comments:
Post a Comment